Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sophianita GTA
"Toluen telah digunakan sebagai bahan pelarut di Percetakan "X". Bersamaan dengan itu pada tenaga kerja terjadi keluhan berupa mata berair, sesak nafas, batuk pilek, lelah, dan iritasi kulit. Di Percetakan "X", data mengenai kadar toluen di lingkungan kerja dan kadar asam hipurat urin sebagai indikator terpajannya tenaga kerja dengan toluen belum ada. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian mengenai kadar toluen di lingkungan kerja, besar nilai kadar asam hipurat urin dengan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya serta efek kesehatan akut yang di timbulkan.
Dalam penelitian ini digunakan studi potong lintang dengan memperhatikan perbedaan tingkat pajanan toluen di tempat kerja. Jumlah sampel yang diambil adalah total sampel berjumlah 135 orang, yaitu pada bagian printing 75 orang dan bagian gudang 60 orang. Data penelitian ini diperoleh berdasarkan observasi, status medis, kuesioner, wawancara, dan pemeriksaan kesehatan. Untuk kadar toluen di lingkungan kerja dianalisis dengan cara metoda 1510, Issue 2 dari NIOSH. Analisis deskriptif antara tenaga kerja di bagian printing dan gudang meliputi karakteristik subjek penelitian, kadar asam hipurat urin,dan efek kesehatan akut. Analisis regresi multipel dilakukan untuk melihat hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan kadar asam hipurat pulang kerja dan untuk melihat hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan peningkatan kadar asam hipurat urin. Sedangkan analisis regresi logistik dilakukan untuk melihat hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan efek kesehatan akut, dan hubungan antara kadar asam hipurat urin pulang kerja dengan efek kesehatan akut.
Kadar toluen di lingkungan kerja bagian printing berkisar antara 82 ppm sampai 120 ppm dengan Time Weighed Average (TWA) 90,05 ppm, sedangkan di bagian gudang berkisar antara 52 ppm sampai 67 ppm dengan TWA 50,48 ppm. Kadar rata-rata toluen di udara pada bagian printing dan gudang secara statistik berbeda bermakna (p=0,000), dan telah melampaui nilai ambang batas. Pada umunmya tidak terdapat perbedaan bermakna antara karakteristik subjek yang bekerja di bagian printing maupun gudang kecuali lama kerja (p=0,01) dan pendidikan (p=0,012). Untuk kadar asam hipurat urin awal waktu kerja dan pulang kerja, peningkatan kadar asam hipurat urin, dan efek kesehatan akut antara bagian printing dan gudang secara statistik berbeda bermakna (p=0,000). Hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan peningkatan kadar asam hipurat urin yang berkorelasi kuat yaitu faktor umur (p=0,001); lama kerja (p=0,004) dan kebiasaan merokok (p=0,005). Hubungan antara karakteristik subjek penelitian dengan peningkatan kadar asam hipurat urin pulang kerja yang berkorelasi kuat juga faktor umur (p=0,005); lama kerja (p=0,000) dan kebiasaan merokok (p=0,001), untuk lama kerja yang dihubungkan dengan nilai (¦Â:-0,29) terlihat bahwa makin lama kerja, maka kadar asam hipurat urin pulang kerja semakin rendah.
Sedangkan risiko terjadinya efek kesehatan akut berdasarkan karakteristik subjek penelitian didapatkan faktor umur (OR;2,55;CI;0,99-6,79), lama kerja (OR:1,84;CI:0,84-3,94) dan kebiasaan merokok (OR;18,7;CI;7,62-68,10). Risiko terjadinya efek kesehatan akut dengan kadar asam hipurat urin pulang kerja ¡Ý 0,99 gr/L didapatkan secara statistik berbeda bermakna, dibandingkan dengan kelompok tenaga kerja dengan kadar asam hipurat urin pulang kerja < 0,99gr/L (OR:7,6; CI:3,47-16,95). Gejala-gejala efek kesehatan akut yang ditimbulkan seperti : mata berair, sesak, lelah, reaksi kulit dan batuk.
Kesimpulan:
Kadar toluen di lingkungan kerja, baik di bagian printing maupun di bagian gudang Percetakan "X", di atas nilai ambang batas menurut Kep Menaker RI/1977 (NAB=50 ppm). Kadar asam hipurat urin yang didapat masih di bawah indeks biologis (1,6 gr/L). Karakteristik subjek penelitian yang berpengaruh pada bagian printing dan gudang adalah lama kerja dan pendidikan. Faktor- faktor yang mempengaruhi kinetik toluen di dalam tubuh adalah umur, lama kerja, dan kebiasaan merokok. Pengaruh efek kesehatan akut dengan kadar asam hipurat urin pada tenaga kerja terlihat berbeda bermakna antar kelompok pada titik potong (cut off point) 0,99 gr/L.
