Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratu Siti Rafiah
"Hasil penelitian beberapa peneliti terdahulu menyatakan bahwa, dermatoglifi tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan dapat digunakan untuk membedakan ras, populasi, dan kasta. Penurunan (heritabilitas) intensitas dari tipe pola, dan jumlah semua sulur ujung jari tangan sangat tinggi.
Variasi dermatoglifi pada populasi dapat terjadi karena adanya beberapa faktor seperti, seleksi, isolasi, dan genetic drift. Populasi dalam strata pendidikan dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan lapisan masyarakat berdasarkan dermatoglifi, karena pada setiap kenaikan tingkat pendidikan seseorang berlaku seleksi.
Sampel populasi dalam penelitian ini diambil dari beberapa lapisan masyarakat berbagai suku dengan strata pendidikan berbeda yang terdiri atas non sarjana, sarjana dan doktor. Sampel populasi non sarjana ialah mereka yang berpendidikan SD, SLTP, dan SLTA, sedangkan sampel populasi sarjana dan doktor, ialah mereka yang tamat dari pendidikan perguruan tinggi.
Tujuan penelitian dermatoglifi ialah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan antara populasi non sarjana, sarjana, dan doktor. Dari tipe pola yang dibedakan meliputi 3 tipe pola dasar, yaitu tipe pola arch, loop dan whorl. Kemudian dilakukan perhitungan indeks Dankmeijer, indeks Furuhata dan indeks intensitas pola. Dari jumlah sulur yang dihitung ialah rata-rata jumlah semua sulur (JSS), rata-rata jumlah sulur (tipe pola loop, tipe pola whorl), dan rentang rata-rata jumlah semua sulur. Data-data tersebut dianalisis menurut cara yang dilakukan oleh Holt (1968).
Hasil penelitian analisis tipe pola dan jumlah sulur ujung jari tangan dari sampel populasi non sarjana, sarjana, dan doktor menunjukkan bahwa:
I. Tipe pola ujung jari tangan
1. Ada perbedaan frekuensi tipe pola arch, tipe pola loop dan tipe pola whorl antara sampel populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
2. Indeks Dankmeijer yaitu indeks arch/whorl pada sampel populasi non sarjana lebih tinggi dari pada sarjana dan doktor.
3. Indeks Furuhata yaitu indeks whorl/loop pada sampel populasi non sarjana lebih rendah dari pada sarjana, dan doktor.
4. Indeks intensitas pola yaitu rata-rata jumlah triradii ujung jari tangan pada sampel populasi non sarjana lebih rendah dari pada sarjana, dan doktor.
II. Jumlah sulur ujung jari tangan
1. Ada perbedaan frekuensi rata-rata jumlah semua sulur (JSS) ujung jari tangan antara sampel populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
2. Ada perbedaan rata-rata jumlah sulur tipe pola loop dan tipe pola whorl antara populasi, kecuali antara populasi sarjana dan doktor.
3. Ada perbedaan rentang rata-rata jumlah semua sulur antara non sarjana di satu pihak dengan populasi sarjana dan doktor di pihak lain.
Dari keterangan I dan II terlihat ada perbedaan antara populasi non sarjana di satu pihak, dengan populasi sarjana dan doktor di pihak lain.
Menurut Holt (1968) untuk membedakan antar populasi, umumnya dipakai indeks Dankmeijer. Pada populasi non sarjana, populasi suku Jawa (Satmoko, 1981), dan populasi umum (Rafiah dkk, 1979; Sutanto, 1989) ditemukan adanya persamaan indeks Dankmeijer, yaitu di atas 6. Sebaliknya populasi sarjana dan doktor, serta pada populasi mahasiswa (Tadjudin dkk, 1970; Suhadi, 1974) mempunyai persamaan indeks Dankmeijer, yaitu di bawah 6.
