Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreas Kresna
"Pendahuluan: Kerja gilir terutama pada malam hari dapat mengubah ritme sirkadian, tingkat kewaspadaan, meningkatkan kelelahan, kesalahan, dan kecelakaan kerja. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi ritme sirkadian adalah tingkat kewaspadaan dan melatonin plasma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara melatonin plasma dengan tingkat kewaspadaan.
Metode: Studi potong lintang yang dilakukan pada 40 perawat wanita kerja gilir malam hari. Data karakteristik individu seperti usia, pengalaman kerja, istirahat malam selama bekerja, dan status perkawinan diperoleh dengan kuesioner dan wawancara. Konsentrasi melatonin plasma diukur dua kali pada malam hari (pukul 11 malam-00 pagi) dan pada pagi hari (pukul 07.00 8 pagi) dengan metode Liquid Chromatography-Mass Spectrometry, sedangkan tingkat kewaspadaan diukur dengan Psychomotor Vigilance Test (PVT) pada pukul 11 malam-00 pagi dan 7 pagi 8 pagi keesokan harinya. Analisis statistik digunakan untuk mencari korelasi menggunakan uji Spearman atau Pearson.
Hasil: Usia rata-rata adalah 28,4 (±4,9) tahun dengan pengalaman kerja bervariasi dari 1-16 tahun. Konsentrasi melatonin plasma pada perawat wanita didapatkan malam hari lebih tinggi daripada pada hari. Rentang nilai melatonin plasma adalah 10-240 pg/ml dan tingkat kewaspadaan memiliki pola yang serupa, dengan rata-rata pada malam hari adalah 301,2 ± 51,6 ms dan 293,2± 49,7 ms pada pagi hari. Terdapat korelasi yang lemah antara konsentrasi melatonin plasma dan perbedaan tingkat kewaspadaan malam dan pagi hari (r = 0,37; p = 0,016).
Kesimpulan: Konsentrasi melatonin plasma pada perawat wanita kerja gilir lebih tinggi pada malam hari dibandingkan dengan pagi hari. Begitu juga dengan tingkat kewaspadaan, malam hari lebih tinggi daripada pagi hari dan tidak ada hubungan antara melatonin plasma dengan tingkat kewaspadaan pada malam dan pagi hari.

Background: Working in shift especially night shift could alter circadian rhythm, alertness level, increase fatigue, error, and working accident. One of the factors that affect the circadian rhythm were melatonin. Melatonin was a hormone that regulate the wake and sleep cycle that have an impact on alertness levels. This study was aimed to find correlation between plasma melatonin and alertness level.
Methods: A cross-sectional study was conducted on 40 female night shift nurses. Individual characteristics like age, working experience, rest during work duration, and marital status were obtained by self-administered questionnaire. Plasma melatonin concentrations was measured twice at night time (11 pm-00 am) and at morning (7 am-8 am) by Liquid Chromatography-Mass Spectrometry, while alertness level was recorded with Psychomotor Vigilance Test (PVT) at 11 pm-00 am and 7 am-8 am the next day. Spearman or Pearson test was used to find correlation between melatonin concentrations and PVT.
Results: Mean age was 28.4 (±4.9) years with working experience varied from 1-16 years. Plasma melatonin concentrations among female night shift nurses were higher before working hours than after duty. Range of plasma melatonin value was 10-240 pg/ml and Alertness was in the same manner with average alertness level at night was 301.2 ± 51.6 ms and 293.2± 49.7 ms at morning. There was a weak correlation between plasma melatonin concentration and alertness level difference before and after duty (r = 0.37; p = 0.016).
