Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Caleb Leonardo Halim
"Pandemi COVID-19 berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental. Hal ini disebabkan karena semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik masyarakat selama pandemi berlangsung. Rendahnya tingkat aktivitas fisik juga berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Tidak terkecuali pada petugas layanan kesehatan yang memiliki risiko untuk terpapar COVID-19 lebih tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tingkat aktivitas fisik dan kesehatan mental (depresi, ansietas, stres) pada petugas layanan kesehatan di masa pandemi COVID-19. Metode: Penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Pengambilan data di bulan Mei-Juni 2022 dan melalui metode kuesioner hybrid (daring dan luring). Aktivitas fisik dinilai dengan GPAQ (Global Physical Activity Questionaire) dan kesehatan mental dengan DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Hasil: Terdapat sebanyak 107 subjek yang ikut kedalam penelitian ini. Tingkat aktivitas fisik kurang didapatkan pada 55,1% petugas layanan kesehatan. Gejala kesehatan mental pada petugas layanan kesehatan didapatkan sebesar 23,4% untuk depresi, 31,8% untuk ansietas, dan 22,4% untuk stres. Dilakukan analisis bivariat untuk hubungan tingkat aktivitas fisik dengan depresi (PR = 0,881 (0,444-1,750); p>0,05), ansietas (PR = 0,915 (0,525-1,595); p>0,05), dan stres (PR = 0,961 (0,474-1,949); p>0,05). Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan tingkat depresi, ansietas, dan stres. Kata Kunci: aktivitas fisik; ansietas; depresi; kesehatan mental; petugas layanan kesehatan; stres.

The COVID-19 pandemic has devastating impact both on physical and mental health. This is due to decreasing level of physical activity among people during the pandemic. Low level of physical activity also affect a person's mental health. Healthcare workers are no exception, who might have higher risk of being exposed to COVID-19. The purpose of this study was to describe the level of physical activity and mental health (depression, anxiety, stress) among healthcare workers during the COVID-19 pandemic. Methods: Cross-sectional study using primary data. Data collection was conducted in May-June 2022 and using questionnaire delivered through hybrid method (online and offline). Physical activity was assessed by GPAQ (Global Physical Activity Questionnaire) and mental health by DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Results: There were 107 subjects who participated in this study. Inadequate levels of physical activity were found in 55.1% of health care workers. Mental health symptoms among healthcare workers was 23.4% for depression, 31.8% for anxiety, and 22.4% for stress. Bivariate analysis was conducted for the association between levels of physical activity and depression (PR = 0.881 (0.444-1.750); p>0.05), anxiety (PR = 0.915 (0.525-1.595); p>0.05), and stress (PR = 0.961 (0.474-1.949); p>0.05). Conclusion: There was no significant association between the level of physical activity and the level of depression, anxiety, and stress."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangara
"Latar Belakang: Penggunaan peralatan pelindung diri (PPE) dalam jangka panjang oleh tenaga kesehatan selama pandemi Covid-19 telah menimbulkan kekhawatiran tentang munculnya gejala stres panas. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara durasi penggunaan PPE dan munculnya gejala stres panas pada tenaga kesehatan di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi potong lintang oleh Departemen Kesehatan Kerja Universitas Indonesia. Kuesioner disebarkan kepada tenaga kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia untuk menentukan prevalensi gejala terkait panas dan menguji hubungannya dengan durasi penggunaan PPE. Dari tiga ratus lima puluh enam partisipan (n=356), tiga ratus sepuluh partisipan memenuhi kriteria untuk analisis lebih lanjut (n=310).