Selain itu untuk membedakan antar populasi menurut Pollitzer & Plato (1979), digunakan rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan. Pada populasi non sarjana, dan populasi umum (Rafiah dkk, 1979; Sutanto, 1989), mempunyai persamaan rentang rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan, yaitu 124-135. Sedangkan pada populasi sarjana dan doktor dengan populasi mahasiswa (Suhadi, 1974), ada persamaan rentang rata-rata jumlah semua sulur ujung jari tangan, yaitu 143-151.
Kesimpulannya, ada 2 lapisan masyarakat Indonesia berdasarkan dermatoglifi ujung jari tangan. Pertama, lapisan masyarakat dengan indeks Dankmeijer di atas 6, dengan rentang rata-rata jumlah semua sulur 124-135. Kedua, lapisan masyarakat dengan indeks Dankmeijer di bawah 6, dengan rentang rata-rata jumlah semua sulur 143-151.
Terjadinya variasi dermatoglifi ujung jari tangan antara kedua lapisan masyarakat tersebut di atas, disebabkan karena adanya seleksi, dan faktor lain yang menyebabkan terjadinya variasi dermatoglifi di antara dua lapisan masyarakat, yaitu kemungkinan karena adanya isolasi reproduksi.

The Dermatoglyphics of Finger Pattern Types and Finger Ridge Counts In Several Educational Levels In The Indonesian SocietyThe dermatoglyphics of finger pattern types and finger ridge counts can be applied to classify race, population and caste. The heritability of total finger pattern intensity and total finger ridge counts is very high.
Variation in biological characters such as dermatoglyphic variation can exist due to various factors, like selection, isolation, and genetic drift. The population at different education levels can be used to detect differences between society levels based on dermatoglyphics, because at each higher level of educational selective processes are active.
The population sample of this research is derived from several levels of Indonesian society and educational strata consisting of no graduate, graduate, and PhD populations. The non-graduate population consists of people who have never had tertiary education, while the graduate and the PhD population consist of people who are graduates from a university.
The purpose of the present study is to know whether there are differences in finger pattern., types and finger ridge counts between the non graduate, graduate, and Ph.D populations. Pattern types are classified into three basic pattern, i.e. the arch, loop, whorl. Furthermore the Dankmeijer index, the Furuhata index, and the pattern intensity index are also calculated. Finger ridge counts performed are the mean total finger ridge counts, the mean ridge count of loops and whorls, and the range of the mean total finger ridge counts. These data are analyzed according to the method used by Halt (1968).
The results of analysis of the finger pattern type and finger ridge counts of the non-graduate, graduate and PhD population samples show that:
I. The finger pattern type:
1. There are significant differences in arch, loop, and whorl between population samples, except between the graduate and the PhD populations.
2. The Dankmeijer's index, or the arch/whorl index of the non-graduate is higher than the graduate and the PhD populations.
3. The Furuhata's index, or the whorl/loop index of the non-graduate is lower than the graduate and the PhD populations.
II. The finger ridge counts:
1. There are significant differences in the mean total finger ridge counts between the populations, except between the graduate and the Ph.D. populations.
2. There are significant differences in the mean ridge count of loops and whorls between the populations, except between the graduate and the PhD populations.
3. There are significant differences in the range of mean total finger ridge count between the non-graduate on one side and the graduate + Ph. D populations on the other side.
From the results described in I and II, it can be concluded that there are differences between the non graduate population on one side, and the graduate, PhD population on the other side.
In general, according to Holt (1968), the Dankmeijer index has been widely used to distinguish populations. In the non-graduate population, the Javanese population (Satmoko, 1971), and the general population (Rafiah et al., 1979; Sutanto, 1989), it has been found that the Dankmeijer index is above 6. On the other hand in the graduate and the Ph.D. populations also in student populations (Tadjudin et al., 1970; Suhadi, 1974) the Dankmeijer index is below 6.
To make a more detailed classification among populations, according to Pollitzer & Plato (1979), the total finger ridge counts can be used. In the non-graduate population and the general population (Rafiah et el., 1979; Sutanto, 1989) the range of the mean total finger ridge counts is between 124-135. While in the graduate + PhD populations and also in a student population (Suhadi, 1974), the range of the mean total finger ridge counts is between 143-151.
