Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
Erna Sjafitri
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kanti Mulyani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S23591
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ani Aprianingsih
"Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Keinginan untuk mempunyai keturunan merupakan suatu hal yang manusiawi, tetapi tidak semua orang mempunyai keturunan. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai keturunan, biasnya menempuh cara pengangkatan anak atau adopsi. Tetapi alasan melakukan adopsi tidak hanya karena tidak mempunyai keturunan, masih banyak alasan lainnya, misalnya karena alasan kemanusiaan. Seperti tindakan hukum lainnya, adopsi juga mempunyai akibat hukum, terutama bagi anak angkat dalam hal kewarisan dan perkawinan. Menurut hukum Islam, adopsi hanya bertujuan untuk pemeliharaan anak yang diangkat saja, sehingga tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua asalnya (adoptio minus plena). Sedangkan menurut Hukum Perdata Barat (dalam hal ini Staatsblad 1917 No. 129), adopsi bertujuan untuk meneruskan keturunan sehingga memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua asalnya (adoptio plena). Mengingat tidak adanya keseragaman mengenai peraturan-peraturan yang mengatur tentang adopsi dan belum adanya Undang-undang khusus tentang adopsi, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat alangkah baiknya jika pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membentuk Undang-undang khusus yang mengatur masalah adopsi secara lengkap dan sempurna."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21029
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Taufiq Rahman
"Pengertian harta benda perkawinan mencakup harta bawaan dan harta bersama dalam perkawinan. Sebenarnya hukum Islam yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah tidak mengenal pengertian harta benda perkawinan ataupun pemisahan harta perkawinan menjadi harta bawaan dan harta bersama. Hukum Islam hanya mengenal pengertian tentang hak milik yang dimiliki oleh setiap orang dan haK tersebut harus dihormati selama perkawinan berlangsung, keberadaan harta benda perkawinan kurang begitu terasa, karena masing-masing pihak, baik suami maupun isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Tetapi keberadapan harta benda perkawinan, terutama adanya harta bersama dalam perkawinan menjadi penting apabila perkawinan putus karena perceraian. Tentu akan menjadi permasalahan apabila bekas isteri menuntut pembagian harta yang diperoleh selama perkawinan dari bekas suaminya apabila tidak ada suatu ketentuan yang tegas mengenai hal tersebut . Oleh karena itu beberapa sarjana Islam melakukan suatu ijtihad untuk menemukan garis hukum mengenai harta benda perkawinan. Kemudian dari hasil ijtihad tersebut, beberapa sarjana berpendapat bahwa ada harta benda perkawinan setelah sebelumnya ada syirkah yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian perkawinan. Ada pula sarjana yang berpendapat bahwa harta benda perkawinan otomatis ada begitu ikatan perkawinan disahkan, karena perkawinan merupakan miitsaaqan ghaliidzan (ikatan yang kokoh). Dengan adanya harta benda perkawinan dan peraturan perundang-undangan (di Indonesia dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam) tentang bagaimana pembagiannya, maka akan ada kepastian hukum mengenai bagaimana pembagian harta benda perkawinan terutama sekali harta bersama apabila terjadi perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21028
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mokoginta, Muhammad Soleh
"
ABSTRAKDi Dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.l Tahun 1974 ditegaskan, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami hal inipun berlaku bagi Hukum Islam, lalu timbul pertanyaan kenapa sesama Muslim mengatakan bahwa Perkawainan menurut Hukum Islam itu adalah Poligami, hal ini karena adanya kepentingan pribadi politis dari para orientalis dan tentu saja tidak disalahkan mereka yang memang salah dalam menafsirkan, tetapi yang pokok adalah karena mereka yang mengangap prinsipnya poligami disebabkan mereka itu meninggalkan satu garis hukum dan kemudian juga tidak mengemukakan ayat-ayat yang lain mereka memulai dari garis hukum ke dua yaitu Maka kawinlah oleh
kamu perempuan-perempuan itu 2, 3 dan 4, jadi jelaslah bahwa azas perkawinan dalam Hukum Islam adalah monogami.
Ketentuan tersebut dalam AL QURAN Surah IV ayat 3, yang pada akhir ayat tersebut
... Kalau kamu tidak-akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri kamu itu seyogyanyalah kamu mengawini seorang perempuan saja
.... kawin dengan seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk kamu tidak berbuat aniaya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
S. Yulia Irfany Syarifuddin
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nani R. Kusumawati
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
B. Budiaryanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sumaryono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Puji Astuty
Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library