Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Yasmon
"Severe acute respiratory syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi pernafasan akut berat yang disebabkan oleh koronavirus baru, dinamakan SARS-Coronavirus (SARSCoV). Tiga uji diagnostik telah dikembangkan untuk deteksi infeksi SARS-CoV, menggunakan kultur sel, uji serologi, dan molekuler. Ketika wabah SARS dari November 2002 sampai 2003, sebagian besar diagnostik laboratorium menggunakan kultur sel baik untuk isolasi virus maupun produksi protein sebagai antigen untuk uji serologi. Penerapan teknik kultur sel untuk diagnosis infeksi SARS tersebut tidak dapat diterapkan di laboratorium yang tidak memiliki fasilitas BSL 3 (Biosafety Level 3), karena virus dapat ditularkan melalui udara dan jalur transmisi lainnya yang belum sepenuhnya diketahui, sehingga perlu dikembangkan sistem diagnosis yang tidak tergantung pada fasilitas BSL 3, khususnya dalam produksi antigen untuk reaksi serologi. Produksi antigen virus tanpa melalui kultur virus dapat dilakukan dengan menerapkan teknik protein rekombinan dan protein virus yang dipilih sebaiknya bersifat antigenik. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan protein nukleokapsid SARS-CoV, dilakukan insersi dan ekspresi gen nuldeokapsid SARS-CoV pada sistem ekspresi protein fusi tag Gst (pGEX-6P1) sehingga diperoleh vektor rekombinan pGEX-6PI-N. pGEX-6P1-N ditransformasi ke dalam Escherichia coil BL21 untuk ekspresi protein Glutathione-S tarnsferase (Gst)-Nukleokapsid SARS-CoV (Gst-N). Protein fusi Gst-N utuh dengan berat molekul yang sesuai (72,84 kDa) berhasil diekspresikan dalam E. coli BL21 dan dapat dipurifikasi menggunakan sistem yang berdasarkan pada of vitas Gst dengan glutathione."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T13651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Difteri adalah penyakit infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bersifat sangat menular dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa tahun terakhir ditemukan kembali kasus difteri di berbagai wilayah Indonesia, walaupun program vaksinasi telah dilaksanakan secara luas. Gejala difteri yang ditimbulkan sebagian besar disebabkan oleh toksin dan dapat berakibat fatal. Kerusakan yang disebabkan oleh toksin yang telah terikat pada sel host tidak dapat diperbaiki walaupun telah diberikan antitoksin.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama pengobatan dapat mempengaruhi angka kematian kurang dari 1%, dan dapat meningkat sampai 30% bila ditunda sampai hari ke 6. Medium diagnosis cepat (MDC) yang akan dikembangkan dalam penelitian ini akan menggabungkan tiga pemeriksaan mikrobiologi dalam satu langkah, yaitu inokulasi, uji biokimia dan serologi.
Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, yang menggunakan strain referensi dan isolat tersimpan dari Balitbangkes Kemkes RI. Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu : optimasi konsentrasi larutan telurit, komposisi medium, dan konsentrasi Fosfomisin.
Hasil pertumbuhan pada MDC memperlihatkan gambaran halo pada strain yang potensial toksigenik dan presipitat pada strain toksigenik. Waktu pemeriksaan pada MDC sekitar 24-48 jam lebih cepat dari pada prosedur standar.

Diphtheria is an acute infectious disease of upper respiratory tract caused by Corynebacterium diphtheria, and highly contagious with high mortality rate. Few years back cases of diphtheriae were found in various parts of Indonesia, although vaccination programs have been widely implemented. Symptoms of diphtheria largely caused by toxins and can be fatal. Damage caused by toxin that has been bound to the host cell can not be repaired dispite of administration of antitoksin.
Some reports showed that administration of antitoksin on the first day of treatment affected the mortality rate, i.e. less than 1% compared to 30% when delayed until day 6. Medium Diagnosis Cepat (MDC) established in this research will integrate three microbiology examination in one step i.e. inoculation, biochemical and serology tests.
This investigation was a laboratory experiment, using reference strains and isolates stored in The National Research and Development of The Ministry of Health Republik of Indonesia. This study covered three stages is follow : optimization of tellurite solution concentration, medium composition, Fosfomycin concentration.