The conclusion of this study is that according to the pattern type and ridge counts, the three populations can be divided into two levels. The first is the level with Dankmeijer index above 6 and the range of the total finger ridge counts between 124-135, the second is the level with Dankmeijer index below 6 and the range of the total finger ridge counts between 143-151. The existence of dermatoglyphic variation between the two levels may be due to selection, and the possibility of reproductive isolation.
"
1990
D275
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovita Harmiatun
"Ureaplasma rarealyticum diklasifikasikan ke dalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales, familia Mycoplasmataceae (Koneman et al., 1992). Pada mulanya U. urealyticum lebih dikenal dengan sebutan T -mycoplasma, dan diketahui sebagai bakteri Gram-negatit nonmotil, berukuran 0.2 - 0.25 urn, tidak berdinding sel, dan berbentuk pleomorfik. U. urealyticum hanya diselubungi oleh membran plasma trilaminer, maka organisme ini tidak dihambat oleh antimikroba penghambat pembentukan dinding sel seperti golongan penisilin, basitrasin atau polimiksin-B (Marmion, 1989). U. urealyticum telah berhasil diisolasi dari tubuh binatang dan manusia. U. urealyticum dapat mengkolonisasi dan menginfeksi membran mukosa berbagai organ manusia (Phillips et al., 1986; Marmion, 1989; Koneman et al., 1992; Smith et al., 1994), meskipun demikkian U urealyticum juga dapat diisolasi dari orang-orang asimptomatik, sehingga organisme ini dapat digolongkan sebagai bakteri patogen oportunis (Quinn et al., 1985; Gibbs et al., 1986; Koneman et al., 1992).
Pada manusia U urealyticum sering ditemukan pada saluran urogenital wanita dan pria. Menurut Koneman et al. (1992), frekuensi kolonisasi U. wealyticum pada saluran urogenital wanita berkisar antara 35% - 80%. Sementara itu menurut McCormack et al. (1972), McCormack et al. (1973), dan McCormack et a!. (1975), frekuensi kolonisasi U. urealyticum pada saluran urogenital wanita berkisar antara 8.5% - 77.5% dan pada saluran urogenital pria berkisar antara 3% - 56%; frekuensi kolonisasi ini erat hubungannya dengan umur, ras, pengalaman seksual, dan tingkatan sosio-ekonomi individu yang bersangkutan. U. urealyticum telah diketahui sebagai penyebab penyakit uretritis, vaginitis, servisitis, salpingitis, infertilitas pada pria dan wanita, abortus, dan berat bayi lahir rendah (Cracea et al., 1985; Taylor Robinson, 1995; Cole et al., 1996; Abele-Horn et al., 1997; Clegg, et al., 1997; Kong et al., 1999). Tjokronegoro et al. (1993) menyatakan bahwa kolonisasi U urealyticum di dalam semen pria pasangan infertil tidak mempengaruhi motilitas dan kuantitas spermatozoa namun pengaruhnya terhadap kemampuan sperma membuahi sel telur belum dapat disingkirkan. Pemyataan ini dapat dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa U. urealyticum dapat menyebabkan bocornya membran plasma sperma (Harmiatun, "submitted").
Bocornya membran plasma memungkinkan hilangnya enzim penetrasi sperma terhadap sel telur (hialuronidase, akrosin) sehingga dengan demikian sperma tidak mungkin lagi dapat membuahi sel telur. Kemungkinan bocornya membran plasma disebabkan oleh aktivitas suatu enzim. Kilian et al. (1996) menyatakan, protease IgA1 tipe-serin merupakan suatu golongan protein yang digunakan oleh berbagai kelompok bakteri Gram-negatif untuk kolonisasi dan invasi bakteri patogen pada sel target. U. urealyticum telah berhasil diisolasi dari kultur darah wanita yang menderita demam postpartum. Kultur darah 10% wanita dengan demam postpartum mengandung U urealyticwn (Quinn et al., 1983; Naessens et al., 1989; Gauthier et al., 1991)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
D15
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nukman Helwi Moeloek
"ABSTRAK
Tersedianya berbagai macam kontrasepsi memungkinkan seseorang memakai kontrasepsi sesuai dengan keinginannya, sehingga semakin banyak macam kontrasepsi yang tersedia, semakin besar pula kemungkinan seorang akan memakai kontrasepsi.
Saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari kontrasepsi medikamentosa untuk pria yang efektif dan aman, namun sampai sekarang kontrasepsi tersebut belum diperoleh, hal ini disebabkan pengembangan cara pengendalian kesuburan pria lebih sulit daripada wanita. Seorang pria setiap hari dapat memproduksi jutaan spermatozoa, sedangkan seorang wanita hanya melepaskan sebuah sel telur setiap bulan. Selain itu pil atau suntikan KB untuk pria harus tidak boleh menimbulkan efek samping yang membahayakan. Kontrasepsi medikamentosa yang telah banyak diteliti dan bersifat aman serta mempunyai efek paling besar dalam menekan produksi sperma adalah kombinasi androgen dengan progestin. Kombinasi androgen dengan progestin yang telah diteliti yaitu Testosteron enantat (TE) dengan Depo Medroksiprogesteron asetat (DMPA) dan 19 Nortestosteron heksil oksifenilpropionat (19NT) dengan DMPA, namun kedua kombinasi obat tersebut belum dapat menimbulkan azoospermia sampai atau mendekati 100%. Sebenarnya kontrasepsi pria yang efektif tidak perlu mencapai azoospermia, tetapi dapat pula dengan cara menimbulkan suatu keadaan ejakulat yang infertil. Sebaliknya walaupun masih ada beberapa spermatozoa tetapi bila fungsinya masih baik, ejakulat tersebut masih fertil. Untuk mengetahui kemampuan fertilitas spermatozoa yang masih ada di dalam ejakulat dapat dilakukan uji fungsi sperma.
Salah satu cara untuk menguji fungsi sperma ialah dengan uji penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks. Getah serviks merupakan barier pertama yang dihadapi oleh spermatozoa di traktus reproduksi wanita. Penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks secara in vitro di dalam pipa kapiler dikatakan cukup bila mencapai 3 cm atau lebih. Telah dibuktikan pula bahwa getah serviks sapi dapat dipakai sebagai pengganti getah serviks manusia di dalam menguji fungsi spermatozoa, karena getah serviks sapi mempunyai sifat yang sama dengan getah serviks manusia. Bila dilihat integritas membran spermatozoa (diperiksa dengan uji HOS = hypoosmotic swelling), maka integritas membran spermatozoa dikatakan buruk bila uji HOS t 50%.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut ingin diketahui apakah penyuntikan kedua kombinasi obat TE + DMPA dan 19NT + DMPA pada pria fertil dapat mengakibatkan penetrasi spermatozoa mereka ke dalam getah serviks sapi secara in vitro tidak bisa mencapai jarak 3 cm atau lebih dalam. Penelitian ini juga ingin mengetahui apakah penyuntikan kedua kombinasi obat tersebut akan menurunkan integritas membran spermatozoa serta menurunkan konsentrasi spermatozoa, morfologi normal spermatozoa dan motilitas spermatozoa.
Tujuan utama penelitian ini ialah untuk menurunkan kesuburan pria agar di masa yang akan datang dapat diperoleh kontrasepsi pria yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu diteliti pengaruh penyuntikan kombinasi TE + DMPA dan 19NT + DMPA pada pria fertil terhadap :
1. penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks sapi serta perbandingan pengaruh kedua kombinasi obat tersebut terhadap penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks sapi, dan
2. integritas membran spermatozoa.
