Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evan Setiawan
"Reducing radiographic contrast does not always mean reducing the radiographic quality. Early detection of changes in periodontal tissue, especially in the attachment area which consists of soft tissue, is difficult to reveal by conventional radiography since object with low density, tend to be radiolucent. On this purpose, the diagnostic information needed can be achieved by reducing the radiographic contrast. The use of alumunium filter and developing time can affect the radiographic contrast. The aim of this study is to get the best detail and contrast to reveal interdental object using alumunium filter and different developing time. 60 radiographs was taken from phantom. The first 30 are radiographs using alumunium filter and normal developing time. The other 30 processed by 45 second reduction of developing time. Digitizing radiographic method is used, resulted as radiometric data. Region examined is the interdental area between right mandibular first molar and second molar. The data then analyzed using the independent t-test. The result showed that p=0,014 (p<0,05), which means that there are significant defferences in radiographic contrast and detail. From this research can be concluded that by decreasing 45 seconds of the developing time, a better diagnostic information to detect early changes in the interdental area can be achieved, rather than only by using an added alumunium filter.

Penurunan kontras tidak berarti mengurangi mutu radiograf. Deteksi dini perubahan jaringan periodonsium di daerah perlekatan yang merupakan jaringan lunak, sulit diperoleh pada radiograf konvensional karena obyek dengan ketebalan/densitas yang kurang cenderung tidak terlihat. Informasi diagnostik yang dibutuhkan bisa didapat dengan cara menurunkan kekontrasan. Penggunaan bahan filter alumunium dan waktu developing dapat mempengaruhi kekontrasan radiograf. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kontras dan detil yang terbaik pada obyek regio interdental, dengan penggunaan filter alumunium dan perbedaan waktu developing. Subyek penelitian adalah 60 buah radiograf. Tiga puluh menggunakan filter alumunium tambahan dengan waktu developing sesuai pabrik, dan tiga puluh radiograf diproses dengan waktu developing yang diturunkan selama 45 detik. Pemeriksaan kekontrasan dilakukan secara digitasi dengan bantuan komputer. Data yang diperoleh adalah data radiometrik dalam nilai gray scale yang diukur dari histogram dengan menggunakan software Adobe Photoshop CS. Regio yang diperiksa adalah daerah interdental antara gigi molar 1 bawah kanan dengan gigi molar 2 bawah kanan. Analisis dilakukan dengan uji t tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukan nilai p=0.014. Dengan nilai p < 0,05, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata derajat kekontrasan yang bermakna. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penurunan waktu developing selama 45 detik, akan didapatkan kontras dan detil obyek interdental yang lebih baik dibandingkan dengan hanya filter alumunium tambahan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Suryantoro
"Nowadays, instant film is being an alternative choice on supportive radiographic examination in dentistry. Early diagnosis of alteration in periodontal tissue, especially gingiva which has a low density, on a conventional radiographic image often give a difficulty to the dentists. Detail image of soft tissue can be gained by decreasing radiographic contrast. Added aluminium filter itself can influence radiographic contrast. The purpose of this research is to observe the effect of coin Rp. 100,- as added aluminium filter in increasing the detail of intraoral image of interdental object with D-speed instant film Hanshin© on phantom. Sixty radiographic images were taken. 30 films added with aluminium filter and 30 films without any added filter. The examination was taken by measuring the height of vertical dimention of interdental papilla?s opacity with caliper. Data gained in the region of interest which was the interdental papilla between mandibular right first molar and mandibular second molar were analize with independent-sample t test. The result showed that there is differences in mean of the height of interdental object?s opacity (p<0,05). It was concluded that coin Rp. 100,- as added aluminium filter can increase the radiographic detail of interdental object with instant film compare with the intraoral image without any added filtration.