The results showed halo formation of potentially toxigenic strains and precipitate of toxigenic strain on MDC. The examination MDC was faster than the standard procedure in took about 24-48 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jatnita Parama Tjita
"Ruang lingkup dan Cara Penelitian : Adanya penyebaran, perpindahan galur S. typhi terutama galur S. typhi yang resisten terhadap satu atau beberapa antibiotika lini pertama dan plastisitas genom S. typhi, maka ingin diketahui bagaimana keragaman genetik S. typhi di Indonesia. Untuk itu dilakukan analisis genom S. typhi resisten antibiotika lini pertama menggunakan teknik PFGE. S.typhi resisten diperoleh melalui uji sensitivitas menggunakan metode difusi cakram Kirby Bauer. PFGE merupakan salah satu metode karakterisasi genotipe yang mempunyai kemampuan diskriminasi yang tinggi untuk memisahkan galur dalam satu spesies bakteri. Tahapan PFGE yang dilakukan adalah preparasi plug DNA, pemotongan DNA dengan enzim restriksi secara in situ, elektroforesis dan visualisasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program NTSYS (Numerical Taxonomy System) versi 1,6.
Hasil dan Kesimpulan : Dari 100 isolat S. typhi, ditemukan 16(16%) isolat yang resisten terhadap antibiotika lini pertama. Monoresisten yaitu terhadap ampisilin sebanyak 1(1%) isolat, terhadap kloramfenikol sebanyak 1(1%) isolat dan terhadap tetrasiklin sebanyak 8(8%) isolat. Multiresisten terhadap ampisilin-tetrasiklin sebanyak 2 (2%) isolat, terhadap kloramfenikol-tetrasiklin sebanyak 1(1%) isolat, terhadap ampisilin-kloramfenikol-tetrasiklin sebanyak 2(2%) isolat dan terhadap kloramfenikol-trimetoprim sulfametoksazol-tetrasiklin sebanyak 1(1%) isolat. Dari 16 isolat S. typhi resisten tersebut ditemukan 13 pola PFGE yang berbeda dan diversitas genom yang besar antar isolat ditunjukkan dengan nilai F yaitu antara 0,080-1,000. Kelompok tetrasiklin resisten memiliki nilai F 0,085-1,000, kelompok kloramfenikol resisten memiliki nilai F 0,238-1,000 dan kelompok ampisilin resisten memiliki nilai F 0,128-0,873."
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Sarry Hartono
"Bakteri yang terdapat dalam usus manusia berada dalam keseimbangan dan memainkan peranan penting dalam fungsi metabolisme dan imunologi tubuh, Infeksi yang terjadi pada saluran cerna, seperti diare, dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan pada komposisi bakteri usus tersebut. Pengetahuan mengenai profil mikroba usus pada kasus diare anak usia tertentu memiliki manfaat yang penting dalam memberikan informasi awal untuk pengembangan tata laksana kasus diare yang berkaitan dengan pengembalian keseimbangan mikroba usus.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan disain potong lintang. Feses dikumpulkan dari dua kelompok subyek penelitian, dengan diare dan tanpa diare dari anak-anak usia 2-12 tahun di Jakarta Utara. Sampel kemudian di ekstraksi dengan kit QIAmp® DNA Stool Mini untuk kemudian dilakukan deteksi dan identifikasi bakteri dengan menggunakan polymerase chain reaction / Electrospray Ionization-Mass Spectrometry. Secara keseluruhan diperoleh 80 subjek, terdiri dari 33 anak-anak yang mengalami diare (subyek diare) dan 47 anak-anak yang tidak mengalami diare (subjek non-diare). Tiga puluh dari 33 sampel dalam kelompok diare terdeteksi keberadaan bakteri. Enam dari 33 sampel memberikan hasil multiple matches, sedangkan 3 sampel lainnya tidak terdeteksi adanya bakteri.
