Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Larastika Riyanto
"Latar Belakang. Epilepsi lobus temporal (ELT) merupakan salah satu sindrom epilepsi yang paling banyak ditemukan dengan proporsi mencapai 20% dari seluruh pasien dengan epilepsi. Sebanyak lebih dari 50% pasien ELT tidak berespon dengan pemberian obat anti bangkitan (OAB) monoterapi pertama kali, sehingga akan memerlukan penggantian bahkan hingga kombinasi dengan 2 atau lebih OAB. Tujuan dari pemberian OAB pada pasien ELT selain untuk mengontrol bangkitan dengan efek samping yang minimal adalah untuk memperbaiki kualitas hidup pada pasien. Berbagai faktor terkait dengan penggunaan OAB dapat berhubungan dengan kualitas hidup pasien dan tujuan dari studi ini adalah untuk menilai lebih lanjut hubungan tersebut.
Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada April hingga Desember 2023 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini meliputi pasien yang sudah terdiagnosis ELT oleh dokter spesialis neurologi, berusia 18 tahun atau lebih, dan telah menggunakan regimen OAB yang sama selama 1 bulan terakhir. Kriteria eksklusi penelitian ini meliputi pasien dengan epilepsi multifokal serta tidak dapat melengkapi pengisian instrumen penilaian kualitas hidup yaitu Quality of Life in Epilepsy Inventory-31 (QOLIE-31) secara mandiri. Penelitian ini telah mendapatkan ijin etik dari Komite Etik Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasil. Sebanyak total 100 subjek berpartisipasi pada studi ini dengan sebagian besar berjenis kelamin perempuan (58%) dengan median usia 30 (18-65) tahun. Mayoritas pasien ELT memiliki etiologi sklerosis hipokampus dan frekuensi bangkitan dalam 1 bulan yaitu dengan median 1 (0-34) kali. Sebanyak 70% subjek menggunakan regimen politerapi dengan kombinasi 2 jenis obat menempati proporsi terbanyak (41%). Penggunaan OAB generasi lama lebih banyak dibandingkan dengan generasi baru. Rerata skor kualitas hidup total pada subjek yaitu 61.46 (±1.63). Penggunaan karbamazepin diketahui secara independen berhubungan dengan skor kualitas hidup total yang lebih baik serta utamanya pada domain kekhawatiran akan bangkitan dan fungsi sosial. Penggunaan topiramat didapatkan berhubungan dengan rendahnya skor kualitas hidup pada domain kognitif, efek pengobatan, dan fungsi sosial. Didapatkan pula hubungan yang bermakna pada penggunaan levetirasetam dengan rendahnya skor kualitas hidup pada domain tingkat energi/kelelahan.
Kesimpulan. Penggunaan politerapi merupakan praktik yang sering didapatkan pada pasien dengan ELT. Beberapa faktor terkait pemilihan OAB pada pasien diketahui berhubungan dengan kualitas hidup secara keseluruhan maupun pada beberapa domain spesifik. Penting untuk klinisi dapat mempertimbangkan faktor kualitas hidup pasien sebelum menentukan pemberian OAB yang terbaik.

Background. Temporal lobe epilepsy (TLE) is one of the most common epilepsy syndrome encountered in daily clinical practice with more than 20% proportion out of all epilepsy population. More than 50% of TLE patients do not respond well with the first antiepileptic drug (AED) and required switching or even addition with two or even more drugs. The goal of AED administration should not only be focused on seizure control and minimizing the adverse drug reaction, rather also to consider patients’ quality of life. Multiple factors related to AED administration was known to affect patients’ quality of life, and so the purpose of this study is to assess that relationship in Indonesian ELT population.