Hasil: Sebagian besar responden mengalami gejala stres panas sedang hingga berat, dengan haus (n= 61,0%) dan kelelahan (n=44,5%) menjadi yang paling umum. Nilai p kurang dari 0,05 menunjukkan signifikansi statistik. analisis multivariat menunjukkan bahwa hanya usia (p=<0,001) dan level PPE 2 (p=<0,010) yang memiliki pengaruh signifikan terhadap gejala-gejala ini. Faktor-faktor lain, seperti durasi penggunaan PPE (p=0,548), jenis kelamin (p=0,397), pekerjaan (p=0,521), bahan jubah (p=0,742), bekerja di ruangan ber-AC (p=0,383), melepaskan PPE selama istirahat (p=1,000), dan memiliki area istirahat khusus (p=0,112), tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan: Penting bagi institusi layanan kesehatan untuk menerapkan tindakan pencegahan, menyediakan APD yang sesuai, memastikan akses ke tempat istirahat yang ditunjuk, dan mempertimbangkan usia,penyakit penyerta, dan kebutuhan individu petugas layanan kesehatan untuk meminimalkan risiko tekanan panas. Pemantauan dan penilaian paparan panas secara berkala dengan Menentukan ISBB dengan Menambahkan Faktor Penyesuaian Pakaian untuk Menentukan Tingkat Kerja Metabolik Efektif dengan mempertimbangkan Nilai Ambang Batas atau Batas Tindakan untuk Paparan Stres Panas untuk mencegah gejala stres panas di antara petugas kesehatan juga disarankan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan mereka selama kondisi kerja yang panas. Penelitian lebih lanjut direkomendasikan untuk membahas pengukuran objektif, desain longitudinal, dan studi intervensi untuk lebih memahami dan mengurangi tekanan panas dalam pengaturan perawatan kesehatan.

Introduction: The prolonged use of personal protective equipment (PPE) among healthcare workers during the Covid-19 pandemic has raised concerns about the occurrence of heat stress symptoms. This study aims to investigate the relationship between the duration of PPE usage and the occurrence of heat stress symptoms among healthcare workers in Indonesia.
Methods: This cross-sectional study used secondary data collected through a cross-sectional study by the Department of Occupational Health, University of Indonesia. Questionnaires were distributed to health workers in various health facilities in Indonesia to determine the prevalence of heat-related symptoms and examine the relationship with the duration of PPE use. Out of three hundred and fifty-six participants (n=356), three hundred and ten participants met the criteria for further analysis (n=310).
Results: Most of the respondents experienced moderate to severe symptoms of heat stress, with thirst (n= 61.0%) and fatigue (n=44.5%) being the most common. A p value of less than 0.05 indicates statistical significance. multivariate analysis showed that only age (p=<0.001) and PPE level 2 (p=<0.010) had a significant effect on these symptoms. Other factors, such as duration of use of PPE (p=0.548), gender (p=0.397), occupation (p=0.521), robe material (p=0.742), working in an air-conditioned room (p=0.383), releasing PPE during rest (p=1.000), and having a specific resting area (p=0.112), did not show a significant relationship.
Conclusion: It is crucial for healthcare institutions to implement preventive measures, provide suitable PPE, ensure access to designated rest areas, and consider the age, underlying disease and individual needs of healthcare workers to minimize the risk of heat stress. Regular monitoring and assessment of heat exposure by Determine WBGT Add with Clothing Adjustment Factor (CAF) to Determine WBGT Effective Metabolic Work Rates and consider the Threshold Limit Value or Action Limit for Heat Stress Exposure in order to prevent heat stress symptoms among healthcare workers are also recommended to ensure their health and well-being during hot working conditions. Further research is recommended to address objective measurements, longitudinal designs, and intervention studies to better understand and mitigate heat stress in healthcare settings.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Zulfar Aufin