Conclusion: There was no correlation between plasma melatonin and alertness level in night shift workers before and after duty. To Maintain alertness level reduction and melatonin secretion, night shift workers should rest at least 30 minutes during their working hours, always keep the lights on while on duty and should not work more than one shift on the same day, and providing healthy foods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Habibah Sari Melati
"Kebersihan tangan adalah salah satu hal yang penting dalam pengendalian infeksi di rumah sakit. Perawat sebagai lini terdepan layanan kesehatan, memiliki beban kerja yang fluktuatif, juga dituntut memiliki kepatuhan cuci tangan. Rumah Sakit. telah terakreditasi JCI Joint Commission International, dimana keselamatan pasien merupakan fokus utamanya, dan cuci tangan memiliki peranan yang sangat besar. Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya faktor beban kerja dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan perawat di Rumah Sakit S. Desain penelitiannya adalah potong lintang, dengan 55 sampel pada perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat, Unit Perawatan Intensif dan Unit Hemodialisis. Data diambil dengan cara observasi dan kuisioner, yaitu menggunakan lembar observasi kepatuhan cuci tangan; lembar observasi perilaku. langkah cuci tangan; lembar observasi beban kerja; kuisioner karakteristik demografi; kuisioner pengetahuan; dan kuisioner persepsi. Data dianalisis dengan uji pearson untuk melihat hubungan kepatuhan cuci tangan dengan beban kerja; dan uji. tidak berpasangan untuk melihat hubungan antara kepatuhan cuci tangan dengan variabel perilaku, pengetahuan, persepsi, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan masa kerja. Selanjutnya dilakukan uji regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan cuci tangan dengan beban kerja; dengan pengetahuan; dengan persepsi cuci tangan; dengan usia; dengan pendidikan; dan dengan masa kerja. >0,05. Variabel yang berhubungan secara signifikan dengan kepatuhan cuci tangan adalah perilaku. = 0,00 dan jenis kelamin. = 0,02. Faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan cuci tangan adalah perilaku. = 0,00 dan masa kerja. = 0,02. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara kepatuhan cuci tangan dengan: beban kerja, karakteristik demografi usia, pendidikan dan masa kerja. pengetahuan, dan persepsi. Namun ditemukan hubungan antara kepatuhan cuci tangan dengan perilaku cuci tangan dan dengan jenis kelamin. Faktor yang paling dominan terhadap kepatuhan cuci tangan adalah perilaku cuci tangan dan masa kerja. Safety meeting/ safety talk dapat dilakukan secara berkala untuk mengatasi kendala dalam kepatuhan cuci tangan perawat.

Hand hygiene is one of the important things in hospital infection control. Nurses who act as the leading line of health services and have. fluctuating workload, are also required to have hygienic hands.. Hospital has been accredited JCI Joint Commission International. where patient safety is the main focus, and where having hygienic hands has. very big role. The purpose of this research is to know the workload factor and other factors related to the hand hygiene compliance of nurses at. Hospital. The research design is cross sectional, with 55 samples on nurses who work in Emergency Department, Intensive Care Unit and Hemodialysis Unit. Data were taken by observation and questionnaire, ie using hand hygiene compliance observation sheet. step hand hygiene behavior observation sheet workload observation sheet questionnaire of demographic characteristics hand hygiene knowledge questionnaire and perception questionnaires. Data were analyzed by pearson test to see the hand hygiene compliance relationship with workload and independent. Test to see the relationship between hand hygiene compliance with behavioral, knowledge, perception, age, gender, education, and working period. Furthermore, multiple linear regression test is also used.
Based on the analysis result, there is no significant relationship between hand hygiene compliance with workload with knowledge with perception with age with education and with working period. 0.05. The variables significantly associated with hand hygiene compliance were behavior. 0.00 and gender. 0.02. The most dominant factors affecting hand hygiene compliance were behavior. 0,00 and working period. 0,02. In this study, there was no relationship between hand hygiene compliance with workload demographic characteristics age, education and working period knowledge and perception. However, there was. relationship between hand hygiene compliance with hand hygiene behavior and gender. The most dominant factors for hand hygiene compliance are hand hygiene behavior and working period. Safety meeting safety talk can be done regularly to overcome obstacles in the hand hygiene compliance of nurse.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusrat Numeiri
"Latar Belakang: Stresor psikososial pada pekerja dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan antara lain stres kerja, depresi dan penyakit kronik lainnya, yang pada akhirnya berdampak pada performa dan kepuasaan kerja pekerja. Tujuan penelitian mengetahui tingkat kepuasan kerja, hubungan stres kerja terhadap kepuasan kerja, hubungan usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, stresor diluar tempat kerja terhadap kepuasan kerja karyawan bagian marketing dan sales representative perusahaan farmasi PT.X di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Dengan sampel 71 orang pekerja dari 112 pekerja bagian marketing dan sales. Menggunakan kuesioner SDS, kepuasan kerja, serta penyebab dan tingkat stressor metode Holmes dan Rahe.