Pada kelompok nondiare, di 28 dari 47 sampel terdeteksi adanya bakteri, hasil multiple matches pada 8 dari 47 sampel dan 13 sampel tidak terdeteksi adanya bakteri. Dalam kedua kelompok didominasi oleh Echerechia coli dan juga diikuti oleh Klebsiella pneumonia. Keragaman bakteri yang terdeteksi pada kelompok diare (12 dari 30 sampel) lebih dari pada kelompok non-diare (5 dari 28). Filum bakteri yang dideteksi pada kelompok sampel diare adalah Firmicutes (5 sampel), Proteobacteria (24), Bacteroidetes (1), dan di kelompok non diare adalah Actinobacteria (2), Proteobacteria (25), Verrucomicrobia (1). Hubungan antara enteropatogen dengan kejadian diare tidak signifikan secara statistik (p= 0,571, uji Chi-square), akan tetapi terdapat hubungan yang kuat antara risiko kejadian diare yang disebabkan oleh enteropatogen (OR = 0,724 dengan 95% CI: 0,237-2,215).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keragaman bakteri yang dideteksi pada kelompok diare lebih dari pada kelompok non-diare dengan adanya kesamaan dalam pola bakteri yang paling banyak terdeteksi pada kedua kelompok sampel, adanya temuan bakteri anggota filum Actinobacteria (Bifidobacterium longum) yang bersifat probiotik pada kelompok non diare dan tampaknya kemungkinan anak-anak yang positif enteropatogen pada fesesnya memiliki kecenderungan untuk mengalami diare dibandingkan dengan yang tidak.

Microbiota present in the human intestinal are diverse and play important roles in metabolism and immunology. Infection that occurs in gastrointestinal tract, may lead to an imbalance in the composition of the intestinal bacteria. Knowledge on the intestinal microbes profile in children at spesific age with and without diarrhea might shed a light in the management of diarrhea associated with intestinal microflora imbalance. The objective this study is to obtain a profile of intestinal bacteria in children at spesific age with diarrhea and non-diarrhea which may be important for initial information in management of diarrhea associated intestinal microbes imbalance.
This study was an analitical descriptive with cross sectional design. Stool samples were collected from two groups of subjects, with diarrhea and without diarrhea in children of 2-12 years old in North Jakarta. The samples were extracted using QIAamp® DNA Stool Mini Kit first followed by detection and identification using Polymerase Chain Reaction / Electrospray Ionization-Mass Spectrometry. A total 80 subjects were obtained, consisted of 33 children with diarrhea (diarrhea subjects) and 47 children without diarrhea (non-diarrheal subjects). Thirty of the 33 stool samples in diarrhea group showed the presence of one species microorganism (complete match), 6 samples resulted in multiple matches, while the other three samples did no show any bacteria.
In the non-diarrhea group, of total 47 stool samples, 28 showed the presence of single match bacteria, 8 specimens gave result of multiple matches and 13 specimens showed no detectable bacteria. In both groups Echerechia coliand Klebsiella pneumonia appeared to be dominant. The bacteria present in the diarrhea group (12 of 30 samples) were more diverse than in nondiarrheal group (5 of 28). Phyla found in diarrhea group consisted of Firmicutes (5 samples), Proteobacteria (24), Bacteroidetes (1), while in non-diarrhea group were Actinobacteria (2), Proteobacteria (25), Verrucomicrobia (1).
The conclusion is bacteria detected in diarrhea group apparently were more diverse than in nondiarrhea. There was similarity in the pattern of most detected bacteria in both sample groups, however, member of Actinobacteria (Bifidobacterium longum) where detected only in non-diarrhea group. Likely the chance of children with enteropathogen detected in the stool would have diarrhea more than children with no enteropathogen detected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurleny Sutanto
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Demam tifoid merupakan penyakit endemic di Indonesia. Salah satu masalah utama dalam penanggulangan penyakit ini adalah belum adanya cara diagnosis pemasti yang dapat diandalkan, terutama untuk pengelolaan penderita. Saat ini laboratorium Mikrobiologi FKUI sedang mengembangkan suatu cara diagnosis dengan menggunakan protein membran luar (PML) S.typhi. Untuk itu diperlukan PML dalam jumlah banyak, sehingga perlu dicari cara isolasi yang cepat,mudah dan efisien. Dicoba 2 cara isolasi yaitu menggunakan dapar Hepes dan dinatrium hidrofosfat (Na2HPO4). Kuman dikultur selama 18-24 jam dalam medium kaldu nutrien yang ditambahkan ekstrak ragi 0,2% dan glukosa 1,257 Dengan sentrifugasi 1400xg sus.pensi 1/1000 volume kuman dipanen pada -lase "late logarithmic" dan disonikasi. Pemisahan protein membran Iuar dan protein membran dalam dilakukan dengan sentrifugasi 100.000>:g, selanjutnya dilakukan elektroforesis pada SDS-PAGE untuk membandingkan profil proteinnya. Karakterisasi protein tersebut dilakukan dengan "Western blot".