Methods. This is a cross-sectional study conducted on April to December 2023 in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. The inclusion criteria for this study were patient diagnosed with TLE by a neurologist, aged 18 or above, and had been using the same AED regimen for at least the last month. The exclusion criteria were multifocal epilepsy as well as patients who could not completed the quality of life questionnaire QOLIE-31 independently. This study had gain ethical approval form Ethical Commission, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
Result. A total of 100 subjects were recruited in this study, most of them were female (58%) with the median age of 30 (18-65) years old. The majority of patients had hippocampal sclerosis as the etiology and the seizure frequency during the last month had the median score of 1 (0-34) times. As many as 70% of the subjects were using polytherapy with most of them were using 2 kind of AED. The mean total score for QOLIE-31 was 61.46 (±1.63) out of 100. Several factors related to AED administration were known to be associated with the quality of life. The use of carbamazepine was independently associated with a better total score of QOLIE-31, especially in the seizure worry and social function domain. Topiramate administration was also associated with the lowering of quality of life score in cognitive, medication effect, and social effect domain. There is also a statistically significant association between levetiracetam consumption and the low score in energy domain.
Conclusion. The use of polytherapy was vastly encountered in the clinical practice for TLE patients. Several factors of AED selection were associated with the overall quality of life and to some extend in several specific domain. It is crucial for clinical to also consider the quality of life as determining factor for choosing the appropriate AED for every patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mellia Ambarningrum
"ABSTRAK
Hubungan Gangguan Kognitif dengan Kelainan Mikrovaskular Retina dan Otak pada Penyandang HipertensiMellia Ambarningrum , Diatri nari Lastri , Eva Dewati , Jacub Pandelaki , Joedo Prihartono Departemen Neurologi, FKUI-RSCM, Jakarta Departemen Radiologi, FKUI-RSCM, Jakarta Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI, Jakartamelliaambarningrum@yahoo.com AbstrakLatar Belakang : Hipertensi merupakan penyakit sistemik yang berisiko terkena aterosklerosis dan mengakibatkan kerusakan multi organ. Serebral small vessel disease SVD dan retinopati merupakan sebagian komplikasi mikrovaskular dari hipertensi. Manifestasi klinis tersering dari serebral SVD adalah infark lakunar dan penurunan fungsi kognitif. Struktur mikrovaskular retina dan otak secara embriologis memiliki pola vaskularisasi, morfologi dan fungsional yang sama. sehingga pembuluh darah retinadapat dianggap sebagai cerminan dari vaskulatur otak. Oleh karena itu perlu diketahui adakah hubungan antara gangguan kognitif dengan retinopati dan serebral SVD pada penyandang hipertensi.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang terhadap 39 subyek penyandang hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek berusia antara 23-65 tahun yang berobat rawat jalan ke poli ginjal hipertensi dan poli saraf RSUP Cipto Mangunkusumo antara bulan September-November 2016. Subyek kemudian dilakukan pemeriksaan funduskopi, foto retina, neuropsikologi dan pencitraan otak tanpa kontras.Hasil : Ranah kognitif yang paling sering terganggu pada penyandang hipertensi dengan serebral SVD adalah memori, psikomotor, bahasa, visuospasial, fungsi eksekutif dan atensi. Sebanyak 43 subyek memiliki penyempitan arteriol dan 48,7 subyek dengan lesi white matter. Tidak terdapat perbedaan antara subyek yang mengalami serebral SVD dengan gangguan kognitif p=1,000; R:0,324 , retinopati dengan serebral SVD p=1,000; R:0,235 dan retinopati dengan gangguan kognitif p=0,727; R:0,424 .Kesimpulan : Terdapat hubungan yang lemah antara gangguan kognitif dengan retinopati dan serebral SVD pada penyandang hipertensi.

