Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vincent Suriadinata
"ABSTRAK
Indonesia adalah negara dengan potensi ekonomi yang sangat besar namun masih minim investasi. Banyak faktor yang menghambat kemudahan berusaha di Indonesia sehingga mengurangi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Indonesia perlu menerapkan omnibus law sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang menghambat investasi di Indonesia. Omnibus Law secara sederhana dapat dimaknai sebagai satu undang-undang yang bisa mengubah beberapa undang-undang sekaligus. Terdapat tiga keadaan untuk mempraktekkan omnibus law, yakni undang-undang yang akan diubah berkaitan secara langsung, undang-undang yang akan diubah tidak berkaitan secara langsung, dan undang-undang yang akan diubah tidak berkaitan tetapi dalam praktek bersinggungan. Bisa dibandingkan penerapan omnibus law di Filipina, Amerika Serikat dan Turki agar dapat diterapkan omnibus law yang berbudaya hukum Indonesia. Omnibus law sejatinya adalah teknik dalam penyusunan undang-undang yang bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas sehingga sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Untuk mewujudkannya diperlukan pemahaman tentang omnibus law dan komitmen politik yang kuat dari DPR maupun pemerintah.

ABSTRACT
Indonesia is a state with high economic potential. Unfortunately, the investment growth in Indonesia is quite low due to many factors that inhibit the business development. As a result, the investors are reluctant to invest in Indonesia. Omnibus law might be a solution to tackle the problems. The omnibus Law is simply defined as a statute that may amend some statutes at once. There are three conditions of omnibus law implementation, first, the statute that will be amended is related to the other statutes directly, second, the former statute is not related to others directly, third, the former statute is related to others but it affects each other in practices. A comparison of the omnibus law applications in Philippines, the United States, and Turkey may help to seek the possibility of the omnibus law application in Indonesia without leaving its legal culture. It is believed that the omnibus law is possible to be applied in Indonesia, but it needs an adequate understanding about the omnibus law and a strong political commitment of the House of Representatives of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Indonesia to implement the omnibus law.

"
2019
T53114
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kamil Akbar
"ABSTRAK

Abstrak

Penelitian ini membahas mengenai penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan memlalui jalur mediasi yang dilakukan oleh lembaga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi. Berlakunya Permenkumham No. 2 Tahun 2019 ini kemudian memunculkan permasalahan, yang itu berkaitan degan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam menyelesaikan konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi dan mengenai mekanisme mediasi itu sendiri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Kemenkumham tidak memiliki kewenangan dalam menyelesaikan konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi  dan penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi tidak termasuk dalam tugas dan fungsi Kemenkumham maupun Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian dalam hal mekanisme mediasi yang digunakan merupakan suatu kekeliruan, karena mediasi merupakan mekanisme yang biasa diterapkan dalam perkara yang bersifat privat, dimana para pihak bertindak untuk dan atas namanya sendiri. sehingga menjadi aneh apabila mediasi digunakan dalam penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan yang normanya mengatur secara umum. Adapun hasil dari mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak memiberikan dampak hukum terhadap keberlakuan dari norma peraturan perundang-undangan yang telah disepakati.


ABSTRACT


Abstract

This research discusses the conflict completion of legislative norm through mediation path which is held by Ministry of Justice and Human Rights based on Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 2/2019 about Completion Disharmony of Regulation by Mediation. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 2/2019 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on completing conflict of legislative norm by mediation, the mediation mechanism, and legal consequences. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Justice and Human Rights did not has any authority for completing legislative norm by mediation and conflict compelation of legislative norm through mediation is not include in duties and function of the Ministry of Justice and Human Rights or Directorate General of Legislation. Moreover, mediation mechanism used by Justice and Human Rights Ministry is a mistake. Mediation is a mechanism which is used on private cases, in which the parties act and to their name self. As a result, mediation is a weird feature if it used for completing legislative norm conflict which was created for general norm. Its outcomes have no binding legal force and no legal consequence on the validity of legislative norm which was agreed.

