Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risna Hartini
"Perkawinan campuran sejak awal telah menimbulkan banyak permasalahan hukum. Permasalahan hukum tersebut antara lain mengenai pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan, setelah terjadinya perkawinan dan perceraian, khususnya status hukum kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat 12 dan 3) ROU- HPI dapat disimpulkan bahwa hukum yang berlaku bagi yang melaksanakan perkawinan campuran tersebut adalah hukum tempat kediaman sehari-hari dan atau hukus tempat perceraian diajukan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum yang berlaku untuk kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran di Indonesia adalah hukun Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan. Sebagai contoh dari permasalahan tersebut adalah kasus status kewarganegaraan OLIVIA NATHANIA yang ayahnya warga Negara Brunei dan kawin dengan ibunya Marga Negara Indonesia di Indonesia, kemudian berceral di Indonesia. Dalam menganalisa status kewarganegaraan anak tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dan pendekatan kualitatif. Kemudian data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian bahan-bahan kepustakaan. Data tersebut kemudian diseleksi, dikelompokkan dan disusun sintimatis kemudian dianalisis. Berdasarkan xatentuan Perundangan-undangan yang berlaku yaitu Undang- Undang Perkawinan dan Undang-Undang Kewarganegaraan serta NOU-HP1 dan RUU-Kewarganegaraan. maka kewarganegaraan OLIVIA HATHANIA adalah Harga Indonesia. status Negara Seandainya ROU-HP1 dan K-Kewarganegaraan disahkan menjadi Undang-undang maka akan lebih menjamin keadilan Car sepastan hukum terhadap status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran Olen sarena itu penulis menyarankan kedua KUU Itu sebaiknya disahkan menjadi undang-undangan diberlakukan di Indonesia"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyatus Sa’adah
"Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan strategis dalam pelayaran internasional karena diapit oleh dua benua dan dua samudera. Dengan luas dan strategisnya wilayah perairan yang dimilikinya, Indonesia menghadapi beberapa tantangan tantangan dan permasalahan permasalahan di wilayah lautnya antara lain masalah pencemaran lingkungan laut dan keselamatan pelayaran. Permasalahan tersebut karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh nahkoda kedua kapal tanker yang tidak patuh akan aturan alur pelayaran dalam menggunakan hak lintas damai dengan sebagaimana semestinya, serta adanya minyak dari kapal, baik dari bahan bakar atau minyak sebagai muatan yang mencemarkan lingkungan laut. Untuk itu dari masalah tersebut, dapat kita bahas pada penelitian ini mengenai bagaimana perlindungan hukum atas lingkungan laut oleh Indonesia sebagai negara pantai dan kapal asing sebagai pengguna wilayah laut dan bagaimana penegakan hukumnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk  menganalisa perlindungan hukum atas lingkungan laut oleh Indonesia sebagai negara pantai dan dua kapal asing yang menggunakan wilayah laut di Indonesia dan menganalisa penegakan hukumnya. Jenis penelitian ini merupakan penelitian normatif. Pendekatan penelitian yang digunakan berupa pendekatan konseptual dan pendekatan kasus untuk menganalisa suatu permasalahan dan putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor 234/Pid.sus/2021/PN.Btm dan Nomor 235/Pid.sus/2021/PN.Btm. Jenis bahan hukum yang dipakai terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Meskipun terdapat beberapa isu internal dalam perlindungan dan kewenangan penegakan hukumnya, tesis ini berkesimpulan bahwa penegakan hukum atas dua kapal asing MT Horse dan MT Freya telah memenuhi aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, nahkoda kapal asing MT Horse dan MT Freya dapat dinyatakan bersalah secara sah dan dapat dipidana karena terbukti melanggar hukum di wilayah Indonesia.

Indonesia is an archipelagic country that is very broad and strategic in international shipping because it is flanked by two continents and two oceans. With the vast and strategic territorial waters it owns, Indonesia faces several challenges and problems in its sea areas, including problems of marine environmental pollution and shipping safety. This problem was due to violations committed by the captains of the two tankers who did not comply with shipping lane rules in using innocent passage rights properly, as well as the presence of oil from ships, either from fuel or oil as a cargo that pollutes the marine environment. For that matter, we can discuss in this research how the legal protection of the marine environment by Indonesia as a coastal country and foreign ships as users of the sea area and how the law is enforced. The purpose of this study is to analyze the legal protection of the marine environment by Indonesia as a coastal country and two foreign ships that use the sea area in Indonesia and analyze law enforcement. This type of research is normative research. The research approach used is in the form of a conceptual approach and a case approach to analyze a problem and the decision of the Batam District Court Number 234/Pid.sus/2021/PN.Btm and Number 235/Pid.sus/2021/PN.Btm. The types of legal materials used consist of primary legal materials and secondary legal materials. Even though there are several internal issues in the protection and authority of law enforcement, this thesis concludes that the law enforcement of the two foreign ships MT Horse and MT Freya has complied with the prevailing laws and regulations in Indonesia. Therefore, the captains of foreign ships MT Horse and MT Freya can be legally found guilty and can be punished for violating the law in Indonesian territory."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla rifda
"Perkawinan beda agama di Indonesia masih menuai pro dan kontra yang dibuktikan dengan Putusan Pengadilan Nomor 333/Pdt.P/2018/PN.Skt dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1977K/Pdt/2017. Sehingga, sering kali pasangan yang memiliki perbedaan agama mencari ‘jalan pintas’ dengan melakukan perkawinannya di Australia karena dinilai lebih efisien atau peraturannya cenderung lebih mudah bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama jika dibandingkan dengan peraturan di Indonesia. Lalu, dalam hal pencatatan sipil, pasangan yang menikah di luar negeri selalu dapat mencatatkan perkawinannya disebabkan oleh asas universalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan Hukum perkawinan antara Indonesia dengan Australia, serta sudut pandang dari Hukum Perdata Internasional Indonesia. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu dikarenakan ketidak pastian hukum di Indonesia, masyarakat kerap melakukan penyelundupan hukum dengan melakukan perkawinan di Australia. Bentuk penelitian yang penulis gunakan dalam karya tulis ini adalah yuridis-normatif, yaitu melihat dan memahami norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.

Interfaith marriage in Indonesia still reaps pros and cons as evidenced by Court Decision Number 333/Pdt.P/2018/PN.Skt and Supreme Court Decision Number 1977K/Pdt/2017. Thus, many couples who have different religions look for 'shortcuts' by getting married in Australia because it is considered more efficient or the regulations tend to be easier for those who want to hold interfaith marriages when compared to regulations in Indonesia. Then, in the case of civil registration, couples who marry abroad can always register their marriages due to the principle of universality. This study was conducted to determine the comparison of marriage law between Indonesia and Australia, as well as the point of view of Indonesian Private International Law. The conclusion obtained from this study is that due to legal uncertainty in Indonesia, people often carry out legal smuggling by marrying in Australia. The form of research that the author uses in this paper is juridical-normative, namely seeing and understanding legal norms contained in laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library