The Correlation between the Level of Hippuric Acid with the Acute Health Effect among the Workers Who Exposed By Toluene at the Printing Company "X" Jakarta 2002
Background:
Toluene has been used as a solvent in the printing company "x". According with it, many effects have been arisen such as: eye irritation, respiratory disfunction, cough, sore nose and throat, fatigue, skin irritation. Nevertheless in the printing company "x", the data about toluene exposure and biological monitoring indicator (hippuric acid) have not been available. As consequence, the printing company "x" studied to find the toluene exposure in the working area and determine the level of the hippuric acid in urine of workers, influencing factors and also acute health effects.
Methods:
The cross sectional study was used as an approach to look at the hippuric acid level in workers urine and its correlation with acute health effect. The total sample method was used to involve 135 people that consisted of 75 people in printing area and 60 people in ware house area. The data were collected by observation, medical record, questionnaire, interview, and physical examination. The level of toluene exposure was analyzed with NIOSH methods 1510, Issue 2. Descriptive analysis was applied to look at the printing department and the ware house department worker characteristics, the level of the hippuric acid and acute health effects. The multiple regressions was used to find the correlation between characteristic and the level of hippuric acid after shift and also to find the correlation between characteristic of workers and the increasing of the level of hippuric acid. In line with the analysis, the regression logistic analysis was used to find the correlation between the levels of hippuric acid after working with the acute health effect.
Result:
The range level of toluene in printing area 82 ppm - 1 20 ppm, with the time weighted average (TWA) was 90,05 ppm. In the ware house area the level of toluene were 52 ppm - 67 ppm, with the time weighted average (TWA) was 50,48 ppm. The mean of the exposure of toluene in printing department and ware house department are statically significant different (p=0,000). In general, there was no difference in term of worker characteristics between the printing department and ware house department, except the job time length (p=0,01) and educational level of workers (p=0,012). Level of hippuric acid were statistically significant different between the printing department and the ware house department such as: before and after shift (p=0,000), the increasing of hippuric acid (p=0,000), and acute health effect (p=0,000).
The study found that the level of hippuric acid both before and after work, the increasing of hippuric acid during work, and acute health effects were statistically significant different (p=0,000) between those who work for the printing department with those who work for the ware house department. The level of after work hippuric acid has a strong correlation with age (p=0,001), job time length (p=0,004) and smoking habit (p=0,005). The correlation between job time length with hippuric acid level was - 0,29. Meanwhile, workers who were ¡Ý 40 years old showed a 2,55 fold risk of acute health effect, (OR:2,55;CI: 0,99-6,79), who experienced < 60 month job time length had a 1,84 fold risk (OR: 1,84; CI: 0,84-3,94), and who had smoking habit had 18,7 fold risk of acute health effect (OR:18,7 ; CI: 7,62-68,10). Further more, workers whose their after work hippuric acid level 0,99 gr/L showed a 7,6 fold risk of acute health effect. The symptom of the acute health effect included: eye irritations, respiratory distress, fatigue, cough and skin irritation.
Conclusion:
The level of toluene in the work place in the printing area and the ware house area at the printing "x" were higher than threshold limit value according to Kep. Menaker/ 1977 (TLV=50 ppm), and the increasing value of hippuric acid still below in the permissible biological index of hippuric acid in urin (TLV= 1,6 gr/L). The characteristics are consisted of significantly influence the increasing of hippuric acid as age, job time length, smoking habit, and IMT. Finally, the acute health effect in workers were found significant different between group of workers who have the hippuric acid level which its cut off point is 0,99 gr/L.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Siti Azizah
"Ruang lingkup dan Cara penelitian : Jet lag adalah sekumpulan gejala-gejala yang dihubungkan dengan zona waktu dan irama sirkadian, dan berdampak lugs terhadap fisik,mental dan emosional. Masalah jet lag dan kaitannya dengan produktivitas belum terungkap secara jelas, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang insidensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan jet lag. Penelitian untuk mengetahui insidensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan jet lag dilakukan secara kohort prospektif terhadap 62 orang karyawan PT ` P' yang melakukan perjalanan ibadah haji tahun 1998. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pengisian kuisioner.
Hasil dan kesimpulan : Insidensi jet lag setelah penerbangan Timur-Barat sebesar 88,71% sedangkan insidensi jet lag setelah penerbangan Barat-Timur 93,55%. Setelah penerbangan Barat-Timur insidensi jet lag berhubungan bermakna secara statistik dengan faktor pra penerbangan (umur, jenis pekerjaan), dan pada penerbangan Timur-Barat faktor yang berhubungan sangat bermakna secara statistik adalah faktor selama penerbangan (aktivitas ringan di pesawat). Insidensi pada kelompok yang tidak berolah raga adalah sebesar 96% yang lebih besar bila dibandingkan dengan insidensi jet lag pada kelompok yang berolah raga dalam hal ini 83,78 %. Derajat jet lag pada penelitian ini hanya ditemukan derajat ringan dan sedang. Pada penerbangan Timur-Barat derajat ringan 77,42%, derajat sedang 11,29%, sedangkan setelah penerbangan Barat-Timur derajat ringan 87,10%, derajat sedang hanya 6,45%. Dengan diketahuinya faktor yang dapat mempengaruhi turunnya insidensi jet lag dapat dilakukan upaya penurunan insidensi jet lag.