Hasil: Prevalensi kepuasan kerja sebesar 66.2 . Tingkat stres sedang paling banyak ditemukan pada stresor beban pekerjaan kualitatif berlebih sebanyak 85.9 . Berdasarkan karakteristik stresor-stresor kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kepuasan kerja dengan nilai p > 0.05.
Kesimpulan: Tingkat kepuasan kerja karyawan bagian marketing dan sales representative perusahaan farmasi PT.X di Jakarta sebesar 66.2 . Tidak didapatkan hubungan antara stres kerja dengan kepuasan kerja. Hipotesis penelitian tidak terbukti. Hubungan antara usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, dan stresor diluar pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kepuasan kerja.

Background: Psychosocial stressors on workers can cause various health problems such as work stress, depression and other chronic diseases, which impact on work performance and job satisfaction. The purpose of the study to know the level of job satisfaction, the relationshipof work stress to job satisfaction, age, gender, position, employment, stress outside the workplace to job satisfaction on marketing and sales representative at x pharmaceutical company in Jakarta.
Methods: Analytical study with comparative cross sectional design is used for this research. 71 samples of 112 workers at marketing and sales. Use questionnaire SDS, job satisfaction, and the measurement of cause and level of stressor with Holmes and Rahe methods.
Result: Every job stressor has medium stress level. The level of stress is most commonly found in overload qualitative stressors which is amounting to 85.9 . Prevalence of job satisfaction is 66.2. Distribution of respondents based on the characteristics of work stressors has no significant relationship to job satisfaction with p value 0.05.
Conclusion: Job satisfaction level for employees who work on marketing and sales representative department at x pharmaceutical company in Jakarta is 66.2. There is no relationship between work stress and job satisfaction. The research hypothesis is not proven. While age, gender, position, years of service, and stressor out of the job have no significant relationship to job satisfaction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Iwan Rivai Alam
"ABSTRAK
Latar belakang: Penambang emas skala kecil meningkat di Indonesia, prosesnya menggunakan cairan merkuri untuk mengikat partikel emas. Jenis pekerjaan peleburan smelting berisiko paling tinggi terpajan uap merkuri. Gangguan memori jangka pendek merupakan salah satu gangguan kesehatan yang timbul akibat pajanan uap merkuri.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan memori jangka pendek pada penambang emas skala kecil.Metode: Desain menggunakan potong lintang untuk menentukan prevalensi gangguan memori jangka pendek kemudian kasus kontrol berpasangan, jumlah kasus 15 dan kontrol 75 pada penambang emas skala kecil di Lombok dan Banten, menggunakan data sekunder dari Prodia Occupational Health Institute. Diagnosis gangguan memori jangka pendek dengan pemeriksaan Forward Digit Span Test. Pemilihan 75 kontrol dilakukan dengan cara berpasangan kelompok.Hasil: Prevalensi gangguan memori jangka pendek sebesar 6 . Variabel usia merupakan faktor risiko terjadinya gangguan memori p = 0,039, OR: 5,091 dan KI 95 : 1,182-21,930 . Sedangkan faktor indeks massa tubuh p = 0,215 , kebiasaan merokok p = 0,726 , kebiasaan konsumsi alkohol p = 0,744 , penyemprot pestisida p = 0,343 , jenis pekerjaan berupa penambang galian batu miner p = 0,369 , amalgamasi amalgamation p = 0,066 , peleburan smelting p = 0,127 , masa kerja p = 0,369 dan hasil pemeriksaan merkuri di urin p = 0,643 bukan merupakan faktor yang mempengaruhi secara bermakna terhadap gangguan memori jangka pendek.Kesimpulan: Usia ge; 50 tahun merupakan faktor risko paling bermakna terhadap gangguan memori jangka pendek pada pekerja penambang emas skala kecil.ABSTRACT
Background: Artisanal small scale mining activity increase in Indonesia that the processing used mercury to bind gold particle. The smelting process is the most risk exposured by mercury vapour.Short term memory impairment is one of health effect caused vapour of mercury.Objective: To know about short term memory impairment in artisanal small scale mining gold miningMethode: Cross sectional design to get short term memory impairment prevalene and then case control matched group design, case 15 and controls 75 artisanal small scale gold mining at Lombok and Banten use secunder data from Prodia Occupational Health Institute. Diagnose short term memory impairment used by forward digit span test and controls choiced by matched group. Result: Prevalence of short term memory impairment is 6 . Age variable is risk factor to short term impairment p = 0,039, OR: 5,091 dan CI 95 : 1,182-21,930 . Body mass index p = 0,215 , smoking p = 0,726 , drinking alcohol p = 0,744 , chronic exposured by pesticide p = 0,343 , type of work process like miner p = 0,369 , amalgamation p = 0,066 , smelting p = 0,127 , work periode p = 0,369 , mercury in urine result test p = 0,643 are not risk factors to short term memory impairment.Conclusion: Age ge; 50 years old is risk factor to short term impairment at artisanal small scale gold mining."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Firly Ratsmita
