Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afrizal
"Paska amandemen konstitusi Indonesia, DPR periode 1999-2004 memiliki otoritas yang besar dalam proses penyusunan UU. Namun, UU yang dihasilkan DPR masih saja memunculkan kontroversi, ketidakpuasan, menuai protes dan berbagai bentuk resistensi lainnya dari masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam kasus UU Yayasan dan UU Penyiaran. UU Yayasan memunculkan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang selama ini aktif dalam pengelolaan berbagai macam kegiatan dengan menggunakan instrumen organisasi berbentuk yayasan, seperti LSM, yayasan-yayasan pendidikan, dan sebagainya. Selain itu UU yang baru saja disahkan tersebut saat ini sedang dalam proses revisi. UU Penyiaran juga menuai ketidakpuasan, terutama dari para pengelola televisi swasta. Saat ini mereka sedang melakukan judicial review atas UU tersebut.
Ketika penyusunan sebuah UU, partisipasi publik merupakan aspek penting dalam proses penyusunan UU. Pembahasan tentang partisipasi publik berkaitan erat dengan relasi masyarakat dengan negara (sate-society relation) dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara untuk mengatur warganya. Ada dua cara pandang untuk menjelaskan tentang partisipasi publik. Pertama, karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada negara, mnka pembentukan kebijakan publik sepenuhnya diserahkan kepada negara. Peran atau partisipasi masyarakat hanya dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan menduduki berbagai jabatan di lembaga negara, misalnya melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun telah memberikan mandatnya kepada negara, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara. Peran masyarakat, secara urnum, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, negara menjamin tersedianya ruang-ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, negara bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks penyusunan UU di DPR, ada dua hal yang akan menentukan hasil akhir dari RUU yang sedang dibahas, yaitu artikulasi berbagai kepentingan oleh DPR dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU tersebut. DPR diberikan ruang-ruang untuk mengartikulasikan berbagai kepentingani itu. Bentuknya berupa hak yang diberikan kepada anggota DPR dalam berbagai rapat pembahasan RUU, seperti hak ikut serta, hak berbicara, dan hak dalam pengambilan keputusan. Di luar itu, DPR juga dapat membentuk berbagai ruang artikulasi informal, seperti lobi, yang keberadaannya tergantung pada kreatifitas mereka untuk membentuknya.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan UU melalui berbagai ruang partisipasi yang tersedia. Dalam proses formal penyusunan UU, ruang partisipasi yang tersedia adalah Rapat Dengar Pendapat Umum dan sosialisasi RUU. Sementara itu, masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk berbagai ruang partisipasi informal, tergantung pada kemampuan mereka untuk melakukannya.
Mengacu pada pembahasan RUU Yayasan dan RUU Penyiaran, DPR belum optimal menggunakan ruang-ruang artikulasi yang tersedia. Rendahnya tingkat kehadiran dan keaktifan dalam Rapat Paripurna, Rapat Pansus, dan Raker, adalah indikator tidak digunakannya secara optimal ruang-ruang artikulasi yang tersedia. DPR juga tidak memiliki kreatifitas untuk membentuk ruang-ruang artikulasi informal. Dalam tataran informal ini, hanya lobi yang dijadikan sebagai ruang artikulasi andalan. Penggunaan ruang-ruang artikulasi yang tidak optimal ini tidak terlepas dari berbagai persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi DPR, seperti jumlah anggota Pansus yang terlalu banyak dan bidang kerjanya yang terlalu luas, ketiadaan sanksi bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam berbagai rapat pembahasan RUU, dukungan staf DPR yang tidak memadai, dominasi fraksi dalam setiap rapat pembahasan RUU, dan sebagainya.
