Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hayashida, Akiko
"The Asian currency and financial crisis since the middle of 1997 was a big historic happening for the world economy, as well as for the Asian economy. The economic difficulties in East Asia began when the Thai government was forced to abandon the currency peg and allow the Baht to float on July 2, 1997. The devaluation raised concerns about the economic outlook and exchange rate arrangements in the neighboring countries. Subsequently, capital outflows triggered the depreciation of their currencies and propelled several East Asian economies into crisis. In this thesis, I have considered why the crisis caused and why contagion effect happened, in other words, why the crisis in Thailand triggered the crisis in neighboring countries.
In chapter 2 and chapter 3, I explain 2 crisis models, i.e. 1S4 generation model (the crisis model based on the fundamentals), and 2'd generation model (the crisis model with self-fulfilling features).
In the chapter 4, I considered some supplementary issues, especially the contagion effect which is characteristic of the East Asian crisis, and the relation between currency crisis and financial crisis. In the 2nd generation model, investor's behavior is an important channel for the contagion. Investors can cause contagion in the event of, for instance, liquidity problems and information asymmetries. In addition, changes in the rules of the game on international financial markets can result in contagion by making investors change their behavior.
In the chapter 5, I overviewed and examined the macroeconomic fundamentals of the East Asian economy. I can say that the East Asian economies enjoyed the highest economic growth, low inflation, a relatively modest current account deficit, rapid export growth and growing international currency reserves, before the crisis, except Thailand, which had relatively large amount of current account deficit. When seeing the economic situations in the East Asian countries before the crisis, I can say that the causality between the macroeconomic fundamentals and the crisis was not strong. Judging from such East Asian macroeconomic fundamentals data , the 1" generation model of the crisis ( the crisis model based on the fundamentals) introduced in the chapter 2 is only appropriate for explaining the beginning of the crisis in Thailand. This raises the question of why the crisis in the East Asia was so severe and the crisis contagion happened all over this region, despite of the sound economic fundamentals of moat of those countries. Then, I consider that the 2" generation model (the model of the crisis with self-fulfilling features) introduced in the chapter 3 is more appropriate for the contagion and `panic' of the East Asian crisis. In conclusion, I can say that the 1" generation model and the 2m generation model complement each other; the relatively bad fundamentals of Thailand triggered the crisis in Thailand, and after that, the change of investors' expectation worsened the crisis and spread the crisis from Thailand to all over East Asia.
Lastly, I point put that strengthening the financial system is important. Because the rapid capital outflow and the contagion would not have happened, if there was not the vulnerability of fmancial sectors and the corporation finances in those countries. There was the vulnerability which the financial sectors and the corporation finances in those countries originally had, in the background of the capital inflow before the crisis, and a great deal of capital outflow at the time of the crisis. Therefore, when seeing the economic structure of a country, we need have wide viewpoints and pay attention to the financial system and the corporation finance, in addition to the typical macro economic index."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T20218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiasih
"Tesis ini menjelaskan bagaimana variabel fiskal (pajak/tax) dan moneter (tingkat bunga rill/real interest rate) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam suatu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Disamping itu, tesis ini mengulas bagaimana perubahan variabel-variabel seperti : real exchange rate yang ditunjukan oleh rasio antara indeks harga luar negeri dikali dengan nilai tukar, dengan indeks harga domestik (QF*E/CPI), serta besarnya tingkat bunga rill (RI), besarnya impor dunia (MWR), defisit anggaran pemerintah (G-T), obligasi pemerintah (L) clan output perekonomian domestik setahun lalu (Y(-1)), akan mempengaruhi perubahan pada output (Y) tahun berjalan. Data yang digunakan adalah data tahunan periode 1969-1997. Perangkat ilmiah yang digunakan adalah ekonometrika, menggunakan sistem persamaan simultan clan merupakan penerapan dari teori IS-LM dalam perekonomian kecil dan terbuka dengan sistem nilai biker tetap. Secara spesifik, model ini merupakan model Mundell-Fleming. Semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunalkan harga konstan 1993 (serous dalam nilai riil). Untuk simulasi output periode 1998-2003, diasumsikan bahwa pemerintah menerapkan paket kebijakan makro (fiskal dan moneter) pads tahun 1998. Ada 9 skenario yang diaplikasikan yaitu : skenario pertains, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal dan moneter, keduanya bersifat longgar; skenario kedua, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat longgar dan kebijakan moneter bersifat netral; skenario ketiga, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat longgar namun kebijakan moneter bersifat ketat; skenario keempat, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat netral dan kebijakan moneter bersifat longgar, skenario kelima, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal manpun moneter bersifat netral; skenario keenam, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal netral dan moneter bersifat ketat; skenario ketujuh, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ketat namun kebijakan-moneter bersifat longgar, skenario kedelapan, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter bersifat netral; sedangkan skenario kesembilan, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal maupun moneter yang bersifat ketat Dari basil simulasi dapat disimpulkan bahwa secara umum kebijakan fiskal lebih efektif di dalam mendorong kegiatan ekonomi. Selanjutnya, dengan asumsi tingkat pertnmbuhan harga konstan, kebijakan fiskal dan moneter yang longgar akan memberikan tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syon Syarid
"Prioritas pemerintah pada pertengahan tahun 1980-an untuk meningkatkan peranan ekspor industri dalam perekonomian telah menyebabkan terjadinya peningkatan pesat ekspor industri manufaktur. Walaupun pertumbuhan sektor industri manufaktur Indonesia sebelum tahun 1980-an mengalami pertumbuhan yang tinggi, tetapi peitumbuhan industri yang tinggi tersebut bukanlah untuk penibahan struktur industri. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya peranan industri manufaktur dalam perekonomian Indonesia baik terhadap nilai tambah (value added) maupun ekspor industri manufaktur.