"Latar Belakang. Aktivitas fisik dapat menjadi solusi penting dalam mencegah terjadinya penyakit hipokinetik seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner dan obesitas. Kurangnya aktivitas fisik paling banyak ditunjukkan dengan lama waktu duduk. Tenaga kesehatan yang diharapkan mempunyai tingkat aktivitas fisik yang baik, namun beberapa studi menunjukkan tenaga kesehatan mempunyai tingkat aktivitas fisik yang rendah. Dengan pemberian edukasi berdasarkan tahapan stage of change (SOC) diharapkan dapat meningkatkan tingkat aktivitas fisik lebih tepat sasaran, terutama di era 4.0 pemberian edukasi dengan metode luring dapat menjangkau populasi tenaga kesehatan lebih luas dan efisien. Metode penelitian ini menggunakan desain kuasi eksperimental untuk menilai pemberian anjuran aktivitas fisik yang diberikan melalui aplikasi pengirim pesan. Subyek yang terpilih dibagi ke dalam dua kelompok, Kelompok intervensi yang mendapatkan pesan disesuaikan dengan stage of change, sementara kelompok kontrol mendapatkan flyer rekomendasi aktivitas fisik berdasarkan American College of Sports Medicine (ACSM), penelitian dilakukan selama 9 minggu. Hasil. Mayoritas tenaga kesehatan berada pada tahap SOC inaktif (47 subjek) dan mempunyai tingkat aktivitas fisik kurang METS <3 (jumlah langkah 5546), Pemberian anjuran aktivitas fisik melalui pesan singkat dapat meningkatkan jumlah langkah sebesar 2651 yang secara klinis bermakna dan tahap SOC tenaga kesehatan ke tahap yang lebih baik dari minggu 0 tahap SOC aktif meningkat dari 17,9% menjadi 57,1% di minggu 8, sementara terjadi penurunan nilai kebugaran kardiorespirasi dan kekuatan otot. Kesimpulan terhadap tingkat aktivitas fisik, tahapan SOC, akan tetapi tidak terhadap nilai kebugaran kardiorespirasi dan kekuatan otot.

Background. Physical activity could be important solution in preventing hypokinetic disease like hypertension, diabetes melitus, coroner heart disease, and obesity. Lack of physical activity mostly indicated by length of sitting time. Healthcare workers are expected have a good level of physical activity, However some study have shown that they have low level of physical activity. By giving education based on Stage of Change is expected to increase their physical activity more precisely. In this globalization era 4.0 giving education through online or text messenger can reach wider population and more efficient. Methods this study using quasi experimental to analyse the effect of physical activity recommendation through text messenger based on stage of change. All the subject divide into 2 groups. Intervention group get the message based on Stage of Change and group control get flyer about physical activity recommendation based on ACSM. Result.Almost all the healthcare workers have SOC inactive (47 subjects) and have lack of physical activity METs <3 (steps per day 5546). Physical activity recommendation based on SOC could increase 2651 steps per day and make their SOC active increase from 17.9% to 57.1%. While the cardiorespiratory fitness and muscle strength decrease in eight weeks. Conclusion Physical activity recommendation based on SOC could possibly give the effect on physical activity level, SOC, but not in cardiorespiratory capacity and muscle strength."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bytarbutar, Betharia Sonata
"Latar Belakang: Pandemi COVID-19 berdampak pada dunia kerja termasuk di sektor industri manufaktur makanan yang tetap harus berjalan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Proses kerja perusahaan manufaktur makanan di kota Cilegon tidak dapat dilakukan secara jarak jauh, pekerja harus datang ke tempat kerja. Infeksi COVID-19 membutuhkan isolasi/perawatan minimal 10 hari sesuai peraturan pemerintah yang berlaku saat ini, sehingga pekerja tidak dapat masuk bekerja karena sakit yang disebut sick leave. Sick leave yang lama dapat berpotensi untuk mengganggu produktivitas dan berdampak juga pada suplai kebutuhan pangan masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perusahaan untuk membuat kebijakan dalam menjaga produktivitas dan membantu pemerintah memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Metode: Desain penelitian ini adalah cross sectional menggunakan sampel 205 data pekerja manufaktur makanan yang terinfeksi COVID-19, data ini dikumpulkan oleh tim medis di perusahaan yang kemudian dikirimkan ke IDKI Banten. Data dari IDKI Banten diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel kemuadian dianalisis dengan analisis deskriptif untuk melihat rerata lama sick leave, analisis bivariat dengan menggukanan uji T tidak berpasangan dan analisis multivariat dengan regresi linier. Hasil: Rerata lama sick leave dari 205 pekerja perusahaan manufaktur makanan yang terinfeksi COVID-19 adalah 19.3 (±4.8) hari. Faktor resiko yang berhubungan dengan lama sick leave pada pekerja ini adalah faktor tempat perawatan, shift kerja dan merokok. Pada pekerja yang isolasi mandiri sick leavenya lebih lama (20,5±5,4 hari) dibanding dengan yang di tempat perawatan COVID-19 (18,1±3,9 hari). Pekerja shift sick leavenya lebih lama (20±5 hari) dibanding dengan yang nonshift (18,4±4,4 hari). Pekerja yang merokok lebih singkat (18,3±3,7 hari) dibanding dengan yang tidak merokok (19,9±5,3 hari).
