Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Mafili Pramudita
"Terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tahun 2021 kembali merevisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), salah satunya adalah mengenai perlakuan PPh atas biaya imbalan natura dan/atau kenikmatan. Penelitian ini membahas mengenai adanya perbedaan klausul dalam UU PPh hasil revisi UU HPP dengan peraturan turunannya mengenai pengaturan perlakuan PPh atas biaya natura dan/atau kenikmatan, dengan tujuan menganalisis keselarasan kebijakan pengaturan PPh atas biaya imbalan dan/atau kenikmatan dalam UU PPh hasil revisi UU HPP dengan peraturan turunannya ditinjau melalui asas preferensi berupa
lex superior derogat legi inferiori. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa asas preferensi lex superior derogat legi inferiori belum dapat diimplementasikan secara pasti, karena masih terdapatnya perbedaan interpretasi baik dari otoritas pajak, maupun dari akademisi dan praktisi, dengan akademisi dan salah satu praktisi yang berpendapat bahwa peraturan tersebut bersifat tidak selaras, namun DJP dan salah satu praktisi berpendapat bahwa peraturan tersebut sudah bersifat selaras. Oleh karena itu, disarankan agar otoritas pajak memberikan sosialisasi secara lebih konkret mengenai perlakuan PPh atas biaya natura dan/atau kenikmatan, dengan memberikan contoh kasus dalam sosialisasinya, sedangkan untuk wajib pajak disarankan agar dapat menyertakan dokumentasi dan pembuktian yang menyatakan bahwa biaya natura dan atau kenikmatan memang berhubungan dengan komponen 3M, sehingga potensi sengketa dapat diminimalisir.
The enactment of the Harmonization of Tax Regulations Act in 2021 revised the Income Tax Law, including the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure. This study discusses the differences in clauses between the revised Income Tax Law on the Harmonization of Tax Regulation and its derivative regulations regarding the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure, aiming to analyze the alignment of income tax policy on both of the regulations from the preference principle of lex superior derogat legi inferiori. The research used a qualitative method, with data collection techniques including literature studies and in-depth interviews. The result of this study reveal that the preference principle of lex superior derogat legi inferiori cannot yet be definitively implemented, as there are still differences in interpretation persist between tax authorities, academics, and practitioners. The tax academics and one of the practitioners stated that the regulations did not align, while the tax authorities and one of the other practitioners stated that the regulations did align. Therefore, it is recommended for tax authorities to provide more concrete socialization regarding the treatment of income tax on the expenses of fringe benefits and/or benefits in a form of pleasure, including giving some case as some examples, while the taxpayers are recommended to include the documentation and proof stating that the cost are indeed related to the 3M components, so that the potential disputes can be minimized. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jita Shofiyani
"Sebagai negara yang terlibat dalam pembentukkan BEPS Action Plan 14, atas implementasi MAP di Indonesia dinilai sesuai standar dalam BEPS Action Plan 14. Agar semakin baik, Pemerintah juga mengatur MAP dalam Pasal 27C UU HPP. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan BEPS Action Plan 14 pada kebijakan MAP di Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan atau tidak mengajukan MAP di Indonesia, dan menganalisis dasar pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi MAP di Indonesia menunjukkan hasil yang baik karena telah mengadopsi sebanyak 18 rekomendasi BEPS Action Plan 14. Adapun, faktor-faktor yang melatarbelakangi Wajib Pajak untuk mengajukan MAP diantaranya kesempatan menghilangkan double tax, pembaharuan MAP, dapat mengajukan MAP bersamaan dengan domestic remedies, dan lainnya. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi untuk tidak mengajukan MAP antara lain hasil keputusan berupa agree to disagree, jangka waktu penyelesaian keberatan dan banding bisa lebih cepat dibandingkan MAP, mutasi pegawai DJP, transparansi DJP dalam proses perundingan, dan lainnya. Selanjutnya, pertimbangan dicantumkannya klausul MAP dalam UU HPP disebabkan terdapat tiga isu yaitu isu administratif, kedudukan MAP dalam hukum pajak di Indonesia, dan permasalahan apabila MAP diajukan bersamaan dengan upaya hukum domestik.
As a country involved in the formation of BEPS Action Plan 14, implementing MAP in Indonesia is assessed based on the BEPS 14 Action Plan standards. To improve the implementation of MAP, the Government also ratified Article 27C of the HPP Law. This research aims to analyze the implementation of BEPS Action Plan 14 on MAP policy in Indonesia, the factors behind taxpayers applying or not applying for MAP in Indonesia, and the reason the MAP clause regulates in the HPP Law. This research uses a qualitative approach with qualitative data collection techniques. The results show that the implementation of MAP in Indonesia has shown good results because it has adopted as many as 18 BEPS Action Plan 14 recommendations. Meanwhile, the factors behind taxpayers submitting a MAP are the opportunity to eliminate double taxation, renewal of MAP, MAP can be submitted together with judicial remedies, etc. Meanwhile, the factors behind not submitting the MAP are the results of the decision agreeing to disagree, the time for resolving objections and appeals can be faster than MAP, employee mutations in the DGT, DGT transparency in the negotiation process, etc. In addition, the basis for considering the inclusion of the MAP clause in the HPP Law is due to three issues: administrative issues, the position of MAP in tax law in Indonesia, and problems if the MAP is filed together with domestic legal remedies."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Parulian, Mikael Adisatria Blason
"Pangsa pasar video gim di Indonesia sudah sangat besar mencapai Rp 16 T di Indonesia, namun hanya 0,4% merupakan produk lokal. Kominfo dan AGI pada tahun 2020, membentuk survei berkaitan ekosistem industri video gim di Indonesia dan ditemukan masalah dalam perusahaan produsen video gim, salah satunya adalah anggaran. Kemenparekraf juga khawatir atas jumlah produk luar negeri yang memenuhi pasar video gim di Indonesia dan memiliki potensi bahaya bagi budaya Indonesia.Tujuan Peneliti ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan kebijakan insentif pajak bagi perusahaan produsen dan penerbit video gim diterapkan di Indonesia berguna mengatasi permasalahan yang ada. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif analisis kualitatif. Analisis akan dilakukan dengan wawancara dan studi pustaka, menggunakan teori manfaat dan biaya sebagai dasar penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa kebijakan insentif pajak bagi perusahaan produsen dan penerbit video gim di Indonesia dapat mengatasi permasalahan anggaran produsen dan meningkatkan persebaran budaya Indonesia melalui video gim. Oleh sebab itu, kebijakan insentif pajak bagi perusahaan produsen dan penerbit video gim layak diterapkan di Indonesia, dengan salah satu potensi pajak penghasilan yang diberi kebijakan insentif pajak karena sering ditemukannya dalam perusahaan produsen dan penerbit video gim adalah Pajak Penghasilan 23 atas Royalti.