Hasil dan kesimpulan: Jumlah protein yang dihasilkan dengan menggunakan dapar Na2HPO4 rata-rata 0,084x10-7 ug per sel kuman,sedangkan ekstraksi dengan menggunakan dapar Hepes menghasi l kan protein rata--rata 0, 051X10-7 ug per sel kuman. Profil protein pada SDS-PAGE dapat dilihat dengan jelas pada konsentrasi protein 50 ug/ml untuk ekstraksi PML menggunakan dapar Hepes dan 30 ug/ml dengan Na2HPO4. Fraksinasi pada SDS-PAGE dengan kedua cara diatas memperlihatkan pita-pita protein dengan berat molekul antara 26-116 kDA dengan pita protein mayor terletak antara 36-38 kDa . Hasil "Western blot" menggunakan serum pasien tifoid dan serum kelinci yang telah diimunisasi kuman S.typhi menunjukkan adanya reaktivitas yang kuat dengan protein 38 kDa. Tidak ditemukan reaksi silang dengan serum kelinci yang diimmunisasi dengan kuman S.paratyphi A atau B. Dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa isolasi PML dengan menggunakan dapar Na.2HP04 lebih cepat,mudah dan praktis karena prosedurnya lebih singkat. Selain itu ektraksi cara ini lebih efisien dare pada cara Hepes karena jumlah protein yang diperoleh lebih banyak, dan dibLLtuhkan jumlah yang lebih sedikit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
T8256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Indria Rini
"Tuberkulosis sejak lama merupakan salah satu penyebab utama kematian manusia karena penyakit infeksi, terutama didaerah yang dilanda kemiskinan dan malnutrisi. Penyakit ini menyerang banyak organ pada tubuh manusia terutamanya adalah paru-paru. Peningkatan jumlah kasus tuberkulosis dipengaruhi oleh infeksi HIV dan resistensi terhadap berbagai macam kombinasi obat. Di Indonesia, infeksi M. tuberculosis oleh strain Beijing diyakini memiliki penyebaran yang paling luas dibandingkan dengan strain lainnya. BCG merupakan vaksin tunggal yang digunakan untuk pencegahan tuberkulosis, namun daya proteksi dan efikasinya berbeda-beda. Protein Mce1A merupakan protein yang diduga berperan penting pada hal invasi dan pertahanan M. tuberculosis didalam makrofag. Beberapa studi telah melakukan penelitian ini, namun di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai ekspresi protein Mce1A Mycobacterium tuberculosis strain Beijing sebagai isolat lokal. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengklonaan dan ekspresi protein Mce1A Mycobacterium tuberculosis strain Beijing lokal dan strain standar H37Rv sebagai pembanding. Gen Mce1A M. tuberculosis strain Beijing dan H37Rv diamplifikasi dengan teknik PCR dan diinsersikan kedalam vektor pET28a. Escherichia coli BL21 kemudian ditransformasi dengan plasmid rekombinan tersebut. Protein Mce1A rekombinan diekspresikan dengan induksi IPTG. E. coli BL21 berhasil ditransformasi dengan plasmid rekombinan yang mengandung sisipan gen Mce1A dengan arah orientasi dan kerangka baca yang benar. Tidak ada mutasi yang ditemukan pada asam amino yang menjadi epitope pengenalan sel B dan sel T. Hasil ekspresi protein Mce1A pada E.coli BL21 menunjukkan pita protein yang lebih tinggi dari seharusnya. Konfirmasi keberadaan protein dilakukan menggunakan teknik Western Blot dengan anti-his detector. Protein Mce1A rekombinan yang telah berhasil diekspresikan pada E.coli BL21 diduga berada dalam bentuk dimer. Hal ini dapat digunakan sebagai data awal kondisi ekspresi untuk pengembangan vaksin subunit pada penelitian berikutnya.