Pada penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah:
Hipotesis utama, yaitu:
Kombinasi TE + DMPA dan 19NT + DMPA pada 12 minggu masa penyuntikan terhadap pria fertil akan menyebabkan tidak adanya spermatozoa yang dapat melakukan penetrasi ke dalam getah serviks sapi secara in vitro lebih dalam daripada jarak 3 cm.
Hipotesis kerja, ialah hipotesis yang mendukung hipotesis utama, yaitu:
Penyuntikan TE + DMPA dan 19NT + DMPA pada pria fertil akan menurunkan :
1. konsentrasi spermatozoa,
2. morfologi normal spermatozoa,
3. motilitas spermatozoa, dan
4. integritas membran spermatozoa.
Usulan penelitian ini telah diajukan dan diperoleh persetujuannya dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan Dekan FKUI. Pernyataan kesediaan dan persetujuan secara tertulis diperoleh dari setiap relawan. Empat puluh relawan pria sehat (umur antara 21-45 tahun) yang telah mempunyai anak sekurang-kurangnya satu orang dan telah diseleksi dengan pemeriksaan yang meliputi penilaian kesehatan umum, riwayat aktifitas seksual, analisis semen dan pemeriksaan darah normal (due Rail dalam interval 2 minggu) untuk diselidiki dalam penelitian ini. Penelitian ini dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase kontrol sebelum perlakuan
2. Fase perlakuan.
Pada fase kontrol sebelum perlakuan, dilakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik setiap relawan. Darah vena diambil untuk pemeriksaan hematologis dan kimia darah rutin. Kimia darah rutin meliputi pemeriksaan SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase), SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase), Gamma-GT (Gamma glutamyl transpeptidase), fosfatase alkali, ureum dan kreatinin. Dua contoh semen dianalisis dengan jarak 2 minggu. Kemudian relawan dibagi dalam 2 kelompok secara acak yaitu kelompok yang akan diberi TE 200 mg dan kelompok yang akan diberi 19NT 200 mg.
Pada fase perlakuan, TE 200 mg atau 19NT 200 mg disuntikkan intramuskular tiap minggu mulai minggu ke 0 sampai dengan minggu ke 5. Sesudah itu dilanjutkan setiap 3 minggu sekali sampai dengan minggu ke 24. DMPA 250 mg disuntikkan intramuskular pada tiap relawan mulai minggu ke 0 dilanjutkan tiap 6 minggu sekali sampai dengan minggu ke 18. Pemeriksaan analisis semen dilakukan tiap 3 minggu sekali. Pemeriksaan darah dilakukan tiap 6 minggu sekali.
Pada fase kontrol sebelum perlakuan dan fase perlakuan dari setiap semen yang diperoleh, dilakukan juga uji penetrasi spermatozoa ke dalam getah serviks sapi dan uji HOS.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu perlakuan penyuntikan TE + DMPA dan 19NT + DMPA pada pria fertil menyebabkan
a. mulai minggu ke 12 perlakuan tidak ada spermatozoa yang dapat melakukan penetrasi ke dalam getah serviks sapi secara in vitro pada jarak 2 cm dan 3 cm atau lebih dalam. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka hipotesis utama dapat diterima.
b, penurunan konsentrasi spermatozoa, morfologi normal spermatozoa, motilitas spermatozoa dan integritas membran spermatozoa. Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan, bahwa hipotesis kerja dapat diterima.

ABSTRACT
The availability of various methods of contraception makes it possible for a person to use any method desired, so that we may say that the more methods available the more likely a person will make use of contraception.
Many researches are had been done to find contraceptive medicaments, which are both effective and safe. However, the development of methods to control male fertility is more complex than for women because the male can produce millions of sperm every day, while a woman only releases one ovum each month.
In addition, the pill or injection for the male, should not give raise any side effect of serious or dangerous nature?