Kecuali dalam kasus RUU Penyiaran, masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan ruang-ruang partisipasi yang tersedia. Masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk memanfaatkan ruang partispasi yang ada. Dan tidak kreatif untuk menciptakan berbagai bentuk ruang partisipasi informal. Pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme penyusunan UU di DPR dan dinamika yang mengiringinya, penguasaan yang lemah terhadap substansi RUU dan bentuk-bentuk lobi, sedikitnya dana yang tersedia, selain juga ruang partisipasi di DPR yang sempit, adalah beberapa hal yang sering menghambat masyarakat untuk menggunakan ruang-ruang partisipasi secara optimal.
Sinergi dalam penggunaan ruang-ruang di atas antara DPR dan masyarakat juga tidak terjadi, kecuali dalam kasus RUU Penyiaran. Kesediaan untuk bermitra di antara mereka adalah hambatan paling besar dalam membangun sinergi ini.
Kondisi di atas tentu saja berdampak pada UU yang dihasilkan DPR. Penggunaan ruang artikulasi yang rendah menyebabkan pembahasan UU menjadi tidak matang, terbukti dengan direvisinya UU Yayasan, sekalipun UU tersebut tetap sah secara formal prosedural. Sedangkan tidak optimalnya penggunaan ruang partisipasi berakibat pada lemahnya legitimasi UU yang dihasilkan DPR yang seringkali berujung pada ketidakpuasan atau penolakan masyarakat terhadap UU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridza Maya Meutia Aziz
"Subsektor industri mebel kayu berkembang menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Jepara pascakrisis ekonomi 1997. Keberlanjutan sistem industri terancam oleh masalah pasokan bahan kayu jati yang semakin terbatas. Sejumlah upaya individual atau kolektif telah dilakukan untuk rnengatasi masalah ini. Dua upaya kolektif lintas sektor diteliti karena melibatkan aktor-aktor asosiasi kepentingan lokal (Asmindo Komda Jepara) yang berinteraksi dengan sejumlah aktor publik dan privat lainnya. Walau kesepakatan kerjasama antaraktor strategik berhasil dicapai dalam kedua upaya kolektif, pelaksanaan kerjasama sendiri terhambat sehingga dinilai tidak perlu dilanjutkan. Kedua upaya kolektif lintas sektor itu memperlihatkan pemanfaatan modal sosial oleh organisasi lokal dalam mengembangkan governance (tatakelola) untuk subsektor ekonomi daerah yang memfasilitasi upaya-upaya tertentu dari organisasi bersangkutan. Tujuan penelitian, dengan itu, adalah memahami sejauh apa modal sosial dapat dimanfaatkan oleh Asmindo Komda Jepara dalam (upaya-upaya kolektif lintas sektor untuk) memenuhi kebutuhan bahan kayu industri setempat pascakrisis ekonomi 1997. Penelitian bertolak dari model tatakelola Kooiman (2000:142-161) dan model teorisasi modal sosial Lin (2001:2-23) karena sama-sama menekankan kajian pada proses interaksi antaraktor yang memungkinkan suatu jaringan sosial terbangun dan melembaga.
Penelitian kualitatif ini bersifat eksplanatif melalui studi kasus, yaitu kasus WKJ (Warung Kayu Jepara) dan kasus perjalanan dinas ke KTI (Kawasan Timur Indonesia). Ada 18 narasumber (di Jakarta, Jepara, Raha, dan Semarang) yang diwawancarai (Oktober 2005-Maret 2006) secara langsung atau melalui telepon. Studi kepustakaan dan dokumentasi dilakukan sejak akhir 2004.
Pengamatan langsung ke Jepara dilakukan selama dua minggu pertama Januari 2006. lndustri mebel Jepara memperlihatkan sistem yang terbuka sehingga berbagai sumberdaya baru mudah mengalir lebih ke dalam sistem itu. Namun, aliran sejumlah sumberdaya tertentu lain (misalnya, jati Jawa) tidak mungkin sama cepat dan banyaknya karena dibalasi oleh sifat-sifatnya sendiri. Kasus Jepara menunjukkan bahwa kelangkaan suatu sumberdaya alam dapat mendorong masyarakat untuk mengubah bentuk tatakelola sumberdaya alam maupun perilaku mereka. Kedua kasus juga memperkuat pendapat Ali (2003:3) bahwa, dalam konflik yang faktor penyebabnya tidak tunggal, faktor lingkungan justru dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan kerjasama.