Dewasa ini, penggunaan film instan menjadi pilihan alternatif dalam pemeriksaan penunjang radiografis di bidang kedokteran gigi. Deteksi dini perubahan jaringan periodonsium pada radiograf konvensional sering memberikan kesulitan bagi dokter gigi, terutama jaringan lunak/gingiva yang mempunyai densitas minimal. Gambaran detil jaringan lunak dapat diraih dengan cara menurunkan kekontrasan radiograf. Penggunaan filter aluminium tambahan dapat mempengaruhi kekontrasan radiograf. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh uang logam seratus rupiah sebagai filter dalam meningkatkan detil gambaran radiografis obyek interdental model gigi pada foto intraoral dengan film instan Hanshin D-speed. Obyek penelitian adalah 60 buah radiograf, 30 tanpa menggunakan filter alumunium dan 30 radiograf menggunakan filter aluminium. Pemeriksaan detil dilakukan dengan cara mengukur panjang dimensi vertikal opasitas papila interdental menggunakan kaliper (milimeter). Data yang diperoleh adalah data numerik. Regio yang diperiksa adalah obyek interdental antara gigi molar 1 bawah kanan dengan gigi molar 2 bawah kanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata panjang dimensi vertikal opasitas obyek interdental (uji t tidak berpasangan, p<0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa filter aluminium berupa uang logam Rp 100,- (seratus rupiah) terbukti dapat meningkatkan detil obyek interdental model gigi foto intraoral dengan film instan dibandingkan dengan foto tanpa menggunakan filter."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antolis, Maureen
"Tingkat distorsi vertikal yang cukup besar pada radiograf periapikal gigi anterior rahang atas serta penggunaan lebar singulum sebagai acuan evaluasi distorsi vertikal radiograf gigi anterior.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan sudut vertikal yang masih dapat ditoleransi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas.
Metode: Pada 30 gigi insisif rahang atas, dilakukan pembuatan radiograf periapikal sudut vertikal 0° sebagai acuan standar, selanjutnya dilakukan perubahan sudut vertikal -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, dan +20°. Sumbu panjang gigi diatur posisinya sejajar film pada saat dilakukan paparan sinar-X. Kemudian panjang gigi dan lebar singulum pada radiograf dengan perubahan sudut vertikal diukur dan dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Seluruh hasil pengukuran diuji secara statistik dengan T test.
Hasil: Perbedaan antara panjang gigi klinis dengan panjang gigi radiografik pada seluruh perubahan sudut vertikal terbukti tidak signifikan (p>0.05), sedangkan perubahan lebar singulum signifikan pada sudut +15° dan -10° (p<0.05).
Kesimpulan: Panjang gigi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas yang diposisikan sejajar dengan film radiograf masih dapat ditoleransi sampai dengan perubahan sudut vertikal sebesar 20º. Lebar singulum menyempit secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut +15º dan melebar secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut -10º.

The prevalence of vertical distortion in the periapical radiograph of anterior maxillary teeth is quite significant and cingulum is commonly used as the reference of vertical distortion in anterior radiograph.
Objective: To evaluate the limit of vertical angulation error that still can be tolerated.
Method: Periapical radiograph with vertical angle 0° was obtained from 30 maxillary incisors as reference, then the vertical angulation was changed into -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, and +20°. Long axis of the teeth was adjusted parallel to the film. Tooth length and cingulum width with vertical angulation alteration was measured and compared to the actual length. All of the measurement was tested using T test.
Result: There were no significant difference between all the measurements of tooth length with the alteration in vertical angulation (p>0.05), whereas cingulum width had a significant difference at +15° and -10°, (p>0.05).
Conclusion: Tooth length in periapical radiograph of maxillary incisor with parallel position is still tolerable until 20º vertical angle errors. Cingulum width on radiograph with +15º vertical angle alteration is significantly narrowed and on radiograph with -10° vertical angle alteration is significantly widened.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiroh
"Latar Belakang : Estimasi usia pada individu mati dan individu hidup penting untuk identifikasi korban dan kepastian hukum. Metode Demirjian menggunakan gigi molar tiga untuk estimasi usia diatas 15 tahun.
Tujuan : Mengetahui perbandingan estimasi usia 15 - 25 tahun antara dua metode Demirjian.
Metode : Tahap perkembangan gigi molar tiga pada 50 sampel radiograf panoramik laki-laki dan 50 sampel radiograf perempuan dinilai oleh dua orang pengamat menggunakan Demirjian sepuluh tahap dan rumus regresi dua gigi. Uji reliabilitas menggunakan koefisien cohen’s kappa dan signifikansi hasil pengamatan diperoleh dari uji wilcoxon. Perhitungan penyimpangan hasil estimasi usia dilakukan pada seluruh metode.
Hasil : penyimpangan rumus regresi dua gigi ±1,090 tahun dan sepuluh tahap ±1,191 tahun.
Kesimpulan: penyimpangan dengan rumus regresi dua gigi lebih kecil dari sepuluh tahap. Estimasi usia menggunakan rumus regresi dua gigi atau sepuluh tahap berbeda bermakna sampai usia 25 tahun, namun bisa diterapkan sampai usia 22 tahun.