For past centuries until nowadays, tuberculosis remains the leading cause of death in the world from infectious disease wherever poverty, malnutrition and poor housing prevail. Tuberculosis is primarily a disease of the lungs, but may spread to other sites or proceed to a generalized infection. The wide spread of tuberculosis has been further aggravated by another infection disease such as HIV-AIDS and drug resistance. Many strain of Mycobacterium tuberculosis caused tuberculosis infection in Indonesia, but Beijing strain are the most. Bacille Calmette-Guerin (BCG) is the current vaccine for tuberculosis but it has different protection function and efficacy. According to function analysis, mce1A gene predicted has a role in host invasion by Mycobacterium tuberculosis and survival of the pathogen in human macrophages. Several studies abroad have done this research, but in Indonesia, study about protein expression of Mce1A gene of Mycobacterium tuberculosis Beijing strain as local isolates has not much being done. Therefore, in this study we will performed cloning and protein expression of Mce1A gene Mycobacterium tuberculosis Beijing strain as local isolate and standard strain H37Rv as a comparison on expression vector Escherichia coli BL21. Mce1A gene from M. tuberculosis Beijing and H37Rv strain was amplified by PCR and inserted in the vector pET28a. E. coli BL21 then transformed with the recombinant plasmid. Mce1A recombinant protein then expressed with IPTG induction. This study indicate that E. coli BL21 succesfully transformed with a recombinant plasmid containing the Mce1A gene insertion with correct orientation and reading frame. There is no mutation found in the amino acids sequence for B and T cell epitope. Mce1A expression in E. coli BL21 showed protein bands that higher than expected. The protein was confirmed with western blotting using anti-his detector. We assume that Mce1A recombinant protein that have been expressed in E. coli BL21 is in dimeric form. This explanation should be valuable in further studies of expression at the protein level and exposure of proteins on the cell surface of M. tuberculosis under different experimental conditions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa
"Bifidobacterium merupakan salah satu mikrobiota yang memberikan manfaat bagi kesehatan manusia termasuk pada kehamilan, dan penting pada proses kolonisasi mikrobiota usus bayi baru lahir. Jumlah Bifidobacterium usus pada dewasa relatif stabil, namun belum diketahui jumlahnya pada ibu hamil trimester ketiga, terutama di Indonesia. Asupan makanan termasuk serat dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacterium, termasuk serat. Stimulasi serat terhadap pertumbuhan Bifidobacterium dapat berupa stimulasi langsung sebagai prebiotik, atau secara tidak langsung sebagai substrat yang dapat difermentasi dan menurunkan pH kolon dan meningkatkan enzim intestinal alkaline phospatase (IAP). Dua mekanisme terakhir secara tidak langsung menurunkan jumlah bakteri patogen sehingga jumlah Bifidobacterium meningkat. Penelitian potong lintang di seluruh Puskesmas Kecamatan di Jakarta Timur pada bulan Maret-Juni 2015 dilakukan untuk menilai korelasi asupan serat dengan jumlah Bifidobacterium usus ibu hamil trimester ketiga. Lima puluh dua subjek menyelesaikan prosedur penelitian. Asupan serat dinilai dengan Food Frequency Questionnaire semikuantitatif, dan kuantifikasi Bifidobacterium dengan real time PCR. Nilai asupan serat adalah 18,9 (5,6?43,0) g/hari, dan 92,3% subjek tidak memenuhi AKG. Jumlah Bifidobacterium usus adalah 7,7 (5,12?9,50) log sel/g feses. Tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan serat total, serat larut dan tidak larut, dengan jumlah Bifidobacterium usus (r = 0,223; r = 0,245; r = 0,2).