Scope and method of study: Jet lag is a group of symptoms relation with time zone and circadian rhythm. Jet lag affects our physic, mental and emotional. Relationship of jet lag and productivity hasn't been conclusive yet. A Cohort prospective study was conducted in order to know the incidence of jet lag and its related factors, among 62 PT' P `employees who did the pilgrimage to Mecca in 1998. Data was collected with physical examination, environmental measurement and using questionnaire.
Result and conclusion: The jet lag incidence after East-West flight is 88,71%, and after West-East is 93,55 % incidence. After West-East flight, incidence of jet lag is related significant with pre flight factors, such as age and kind of job. After East-West flight, the factor that influence is in flight factor such as light activity. The jet lag incidence of the pilgrims who regularly do physical exercise there is 83,78% while jet lag incidence of who do not physical exercise regularly is 96%. There are only light degree and middle degree of jet lag severity in this study. After East-West flight light degree is 11,29%, middle degree is 77,42%. After West-East flight, light degree jet lag is 6,45% and middle degree jet lag is 87,10%. The result of this study concerning the jet lag incidence and its related factors can be used to control and prevent the jet lag.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Yani
"Latar belakang dan lingkup penelitian : Gangguan pendengaran akibat bising merupakan masalah utama dan menempati jumlah yang paling banyak pada penyakit akibat kerja. Data kepustakaan menunjukkan bahwa frekuensi 4 KHz merupakan frekuensi yang paling peka terhadap pengaruh kebisingan. Diperkirakan frekuensi ini dapat memberikan gambaran awal gangguan pendengaran yang berhubungan dengan kebisingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala dan tanda gangguan pendengaran akibat bising yang berhubungan dengan frekuensi 4 KHz serta analisis mengenai faktor faktor yang berhubungan.
Metode penelitian : Penelitian dilakukan dengan desain kasus kontrol pada pekerja pabrik sepatu PT "X" Tangerang Indonesia yang memiliki data audiometri. Analisis dilakukan dengan menggunakan data sekunder mengenai audiometri dan status kesehatan dan hasil pemeriksaan berkala sedangkan pengetahuan, sikap dan perilaku responden didapat dengan menggunakan kuesioner.
Hasil : Didapatkan bahwa faktor yang berhubungan dengan peningkatan ambang dengar pada frekuensi 4 KHz. adalah, umur pekerja (OR=5,67; CI95% =1,96 - 16,40; p=4,041) dan kebiasaan merokok (aR=3,57;CI95% 1,27-10,03;p,02). Didapatkan juga bahwa pekerja yang mempunyai hobi yang berhubungan dengan kebisingan justru mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai hobi yang berhubungan dengan kebisingan (OR=0,10;CI95% 0,019-0,541; p = 0,007). Gejala telinga berdenging didapatkan dengan frekuensi yang sama pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Faktor-faktor lain yang juga diteliti ternyata tidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan peningkatan ambang dengar pada frekuensi 4 KHz seperti, jenis kelamin (p=0,77), penyakit yang berhubungan dengan pendengaran (p=1,0), riwayat hipertensi (p=0,67), pemakaian alat pelindung telinga (APT) (p=0,66), Pengetahuan, sikap, perilaku (p=4l,71) dan lingkungan tempat tinggal (p = 0,39), Kebijakan perusahaan ( p = 0,83) serta hipertensi (p = 0,83).
Kesimpulan : Peningkatan ambang dengar pada frekuensi 4 KHz.akibat bising pada penelitian ini berhubungan dengan umur, hobi yang berhubungan dengan kebisingan dan kebiasaan merokok. Didapatkan faktor risiko yang lebih kecil untuk peningkatan ambang dengar frek 4 KHz, pada pekerja yang mempunyai hobi yang berhubungan dengan kebisingan disebabkan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kebisingan yang lebih baik. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk mendapatkan cara deteksi dini ketulian akibat bising.

Background and objectives: Noise induced hearing disorder is the prominent problem and the most prevalent of occupational diseases. Some studies show that 4 KHz is the most sensitive frequency to be affected by noise. It is expected that 4 KHz frequency threshold shift will be able to represent noise related hearing disorder. This study is aimed at recognizing sign and symptom of noise related hearing disorder and determining its related factors.
Methods: using case control design in workers at shoe factory ?X?, Tangerang, Indonesia who have audiogram, carried out the study. Medical record of annual medical examination were used to obtain audiometric and health status as secondary data. Meanwhile the knowledge about, attitude to, and behavior towards occupational noise of respondents were obtained by using questionnaire.