Kesimpulan: Rerata lama sick leave pada pekerja manufaktur makanan di kota Cilegon adalah 19,3 (±4,8) hari. Ada hubungan yang signifikan antara lama sick leave dengan faktor tempat perawatan, kerja shift dan merokok. Faktor tempat perawatan adalah faktor yang paling dominan

.Background: The COVID-19 pandemic has had an impact on the work sectors, including the food manufacturing industry sector, which still has to run to support people's daily needs. The food manufacturing sector in Cilegon, West Java, Indonesia cannot work remotely. The COVID-19 infection requires long isolation/treatment (minimum of 10 days as per current Indonesia regulation). Sick Leave means a leave due to sickness; the company must pay the employee benefit during the sick leave. Long sick leave can disrupt productivity which will also have an impact on the supply of people's food needs. The results of this study are expected to provide input for companies to make policies to maintain productivity and help the government meet the community’s food needs. Methods: The design of this study was cross-sectional and used 205 data from food workers in Cilegon who were infected with COVID-19 and returned to work. The data about the food workers and the risk factors were taken by the company medical officer from medical resumes in March 2020 – August 2021 and then sent to IDKI Banten. The data from IDKI Banten was screened as inclusion and exclusion terms. The relationship between the length of sick leave and individual and occupational risk factors were analyzed by unpaired T-test and multivariate linear regression.
Results: The average length of sick leave of 205 food manufacturing workers infected with COVID-19 was 19.3 (± 4,8) days. Place of treatment, work shifts, and smoking were associated with the length of sick leave. Self-isolating workers had longer sick leave (20.5
± 5.4 days) than those in the COVID-19 center (18.1 ± 3.9 days). Shift workers had longer sick leave (20±5 days) than non-shift workers (18.4±4.4 days). Smoker had shorter (18.3±3.7 days) than non-smokers (19.9±5.3 days).
Conclusion: The average length of sick leave for food manufacturing workers in Cilegon is 19.3 (±4,8) days. There is a significant relationship between the length of sick leave with the place of treatment, shift work, and smoking. The place of treatment is the most dominant factor.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Spadini Putri
"Pendahuluan Industri hulu minyak dan gas bumi adalah industri yang esensial dimana proses aktivitas di industri ini tidak dapat berhenti. Langkah-langkah pengaturan tanpa mengurangi target produksi dan pencegahan penyebaran infeksi Covid-19 di tempat kerja sudah dilakukan, namun kasus Covid-19 pada pekerja terus bertambah.
Objektif Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Covid-19 bergejala pada pekerja industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia.