Berdasarkan penggolongan Kooiman (2000:154-161), kedua kasus merupakan proses talakelola derajat pertama, yaitu interaksi sosial politik yang bertujuan menyelesaikan masalah (dalam kasus WKJ) arau menciptakan kesempatan baru (dalam kasus perjalanan dinas ke KTI). Namun, secara umum, Jepara mulai mengarah pada tatakelola derajat kedua (pengembangan kelembagaan) dengan mode co-governing. Interaksi dalam kedua kasus berbentuk koordinasi di tingkat meso karena bersifat lintas organisasi (di tingkat aksi) dan terbatas untuk industri mebel kayu seternpat (di tingkat struktur). Para aktor asosiasi yang berposisi strategik telah memanfaatkan ikatan sosial yang lemah, yaitu hubungan mereka dengan aktor-aktor dari berbagai lembaga, sebagai (akses pada) jembatan dalam membangun jejaring untuk menangani masalah keterbatasan bahan kayu industri. Dalam kedua kasus, proses interaksi membangun jejaring ke luar asosiasi melibatkan interaksi antar-anggota asosiasi sendiri di dalam organisasi. Jaringan ?eksternal" asosiasi rnaupun jaringan ?internal? asosiasi tersebut Sama-sama terbangun sebagai hasil aksi-aksi instrumental.
Kedua kasus memperlihatkan bahwa posisi aktor asosiasi yang kurang kuat dalam jaringan ?eksternal? asosiasi telah diperkuat dengan memanfaatkan (akses pada) jembatan, tetapi cara ini tetap tidak dapat meningkalkan imbalan ekonomik (bahan kayu industri) dari aksi mereka. Posisi aktor yang lebih strategik dalam asosiasi juga tidak memudahkan aktor untuk mengakses dan memobilisir sumberdaya yang tenambat pada jaringan ?internal? asosiasi sendiri dan, selanjutnya, memberikan imbalan bahan kayu industri yang lebih besar.
Sesuai pendapal Lin (2001:19) bahwa pemanfaatan jembatan dipandang lebih penting daripada pemanfaatan posisi dalam aksi instrumental, para aktor asosiasi masih kurang memanfaatkan (akses pada) jembatan dalam kedua kasus, terutama di dalam jaringan ?internal? asosiasi sendiri, sehingga imbalan ekonomik (bahan kayu industri) dari aksi kurang sesuai dengan ekspetasi awal. Dalam kedua kasus, aktor-aktor asosiasi ternyata telah memanfaatkan (akses pada) jembatan untuk jaringan ?eksternal? asosiasi dengan lebih memanfaatkan posisi mereka di dalam (dan di luar) asosiasi sendiri, tanpa dukungan sumberdaya yang relatif memadai dari para anggota asosiasi lainnya. Penjembatanan (aliran informasi dan pengaruh) antaranggota asosiasi sendiri masih kurang efektif. Yang rnenghambat mobilisisasi sumberdaya dari para anggota asosiasi lain adalah kepercayaan antaranggota sendiri yang rendah. Anggota cenderung melihat sesama pengrajin lebih sebagai pesaing dan cenderung saling menahan informasi dan tidak mau menanggnng risiko bersama. Pengurus asosiasi juga menerima warisan stigma dari kepengurusan Iama, apalagi sebagian pengurus merupakan kelompok pertemanan dengan ikatan lebih kuat. Eksklusi juga dicerminkan oleh kenyataan bahwa, kepengurusan bergabung dalam asosiasi untuk tujuan strategik, sedangkan sebagian anggota bergabung belakangan untuk tujuan taktis.