Contraceptive medicaments that have already been widely investigated are of various combinations of androgens and progestins. Specific combinations of androgen and progestin that have been investigated are Testosterone enanthate (TE) together with Depo Medroxyprogesterone acetate (DMPA), and 19 Nortestosterone hexyloxyphenylpropionate (19NT) together with DMPA. Although neither of these combinations is as yet able to produce azoospermia up to or near 100%, an effective male contraceptive need not necessarily reach azoospermia and may be effective by producing a condition where the ejaculation is infertile. Conversely, if some sperms are still functioning well, the ejaculation is fertile.
One of the methods of testing sperm function is by testing sperm ability to penetrate the cervical mucus. Penetration of the sperm through cervical mucus is considered sufficient if it reaches 3 cm or more. It has also already been proved that bovine cervical mucus can be used instead of human cervical mucus in this test of sperm function, because bovine cervical mucus possesses similar characteristics as human cervical mucus. In addition, the sperm membrane integrity can be tested by the use of HOS test (hypoosmotic swelling test), the sperm membrane integrity is considered poor if the HOS test is t 50 %.
Thus it is desirable to know whether the injection of both combinations of TE + DMPA and 19NT + DMPA in fertile men can prevent sperms penetrating bovine cervical mucus for 3 cm or more. This research was also designed to know whether the injection of both combinations will reduce the sperm membrane integrity and sperm concentration, sperm morphology, and motility.
The main purpose of the present research is to study the effect on male fertility of injections consisting of combinations of TE + DMPA and 19NT + DMPA in fertile men relating to: Sperm penetration of bovine cervical mucus and at the same time to compare the effects of both combinations relating to sperm penetration of cervical mucus.
Sperm membrane integrity.
In this research the hypothesis to be tested is the main hypothesis, i.e.:
That combinations of TE + DMPA and I9NT + DMPA during a 12-week period of injections of fertile men will cause the absence of sperms able to penetrate bovine cervical mucus in vitro for more than a distance of 3 cm.
The working hypothesis, i.e. the hypothesis that support the main hypothesis, is:
That injections of TE + DMPA and 19NT + DMPA in fertile men will reduce:
1. Sperm concentration
2. Sperm morphology
3. Sperm motility
Sperm membrane integrity.
This research has been approved by the approval of the Research Ethics Commission, Faculty of Medicine, University of Indonesia and the Dean of Faculty of Medicine, University of Indonesia.
A declaration of approval and readiness has been, obtained in writing from each volunteer. Forty healthy male volunteers, aged between 21-45 years and who have at least one child, have been selected for this investigation. An evaluation encompassing general health, history of sexual activity, semen analysis and blood examination (twice at intervals of 2 weeks) were investigated for this research.
This research is divided into 2 stages, i.e.
1. The control phase prior to treatment.
2. Treatment phase.
In the control phase prior to treatment, a complete history was taken and physical examination was made of each volunteer. In addition venous blood is taken for hematological examination and routine blood chemistry. Two semen samples are taken 2 weeks apart for analysis. The volunteers are then divided into 2 groups, i.e. those receiving TE 200 mg and those receiving 19NT 200 mg.
In the treatment phase, TE 200 mg or 19NT 200 mg is injected intramuscularly each week starting at week zero up to the sixth week. The treatment is continued every 3 weeks after the sixth week up to the twenty-fourth week. DMPA 250 mg is injected intramuscularly at week zero, and continued every 6 weeks up to the 18th week. Examination of semen is made once every three weeks. Blood examination is made once every 6 weeks.
In the control phase prior to treatment, and in the treatment phase, every semen sample collected tested for penetration of bovine cervical mucus and for sperm membrane integrity by the HOS test.
Results obtained in the present research show that after injection of TE + DMPA and 19NT + DMPA in fertile men: Starting at the 12th week of treatment there is an absence of sperm able to penetrate the bovine cervical mucus in vitro at distances of 2 cm and 3 cm or more. Based on the results, the main hypothesis is accepted.
There is a reduction in sperm concentration, morphology, motility and sperm membrane integrity. The results obtained in the research indicate that the working hypothesis is accepted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
D215
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library