Background: The age estimation of individuals death and living is important for victims identification and legal certainty. Demirjian method uses third molar for age estimation above 15 years old.
Objective: To determine the comparison of age estimation between 15 – 25 years using two Demirjian methods.
Methods: Development stage of third molars in panoramic radiograph of 50 male and female samples were assessed by two observers using Demirjian ten stages and two teeth regression formula. Reliability using cohen's kappa coefficient and the significance of the observations obtained from Wilcoxon test. Deviation of age estimation using entire methods were calculated.
Results: The deviation of age estimation with two teeth regression formula ±1,090 years and ten stages ± 1,191 years.
Conclusion: The deviation of age estimation using two teeth regression formula was less than ten stages method. The age estimation using two teeth regression formula or ten stages are significantly different until the age of 25, but can be applied up to the age of 22 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Nur Hanifah
"ABSTRACT
Latar belakang: Sudut gonial merupakan salah satu struktur anatomis pada mandibula yang mengalami perubahan paling signifikan pada proses pertumbuhan. Pengukuran sudut gonial banyak dijadikan parameter evaluasi tumbuh kembang yang bermanfaat bagi bidang ilmu kedokteran gigi termasuk ortodonsi dan prostodonsi. Tujuan: untuk mengetahui nilai rerata sudut gonial berdasarkan usia, jenis kelamin, status dental, dan morfologi kondil pada radiograf panoramik sehingga dapat digunakan sebagai nilai acuan dalam melihat pola perubahan sudut gonial mandibula. Metode: Pengukuran sudut gonial pada 210 sampel radiograf panoramik digital usia diatas 21 tahun, dengan mengkategorikan berdasarkan usia, jenis kelamin, status dental dan morfologi kondil mandibula. Hasil: Pengukuran sudut gonial terhadap usia, jenis kelamin, status dental, dan morfologi kondil mandibula tidak berbeda bermakna secara statistik, namun besar sudut gonial cenderung mengecil sesuai perubahan usia. Nilai rata-rata sudut gonial ditemukan cenderung lebih kecil pada laki-laki dan juga pada individu dengan status dental dentate. Kesimpulan: Nilai sudut gonial menunjukkan perubahan yang tidak berbeda bermakna berdasarkan usia, jenis kelamin, maupun morfologi kondil mandibula.

ABSTRACT
Background: The gonial angle is one od the anatomical structures in the mandible that experiences the most significant changes in the growth process. Gonial angle measurements are widely used as evaluation parameters of growth and development wich are beneficial for the field of dentistry such as orthodontics and prosthodontics. Objective: to determine the average value of the gonial angle based on age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology on panoramic radiograph so that it can be used as a reference value in seeing the pattern of changes in the gonial angle of mandible. Methods: Gonial angle measurements in 220 samples of digital panoramic radiographs over the age of 21 years, categorizing by age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology. Results: Gonial angle measurements of age, gender, dental status, and mandibular condyle morphology did not differ statistically significant, ut the size of the gonial angle tended to shrink according to age change. The average gonial angle values were found to tend to be smaller in men and also in individuals with dental status dentate. Conclusion: The gonial angle values show changes that are not significantly different based on age, gender, and mandibular condyle morphplogy."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT.
Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan.

Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification.
Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification.
Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT.
Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different.
Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stevie Kristianti
"Latar Belakang: Semakin bertambahnya populasi usia lanjut dan berubahnya gaya hidup di Indonesia, insidensi silent disease osteoporosis pun meningkat. International Osteoporosis Foundation (IOF) menyatakan bahwa 1 dari 4 wanita Indonesia berusia >50 tahun berisiko terkena osteoporosis. Penyakit ini tampak secara klinis setelah terjadi fraktur, sedangkan pada tahap awal tidak memiliki gejala klinis. Korteks inferior mandibula merupakan salah satu tulang yang dapat diamati untuk melihat perkembangan penyakit osteoporosis karena sangat dipengaruhi oleh perubahan usia fisiologis serta cukup luas dan mudah diidentifikasi. Baku emas alat deteksi osteoporosis di Indonesia sangat terbatas dan cukup mahal sehingga banyak pasien yang tidak terdeteksi. Oleh karena itu, mulai dikembangkan alternatif baru deteksi dini risiko osteoporosis menggunakan indeks radiomorfometri mandibular cortical width (MCW) pada radiograf panoramik digital yang dapat dilakukan oleh dokter gigi.
Tujuan: Memperoleh data rerata MCW pada wanita 31-45 tahun dibandingkan dengan MCW pada wanita usia 46-75 tahun sehingga dapat digunakan untuk pengembangan alat deteksi dini risiko osteoporosis.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 270 sampel radiograf panoramik digital wanita usia 31-75 tahun di Rumah Sakit Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (RSKGM UI). Subjek dibagi menjadi 3 kategori: 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan 61-75 tahun. Untuk mendapatkan nilai MCW, diukur jarak korteks mandibula dalam (endosteum) dan luar pada garis tegak lurus foramen mental dengan batas bawah mandibula. Pengukuran lebar kortikal mandibula dilakukan dengan perbesaran 2 x pada regio bawah foramen mental. Kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan t-test dan Bland Altman.
Hasil: Rerata dan standar deviasi kelompok usia 31-45 tahun adalah 3.40 ± 0.42 mm; 46-60 tahun 3.18 ± 0.47 mm; dan 61-75 tahun 2.76 ± 0.66 mm. Rerata MCW wanita antar kelompok usia berbeda bermakna (p<0,05 berdasarkan uji One-way Anova). Semakin bertambah usia dalam rentang 15 tahun, nilai lebar kortikal mandibula semakin menurun secara signifikan.
Kesimpulan: Indeks radiomorfometri panoramik MCW pada usia 31-45 tahun berbeda bermakna dibandingkan pada usia risiko osteoporosis 46-60 dan 61-75 tahun.

Background: The increasing number of elderly population and lifestyle changes in Indonesia, raise the number of the incidence of the silent disease, osteoporosis. International Osteoporosis Foundation (IOF), stated that one out of four Indonesian women at age more than 50 years old having the risk of osteoporosis. Osteoporosis can be seen clinically as bone fracture, while in the early stage osteoporosis does not have specific symptom. Mandibular inferior cortex is one of the bone landmark that is useful for observing osteoporosis progression because it is affected by physiological changes and wide enough to identify. The gold standard of osteoporosis detection in Indonesia is very limited in number and the cost is quite high, thus most of people with the risk of osteoporoses go undetected. Therefore, a new alternative early detection tool for osteoporosis risk is developed by using radiomorphometric index, mandibular cortical width (MCW), on digital panoramic radiograph that can be done by a dentist.
Objective: To obtain the mean of mandibular cortical width in women 31-45 years old and comparison with women 46-75 years old in order to develop mandibular cortical width index usage for early osteoporosis risk detection tool.
Method: This study utilizing secondary data, totally 270 digital panoramic radiographs of women 31-75 years old Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM UI). Subjects are divided into 3 categories: 31-45 years old, 46-60 years old and 61-75 years old. MCW was obtained by measuring mandible cortex distance from endosteum to the border of mandible at the perpendicular line between mental foramen and tangent line of border of the mandible. Mandibular cortical width measurement was done with 2 times magnification on the region below foramen mental. The reliability test for both intraobserver and interobserver were done using t-test and Bland altman test.
Results: Average and standard deviation 31-45 years old group is 3.40 ± 0.42 mm; 46-60 years old 3.18 ± 0.47 mm; and 61-75 years old 2.76 ± 0.66 mm. Mandibular cortical width average between age group is statistically different (p < 0,05 in one-way anova test) and decreases with age.
Conclusion: Mandibular radiomorphometric index MCW on women aged 31-45 years group significantly different compared with women in the risk ages of osteoporosis 46-60 and 61-75 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tri Susilo
"Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO.
Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO.
Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV.
Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm.
Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.

Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus.
Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO.
Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV.
Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm.
Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Handita Permata Sari
"Latar Belakang: Kesalahan posisi kepala dalam sefalostat saat pembuatan radiografis sefalometri lateral mengakibatkan distorsi pada radiograf yang dihasilkan. Hal ini mempengaruhi pada diagnosis dan rencana perawatan orthodonti pasien.
Tujuan: Mengetahui pengaruh distorsi radiografis sefalometri lateral akibat kemiringan kepala pada sumbu anteroposterior terhadap distorsi pengukuran angular sefalometri lateral.
Metode: Radiografis sefalometri lateral terhadap 7 kranium dengan sudut sebesar 0 , -20 , -15 , -10 , -5 , 5 , 10 , 15 , dan 20 terhadap sumbu anteroposterior. Radiograf dilakukan analisis sefalometri oleh dua orang pengamat. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji Bland Altman. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji T Berpasangan dan uji Wilcoxon.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran 8 parameter sudut dengan kemiringan kepala lebih dari 10 p.

Background: Head position errors in the cephalostate during the lateral cephalometric projection result in radiographic distortion. This may affect the diagnosis and treatment plan of orthodontic patient's.
Objective: To discover the effect of lateral cephalometric radiograph distortion due to head tilting on the anteroposterior axis against distortion of lateral cephalometric angular measurements.
Methods: Lateral cephalometric radiograph of 7 human dry skulls with tilting angle of 0 , 20 , 15 , 10 , 5 , 5 , 10 , 15 , and 20 to the anteroposterior axis. Radiographs were analyzed by two observers. Reliability test is done by Bland Altman test. The significance test is done by paired T test and Wilcoxon test.
Results: There was a significant difference between the measurement of 8 angle parameters with head tilting greater than 10 p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentsia Hanum Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang: rasio mahkota-akar gigi adalah merupakan kondisi gigi yang penting dalam penentuan prognosis dan rencana perawatan kedokteran gigi. Belum ada data mengenai nilai ini pada populasi di Indonesia. Tujuan: mengetahui nilai rerata rasio mahkota-akar gigi insisif, premolar, dan molar permanen pada pasien laki-laki dan perempuan di RSKGM FKG UI rentang usia 15-25 tahun. Metode: panjang akar dan tinggi mahkota diukur menggunakan modifikasi metode Lind pada 196 radiograf panoramik digital. Uji realibilitas menggunakan uji technical error of measurement. Uji hipotesis menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney U. Hasil: nilai rerata mahkota-akar gigi terbesar pada kedua jenis kelamin dijumpai pada premolar dua rahang bawah laki-laki 1:2,12, perempuan 1:2,10 dan yang terkecil pada gigi molar satu rahang atas laki-laki 1:1,50, perempuan 1:1,44 . Rasio gigi rahang bawah lebih besar dibandingkan gigi rahang atas. Tidak ditemukan perbedaan rasio bermakna antara laki-laki dan perempuan p.

ABSTRACT
Background tooth crown root ratio is one of the most important condition in determining prognosis and treatment planning in dentistry. There are no data of this value in Indonesia. Purpose to obtain the average crown root ratio value on insisive, premolar, and molar permanent teeth of male and female aged 15 25 in RSKGM FKG UI. Method root length and crown height of teeth were measured by modified Lind method on 196 digital panoramic radiographs. Reliability test was assessed by technical error of measurement test. Independent t test and Mann Whitney U test was applied to test the hipotesis. Results the highest mean crown root ratio in both arches and sex was found in mandibular second premolar male 1 2,12, female 1 2,10 and the lowest in maxillary first molar male 1 1,50, female 1 1,44 . Ratio is higher in mandibule than in maxilla. There are no significant different in ratio between male and female p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>