Bifidobacterium is one of the beneficial microbiota in human health, including in pregnancy and important for first intestinal microbiota colonization in newborn. The number of intestinal Bifidobacterium in adults is relatively stable, but still unknown in the third trimester of pregnancy, especially in Indonesia. Dietary intake is one of the factors influencing the growth of Bifidobacterium, including dietary fiber. Dietary fiber stimulation act directly as a prebiotic, or indirectly as a fermentation substrate that promote the decreasing of colonic pH, and increasing intestinal alkaline phospatase (IAP) enzyme, resulting a decrease of the amount of pathogenic microbiota. A cross-sectional study in all district public health care in the East Jakarta, March until June 2015 was performed to assess the correlation between dietary fiber intake and the amount of intestinal Bifidobacterium in third trimester of pregnancy women. Fifty-two subjects completed the study procedures. Dietary fiber intake was assessed using semiquantitative Food Frequency Questionnaire, and instestinal Bifidobacterium was quantified using real time Polymerase Chain Reaction (rPCR). Dietary fiber intake in this study was 18.9 (5.6?43.0) g/day and 92.3% subjects did not meet the Dietary Reference Intake. The intestinal Bifidobacterium count is 7.7 (5.12?9.50) log cell/g faeces. The results show that there is no significant correlation (p > 0.05) between dietary fiber, dietary soluble fiber, and dietary insoluble fiber intake with the amount of intestinal Bifidobacterium in third trimester of pregnancy (r = 0.223; r = 0.245; r = 0.2)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamtorogung Prayitno
"Bifidobacterium merupakan salah satu anggota mikrobiota dalam saluran pencernaan manusia, terutama pada bayi. Namun demikian, pengaruh breast-fed dan formula-fed pada perkembangan Bifidobacterium dalam mikrobiota usus bayi telah menjadi subyek dari banyak penelitian dan sering memberikan hasil yang bertentangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh breast-fed eksklusif dan formula-fed terhadap proporsi spesies Bifidobacterium dalam sampel feses bayi. Suatu studi kohort prospektif dari 80 bayi sehat, terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis makanan, yaitu kelompok 1 (n = 40) menerima susu formula X yang mengandung Bifidobacterium animalis subsp. lactis HN019 (B. lactis, DR10TM) dan LCPUFA , dan kelompok 2 (n = 40) yang menerima ASI eksklusif. DNA diekstraksi dari sampel feses yang diambil pada saat perekrutan (V0) dan setelah usia 3 bulan (V3). Kuantifikasi dari DR10 dan beberapa spesies Bifidobacterium yang umum terdeteksi dalam feses bayi (B. longum, B. breve, dan B. catenulatum) dilakukan dengan menggunakan 7500 Fast Real-time Quantitative PCR dengan SYBR Green [Applied Biosystems], dengan target daerah internal transcribed spacer (ITS) gen 16S-23S rRNA. Proporsi Bifidobacterium secara bermakna (p = 0,010) meningkat pada kelompok 2, dengan median 37,8 (0,0-94,9) % pada V0 dan 51,6 (15,6-98,4) % pada V3. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan proporsi Bifidobacterium diantara kedua kelompok, baik pada V0 (p = 0,551) maupun V3 (p = 0,204). Proporsi DR10 pada V3 secara bermakna lebih tinggi pada kelompok 1 (p = 0,009) dengan rerata 4,88 (11,45) % dibanding kelompok 2 dengan rerata 0,00 (0,00) %. Tidak ada perbedaan bermakna dalam proporsi B. longum, B. breve, dan B. catenulatum antara kelompok 1 dan kelompok 2, baik pada V0 maupun V3. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat kemiripan proporsi Bifidobacterium di antara kelompok breast-fed dan formula-fed, khususnya untuk B. longum, B.breve, dan B. catenulatum.