ABSTRACT
The Association between Cognitive Impairment with Retinal and Cerebral Microvascular Abnormalities in Hypertensive PatientsMellia Ambarningrum , Diatri Nari Lastri , Eva Dewati , Jacub Pandelaki , Joedo Prihartono Neurology Department, FKUI RSCM, Jakarta Radiology Department, FKUI RSCM, Jakarta Community Medicine Department, FKUI, JakartaAbstractBackground Hypertension is a systemic disease in which patients are prone to multi organ diseases and atherosclerosis. Cerebral small vessel disease SVD and retinopathies make up part of the microvascular complications of hypertension. The most common clinical manifestations of cerebral SVD is a cognitive decline due to a lacunar infarct. The microvasculature of the brain and the retina is an analog to brain 39 s. We aim to observe if there a significant association between cognitive decline and retinopathy with cerebral SVD in hypertensive patients.Method This cross sectional study analysed a population of 39 chronic hypertensive patients which met our inclusion criteria. Subjects were aged bertween 23 65 years old, and visited the Renal Hypertension Clinic at RSUP Cipto Mangunkusumo between September and November 2016. we performed on each patient a funduscopy, a retinal photograph, a neuropsychological assessment and a non contrast brain imaging.Results The most common neurological deficits in our population with cerebral SVD were memory, psychomotoric, language, visuospatial, executive function and attention deficits. 43 of our subjects had some degree of arterial occlusion, and we observed white matter lesions WML in 48,7 of our patients. We did not find any differences between subjects who had cerebral SVD with cognitive impairment p 1,000 R 0,324 , retinopathy with cerebral SVD p 1,000 R 0,235 and retinopathy with cognitive impairment p 0,727 R 0,424 .Conclusion There is a weak association between cognitive impairment with retinopathy and cerebral SVD in chronic hypertensive patients. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadli
"Pendahuluan: Neuropati diabetik merupakan komplikasi diabetes yang paling sering ditemukan dalam praktik sehari-hari. Gejala terutama dikeluhkan rasa nyeri atau baal pada kedua tungkai. Penyakit arteri perifer (PAP) juga merupakan komplikasi diabetes dengan manifestasi nyeri pada tungkai. Adanya neuropati dan PAP akan mempengaruhi gejala satu sama lain sehingga umumnya pasien akan datang dalam keadaan yang lebih berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran klinis dan hasil pemeriksaan elektrodiagnostik neuropati diabetik dengan atau tanpa PAP.
Metode: Studi ini bersifat deskriptif dengan metode potong lintang pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati berdasarakan Toronto clinical neuropathy score (TCNS). Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi (Kecepatan hantar saraf (KHS) dan sympathetic skin response (SSR)) untuk membuktikan adanya neuropati serta pemeriksaan ankle brachial index (ABI) dan toe brachial index (TBI) untuk mendiagnosis adanya PAP.
Hasil: Sebanyak 46 subjek penelitian yang terdiri dari 22 laki-laki dan 24 perempuan. Rerata usia subjek penelitian adalah 63,09 (±9,98) tahun dengan rerata lama menderita diabetes 13,57 (±10,43) tahun. Kebanyakan pasien memiliki kontrol glikemik yang kurang baik dengan median HbA1C of 7,35 (min-max: 5,6-12,2). Didapatkan sebanyak 22 orang terdiagnosis PAP berdasarkan pemeriksaan TBI. Berdasarkan analisis bivariat didapatkan kemaknaan secara statistik antara adanya keluhan nyeri, rasa kram, lokasi nyeri, klaudikasio intermiten serta riwayat penyakit jantung koroner dengan adanya PAP (masing-masing p < 0,05).
Kesimpulan: Adanya keluhan nyeri, rasa kram, lokasi nyeri, klaudikasio intermiten, serta riwayat penyakit jantung koroner dapat menunjukkan adanya kemungkinan PAP pada pasien neuropati diabetik.
Kata kunci: neuropati diabetik, penyakit arteri perifer, kecepatan hantar saraf, respon kulit simpatetik

Background: Diabetic neuropathy (DN) is a common complication of diabetes. Symptoms can be tingling, pain or numbness in the leg.(1) Peripheral arterial disease (PAD) is also a complication of diabetes which can cause pain in the leg. The presence of DN and PAD affect each other, resulting in worse patient condition. The aim of this study to evaluate clinical characteristics and electrodiagnostic findings in diabetic neuropathy with and without PAD.
Method: a descriptive cross-sectional study in type 2 diabetes mellitus patient with neuropathy based on Toronto clinical neuropathy score (TCNS). Patients were evaluated with electrodiagnostic study (nerve conduction study (NCS) and sympathetic skin response (SSR)) to confirm neuropathy and also ankle brachial index (ABI) and toe brachial index (TBI) to evaluate PAD.