Result : Determinant factors of noise induced hearing disorder with hearing threshold more than 25 dB at 4 KHz frequency which are statistically significant are age of the workers (OR 4,894 C195% 1.84 - 12.96), and smoking habit (OR=3,57; C195% =1,27-10,03). The workers who have noise related hobby activities have a less risk to get 4 KHz frequency threshold shift (OR 0.10; Cl 95 % 0,03 - 0.85). Both the case and the control group have complained tinnitus. The percentage of subject who was complained tinnitus were no difference between the cases and the controls. The study found that another factors have no statistically significant difference including gender (p = 0.76), hearing impairment related disease (p = 1.0), hypertension history (p = 0.67), the use of personal protection equipment (p = 0,661), the knowledge about, attitude to, behavior towards occupational noise (p = 0.708), settlement environment (p = 0.39), company's policy (p =0.83), and hypertension (p = 0.83).
Conclusion: Noise induced hearing disorder related to 4 KHz frequencies has significant association with age, smoking habit and noise related hobby activities. Probably, due to better in knowledge about, attitude to, and behavior towards occupational noise of the workers who have noise related hobby activities tend to be less risk to get 4 KHz frequency threshold shy? then those who have no this hobby. The research should be continued to find the effective way in early detection of noise related hearing disorder.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutam, Between
"Latar belakang : Dari penelusuran kepustakaan diketahui belum banyak studi yang membahas mengenai nyeri punggung akibat kerja. Gangguan muskuloskeletal ini banyak dihubungkan dengan posisi kerja yang disebabkan regangan otot saraf. Banyak faktor lain berhubungan dengan nyeri punggung yang dikaitkan dengan terjadinya inflamasi sebagai mekanisme terjadinya nyeri punggung termasuk faktor pejamu, penyebab, dan lingkungan, Oleh karena itu perlu dilakukan kajian nyeri punggung dengan faktor faktor yang berhubungan tersebut.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pendekatan diagnosis nyeri punggung dan faktor yang berhubungan. Subjek penelitian dipilih secara random dari para pekerja bagian penjahitan di pabrik garmen PT X Gunung Putri Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner untuk mencari variabel-variabel yang berhubungan dengan nyeri punggung, pengukuran antropometri untuk mendapatkan ukuran tinggi siku duduk, serta anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menetapkan diagnosis nyeri punggung.
Hasil : Dari 150 subjek penelitian, didapatkan 80 orang (53,3%) dididagnosis nyeri punggung. Dari analisis didapatkan bahwa faktor-faktor determinan yang berhubungan dengan timbulnya nyeri punggung adalah tinggi siku duduk, lama kerja, dan status perkawinan. Lama kerja > 5 tahun mempunyai resiko 7,3 kali lebih besar (OR=7,32;95%CI-3,19-16,52), tinggi siku duduk 3,60 kali (OR=3,60; 95%CI=1,54-8,40), menikah 4,12 kali (OR=4,12; 95% CI= 1,50-11,27) mempunyai risiko nyeri punggung. Walaupun status gizi mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik pada uji bivariat, tetapi tidak termasuk pada faktor determinan untuk terjadinya nyeri punggung. Umur, status pendidikan, ketersediaan SOP, dan kepernahan mengikuti pelatihan, tidak mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan nyeri punggung.
Kesimpulan : Prevalensi nyeri punggung pada pekerja wanita penjahit pakaian di PT X adalah 53,3%. Terjadinya nyeri punggung ini dikaitkan dengan posisi kerja lebih menunduk yang pada penelitian ini terlibat dari risiko untuk mendapatkan nyeri punggung pada pekerja dengan tinggi siku > 69 cm adalah 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mempunyai tinggi siku duduk 69 cm. Oleh karena itu perlu penyesuaian tempat kerja dengan antropemetri pekerja, mutasi kerja bagi pekerja yang lama kerja > 5 tahun, perlu waktu relaksasi pada interval waktu kerja setiap 2 jam selama 5-10 menit.

Background: Literature search show that the study about occupational related back pain is limited. This musculoskeletal disorder commonly linked to the work position that causes static muscle strain. There are many other back pain related factors including host, agent, and environment that are referred to the inflammation as a mechanism of back pain. Therefore, it is necessary to look at back pain and such related factors at the workplace.
Methods : This study used cross-sectional design to look at back pain and its related factors. The study subjects were randomly chosen from female workers in sewing department of garment factory X, Gunung Putri, Bogor. The collections of data were done by using questionnaire to obtain back pain related variables, anthropometrics measurement to obtain the height of elbow in silting position, and anamnesis and physical examinations to determine the diagnosis of back pain.
Results : Of 150 study subjects, 80 workers (53.3%) were diagnosed back pain. The analysis found that the back pain related determinant factors are service length, the height of elbow in sitting position, and marital status. The female workers who have the length of service more than 5 years, 7.3 times more likely to get back pain than those who have the length of service up to 5 years (OR=7.32; 95%CI=3.19-16.52), For those who have the height of elbow in sitting position more than 69 cm, tend to have 3.60 times more risk to get back pain than those who have it 69 cm or less (OR=3.60; 95%C1=1.54 - 8.40). In addition, married female workers have 4.12 times more risk to get back pain than those who were unmarried (OR =4.12: 95%CI=1.50-11.27).