"
2019
T54377
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentius Dhanang Widhianto
"Penelitian ini berangkat dari permasalahan luasnya pemaknaan peraturan perundangundangan yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Disisi lain, UU P3 juga mewajibkan semua peraturan perundang-undangan tersebut untuk diundangkan dan ditempatkan pada lembaran resmi negara yang telah ditentukan agar dapat dianggap mulai berlaku. Pada implementasinya masalah ini juga merambat pada proses pengundangan dan mekanisme pemberlakuannya dimana masih banyak ditemukan peraturan perundang-undangan (menurut UU P3) yang berlaku tanpa melalui proses pengundangan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menguraikan proses pengundangan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia; (2) Menemukan daya ikat dan konsekuensi hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia dilihat dari perspektif mekanisme pemberlakuannya; dan (3) menawarkan konsep ideal terkait proses pengundangan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah normatif yang bersifat preskripsi, dengan menggunakan 4 pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan, historis, perbandingan dan konseptual. Sumber data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan atau studi dokumen. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan simpulan bahwa (1) proses pengundangan masih terdapat permasalahan terkait kelebihan kewenangan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan selaku penanggungjawab pengundangan dan inkorelasi jenis peraturan perundang-undangan dengan jenis lembaran resmi negara; (2) daya ikat dan konsekuensi hukum untuk peraturan perundang-undangan yang diberlakukan sesuai template UU P3 memiliki kekuatan hukum yang jelas sehingga fiksi hukum bisa berlaku selama belum adanya perubahan UU P3, sedangkan secara teori peraturan perundang-undangan UU P3 masih kurang tepat dalam mengatur perihal pengundangan; (3) konsep ideal yang penulis tawarkan adalah mengklasifikasikan kembali jenis peraturan perundangundangan yang diakui oleh UU P3 dan membedakan beberapa peraturan yang secara substansi seharusnya bukan menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan.

This research departs from the broad problem of the meaning of legislation issued by Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Legislation. On the other hand, the Law Number 12 of 2011 also requires all laws and regulations needed to be promulgated and allocated to the state gazette of the country that have been determined to be effective. The implementation of this problem also propagates the promulgation process and its enactment regulations where there are still many laws and regulations (according Law Number 12 of 2011) that apply without going through the process of promulgation. This study aims to (1) describe the promulgation process in drafting legislation in Indonesia; (2) Finding binding power and legal consequences of legislation in Indonesia visits from the perspective of its enactment; and (3) offering ideal concept related to the process of promugation and enacting legislation in Indonesia. This type of research is a normative prescription, using 4 approaches, namely statute, historical, comparation and conceptual. The data source used is primary data and secondary data. Techniques for requesting legal material through library studies or document studies. Based on the results of research obtained from these conclusions (1) the process of promulgation there are still problems related to the excess authority of the Director General of Laws and Regulations as the person in charge of the enactment and incorrelation of the types of laws and regulations with the official type of state (2) the binding power and legal regulations for laws and regulations imposed in accordance with the Law Number 12 of 2011 template have clear legal force so that legal fiction can apply as long as there has been no amendment to the Law Number 12 of 2011, whereas in theory the legislation are still lacking compatible for the Law Number 12 of 2011; (3) the ideal concept offered upon by the author reclassifies the laws and regulations approved by the Law Number 12 of 2011 and distinguish several regulations which in substance should not be part of the legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarifudin
"ABSTRAK
Secara historis, keberadaan Penghubung Komisi Yudisial tidak terlepas dari
keberadaan jejaring. Bahkan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial yang dibuat oleh DPR, ketentuan tentang Penghubung ini
tidak ada, yang ada adalah nomenklatur jejaring. Namun, nomenklatur jejaring ini
hilang diganti dengan nomenklatur penghubung setelah keluarnya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011. Ketentuan tentang penghubung ini tercantum dalam Pasal 3
ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang menyebutkan: Komisi Yudisial
dapat mengangkat Penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya,
Pasal 3 ayat 3 menyatakan: Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan,
susunan, dan tata kerja penghubung Komisi Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 18
tahun 2011 telah memberikan delegasi kepada Komisi Yudisial untuk menjabarkan
lebih rinci tentang pembentukan, susunan dan tata kerja Penghubung Komisi Yudisial
di daerah dalam Peraturan Komisi Yudisial. Delegasi kewenangan untuk mengatur
lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang tidak diatur dalam peraturan yang lebih tinggi
merupakan kewenangan yang bersumber dari pembuat legislasi delegated
legislation. Secara yuridis, kedudukan peraturan KY berada di luar hierarki peraturan
perundang-undangan, sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Keberadaan peraturan di luar hierarki diakui dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Namun, ada perbedaan pendapat dari para ahli hukum tentang kedudukan peraturan
yang dibuat oleh lembaga-lembaga di luar eksekutif dan legislatif, seperti: peraturan
yang dibuat oleh KY, MK dan MA. Ada yang berpendapat bahwa peraturan tersebut
masuk dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan pendapat lainnya
mengatakan tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan.