Hal-hal di luar lingkup asosiasi ikut membuat pemanfaatan modal sosial oleh aktor-aktor asosiasi kurang efektif dalam kedua kasus. Dalam kasus WKJ, khususnya lingkup regional, aktor asosiasi mewakili kelompok yang berposisi Iemah akibat sumberdaya material dan keahlian membangun hubungan formal legal yang masih terbatas. Para aktor asosiasi harus mengakses jembatan untuk memperkuat posisi mereka tersebut, tetapi lemahnya umpan balik (tekanan sanksi) atas pelanggaran kerjasama ikut mencerminkan masih lemahnya political will dari contact persons untuk mendukung para aktor asosiasi. Dalam kasus peljalanan dinas ke KTI, selain karena mutu jati Muna berbeda dibandingkan mutu jati Jawa, pengadaan pasokan kayu jati alternatif ini dianggap telah menjadi tidak efisien karena pengaruh jaringan pembalakan liar yang jauh lebih kuat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ely Yani
"ABSTRAK
Studi ini berfokus pada upaya transformasi pelayanan publik melalui adopsi teknologi. salah satu bentuknya adalah laporan pertanggung jawaban RT di Jakarta melalui aplikasi Qlue. Implementasi Qlue merupakan kaitan antara teknologi, institusi dan agensi. Penulis mencoba mengkaji mengenai bagaimana proses relasi antara teknologi, institusi, dan agensi dalam mendorong transformasi pelayanan publik di Jakarta melalui pengadopsian teknologi Qlue pada laporan pertanggung jawaban RT. Argumen utama dalam artikel ini adalah proses relasi antara teknologi, institusi dan agensi merupakan faktor yang sangat berperan dalam transformasi pelayanan publik. Artikel ini mencoba mengisi pandangan dari artikel sebelumnya yang hanya memperlihatkan peranan perubahan teknologi dalam transformasi pelayanan publik. Melalui metode wawancara mendalam dan observasi di salah satu wilayah penanganan Qlue terbaik yaitu kelurahan galur. <
ABSTRACT
This study focuses on the effort of public services through technology adoption. One of forms is the responsibility report Rukun Tetangga in Jakarta through the Qlue application The implementation of Qlue is how it links between technology, institution, and agency. The author tries to review the process of relation among these three aspects occur to promote the transformation of public services in Jakarta through adoption of Qlue technology for accountability report in RT. The main argument on this article is that the process of relation technology, institution, and agency as they become the main factors in transformation of public services. This article attempts to give different perspective as the other articles with same themes only show the role of the advanced technology in public services. Via the depth interview and observation method in the place that become the sample is in one of the regions which using Qlue in its best way is Kelurahan Galur, Central Jakarta. "
2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rizfan Ma Arij Aldair Fajri Jusran
"ABSTRAK
Adanya kebijakan Desentralisasi yang diterapkan setelah runtuhnya era Orde Baru menyebabkan terjadinya beberapa perubahan mendasar. Salah satunya adalah perubahan dalam sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi lebih demokratis. Dalam konteks tersebut, muncul juga asumsi bahwa desentralisasi juga berpengaruh pada berubahnya relasi patronase yang dimiliki oleh Organisasi Masyarakat Sipil seperti ormas, khususnya Pemuda Pancasila. Mengenai relasi patronase tersebut, studi-studi sebelumnya menjelaskan bahwa, bertentangan dengan salah satu fungsi idealnya yaitu sebagai pengawas pemerintah, beberapa Organisasi Masyarakat Sipil pada kenyataannya memiliki hubungan patronase dan sarat akan intervensi pemerintah. Ormas Pemuda Pancasila, sebagai salah satu bentuk dari Organisasi Masyarakat Sipil pada era Orde Baru juga termasuk di dalam kategori tersebut, karena adanya hubungan patronase yang erat dengan pemerintah. Namun, studi-studi tersebut belum bisa menjelaskan mengenai dampak yang terjadi apabila terjadi perubahan di dalam relasi patronase tersebut. Sehingga, artikel ini mencoba melengkapi kekurangan dari studi-studi tersebut dengan memberikan penjelasan mengenai bagaimana perubahan dalam relasi patronase yang dimiliki oleh Pemuda Pancasila, yang terjadi karena adanya kebijakan Desentralisasi pasca Orde Baru mempengaruhi perubahan bentuk organisasi dari Pemuda Pancasila itu sendiri. Perubahan tersebut di analisa dengan menggunakan model Beckert mengenai interelasi antara institusi, kerangka kognitif dan jaringan di dalam field. Artikel ini menggunakan metode kualitatif.