Conclusion : The prevalence of back pain among the female workers in the sewing department of garment factory X, Bogor is 53.3%. The mechanism of back pain is probably linked to the bent-down of workers neck during doing their work It is proved that the female workers who have the height of elbow in sitting position more than 69 cm got 3.6 more back pain risk than those who have it 69cm or less. Therefore, it is recommended to adjust the work position to the workers anthropometrics, to do mutation of work for those who have been worked more than 5 years, and to give workers time to take a rest for 5 to 10 minutes every 2-work hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febbysinta Dewi
"Cempaka Putih Timur merupakan salah satu dari sebelas daerah di Jakarta Pusat yang memiliki kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tinggi. Untuk mengontrol DBD di Cempaka Putih Timur, semua TPA dalam rumah di daerah ini diberikan Bacillus thuringiensis israelensis (Bti), sebuah larvasida biologis. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas Bti dalam menurunkan jumlah TPA dalam rumah yang mengandung larva Aedes aegypti dan menurunkan House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI) dan meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Cempaka Putih Timur. Penelitian ini menggunakan metode kuasi-eksperimental dengan aplikasi Bti sebagai intervensi. Pengumpulan data dilakukan di 106 rumah di Cempaka Putih Timur (daerah intervensi) dan 116 rumah di Cempaka Putih Barat (daerah kontrol) pada tanggal 28 Maret 2010 (kunjungan pertama) dan 25 April 2010 (kunjungan kedua) dengan menggunakan single larval method. Didapatkan bahwa HI, CI, BI menurun masing-masing 12%, 8,94%, 22 dan ABJ meningkat 12% pada kunjungan kedua di Cempaka Putih Timur. Karakteristik TPA dalam rumah di kedua daerah tidak berbeda bermakna secara statistik, kecuali dalam hal volume air. Karakteristik-karakteristik tersebut dianalisis dengan uji Chi Square dan Exact Fisher. Hasil yang lain menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi TPA dalam rumah yang positif larva Aedes aegypti di kedua daerah sebelum dan sesudah aplikasi Bti. Proporsi ini dianalisis dengan uji Mc Nemar. Dapat disimpulkan aplikasi Bti belum efektif dalam menurunkan jumlah kontainer dalam rumah yang positif larva Aedes aegypti di Cempaka Putih Timur.

Cempaka Putih Timur is one of eleven districts in Central Jakarta that have high Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) cases. In order to control DHF in Cempaka Putih Timur, all inner house containers in this district were given Bacillus thuringiensis israelensis (Bti), a biological larvacide. This study aims to determine the effectivity of Bti in decreasing the total of inner house containers which have Aedes aegypti larvae and in decreasing House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI) and in increasing Larva Free Index (LFI) in Cempaka Putih Timur. It uses quasi-experimental method with Bti application as the intervention. The data collection was conducted in 106 houses in Cempaka Putih Timur (intervention area) and 116 houses in Cempaka Putih Barat (control area) in 28th March 2010 (the first visit) and 25th April 2010 (the second visit) by using single larval method. It was found that HI, CI, BI decreased 12%, 8,94%, 22 and FLI increased 12% in the second visit in Cempaka Putih Timur. The characteristics of the inner house containers of both areas weren?t statistically significant difference, except in their water volume. The characteristics were analyzed using Chi Square and Exact Fisher test. The other result shows that there wasn?t statistically significant difference of the proportion of inner house containers which have Aedes aegypti larvae in both areas before and after Bti application. These proportions were analyzed by Mc Nemar test. It is concluded that Bti application hasn?t been effective in decreasing the total of inner house containers which have Aedes aegypti larvae in Cempaka Putih Timur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Febbysinta Dewi
"Efektivitas Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) sebagai larvasida biologis telah terbukti secara laboratoris. Namun demikian efektifitas untuk pengendalian Demam Dengue di masyarakat masih perlu diuji mengingat banyak faktor yang terkait dengan kondisi dan perilaku masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas Bti dalam menurunkan jumlah TPA dalam rumah yang mengandung larva Aedes aegypti dan menurunkan House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI) dan meningkatkan Angka Bebas Jentik (ABJ). Penelitian ini menggunakan metode kuasi-eksperimental dengan aplikasi Bti sebagai intervensi. Pengumpulan data dilakukan di 106 rumah di Cempaka Putih Timur (daerah intervensi) dan 116 rumah di Cempaka Putih Barat (daerah kontrol) pada tanggal 28 Maret 2010 (kunjungan pertama) dan 25 April 2010 (kunjungan kedua) dengan menggunakan single larval method. Didapatkan bahwa HI, CI, BI menurun masing-masing 12%, 8,94%, 22 dan ABJ meningkat 12% pada kunjungan kedua di Cempaka Putih Timur. Karakteristik TPA dalam rumah di kedua daerah tidak berbeda bermakna secara statistik, kecuali dalam hal volume air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi TPA dalam rumah yang positif larva Aedes aegypti di kedua daerah sebelum dan sesudah aplikasi Bti. Dapat disimpulkan aplikasi Bti belum efektif dalam menurunkan jumlah kontainer dalam rumah yang positif larva Aedes aegypti. Perlu perhatian terhadap kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat agar efektivitas Bti dapat tercapai.