ABSTRACT
Historically, the existence of the Liaison of the Judicial Commission is
inseparable from the existence of networks. Even in the Academic Manuscript of the
Draft Law of the Republic of Indonesia concerning Amendments to Law Number 22
Year 2004 concerning the Judicial Commission made by the House of Representatives,
the provisions regarding this Liaison do not exist, there is a network nomenclature.
However, the missing network nomenclature is replaced by the liaison
nomenclature after the issuance of Law Number 18 Year 2011. Provisions regarding
this link are listed in Article 3 paragraph 2 of Law Number 18 Year 2011 which states:
The Judicial Commission can lift liaison in the regions according to their needs.
Furthermore, Article 3 paragraph 3 states: Further provisions regarding the
formation, arrangement and arrangement of the work of the Judicial Commission in the
regions as referred to in paragraph 2 shall be regulated by the Judicial Commission
Regulation. Law No. 18 of 2011 has given a delegation to the Judicial Commission to
describe in more detail the formation, structure and work procedures of the Liaison of
the Judicial Commission in the region in the Judicial Commission Regulation. The
delegation of authority to further regulate provisions that are not regulated in a higher
regulation constitutes the authority originating from legislated legislators delegated
legislation. Juridically, the position of KY regulations is outside the hierarchy of laws
and regulations, in accordance with the provisions of Article 8 paragraph 1 and 2 of
Law Number 12 of 2011. The existence of regulations outside the hierarchy is
recognized and has binding legal force insofar as it is ordered by Legislation - higher
law or formed based on authority. However, there are differences of opinion from legal
experts about the position of regulations made by institutions outside the executive and
the legislature, such as: regulations made by KY, MK and MA. Some argue that the
regulation is included in legislation, while other opinions say it is not included in the
legislation.
"
2019
T54469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Zulkifli
"Perubahan teknologi penyiaran televisi terestrial dari analog ke digital adalah sebuah keniscayaan mengharuskan perubahan pengaturan, Pemerintah telah melakukan proses-proses menuju perubahan tersebut sampai pada implementasi komersil namun kemudian dibatalkan oleh Mahkaham Agung karena menurut Mahkaham belum ada dasar hukum penyelenggaraannya. Tesis ini membahas bagimana kewenangan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam melakukan pengaturan dan dampak yang ditimbulkan dari keluarnya keputusan Mahkamah Agung terkait pembatalan tersebut. Metode penelitian yang digunakan ada yuridis normmatik bersifat deskriptip analitis dengan teknik pengumpulan data kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi peraturan perundang-undangan penyiaran televisi digital terestrial diatur oleh Undang-Undang 36 tentang Telekomunikasi (lex generalis) dan Undang-Undang 32 tentang Penyiaran (lex specialist), Menteri Komunikasi dan informatika mempunya kewenangan untuk melakukan pengaturan penyiaran televisi digital baik atributif diperoleh dari Undang-Undang 39/2008 tentang Kementerian Negara dan delegatif diperoleh dari Peraturan Presiden nomor 24/2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Munculnya kekosongan hukum sebagai dampak dari putusan Mahkamah Agung membatalkan tindakan pemerintah sehingga menghilangkan aspek legalitas implementasi komersil yang telah dimulai juga melahirkan ketidakkepastian hukum penyelenggaraan sehingga terjadinya krisis kanal penyiaran televisi terestrial, krisis bandwidth telekomunikasi, hilangnya potensi digital deviden, munculnya praktek monopoli, rendahnya posisi tawar klaim penggunaan frekuensi oleh negara di wilayah perbatasan.