ABSTRACT
Decentralisation policy which implemented after the fall of the New Order is creating some fundamental change, for example, in governmental system, it changed the centralised governmental system before into more democratic system. In that context, there is an assumption that decentralisation also affected the change of patronage relation that Civil Society Organisatzation CSO like ormas or Youth Organisation, especially Pemuda Pancasila or Pancasila Youth have. On that patronage relation, the previous studies explained that, contradicting with one of its function as the government watchdog, some CSO in realitiy have a patronage relation and related to government intervention. Pancasila Youth, as part of CSO rsquo;s form in the New Order is also included in that category, because of its tight relation with the government. However, those studies can rsquo;t yet explaining the effect that happened when there is a change in that patronage relation. Therefore, this article is trying to completing the lack of the previous on giving the explanation about the change in patronage relation that Pancasila Youth have, that happened because of decentralisation policy after the fall of the New Order affected the change of organisation model in Pancasila Youth itself. Those change is anaised useng Beckert rsquo;s model on interelation between institution, cognitive frame and network in the field.This article used qualitative approach."
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mujiatul Aviat
"ABSTRAK
Artikel ini membahas Dynamic Capabilities LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yang dilihat dari sumber daya dan modal sosial yang akan menopang Dynamic Capabilities dalam melakukan penyesuaian untuk menanggapi tantangan lingkungan sehingga LSM bisa berkelanjutan. Studi-studi sebelumnya menjelaskan bahwa LSM menemui berbagai masalah dalam implementasi program salah satunya adalah dilema akuntabilitas kepada dua pihak, yaitu lembaga donor dan pihak penerima manfaat. LSM sulit untuk bertahan dan mengalami krisis kepercayaan. Studi ini berfokus pada karakteristik pengorganisasian program LSM GEBU (Gerakan Ekonomi dan Budaya) Minang, Jakarta. Penulis beragumentasi bahwa pengorganisasian program dalam mengembangkan Dynamic Capabilities terutama dalam pengelolaan pemangku kepentingan, pengambilan keputusan, modal sosial dan sumber daya merupakan aspek penting, karena sebuah LSM harus mampu mengintegrasikan internal, dan kompetensi eksternal untuk mengatasi perubahan lingkungan. Studi ini berfokus pada karakteristik pengorganisasian program LSM GEBU (Gerakan Ekonomi dan Budaya) Minang Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumen.