"Pendahuluan Mayoritas kasus sekitar 82% kasus gangguan pendengaran terjadi pada pekerja manufaktur. Insiden gangguan pendengaran memiliki dampak yang permanen yang dapat dicegah dengan deteksi dini melalui STS ( standard threshold shift).Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan faktor risiko baik individu maupun pekerjaan terhadap kejadian standard threshold shift pada pekerja manufaktur. Metode Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional pada karyawan dengan pajanan kebisingan. Variabel bebas mencakup faktor individu seperti usia,riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus,merokok,dan obesitas dan faktor pekerjaan seperti bahan kimia,lama kerja, penyediaan alat pelindung diri, dan area kerja. Hasil Subjek penelitian berjumlah 200 karyawan dimana 67 karyawan mengalami STS dengan baseline tahun 2018. Dari hasil penelitian didapatkan faktor risiko yang berhubungan adalah masa kerja (OR 1.9 IK 95% 1.0-3.4),riwayat diabetes mellitus (OR 17 IK 95% 2.1 -146) dan obesitas (OR 2.4 (IK 95% 1.1- 5.0).Variabel riwayat diabetes mellitus, masa kerja, dan BMI berperan sekitar 12% dalam proporsi 12% STS dengan nilai prediktif utama adalah riwayat diabetes mellitus.Kesimpulan Proporsi STS di perusahaan manufaktur dalam periode 2018 sampai 2020 adalah 33,5%. Masih tingginya proporsiSTS pada karyawan dapat menjadi nilai evaluasi dari program perlindungan pendengaran yang telah dijalankan sejak tahun 2016. Prevalensi kejadian STS pada PT.X dalam periode 2018 sampai 2020 adalah 33,5 %.Diharapkan adanya program kesehatan terutama dalam mengontrol penyakit kronis terutama diabetes mellitus dan obesitas untuk mengurangi risiko individu terhadap gangguan gangguan pendengaran.

Introduction The majority of hearing loss cases by 82% are experienced by manufacturing workers. The incidence of hearing loss has a permanent impact which is obtained by prevention with early detection through STS (standard threshold shift). The aim of study was to determine the relationship between individual and occupational risk factors on the proportion of standard threshold shift. Methods The research was a cross sectional study on employees with noise exposure. The independent variables include individual factors such as age, history of hypertension, history of diabetes mellitus, smoking, body mass index and occupational factors such as history of chemical exposures, working period, provision of PPE and working area. Results Research subjects found 200 employees of which 67 employees experienced STS with 2018 baseline.The study showed that the associated risk factors were working period (OR 1.9 with 95% CI 1.0- 3.4), history of diabetes mellitus (OR 17 with 95% CI 2.1 -146), obesity (OR 2.4 with 95% CI 1.1-5.0). The variables history of diabetes mellitus, working period, and BMI account for about 12% in the proportion of STS with the main predictive value being history of diabetes mellitus. Conclusions The proportion of STS in manufacturing company by period 2018 to 2020 was 33.5%. The high proportion of STS in employees can be an evaluation of the hearing protection program that has been running since 2016. Suggestions for improving employee protection programs, monitoring and evaluating ongoing hearing protection programs, and health programs, especially chronic diseases such as diabetes mellitus and weight loss."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sang Ketut Suratna
"Latar Belakang. Sebuah pabrik tekstil “X” yang sebagian besar pekerjanya perempuan, mempunyai jam operasional yang mengharuskan pekerja menjalani sistem kerja gilir. Sistem kerja gilir mempengaruhi pola makan dan status gizi pekerja, kekurangan zat gizi memiliki potensi tinggi menyebabkan kelelahan sehingga diperlukan rekomendasi makanan tambaha serta edukasi gizi bagi kelompok pekerja ini. Pendekatan Linear Programming (LP) menghasilkan Food Based Recommendation (FBR) yang mempertimbangkan penggunaan bahan pangan lokal yang disesuaikan dengan pola makan pekerja dengan kerja gilir serta permasalahan gizi kelompok pekerja dengan mengoptimalkan kandungan nutrisi sehingga FBR yang dirumuskan dapat menjadi kebijakan bagi pemilik industri tekstil yang memperkerjakan perempuan pekerja dengan sistem kerja gilir.