The video game market share in Indonesia is immense and has reach 16 trillion Indonesia Rupiah, but only 0.4% is a local product. Kominfo and AGI in 2020, conducted a survey regarding the ecosystem of the video game industry in Indonesia and found problems in video game production companies, one of which is the budget. The Ministry of Tourism and Creative Economy is also worried about the number of foreign products that fill the video game market in Indonesia and have the potential to harm Indonesian culture. The aim of this research is to analyze the feasibility of applying tax incentive policies to video game production and publisher companies in Indonesia to overcome existing problems. The analytical method used in this research is descriptive qualitative analysis method. The analysis will be carried out by means of interviews and literature study, using the theory of benefits and costs as the basis of the research. The results of the study show that tax incentive policies for video game production and publisher companies in Indonesia can overcome producer budget problems and increase the spread of Indonesian culture through video games. Therefore, a tax incentive policy for video game production and publisher companies is feasible in Indonesia, with one potential income tax that may given a tax incentive policy because it is often found in video game production and publisher companies is Income Tax 23 on Royalties"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hendra Setiawan
"Sengketa pajak dapat terjadi karena adanya perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dan DJP. Perbedaan interpretasi tersebut terjadi baik terhadap peraturan perpajakan maupun kontrak transaksi. Penelitian studi kasus bermanfaat untuk mengatasi masalah pada situasi yang berbeda secara teknis dalam konteks kehidupan nyata secara kontemporer. Penelitian ini menggunakan studi kasus PT XYZ yang bertujuan untuk menganalisis konsep imbalan jasa teknik dan royalti, penerapannya menurut Wajib Pajak, DJP, dan Majelis Hakim, dan konsep imbalan jasa teknik dan royalti berdasarkan substance over form dan asas clarity. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Dalam peraturan perpajakan, terdapat irisan antara konsep imbalan jasa teknik dan royalti yang dapat menyebabkan sengketa pajak. Dalam menerapkan konsep imbalan jasa teknik dan royalti, Wajib Pajak menggunakan konsep active income dan passive income dan P3B Indonesia-Jepang, DJP menggunakan interpretasi perjanjian dan rujukan paragraph 11.6 OECD Commentary on Article 12, dan Majelis Hakim menggunakan konsep active income dan passive income dan P3B Indonesia-Jepang, serta keyakinan Hakim yang bersifat independen. Konsep imbalan jasa teknik dan royalti berdasarkan substance over form dan asas clarity, untuk meminimalisasi terjadinya sengketa pajak terkait dengan perbedaan interpretasi, maka seharusnya imbalan jasa teknik dan royalti didefinisikan di dalam peraturan perpajakan dengan membedakan secara jelas mengenai ruang lingkup aktivitas (scope of activities) terkait pemberian informasi dan bantuan tambahannya, kriteria yang memperhatikan adanya konsep active income dan passive income, dan adanya penegasan mengenai bentuk-bentuk jasa yang dapat dikategorikan sebagai bantuan tambahan atas pemberian know how.
Tax disputes can occur due to differences in interpretation between the Taxpayer and the Tax Authorities. The difference in interpretation occurs in both tax regulations and transaction contracts. Case study research is useful for addressing problems in technically different situations in contemporary real-life contexts. This research uses a case study PT XYZ which aims to analyze the concept of technical service fees and royalties, its application according to taxpayers, Tax Authorities, and the Judges, and the concept of technical service fees and royalties based on substance over form and the principle of clarity. This research uses a qualitative approach with literature study and in-depth interviews as data collection techniques. In tax regulations, there is a wedge between the concept of technical service fees and royalties that can lead to tax disputes. In applying the concept of technical service fees and royalties, Taxpayer uses the concepts of active income and passive income and Indonesia-Japan Tax Treaty, Tax Authorities use the interpretation of agreements and references to paragraph 11.6 OECD Commentary on Article 12, and Judges use the concepts of active income and passive income and Indonesia-Japan Tax Treaty. The concept of technical service fees and royalties based on substance over form and the principle of clarity, to minimize the tax disputes related to differences in interpretation, then technical service fees and royalties should be defined in tax regulations by clearly distinguishing the scope of activities related to the provision of information and ancillary services, criteria based on the concept of active income and passive income, and the affirmation of forms of services that can be categorized as ancillary services for the provision of know how"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library