ABSTRACT
This article discusses Dynamic Capabilities of LSM (Non-governmental Organization), which seen from the resource and social capital who will support Dynamic Capabilities in doing adjustment to respond the environmental challenges for the NGOs sustainability. The previous studies explain how NGOs face various implementation problems, one of them is accountability dilemma for two parties, which are donor agency party and advantage receiver party. It is hard for NGO to sustain and they are having trust crisis. This study will focus on the characteristics of NGOs program organization in GEBU (Gerakan Ekonomi dan Budaya / Economy and Culture Movement) Minang, Jakarta. Writers argumentation is program organization in developing Dynamic Capabilities especially in stakeholder management, decision making, social capital, dan resource are important aspects, because NGO must be able to integrate internal and external competencies in order to resolve environmental change. This study is focusing on NGOs program organization characteristics of GEBU (Gerakan Ekonomi dan Budaya) Minang, Jakarta. This study is using qualitative approach with interview, obseevation, and document study as data collecting method."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Henri Puteranto
"ABSTRAK
Problematika pengelolaan program HIV/AIDS muncul ketika suatu organisasi
sosial keagamaan menjalankan program ini. Organisasi keagamaan dituntut untuk
mampu menjalankan program secara efektif. Namun demikian dalam
implementasinya akan berhadapan dengan ?body of knowledge? dari program
HIV/AIDS. Oleh karenanya kemampuan organisasi untuk merespon program
menjadi sesuatu yang krusial. Organisasi keagamaan memiliki peran untuk tetap
memegang nilai keagamaan namun tidak bertentangan dengan strategi yang
dimiliki oleh program HIV. Penelitian mengeksplorasi tiga isu dalam Lembaga
Kesehatan Nahdlatul Ulama. Tiga hal tersebut adalah interaksi nilai dan norma,
upaya membangun legitimasi organisasi, dan kemampuan organisasi melakukan
manajemen pengetahuan. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk
mengeksplorasi ketiga topik permasalahan di atas. Hasil dari studi menunjukkan
bahwa Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial
keagamaan mampu menjawab isu-isu sensitif di program HIV/AIDS untuk
mengurangi stigma dan diskriminasi, membangun legitimasi organisasi dan
mengelola manajemen pengetahuan secara efektif

ABSTRACT
The problems of managing HIV/AIDS programs arises when religious social
organizations run the program. Religious organizations are required to run the
program effectively. However, the implementation is not easy since they have to
faced the "body of knowledge" of HIV/AIDS programs. Therefore, the ability of
the organization to undertake this program is crucial. Religious organizations have
a role to still keep the significance of religious values, at the same time to avoid
conflict with the strategies possessed in HIV programs. This study explores three
issues in the Health Organization of Nahdlatul Ulama, the interaction of values
and norms, efforts to establish the organization legitimacy, and the ability to
perform knowledge management. Qualitative research methods is used to explore
the three issues mentioned above. The study results showed that the Health
Organization of Nahdlatul Ulama as a socio-religious organization is able to
answer sensitive issues in HIV/AIDS programs to reduce stigma and
discrimination, building of organization legitimacy and conducting of knowledge
management effectively"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nur Isnaini Saleh Assiroj
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang dinamika perkembangan dan hubungan para aktor
di sentra industri kerajinan pahat batu dalam menghadapi tantangan-tantangan
usaha. Konsep yang digunakan adalah creative industry, province of creativity,
pasar status dan pasar standar, serta kelekatan kelembagaan. Penelitian ini
menggunakan metode kualititaf dengan wawancara mendalam dan observasi
langsung terhadap subyek penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
jaringan provinsi kreatifitas industri ini masih lemah. Jaringan yang dibangun
hanya sebatas antara pengrajin, buyers, dan pemasok bahan baku masing-masing.
Tidak ada upaya kolektif di dalam sentra industri kerajinan untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada. Kerja dari masing-masing sanggar masih sangat
individual karena orientasi ekonomi dan persaingan mendapatkan pasar. Adapun
kelekatan kelembagaan dengan pemerintah masih cenderung lemah. Programprogram
pelatihan yang ada tidak diterima baik oleh pengrajin. Namun saat ini
telah ada rencana pembagunan Desa Wisata Kerajinan Pahat Batu Desa
Tamanagung yang dapat menjadi upaya melekatkan kembali antara pemerintah
dengan pengrajin.