Objektif. Didapatkan rekomendasi makanan tambahan bagi perempuan pekerja dengan kerja gilir malam dalam menurunkan kejadian kelelahan.
Metode. Penelitian dilakukan dalam dua fase, yaitu pra dan paska intervensi menggunakan desain quasi-eksperimental dengan uji pra dan paska dengan kelompok kontrol. Subjek penelitian dianalisis secara per protokol sehingga subjek berjumlah 100 perempuan pekerja. Data diet pekerja diperoleh dari penimbangan makanan yang diberikan saat kerja gilir malam, data dikombinasikan dengan 24 hours food recall serta 5 dFFQ (5-days food-frequency questionnaire). Kelelahan diukur dengan menggunakan kuesioner CIS (Checklist Individual Strength) 20R dan Reaction Time. Analisis LP menggunakan sistem Optifood yang merumuskan suatu rekomendasi makanan tambahan (FBR).
Hasil. Berdasarkan hasil pemeriksaan kelelahan pada dua kelompok menunjukkan bahwa nilai rerata waktu reaksi pada kelompok intervensi pra intervensi sebesar 239,29±49,96 setelah dilakukan intervensi terjadi penurunan rerata waktu reaksi sebesar 12,97 millidetik. Penurunan rerata waktu reaksi kelompok intervensi mempunyai nilai p<0,05 (p=0,006) sehingga secara statistik nilai p bermakna pada rerata penurunan waktu reaksi kelompok intervensi paska intervensi. Pada kelompok kontrol pra intervensi rerata waktu reaksi sebesar 236,99±40,56 setelah dilakukan intervensi mengalami penurunan sebesar 3,56 millidetik. Sedangkan rerata waktu reaksi pra intervensi gabungan kedua kelompok sebesar 238,12±45,24 paska intervensi sebesar 229,94±27,34, beda rerata gabungan kedua kelompok sebesar 8,18 millidetik. Artinya ada penurunan kelelahan sebesar 8,18 millidetik paska intervensi. Secara satitistik penurunan rerata waktu reaksi gabungan kedua kelompok bermakna (p=0,007).
Kesimpulan. Intervensi FBR cukup efektif dalam penurunan kelelahan bagi kedua kelompok penelitian, pada paska intervensi terdapat perbaikan kelelahan yang cukup baik.

Introduction. Textile factory “X”, where most workers are women, has an operational system that requires its workers to work on shifts. The shift system affects the dietary patterns and nutritional status of workers. Malnutrition has a high potential in causing fatigue. Thus, additional food recommendations and nutritional education for this population are needed. A Linear Programming (LP) approach produced the Food Based Recommendation (FBR), which considers the use of local food ingredients adjusted to the dietary pattern of shift workers and the nutritional problem of those workers by optimizing nutritional content. Therefore, the formulated FBR can be used as a policy for textile industry owners who employ female workers with a shift system.
Objective. Obtaining additional food recommendations for female workers who work a night shift to reduce the incidence of fatigue.
Methods. This study was conducted in two phases, i.e., pre-and post-intervention, using a quasi-experimental design with pre-and post-test with the control group. The subjects were analyzed per the protocol and a total of 100 female workers was obtained. The data on the workers’ diet was obtained from weighing food given during the night shift. The data were combined with a 24-hour food recall and 5 RFQ (5-days food-frequency questionnaire). Fatigue was examined using a CIS (Checklist Individual Strength) 20R questionnaire and a Reaction Time Analysis LP using the Optifood system, which formulated a Food-Based Recommendation (FBR). Data were analyzed using univariate and bivariate analysis.