The change in technology from analog to digital terrestrial television broadcasting is a necessity requiring a change in regulation, the Government has carried out the processes to change until the commercial implementation but later canceled by Supreme Court because according to Mahkaham there is no legal basis for its implementation. This thesis discusses how the authority of the Minister of Communication and Information in regulating and the impact arising from the issuance of the Supreme Court's decision regarding the cancellation. The research method used there is normmatic juridical descriptive analysis with library data collection techniques and interviews. The results of the study indicate that in terms of the laws and regulations of terrestrial digital television broadcasting are regulated by Law 36 concerning. Telecommunications (lex generalis) and Law 32 concerning Broadcasting (lex specialist), the Minister of Communication and Informatics has the authority to regulate digital television broadcasting both attributive obtained from Law 39/2008 concerning State Ministries and delegates obtained from Presidential Regulation number 24/2010 concerning Position, Task, and Function of State Ministries as well as Organizational Structure, Tasks, and Functions of Echelon I of State Ministries. The emergence of a legal vacuum as a result of the Supreme Court ruling overturned the government's actions to eliminate the legal aspects of commercial implementation that had also begun to create legal uncertainty in the implementation of terrestrial television broadcasting channel crises, telecommunication bandwidth crisis, loss of digital dividend potential, monopolistic practice, low bargaining position claims for frequency use by countries in the border region. In order to avoid similar things happening in the future, it needs convergence/merging of the Telecommunications Law and Broadcasting Law, as a tactical step to overcome the short-term impact of the Supreme Court's ruling, it is necessary to establish a Substitution Government Regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Widiyastuti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang politik hukum dalam proses pembentukan Qanun dan Peraturan Daerah Berbasis Keagamaan. Tesis ini menggunakan metode penulisan hukum normatif, penulis akan menggunakan dua bentuk metode, yakni penelitian studi pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan perspektif politik, hukum dan sosio-legal dengan menguji dan menganalisis arah kebijakan pembentukan hukum dalam proses legislasi di daerah. Proses pembentukan in casu Peraturan Daerah juga tidak dapat menafikan pengaruh politik. Hipotesa yang ingin dikaji dalam tesis ini adalah jika konfigurasi politik yang dianut demokratis maka dalam proses legislasinya akan memberi spektrum yang luas (public sphere) dan peranan optimal partisipasi kelompok sosial dan individu dalam masyarakat. Sebaliknya, jika konfigurasi politiknya bersifat otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat dalam legislasi relatif kecil.

ABSTRACT
This thesis discusses political law of Local Regulation legislation process. This thesis applies the method of normative legal writing, the author will use two forms of the method, the library research and field research. The research approach taken in this paper is the approach of political, law and sosio-legal perspectives, which examined the relationship betwen politic and law, legal policy of law that would be applied in the aspect of local regulation legislation. The hypotheses are proposed in this thesis based on two focus : if the configuration of the political was democratic determination in the process of legislation will provide space and the role of optimal participation of social groups and individuals in society. Conversely, if the political configuration was an authoritarian, the role and public participation in legislation is relatively limited to a narrow policy spectrum."
Universitas Indonesia, 2013
T32957
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Adhitama Sukma
"Munculnya Peraturan Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan menimbulkan berbagai polemik. Kementerian Dalam Negeri mengajukan surat permohonan pencabutan atas peraturan menteri tersebut karena dianggap telah melampaui kewenangan dalam proses pengharmonisasian peraturan daerah kabupaten. Mengingat sejauh ini Kementerian Dalam Negeri yang banyak berperan dalam pembentukan peraturan daerah. Adanya surat permohonan ini justru diselesaikan melalui rapat koordinasi penyelesaian yang berakhir dengan kesepakatan. Bukan justru dengan melakukan pendekatan secara teori. Dampaknya adalah di Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi merasa bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Ham Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Di Daerah Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat diterapkan. Pemerintah Daerah tersebut melihat bahwa peran Kementerian Dalam Negeri dapat fokus terhadap pengembangan kompetensi perancang.