Results: a total of 46 subjects consisted of 22 male and 24 females include in this study. The mean age of the study population was 63,09 years (±9,98). The mean duration of diabetes in the study population was 13,57 years (±10,43). Most of the patients had poorly controlled diabetes with a median HbA1C of 7,35 (min-max: 5,6-12,2). Ten patients have PAD based on TBI examination. From bivariate analysis, there is statistically significant association between pain, cramp, pain location, intermittent claudication, and history of coronary arterial disease with the presence of PAD (p < 0,05).
Kesimpulan: The presence of pain, cramp, pain location, intermittent claudication, and history of coronary arterial disease can predict the presence of PAD in DN patients.
Keywords: diabetic neuropathy, peripheral arterial disease, nerve conduction study, sympathetic skin response"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirna Marhami Iskandar
"ABSTRAK
Latar belakang: Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering ditemukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, yang diketahui memiliki luaran baik apabila derajat keganasannya rendah dan dapat dilakukan reseksi total. Namun demikian, tingkat rekurensi masih cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko rekurensi.Metode penelitian: Desain penelitian adalah potong lintang, dengan populasi mencakup semua pasien di atas usia 18 tahun yang didiagnosis dengan meningioma intrakranial sejak Januari 2010 sampai Juni 2015. Faktor inklusi yaitu yang mampu dilakukan follow-up dan memberikan persetujuan untuk ikut dalam penelitian. Rekurensi pada dua tahun pascaoperasi dinilai secara klinis dan radiologis. Dilakukan pemeriksaan imunohistokimia, yaitu ekspresi progesterone receptor PR , vascular endothelial growth factor VEGF , dan Ki67. Faktor-faktor lain yang dinilai yaitu derajat WHO, derajat Simpson, dan lokasi tumor. Pengolahan data dilakukan dengan analisis bivariat dan multivariat.Hasil : Tingkat rekurensi adalah sebesar 16,1 . Derajat Simpson yang lebih tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya rekurensi p=0.041, OR 20,34 95 CI 1.13-367.62 . Beberapa faktor dianalisis bersama, dan didapatkan bahwa ekspresi VEGF yang sedang-kuat apabila disertai dengan ekspresi PR yang negatif juga meningkatkan risiko rekurensi p=0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439-481.307 .Kesimpulan : Tingkat rekurensi meningioma intrakranial pada dua tahun pascaoperasi adalah sebesar 16,1 . Berdasarkan faktor-faktor yang dianalisis dalam penelitian ini, didapatkan bahwa risiko rekurensi meningkat secara signifikan pada derajat Simpson yang lebih rendah, dan juga dengan ekspresi VEGF yang lebih kuat jika disertai dengan ekspresi PR yang negatif.
ABSTRACT Background. Meningioma is the most frequently found intracranial tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, which is known have good outcome if the tumor is benign and total resection is possible. Nevertheless, recurrence is still commonly found, warranting further investigation on other factors that may increase the risk of recurrence. Method. This is a cross sectional study. The population consists of all patients aged 18 years old, diagnosed with intracranial meningioma between January 2010 ndash June 2015, among whom follow up and informed consent are possible. Recurrence at two years post surgery is assessed by clinical and radiological presentation. Immunohistochemistry expressions, along with WHO grade, Simpson grade, and tumor location, are then analyzed with bivariate and multivariate correlation. Results. Recurrence rate at was 16,1 . The factor found to significantly increase risk for recurrence is Simpson grade p 0.041, OR 20,34 95 CI 1.13 367.62 . Some variables are analyzed together, and it is also found that moderate strong VEGF expression when found together with negative PR expression increases also significantly increases recurrence rate p 0.027, OR 26,31, 95 CI 1.439 481.307 . Conclusion. Recurrence rate of meningioma two years post surgery is 16,1 . Among the factors assessed within this study, recurrence risk is found to be increased with higher Simpson grade, and stronger VEGF expression when found together with negative PR expression."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library