The effectiveness of Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) as biological larvacide has been proven laboratorically. However, the effectiveness in Dengue Hemorrhagic Fever in community needs to be proven since there are so many factors that are correlated with community behavior and condition. This study aims to determine the effectiveness of Bti in decreasing the total of inner house containers which have Aedes aegypti larvae and in decreasing House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI) and in increasing Larva Free Index (LFI). It uses quasi-experimental method with Bti application as the intervention. The data collection was conducted in 106 houses in Cempaka Putih Timur (intervention area) and 116 houses in Cempaka Putih Barat (control area) in 28th March 2010 (the first visit) and 25th April 2010 (the second visit) by using single larval method. It was found that HI, CI, BI decreased 12%, 8,94%, 22 and FLI increased 12% in the second visit in Cempaka Putih Timur. The characteristics of the inner house containers of both areas weren't statistically significant difference, except in their water volume. The result shows that there wasn't statistically significant difference of the proportion of inner house containers which have Aedes aegypti larvae in both areas before and after Bti application. It is concluded that Bti application hasn't been effective in decreasing the total of inner house containers which have Aedes aegypti larvae. Environment condition and community behavior need to be observed so the effectiveness of Bti can be achieved."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Wulandari
"Pendahuluan : Sebuah penelitian randomized single blind clinical trial dilakukan untuk menguji efektivitas uji kelayakan medik masker dalam menurunkan petanda rinitis yang dipicu kromium pada pengelas baja stainless serta menilai kenyamanan pemakaian masker. Petanda rinitis pada 38 responden ditentukan dengan membandingkan nilai skor Weber dari apus neutrofil mnkosa hldung dalam 1 shift kelja. Kenyamanan pernakaian masker dinilai dengan kuesioner. Responden yang menggunakan masker biasa mengalami kenalkan nilai skor Weber yang bermakna dibandingkan dengan yang menggunakan masker layak rnedik (Jr0,047). Masker layak medik juga lebih nyaman digunakan dibanding masker biasa ( ,022) terbnkti efektif dalam menurunkan petanda rinitis pada pengelas baja stainless dan nyaman digunakan.
Metode: Penelitian ini menggunakan des.ain randomized clinical trial dan cross over dengan tersamar tunggal terbadap ni1ai apus neutrofil, antara ke1ompok pekelja yang menggunakan masker teruji layak medik dan kelompok pekelja pengguna masker tanpa uji layak medik. Pengukuran dilakukan pada 38 responden. Skor Weber dibandingkan sebelum dan sesudalt kelja dalrun Ishift. Kenyamanan dini1ai dengan kuesioner. Uji 1ayak medik masker dilaknkan dengan metode kualitatif dengan instrumen FT 30 bitter dari 3M. Kadar krominm dinkur dengan metode pada kelompok pekerja yang menggunakan masker layak medik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan maaker layak medik {!F0,047). Masker layak medik lebih nyaman digunakan dibanding maaker tidak Iayak medik {!F0,022).
Kesimpulan: Masker layak medik terbukti efektif menurunkan pe!anda rinltis pada pekerja pengelas baja stainless dan nyaman digunakan, sehlngga diharapkan dapat meningkatkan kepatuban pekeija dalam pemakaiannya.

Introduction: A randomized single blind clinical trial was carried out to elUlllline effect of a mask fit test aimed at redueing the marker of rhinitis induced by chromium in stainless steel welder and fiud the comfortable of mask used. Marker of rhinitis in 38 subjects was determined by comparing the score of Weber from neutrophil nasal swab across the sbift. Mask comfort respons was detennined by questioner. Subject wbu wear unfit mask had significant increase of Weber score than fit mask user (!r0,047). The fit mask was more comfortable than tmfit mask (p--Q,02). The mask fit test was proved to be effective in reducing marker of rbirutls among stainless steel v.-elder and comfort to be wearied.
Melhods: Tbis research was conducted on randomized clinical trial (cross over) design wilh sing[e blind at neutrophil nasal swab evaluator between workers who wore fit mask and workers who wore unfit mask. Weber score was measured on 38 respondents. Weber score comparing before and after working in a work shift. The convenience of mask usage was assessed by questionnaire. Mask fit-testing was conducted by qualitative method with FT-30 bitter instrument from 3M. Chromium level at working environment was measured hy NlOSII 7072-1994 method.