The emergence of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 22 Year 2018 concerning Harmonization of Draft Laws Formed in Regions by Drafting of Laws and Regulations raises various polemics. The Ministry of Home Affairs submitted a letter of application for revocation of the ministerial regulation because it was considered to have exceeded the authority in the process of harmonizing the district regulations. Considering so far the Ministry of Home Affairs has a lot to play in forming local regulations. The existence of this request letter was actually completed through a coordination coordination meeting which ended with an agreement. Not precisely with a theoretical approach. The impact is that the Sukabumi District Government feels that the Minister of Law and Human Rights Regulation No. 22 of 2018 concerning the Harmonization of Draft Laws Formed in the Regions by the Designers of Legislation and Regulations cannot be applied. The Regional Government sees that the role of the Ministry of the Interior can focus on developing the competency of the designer."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tigor Einstein
"

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2018, terdapat 21 Permohonan Pengujian Perppu yang pernah  diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun, tidak ada satupun  yang diuji secara substantif.  Dengan kata lain, selama ini  tidak pernah ada permohonan yang dikabulkan atau ditolak oleh MK. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945 untuk menyetujui atau tidaknya suatu Perppu menjadi undang-undang. Penelitian ini  adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan tipologi penelitian preskriptif dan menggunakan data sekunder  serta  merujuk peraturan perundang-undangan,  yang mana dari penelitian ini, telah diketahui bahwa pengaturan mengenai pengujian terhadap Perppu baru muncul setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, tepatnya setelah adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Menurut Ketetapan MPR tersebut, pengujian Perppu dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun  sejak tahun 2000 hingga tahun 2009, setelah MK terbentuk, baik MK maupun MA belum pernah melakukan pengujian terhadap Perppu. Baru sejak  tahun 2009, MK mulai melakukan pengujian terhadap Perppu dan menghasilkan  Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 putusan mana selanjutnya menjadi “pintu masuk” untuk melakukan pengujian-pengujian  Perppu berikutnya meskipun sesungguhnya hanya akan sia-sia jika DPR ternyata menentukan sebaliknya. Jika bangsa ini sungguh-sungguh menghendaki MK memiliki kewenangan untuk menguji Perppu, maka kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR tersebut  mau tidak mau harus dihapuskan. Selanjutnya, untuk meneguhkan adanya kewenangan MK tersebut, tentunya harus diberikan berdasarkan UUD.

 

Kata Kunci:

Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Mahkamah Konstitusi; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.


Since 2009 until 2018, there are 21 applications for testing the Perppu that have been submitted to the Constitutional Court (MK), however, none of them have been substantively tested. In other words, so far there has never been a request that was granted or rejected by the Constitutional Court. This may be due to the existence of constitutional authority owned by the DPR as stipulated in Article 22 of the 1945 Constitution to approve or not a Perppu to become a law. This research is a normative legal research using prescriptive research typology and using secondary data and referring to laws and regulations, which from this research, it is known that the regulation regarding the reviewing of Perppu only appeared after the amendments to the UUD 1945, precisely after the MPR Decree Number III / MPR / 2000. According to the MPR Decree, the Perppu review was conducted by the Supreme Court (MA). However, from 2000 to 2009, after the Constitutional Court was formed, both the Constitutional Court and the Supreme Court have never reviewed Perppu. It was only since 2009 that the Constitutional Court began to reviewing  Perppu and resulted in the verdict of The Constitutional Court Number 138 / PUU-VII / 2009 which subsequently became the "entrance" to conduct subsequent Perppu reveiew even though it would only be in vain if the DPR turned out to determine otherwise. If this nation truly wants the Constitutional Court to have the authority to review Perppu, then the constitutional authority possessed by the DPR must inevitably be eliminated. Furthermore, to confirm the existence of the Constitutional Court's authority, of course it must be given based on the Constitution.