Perubahan struktur industri manufaktur pada pertengahan tahun 1980-an telah meningkatkan pcranan ekspor industri manufaktur. Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai maksud tersebut adalah merubah strategi perdagangan Indonesia dari strategi substilusi impor ke strategi promosi ekspor dengan mcngurangi rentang tarif barang-barang konsumsi impor yang sennula sangat tinggi, merubah kebijakan dalam bidang investasi dan melakukan penyesuaian dalam bidang moneter yaitu melakukan devalusi mata uang pada tahun 1983 dan tahun 1986 untuk meningkatkan daya saing ekspor industri manufaktur di pasar internasional.
Perubahan kebijakan tersebut telah mampu meningkatkan ekspor industri manufaktur pada pertengahan tahun 1980-an. Bahkan ekspor industri manufaktur Indonesia pada pertengahan Eakin I980-an tersebut telah mendaminasi ekspor nonĀ¬migas Indonesia dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dapat dikatakan tidak mempunyai peranan penting terhadap ekspor non-migas Indonesia.
Perkembangan ekspor industri dan penguatan stniktur industri selama pertengahan tahun 1980-an telah mengundang minat penulis untuk mengetahui sejauh mana perubahan struktur industri di Indonesia dan keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur di pasar internasional. Untuk itu penulis mencoba mengemukakan hipotesis sebagai berikut. Apakah perubahan struktur industri yang terjadi di Indonesia telah mampu meningkatkan keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur di pasar internasional? Apakah komponen-komponen perubahan struktur yaitu produktivitas modal dan tenaga kcrja signifikan mempengaruhi keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur Indonesia? Apakah Real Exchange Rate yang mencerminkan daya saing ekspor industri manufaktur mempunyai hubungan yang erat dengan pembentukan keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur Indonesia di pasar intemasional.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas penulis telah melakukan penelitian terhadap "sektor industri manufaktur berdasarkan kepadatan faktor yang dibagi ke dalam lima subsektor industri manufaktur yaitu subsektor industri manufaktur padat suinberdaya pertanian, padat sumberdaya mineral, padat kaya, padat teknologi dan padat human capital dengan menggunakan Indeks Perubahan Struktur (IPS) untuk mclihat perubahan struktur industri berdasarkan kepadatan
faktor dan Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengukur ketutggulan komparatif ekspor industri manufaktur berdasarkan kepadatan faktor.
dari hasil penelitian diperoleh bahwa secara umum dalam sektor industri manufaktur berdasarkan kepadatan faktor telah tercipla perubahan struktur, tetapi belum tercipta keunggulan komparatif di pasaran internasional. Begitu juga subsektor industri manufaktur padat karya, padat teknologi, dan padat human capital telah menunjukkan terjadinya perubahan struktur. Tetapi subsektor industri manufaktur padat teknologi dan padat human capital belum menunjukkan terciptanya keunggulan komparatif kecuali untuk subsektor industri manufaktur padat karya yang telah menunjukan adanya keunggulan komparatif di pasar intemasional setelah tahun 1985.
Sedangkan dalam subsektor industri manufaktur padat sumberdaya pertanian tcrjadi pergeseran nilai indeks perubahan struktur akan tetapi telah menciptakan terjadinya keunggulan komparatif di pasaran internasional. Hal ini diduga karena keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur padat sumberdaya pertanian Brat kaitannya dengan sumberdaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Belum terciptanya keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur walaupun telali terjadinya perubahan struktur disebabkan karena perubahan struktur industri manufaktur masih belum terjadi sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena nilai indeks perubahan struktur masih sangat kecil dan jauh dari kategori suatu negara yang menunjukan terjadinya perubahan struktur secara penuh.
Dari hasil pengujian regresi, belum terciptanya keunggulan komparatif ekspor industri manufaktur di pasar intemasional disebabkan karena tidak terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja dalam sektor industri manufaktur maupun daiann subsektor industri manufaktur kecuali subsektor industri manufaktur padat human capital yang menunjukan hubungan signifikan produktivitas tenaga kerja terhadap pembentukan keunggulan komparatif. Selma periode analisis keunggulan komparatif hanya digerakkan oleh produktivitas modal dan Real &change Rate. Karena selama analisis produktivitas modal dan Real Exchange Rate sangat signifikan tnempengaruhi nilai RCA ekspor industri manufaktur di Indonesia.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20595
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library