Metode Studi cross sectional dengan pengumpulan data sekunder dari hasil pencatatan di tempat kerja. Data dari responden yang berhasil menyelesaikan prosedur penelitian dengan mengisi kuesioner secara lengkap sejumlah 616 termasuk didalamnya adalah data demografi pekerja, area kerja, paparan Covid-19, jenis pemeriksaan dan upaya pencegahan. Uji statistik yang digunakan dalam analisis univariat dan multivariat adalah uji regresi logistik. Uji statistik yang digunakan dalam korelasi antar variabel adalah dengan menggunakan chi-square. Hasil total data responden yang didapat sebanyak 616 pekerja. 65.3 % pekerja tidak mengalami gejala dan 34.7% pekerja mengalami gejala ringan sampai berat. Didapatkan bahwa sumber penularan di tempat kerja berhubungan signifikan dengan kejadian infeksi COVID-19 yang bergejala pada pekerja KKKS (p<0,001) dengan risiko bergejala 3,4 kali lebih tinggi, sedangkan antara usia dan karakteristik infeksi bergejala (p=0,019), dimana pekerja dengan usia diatas 39 tahun memiliki 1.5 kali risiko lebih besar untuk mengalami infeksi yang bergejala dibandingkan dengan pekerja usia ≤39 tahun dan pada pekerja laki-laki didapatkan 2 kali lebih tidak beresiko untuk bergejala jika terinfeksi COVID-19 (p=0,027) dibanding perempuan.
Kesimpulan faktor- faktor yang dapat meningkatkan risiko Covid-19 bergejala pada pekerja KKKS adalah sumber penularan di tempat kerja, usia pekerja yang lebih tua dan pekerja dengan jenis kelamin perempuan. Didapatkan risiko penularan tertinggi di tempat kerja adalah pada saat melakukan pekerjaan bersama, menggunakan fasilitas umum bersama dan makan bersama.

BACKGROUND. The upstream oil and gas industry was essential to operating continuously during the covid-19 pandemic. Preventive and management guidelines had been implemented, but cases were increasing.
OBJECTIVES. To find the factors affecting symptomatic Covid-19 in Special Task Force for Upstream Oil and Gas Industry - KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) workers in Indonesia.
METHODS A cross-sectional study was done using secondary data about covid-19 infection in SKK MIGAS and KKKS environment. Six hundred sixteen respondents were included in this study. Data about demographic characteristics, working area, covid-19 status and exposure, and examination and management before were also recorded. Univariate analysis and Multivariate analysis were done using a logistic regression test. Correlation between variables was found using chi-square.RESULTS From 616 eligible respondents 65.3% were asymptomatic, and 34.7% were symptomatic infections ranging from mild to severe symptoms. Working sites possessed a higher transmission risk as workers did the activity together. We found a correlation between a working site as a source of infection with symptomatic covid-19 (p<0.001) with a risk 3.4 times higher, age and symptomatic covid-19 (p=0.019) and female workers with symptomatic covid-19 disease (p=0.027).
CONCLUSION Some factors that increased the risk of covid-19 in KKKS workers were working site transmission, older age, and female workers. Other factors found influenced symptomatic covid-19 infection were doing the activity together, public facility usage, and eating together.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sena Rian Rizardi
"Pekerja operator pesawat angkut merupakan pekerjaan yang sangat berisiko terjadi dehidrasi dan penurunan fungsi ginjal karena sebagian besar pekerja di PT X pada waktu istirahat lebih memilih untuk bertahan di dalam kabin pesawat angkut daripada beristirahat di base camp serta banyak pekerja yang tidak membawa minum saat bekerja. Penyakit ginjal kronis memberikan efek terhadap biaya kesehatan yang sangat besar dan penurunan tingkat produktivitas. Oleh karena itu, diadakan program hidrasi di PT X. Program hidrasi dilakukan dengan cara pekerja dianjurkan mengkonsumsi air 2,5 L saat bekerja. Program hidrasi dilaksanakan selama 1 tahun. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain kohort retrospektif. Untuk membandingkan perubahan nilai GFR menggunakan uji perbandingan rerata (untuk data numerik) serta Uji McNemar (untuk data kategorik). Untuk menilai faktor yang berhubungan terhadap perubahan GFR digunakan analisis regresi logistik. Hasil: Fungsi ginjal pada operator pesawat angkut setelah program hidrasi antara 2019 dan 2021 mengalami perbaikan (mc nemar p< 0,001).