"
2019
T53598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Kurniawan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pengharmonisasian rancangan peraturan menteri, analisis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Atau Rancangan Peraturan Dari Lembaga Nonstruktural Oleh Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Berlakunya Permenkumham No. 23 Tahun 2018 ini kemudian memunculkan permasalahan terkait dengan kewenangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan menteri dalam melakukan pengharmonisasian rancangan peraturan menteri karena tidak ada pendelegasian wewenang dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,kemudian dalam hal mekanisme proses pengharmonisasian peraturan menteri bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Permasalahan baru yang timbul yaitu masih kurangnya kualitas dan kuantitas perancang peraturan perundang-undangan yang bertugas di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengharmonisasian seluruh rancangan peraturan menteri.

ABSTRACT
This research discusses harmonizing the draft ministerial regulation, analysis of Law and Human Right MinistryRegulation No. 23/2018 about Harmonizing The Draft Ministerial Regulation, Draft Regulation of Non-Ministerial Governmen Institutions, or Draft Regulations From Non- Structural Institutions by Legislative Drafter. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 23/2018 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on harmonizing the draft ministerial regulation. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Law and Human Rights did not has any authority harmonizing the draft ministerial regulation because there is no delegation of authority from a higher regulation, that is The Law No.12/2011 Concerning The Establishment Of Legislation, then in the case of the mechanism of the harmonization of ministerial regulations contrary to the principles of the establishment of legislation. A new problem that arises is that there is still a lack of quality and quantity of the legislative drafter in charge of The Ministry Of Law and Human Right to harmonize the entire draft ministerial regulation."
2019
T54426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audhilla Novieta Putri
"Penelitian ini berangkat dari adanya perbedaan kebijakan yang diterapkan di dalam pelaksanaan pemerintahan daerah yang bersifat Istimewa. Keistimewaan DIY diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18B. Kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 dan dalam bidang pertanahan secara lengkap diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2017 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten di Yogyakarta.
Rumusan permasalahan penelitian ini, Bagaimana kewenangan DIY berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY, bagaimana peran pemerintah dalam urusan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan bagaimana hubungan pengelolaan dan pemanfaatan tanah terhadap tanah yang memiliki sertifikat hak milik. Tujuannya adalah menganalisis bagaimana kewenangan, peran pemerintah dan hubungan pengelolaan dan pemanfaatan tanah dengan tanah yang memiliki sertifikat. Metodologi yang digunakan adalah studi normatif dengan model deskriptif analitis.
Hasil yang diperoleh adalah bahwa terdapat pendelegasian peraturan yang berasal dari undang-undang kepada peraturan dibawahnya yang dalam pendelegasian peraturan tersebut melekat pula kewenangan pemerintah daerah yang bersifat atribusi untuk merumuskan peraturan-peraturan dibawahnya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan diatasnya. Peran pemerintah daerah telah diatur dalam Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2017 dan terdapat beberapa perbedaan dengan peran daerah lainnya. Terkait dengan tanah yang memiliki sertifikat, Peraturan Daerah Istimewa No. 1 Tahun 2017 tidak mengatur karena peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pengelolaan dan pemanfaatan tanah saja.

This study departs from the existence of differences in policies that are applied in the implementation of special regional administrations. DIY features mandated in the 1945 Constitution Article 18B. The authority of the Special Region of Yogyakarta is regulated in Law No. 13 of 2012 and in the field of land completely regulated in the Special Region Regulation of Yogyakarta No. 1 of 2017 concerning Management and Utilization of the Sultanate and Duchy Land in Yogyakarta.
Formulation of the problem of this research, How is the authority of DIY based on Law No. 13 of 2012 concerning the Privileges of DIY, what is the role of the government in matters of management and utilization of land and how is the relationship between management and utilization of land to land that has a certificate of ownership. The aim is to analyze how the authority, the role of government and the relationship of management and use of land with land that has a certificate. The methodology used is normative study with analytical descriptive model.
The results obtained are that there is a delegation of regulations originating from the law to the rules below which in the delegation of these regulations also attaches the authority of the regional government that has the character of attribution to formulate the rules below by referring to the laws and regulations above. The role of the regional government has been regulated in Governor Regulation No. 33 of 2017 and there are some differences with other regional roles. Regarding land that has a certificate, Special District Regulation No. 1 of 2017 does not regulate because the regulation only regulates land management and utilization.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53935
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>