Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan memlalui jalur mediasi yang dilakukan oleh lembaga Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmoni Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi. Berlakunya Permenkumham No. 2 Tahun 2019 ini kemudian memunculkan permasalahan, yang itu berkaitan degan kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam menyelesaikan konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi dan mengenai mekanisme mediasi itu sendiri dan akibat hukum yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, sejarah, dan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Kemenkumham tidak memiliki kewenangan dalam menyelesaikan konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi dan penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan melalui mediasi tidak termasuk dalam tugas dan fungsi Kemenkumham maupun Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian dalam hal mekanisme mediasi yang digunakan merupakan suatu kekeliruan, karena mediasi merupakan mekanisme yang biasa diterapkan dalam perkara yang bersifat privat, dimana para pihak bertindak untuk dan atas namanya sendiri. sehingga menjadi aneh apabila mediasi digunakan dalam penyelesaian konflik norma peraturan perundang-undangan yang normanya mengatur secara umum. Adapun hasil dari mediasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak memiberikan dampak hukum terhadap keberlakuan dari norma peraturan perundang-undangan yang telah disepakati.
Abstract
This research discusses the conflict completion of legislative norm through mediation path which is held by Ministry of Justice and Human Rights based on Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 2/2019 about Completion Disharmony of Regulation by Mediation. The validity of Justice and Human Rights Ministry Regulation No. 2/2019 brings some problems up which related to authority of Ministry of Justice and Human Right on completing conflict of legislative norm by mediation, the mediation mechanism, and legal consequences. This study is normative which used statute, historical, and conceptual approach. The result showed Ministry of Justice and Human Rights did not has any authority for completing legislative norm by mediation and conflict compelation of legislative norm through mediation is not include in duties and function of the Ministry of Justice and Human Rights or Directorate General of Legislation. Moreover, mediation mechanism used by Justice and Human Rights Ministry is a mistake. Mediation is a mechanism which is used on private cases, in which the parties act and to their name self. As a result, mediation is a weird feature if it used for completing legislative norm conflict which was created for general norm. Its outcomes have no binding legal force and no legal consequence on the validity of legislative norm which was agreed.
"Sejak tahun 2009 hingga tahun 2018, terdapat 21 Permohonan Pengujian Perppu yang pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun, tidak ada satupun yang diuji secara substantif. Dengan kata lain, selama ini tidak pernah ada permohonan yang dikabulkan atau ditolak oleh MK. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945 untuk menyetujui atau tidaknya suatu Perppu menjadi undang-undang. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan tipologi penelitian preskriptif dan menggunakan data sekunder serta merujuk peraturan perundang-undangan, yang mana dari penelitian ini, telah diketahui bahwa pengaturan mengenai pengujian terhadap Perppu baru muncul setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, tepatnya setelah adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Menurut Ketetapan MPR tersebut, pengujian Perppu dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun sejak tahun 2000 hingga tahun 2009, setelah MK terbentuk, baik MK maupun MA belum pernah melakukan pengujian terhadap Perppu. Baru sejak tahun 2009, MK mulai melakukan pengujian terhadap Perppu dan menghasilkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 putusan mana selanjutnya menjadi “pintu masuk” untuk melakukan pengujian-pengujian Perppu berikutnya meskipun sesungguhnya hanya akan sia-sia jika DPR ternyata menentukan sebaliknya. Jika bangsa ini sungguh-sungguh menghendaki MK memiliki kewenangan untuk menguji Perppu, maka kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR tersebut mau tidak mau harus dihapuskan. Selanjutnya, untuk meneguhkan adanya kewenangan MK tersebut, tentunya harus diberikan berdasarkan UUD.
Kata Kunci:
Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Mahkamah Konstitusi; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Since 2009 until 2018, there are 21 applications for testing the Perppu that have been submitted to the Constitutional Court (MK), however, none of them have been substantively tested. In other words, so far there has never been a request that was granted or rejected by the Constitutional Court. This may be due to the existence of constitutional authority owned by the DPR as stipulated in Article 22 of the 1945 Constitution to approve or not a Perppu to become a law. This research is a normative legal research using prescriptive research typology and using secondary data and referring to laws and regulations, which from this research, it is known that the regulation regarding the reviewing of Perppu only appeared after the amendments to the UUD 1945, precisely after the MPR Decree Number III / MPR / 2000. According to the MPR Decree, the Perppu review was conducted by the Supreme Court (MA). However, from 2000 to 2009, after the Constitutional Court was formed, both the Constitutional Court and the Supreme Court have never reviewed Perppu. It was only since 2009 that the Constitutional Court began to reviewing Perppu and resulted in the verdict of The Constitutional Court Number 138 / PUU-VII / 2009 which subsequently became the "entrance" to conduct subsequent Perppu reveiew even though it would only be in vain if the DPR turned out to determine otherwise. If this nation truly wants the Constitutional Court to have the authority to review Perppu, then the constitutional authority possessed by the DPR must inevitably be eliminated. Furthermore, to confirm the existence of the Constitutional Court's authority, of course it must be given based on the Constitution.
"