Bifidobacteria is one of the microbiota present in the human gastrointestinal tract, especially in infants. However, the influence of breast-feeding and formula-feeding on the development of Bifidobacteria in the infant gastrointestinal tract microbiota has been the subject of numerous studies that have often yielded conflicting results. The purpose of this study was to determine the influence of either exclusive breast-fed or formula-fed on the proportion of the Bifidobacteria species in infants. A prospective cohort study of 80 full term, healthy infants, formed into two groups based on the type of feeding, group 1 (n = 40) received an infant formula X containing Bifidobacterium animalis subspecies lactis HN019 (B. lactis, DR10TM) and LCPUFA, while group 2 (n = 40) were exclusively breast-feeding. DNA extracted from the faecal samples taken at the time of enrollment (V0) and the 3 months of age (V3). Quantification of the DR10 and the species of Bifidobacteria commonly detected in the faeces of infants (B. longum, B. breve, and B. catenulatum) was carried out using 7500 Fast Real-time Quantitative PCR with SYBR Green [Applied Biosystems], targeting the internal transcribed spacer region of 16S-23S rRNA gene. The proportion of Bifidobacteria were significantly increased in group 2 (p = 0.010), with a median 37.8 (0.0 to 94.9) % at V0 and 51.6 (15.6 to 98.4) % at V3. However, there is no difference in the proportion of Bifidobacteria between the two groups, both in V0 (p = 0.551) and V3 (p = 0.204). The proportion of DR10 in V3 was significantly higher in group 1 (p = 0.009) with a mean 4,88 (11,45) % than in group 2 with a mean 0 (0,00) %. No significant difference in the proportion of B. longum, B. breve, and B. catenulatum between group 1 and group 2, both in V0 and V3. In conclusion, there is a similarity of the proportion of Bifidobacteria in the breast-fed and formula fed infants, especially B. longum, B.breve, and B. catenulatum"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Robertus
"Indonesia merupakan negara dengan tingkat resistensi antibiotik yang tinggi. Tingkat resistensi yang tinggi ini terutama didapatkan pada bakteri batang Gramnegatif famili Enterobacteriaceae. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi dan karakteristik Enterobacteriaceae patogen penghasil AmpC di Unit Perawatan Intensif RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Spesimen berasal dari pasien dewasa yang didiagnosis mengalami infeksi organ atau sistem tertentu. Spesimen berupa darah, sekret saluran pernafasan bawah, urin, swab dasar luka, aspirat abses, dan jaringan luka operasi. Identifikasi dilakukan menggunakan VITEK® 2. Pola kepekaan ditentukan dengan VITEK® 2 dan metode difusi cakram sesuai kriteria CLSI tahun 2014. Deteksi AmpC dan ESBL dilakukan menggunakan metode double disc synergy test. Famili gen pengkode AmpC ditentukan dengan metode PCR multipleks. Enterobacteriaceae patogen yang berhasil dikumpulkan berjumlah 45 isolat, terdiri dari Klebsiella pneumoniae (n=32), Escherichia coli (n=6), Enterobacter cloacae (n=5), dan Enterobacter aerogenes (n=2). Proporsi Enterobacteriaceae penghasil AmpC adalah 9 isolat di antara 45 isolat, terdiri dari 4 isolat penghasil AmpC dan 5 isolat penghasil AmpC dan ESBL. Gen pengkode AmpC ditemukan pada 7 isolat, yang terbanyak adalah DHA (n=4) diikuti EBC (n=2) dan CIT (n=1). Secara in vitro, Enterobacteriaceae penghasil AmpC menunjukkan kepekaan yang baik terhadap gentamisin, tobramisin, amikasin, sefepim, meropenem, siprofloksasin, levofloksasin, tetrasiklin, dan kotrimoksasol sementara penghasil AmpC dan ESBL hanya terhadap amikasin.

Antibiotic resistance has become a problem in Indonesia, in which the high resistance has been found mainly in Gram-negative bacilli Enterobacteriaceae. This study aimed to find out the proportion and characteristics of pathogenic AmpC-producing Enterobacteriaceae in the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Spesimens collected were blood, lower respiratory tract secretions, urine, wound swab, abscess aspirate, and soft tissue taken from adult patients with infection. Identification were conducted using VITEK® 2. Susceptibility tests were conducted using VITEK® 2 and diffusion technique according to CLSI 2014 guidelines. Double disc synergy test method were employed to detect AmpC activity. The presence of ampC genes were detected using multiplex PCR. Forty five isolates were collected. Klebsiella pneumoniae was predominant, followed by Escherichia coli, Enterobacter cloacae, and Enterobacter aerogenes. AmpC activity was detectable in nine isolates. Five of the 9 isolates produced both AmpC and ESBL. In vitro, AmpC-producing Enterobacteriaceae showed good susceptibility to gentamicin, tobramycin, amikacin, cefepime, meropenem, ciprofloxacin, levofloxacin, tetracycline, and cotrimoxazole. While the AmpC and ESBL-producing only to amikacin. ampC genes were detected in seven isolates and the most prevalent gene family was DHA (n=4) followed by EBC (n=2) and CIT (n=1).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library