ABSTRACT
This thesis explains about the development process and the relations within the
actor in relief industry in facing the bussiness challenges. The concepts that being
used are creative industry, province of creativity, stastus market and standard
market, and institutional embeddedness. This study using qualitative research
method with in-depth interview and direct observation towards the subject of the
study. This study shows that the province of creativity has a weak networking in
Tamanagung Village. The network has been built between and still limited to the
artist, the buyer, and the material suplyer itself. No one encouraged to do a
collective action in solving this issue. The artistan tend to run their bussiness
individually because of the economic orientation and market competition. In
another hand, the institutional embeddedness with the government remain low.
The local government’s training hardly accepted by artisan. They prefer to get into
the new market rather than getting a lot of design trainings. The recent
development of relief industry tourism village (Desa Wisata) in Tamanagung
could be the way of re-embedding the government and the artisan."
2015
S58050
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Purnomo
"Tesis ini membahas upaya yang dilakukan Komisi Yudisial dalam penguatan peran pengawasan hakim melalui masyarakat sipil (civil society). Jaringan kerja (jejaring) Komisi Yudisial merupakan kekuatan Komisi Yudisial untuk memperkuat peran pengawasan hakim sekaligus modal sosial dalam implementasi berbagai kebijakan dan program/ kegiatan. Kelemahan dan kendala yang dihadapi Komisi Yudisial diantisipasi dengan melakukan kerjasama dengan jejaring untuk memperkuat posisi dan peran dalam pengawasan hakim.

This thesis describes the efforts of the Judicial Commission in through civil society. Networks is the strength of the Judicial Commission Judicial to strengthen the supervisory role of judges as well as social capital in the implementation of various policies and programs / activities. Weaknesses and constraints faced by the Judicial Commission is anticipated to conduct cooperation with the network to strengthen the position and role in the supervision of judges."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28002
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Indah Cinderakasih
"Kredit mikro merupakan salah satu strategi yang muncul akibat adanya kesenjangan antara pemberi modal dan calon penerima modal. Program kredit mikro diharapkan dapat menjadi sebuah tangan panjang dari para pemilik modal kepada penerima modal. Program kredit mikro diharapkan dapat menjadi sebuah alternatif dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Di negara-negara berkembang, kredit mikro merupakan salah satu strategi yang komprehensif dalam usahanya memberdayakan perempuan dan penanggulangan kemiskinan.
Salah satu mekanisme kredit mikro adalah Grameen Bank, yang diadopsi serta diadaptasi oleh lembaga keuangan di Indonesia Meskipun telah ada mekanisme serupa di Indonesia, adopsi dan adaptasi sistem Grameen Bank dilakukan pemberdaya dalam upaya menerapkan program-program kredit mikro yang telah berhasil dilakukan sebelumnya di negara lain. Pengadopsian program kredit mikro di negara lain tentu memiliki perbedaan terutama dalam pemaknaan terhadap visimisi pemberdayaan itu sendiri terkait dengan budaya profit oriented yang lebih dulu ada.
Tulisan ini merupakan sebuah analisa deskriptif menggunakan metode kualitatif dengan kerangka sosiologi ekonomi dan jender. Tulisan ini menekankan pada beberapa hal yang perlu dilihat dari program pemberdayaan perempuan melalui kredit mikro yang diadopsi dari negara lain yakni : perbedaan karakter lembaga keuangan, aplikasi dari sistem kredit yang diadopsi dan diadaptasi oleh lembaga keuangan dan pengetahuan makna pemberdayaan melalui kredit mikro yang dimiliki pemberdaya dalam upaya mendukung keberlangsungan program pemberdayaan perempuan melalui kredit mikro.

Microcredit is one of the strategies arising from the gap between financiers and prospective recipients of capital. Microcredit program is expected to be a long hand of the owners of capital to the recipient of capital. Microcredit program is expected to be an alternative in the community empowerment efforts. In developing countries, microcredit is one of a comprehensive strategy in its efforts to empower women and reduce poverty.