Results: The rate of chromium in the working environment was 0.003452 mgfm 3 When workers worn unfit mask, the Weber score felt down in 23% respondent')fixed in 58% respondents and were up in 19% respondents. When workers worn fit mask, the Weber score felt down in 42% respondents, fixed in 50% respondents and were up in 8% respondents. The proportion of the Weber score felt down in 42 % respondents, fixed in 50 % resondents and were up in 8 % respondents. The proportion of workers who had decline in Weber score greater in fit mask user than unfit mask user (p=0.047). The well fitting mask more comfortable than unfit mask (p=0.022).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T31651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Mochtar
"Latar Belakang: Hingga saat ini masih terdapat kontroversi tentang hubungan antara penyakit Parkinson dan pekerjaan welding. Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan informasi berdasar bukti terkait hubungan antara penyakit Parkinson dengan pekerjaan welding melalui laporan kasus berbasis bukti yang diperoleh lewat studi literatur.
Tujuan : Untuk menjawab pertanyaan terfokus : apakah penyakit Parkinson berhubungan dengan pekerjaan welding?
Metode: Studi literatur dilakukan melalui metode ‘pencarian’ dan ‘pemilihan’ artikel pada database Pubmed, Cochrane Library and JSTOR untuk menjawab pertanyaan fokus. Proses pencarian menggunakan kata kunci "Welding" atau "Welder" dan "Parkinson". Pemilihan artikel dilakukan menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.
Result: Saat penelusuran awal didapatkan 117 artikel dari ketiga database. Setelah dilakukan proses pemilahan dan pemilihan, hanya tiga artikel yang tersisa, yang terdiri atas satu artikel berbasis analisis sistematis dan dua artikel berbasis studi pengamatan.
Kesimpulan: Berdasar sumber berbasis bukti yang terpilih, penyakit Parkinson tidak berhubungan dengan pekerjaan welding. Namun pekerjaan welding dapat menimbulkan keluhan dan tanda klinis yang menyerupai penyakit Parkinson yang dikenal sebagai manganism.

Background: Up to present, there has been a controversy on the relationship between Parkinson’s disease and welding job. The aim of this study was to obtain evidence-based information regarding the relationship between Parkinson's disease and welding job through an evidence-based case report derived from a literature review.
Objective : To answer the focused question : is Parkinson’s disease related to welding job?
Method: A literature review was conducted through a method of search and selection of articles in the Pubmed, Cochrane Library and JSTOR database aimed at answering the study question. The process of searching articles utilized the keywords of "Welding" OR "Welder" AND "Parkinson". Article selection was performed using defined inclusion and exclusion criteria.
Result: At the initial search, 117 articles were retrieved from the three databases. Following the selection process, three articles remained, which consisted of one systematic review and 2 observational studies.
Conclusion: Based on the selected evidence-based resources, Parkinson's disease was not related to welding job. The welding job, however, may cause clinical symptoms and signs resembling Parkinson's disease, known as manganism.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Ongkowidjaja
"Latar belakang: Penggunaan tepung terigu semakin lama semakin meningkat, begitu juga dengan gangguan kesehatan paru akibat pajanannya. Karena belum banyaknya penelitian yang menganalisis dampak debu tepung tersebut terhadap kesehatan paru maka dilakukannya penelitian gangguan fungsi paru restriksi (GFPR) akibat pajanan debu tepung terigu.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan di suatu pabrik tepung di Jakarta tahun 2006. Responden berasal dari pekerja yang terpajan tinggi dan rendah terhadap debu tepung. Data yang dikumpulkan antara lain karakteristik demografi, kadar debu personal dan spirometri (diukur oleh Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja). Analisis menggunakan pendekatan risiko relatif (RR) dengan waktu konstan (constant time).
Hasil: Dan total responden 118 orang, didapatkan yang terpajan tinggi 81 orang dan 37 yang terpajan rendah. Ditemukan kadar debu perorangan sebesar 5,66 mg/m', GFPR terjadi pads 43,2% responden. Kadar debu tinggi dan umur di atas 35 tahun paling berpengaruh terhadap GFPR. Jika dibandingkan dengan pajanan rendah, responden yang bekerja di tempat pajanan tinggi memiliki kemungkinan GFPR 2,4 kali lipat [risiko relatif suaian (RRa) 2,40; 95% interval kepereayaan (CI) 1,13 - 5,13; p = 0,022]. Jika bandingkan dengan usia di bawah 35 tahun, maka responden yang di atas 35 tahun mempunyai risiko GFPR lebih besar 1,7 kali lipat (RRa 1,67; 95% CI 0,87 - 3,22; p=0,122).
Kesimpulan: Responden yang bekerja dipajanan tinggi dan berusia di atas 35 tahun , perlu mendapat perhatian khusus terutama fungsi paru.

Background: Usage of wheat flour longer progressively mount along with the increasing of food variant using wheat flour materials. The mentioned is also experienced of by PT X as wheat flour producer, every year its production increasing, but affect from the production are incidence of flour dirt exposure to worker resulting its health trouble specifically for bronchi.