Analisis bivariat menunjukkan bahwa factor individu yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal adalah obesitas. Kesimpulan: Terdapat peningkatan fungsi ginjal pada operator pesawat angkut setelah kebijakan program hidrasi antara 2019 dan 2021.
Program hidrasi dengan 2,5 L air selama 1 tahun dapat memperbaiki status dehidrasi pada pekerja dan berbeda bermakna pada pekerja non obes.

Crane operator workers are very risky for dehydration and decreased kidney function. Most of the workers in PT X during their break prefer to stay in the cabin of the transport plane rather than rest at the base camp, and many workers do not bring a drink to work. Chronic kidney disease affects enormous health costs and reduced productivity levels. Therefore, a hydration program was held at PT X. The hydration program is carried out so that workers are advised to consume 2.5 L of water while working. The hydration program is implemented for one year. Methods: The study was conducted with a retrospective cohort design. We compared changes in the value of GFR before and after the hydration program using the mean comparison test (for numerical data) and McNemar's test (for categorical data). A logistic regression test was performed to assess the factors associated with changes in GFR. Results: Kidney function in crane operator workers after the hydration program policy between 2019 and 2021 were improved (McNemar p <0.001). Bivariate analysis shows that the individual factors affecting kidney function changes were obesity. Conclusion: There was improved kidney function in crane operator workers after the hydration program policy between 2019 and 2021. A hydration program with 2.5 L of water for one year can enhance the status of dehydration in workers and significantly different in non-obese workers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi Agustina Djayadi
"Pendahuluan: Laporan kasus fatality di beberapa perusahaan minyak dan gas di Indonesia selama Januari-Maret 2019 terjadi 15 kasus mortalitas pekerja diduga akibat kematian jantung mendadak, tanpa adanya kelainan hasil uji treadmill pada pemeriksaan kesehatan berkala terakhir. Salah satu metode penapisan risiko penyakit jantung koroner (PJK) adalah dengan uji treadmill. Duke Treadmill Score (DTS) merupakan metode yang baik untuk stratifikasi risiko dan menilai prognosis pada uji treadmill.
Tujuan: Diketahuinya hubungan antara faktor risiko individu dan jenis pekerjaan dengan DTS.
Metode: Penelitian cross sectional yang melibatkan 290 responden pekerja dari empat perusahan migas di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara serta perhitungan DTS berdasarkan hasil uji treadmill pekerja yang dilakukan pada September-Desember 2019.
Hasil: Didapatkan 66,9% DTS risiko ringan; 33,1% DTS risiko sedang. Variabel yang berhubungan dengan peningkatan risiko DTS adalah usia >40 tahun dengan (ORadj = 2,70; IK 95%: 1,162-6,282), dan merokok (ORadj = 2,78 IK 95% 1,637- 4,726). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis pekerjaan dengan DTS pada pekerja migas di Indonesia. Terdapat hubungan bermakna antara risiko individu merokok dan usia >40 dengan DTS pada pekerja migas di Indonesia.

Background: Reports of fatality cases in several oil and gas companies in Indonesia, January - March 2019 period occurred 15 mortality cases of workers due to sudden cardiac death, without any abnormal findings of the treadmill test result on last periodic Medical Check-up. One of the screening method for coronary heart disease is the treadmill test. The Duke Treadmill Score (DTS) is the most powerful method for stratifying risk and assessing the prognosis in the treadmill test.
Objective: To find out the association between individual riks factors and types of work with DTS among oil and gas workers in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study design involving 290 respondent oil and gas workers from four oil and gas companies in Indonesia. Data collected by interview and calculation of DTS based on worker’s treadmill test conducted in September-December 2019.
Results: DTS among workers found 66,9% had low risk; 33,1% had moderate risk. Variables associated with increased DTS were age >40 (ORadj= 2,70; 95%CI:1,162-6,282) and smoking (ORadj= 2,78; 95%CI:1,67-4,726).
Conclusions: There was no significant association between types of work and DTS among oil and gas workers in Indonesia. There was a significant association between the risk of individual smoking and age>40 with DTS in oil and gas workers in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library