One mechanism is the Grameen Bank micro-credit, which was adopted and adapted by financial institutions in Indonesia Although there has been a similar mechanism in Indonesia, adoption and adaptation of the Grameen Bank system performed empowerment in an effort to implement microcredit programs that have successfully done before in other countries. Adoption of microcredit programs in other countries certainly differ mainly in the interpretation of the vision-mission of empowerment itself is related to profit-oriented culture is much older then.
This paper is a descriptive analysis using qualitative methods with a framework of economic sociology and gender. This paper emphasizes on some things that need to be viewed from women's empowerment through micro credit are adopted from other countries namely: differences in the character of financial institutions, the application of the credit system was adopted and adapted by financial institutions and knowledge of the meaning of empowerment through microcredit owned empowerment in efforts to support the sustainability empowerment of women through microcredit.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Indah Cinderakasih
"ABSTRAK
Kredit mikro merupakan salah satu strategi yang muncul akibat adanya
kesenjangan antara pemberi modal dan calon penerima modal. Program kredit
mikro diharapkan dapat menjadi sebuah tangan panjang dari para pemilik modal
kepada penerima modal. Program kredit mikro diharapkan dapat menjadi sebuah
alternatif dalam usaha pemberdayaan masyarakat. Di negara-negara berkembang,
kredit mikro merupakan salah satu strategi yang komprehensif dalam usahanya
memberdayakan perempuan dan penanggulangan kemiskinan. Salah satu
mekanisme kredit mikro adalah Grameen Bank , yang diadopsi serta diadaptasi
oleh lembaga keuangan di Indonesia Meskipun telah ada mekanisme serupa di
Indonesia, adopsi dan adaptasi sistem Grameen Bank dilakukan pemberdaya
dalam upaya menerapkan program?program kredit mikro yang telah berhasil
dilakukan sebelumnya di negara lain. Pengadopsian program kredit mikro di
negara lain tentu memiliki perbedaan terutama dalam pemaknaan terhadap visimisi
pemberdayaan itu sendiri terkait dengan budaya profit oriented yang lebih
dulu ada. Tulisan ini merupakan sebuah analisa deskriptif menggunakan metode
kualitatif dengan kerangka sosiologi ekonomi dan jender . Tulisan ini
menekankan pada beberapa hal yang perlu dilihat dari program pemberdayaan
perempuan melalui kredit mikro yang diadopsi dari negara lain yakni : perbedaan
karakter lembaga keuangan, aplikasi dari sistem kredit yang diadopsi dan
diadaptasi oleh lembaga keuangan dan pengetahuan makna pemberdayaan
melalui kredit mikro yang dimiliki pemberdaya dalam upaya mendukung
keberlangsungan program pemberdayaan perempuan melalui kredit mikro.

Abstract
Microcredit is one of the strategies arising from the gap between financiers
and prospective recipients of capital. Microcredit program is expected to be a
long hand of the owners of capital to the recipient of capital. Microcredit program
is expected to be an alternative in the community empowerment efforts. In
developing countries, microcredit is one of a comprehensive strategy in its efforts
to empower women and reduce poverty. One mechanism is the Grameen Bank
micro-credit, which was adopted and adapted by financial institutions in Indonesia
Although there has been a similar mechanism in Indonesia, adoption and
adaptation of the Grameen Bank system performed empowerment in an effort to
implement microcredit programs that have successfully done before in other
countries . Adoption of microcredit programs in other countries certainly differ
mainly in the interpretation of the vision-mission of empowerment itself is related
to profit-oriented culture is much older then. This paper is a descriptive analysis
using qualitative methods with a framework of economic sociology and gender.
This paper emphasizes on some things that need to be viewed from women's
empowerment through micro credit are adopted from other countries namely:
differences in the character of financial institutions, the application of the credit
system was adopted and adapted by financial institutions and knowledge of the
meaning of empowerment through microcredit owned empowerment in efforts to
support the sustainability empowerment of women through microcredit."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>