Method: Research conducted to 118 employees designed by cross sectional study to two group which are high exposure (81 employees) and lower exposure (37 employees) to flour dust base on result of measurement of personal dust sampler. Using risk analysis relative by wearing Cox regressi. Study conducted with interview to and responder measurement of lung function by spirometri.
Result: The concentration flour dust of packing exceed TLVs. Restrictive lung disorder happened at 43,2% responder. Responder in place high exposure have possibility of restrictive lung disorder 2,40 times bigger than low exposure (RR 2,40; CI 1,13 - 5,13; p= 0,022). Compared to age under 35 year, responder age above 35 year have bigger restrictive lung disorder risk (RR 1,67; CI 0,87 - 3,22; p=0,122)
Conclusion: employees are high exposure and have age above 35 year , require to get special attention especially lung function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Arifiani
"Ruang lingkup dan metodologi
Getaran pada kendaraan bajaj dirasakan cukup tinggi dan Para pengemudi bekerja dalam waktu yang cukup lama setiap harinya. Untuk itu, perlu dilihat prevalensi sindrom getaran tangan dan lengan akibat kerja (SGTLAK) pada pengemudi bajaj serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini bersifat retrospektif dengan responden yang dipilih secara acak dari penelitian survey di mana perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : Peserta yang dijaring dari survey adalah 336 orang dan yang dimasukkan dalam uji kasus kontrol lebih lanjut berjumlah 240 orang. Setiap responden dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengukuran tingkat akselerasi pada tangan dan kemudi bajaj diukur dengan akselerometer. Pemeriksaan dilakukan di Klinik Dokter Keluarga FKUI Kayu Putih. Waktu pemeriksaan berlangsung sejak 23 Nopember hingga 16 Desember 2005. Regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan berbagai faktor risiko yang merpengaruhi terjadinya SGTLAK pada pengemudi bajaj.
Hasil dan kesimpulan
Dari survey didapatkan bahwa 80 orang (23,6 %) mengalami SGTLAK antara stadium 1 hingga 3 berdasarkan kriteria Stockholm. Tingkat akselerasi getaran rata-rata pada kemudi bajaj adalah 1,47 + 0,63 m/s2. Berdasarkan hasil analisis, tingkat akselerasi getaran pada kemudi bajaj tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan terjadinya SGTLAK pada pengemudi bajaj. Berdasarkan hasil analisis multivariat, tingkat akselerasi pada leher yang lebih dari 0,125 m/s2 mempunyai risiko 5,571 kali lebih besar dibandingkan pengemudi bajaj dengan tingkat akselerasi gear pada leher kurang dari 0,125 m/s2 (95 % CI 1,539 - 17,203 and p = 0,008). Dosis pajanan lebih dari 21.681 jam m/s2 memiliki risiko 2,028 kali lebih besar (95% CI 1,112 - 3,376 dan p=4,020). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan getaran pada leher terhadap gangguan tangan dan lengan cukup signifikan sehingga pencegahan SGTLAK pada pengemudi bajaj harus memperhatikan pengendalian getaran seluruh tubuh yang diduga berkaitan besar dengan akselerasi getaran pada leher.

Scope and methodology
Bajaj is three wheels public transport vehicle that its users are exposed to vibration generated by its. Since daily work time of the Bajaj drivers are longer than reguler daily work time and the vibration exposure would be also high, the bajaj drivers probably have more risk to have HAVS. However there were no data about I-IAVS as the adverse health effect of vibration among them. Therefore it is important to study the prevalence and its risk factors. This study was population based and retrospective. The respondences were selected randomly from 336 participants and only 240 participants were included to case control analysed further to study about the risk factors. Every respondence was done history taking, physical examination, and examining the acceleration level of vibration on the hand, arm, and wheel steering using vibration accelerometer. All activities was done in Family Medicine Clinic Kayu Putih, Jakarta and held from November 23th until December 16`h 2005. Logistic regression was used to examine the association among all risk factors and HAYS.
Result and Conclusion
We found that 80 workers (23,6 %) have HAVS from any Stockholm's Classification within stage l to 3. The acceleration level of vibration on bajaj was 1,47 + 0,63 mis2 and there is no statistically significant association to HAVS. After conducting multivariate analysis, the acceleration level of vibration on the neck more than 0,125 mIs2, was 5,5 times more likely to have HAVS than the acceleration level of vibration on the neck less than 0,125 mis2 (95 % CI 1,539 - 17,203 and p = 0,008) . The accumulative exposure more than 2I.681 hours mis2, was 2 times more likely to have HAVS than the accumulative exposure less than 21.681 hours mis2 (95 % CI 1,112- 3,376 and p=0,020). It is concluded that the acceleration of vibration on the neck has significant contribution to the incidence of HAVS and its contribution is more dominant than local vibration effect. It is probably true that the whole body vibration contribute significantly to the acceleration of vibration on the neck and should be taken into account in designing the preventive program. Therefore we need to find the way how to reduce the whole body vibration in bajaj.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T17703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>