Results. Based on the results of the fatigue examination of the two groups, the mean value of pre-intervention reaction time in the intervention group was 239.29 ± 49.96. After the intervention, an average reduction of 12.97 milliseconds occurred in reaction time.The mean reduction of reaction time in the intervention group produced a p-value of < 0.05 (p = 0.006). Therefore, statistically, the p-value was significant to the mean reduction in reaction time in the intervention group after the intervention. In the pre-intervention period of the control group, the mean value of reaction time was 236.99 ± 40.56 and decreased by 3.56 milliseconds after the intervention. Meanwhile, the average pre-intervention reaction time between the combinations of the two groups was 8.18 milliseconds. This means that there is a decrease in fatigue by 8.18 milliseconds after the intervention. Statistically, the reduction of mean reaction time between the two groups was significant (p = 0.007).
Conclusion. Adequate energy intake will improve the health status of workers, especially to avoid physiological disturbances and fatigue. The additional food menu chosen as the FBR recommendation is the one with the highest nutritional content. The recommended FBR was quite effective in reducing reaction time for both study groups. In the pre-intervention group with the mean value (239.29±49.96) and the post-intervention mean value (226.32±31.19), there was a decrease in reaction time of 12.9 milliseconds. Recommendations for providing additional food menus and nutrition education can be used as recommendations for workers and company owners.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Wicaksono Sulistomo
"Pendahuluan : Saat pandemi COVID-19 berlangsung secara global, petugas kesehatan menunjukkan tingkat prevalensi gangguan cemas yang lebih tinggi dibandingkan petugas non-kesehatan. Gangguan cemas yang menetap dapat menjadi gangguan cemas menyeluruh, dan yang mengalami gangguan cemas menyeluruh memiliki potensi sebesar 25% untuk menjadi gangguan depresi berat.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi gangguan cemas serta faktor risiko yang berhubungan pada pekerja di Rumah Sakit X Balikpapan selama pandemi COVID-19 berlangsung.
Metode : Desain penelitian merupakan studi analisis deskriptif analitik dengan menggunakan desain potong lintang yang melibatkan 279 responden pekerja Rumah Sakit X di Indonesia. Penelitian menggunakan SPSS versi 20.0, dengan uji tes chi2 dan Fisher’s Exect test, untuk uji bivariat, dan uji regresi logistik dengan metode enter untuk analisis multivariat.
Hasil : Didapatkan hasil skoring dari GAD-7 bahwa 87.5% tidak memiliki gangguan cemas, 10.8% gangguna cemas ringan, 1.4% gangguan cemas sedang dan 0.4% gangguan cemas berat pada pekerja di RSX. Ditemukan pengaruh yang signifikan terhadap prevalensi gangguan cemas pada pekerja kesehatan p=0.001 dan aOR 4.8 (1.9-12.3), yang berada di area risiko tinggi transmisi COVID-19 p=0.04 dan aOR 5.1 (1.0-24.2), dan pekerja yang dikarantina p=0.001 dan aOR 10.5 (2.6-42.3) setelah memperhitungkan variabel usia dan jenis kelamin.
Kesimpulan :
Terdapat hubungan yang bermakna terhadap risiko terjadinya gangguan cemas pada pekerja Rumah Sakit X Balikpapan dengan faktor risiko jenis pekerjaan merupakan tenaga kesehatan, berada di area kerja dengan risiko transmisi COVID-19 tinggi, dan pekerja yang dikarantina karena merawat pasien COVID-19.

Introduction: During the global COVID-19 pandemic, health workers were found to have a higher prevalence of anxiety disorder compared to non-health worker. Anxiety disorder that occur chronically have a 25% chance to become a major depression disorder.
Objective: The aim of this study is to understand the anxiety condition and risk factors that are related, among Balikpapan Hospital X workers during the COVID-19 pandemic.
Method: The design of this research used a cross sectional method that involved 279 respondents who are Balikpapan Hospital X workers. The study used SPSS version 20.0, using the chi square and Fisher’s Exact test for the bivariat analysis, and the logistic regression with enter method for the multivariate analysis.
Result: The study shows that, using the GAD-7 (General Anxiety Disorder) questionnaire from 279 hospital workers, there were 10.8% with mild-, 1.45% with moderate-, and 0.4% with severe anxiety disorder. A significant relation was found between anxiety disorder and risk factors such as: being a health worker with p=0.001 and a 4.8 ORadj (95% C.I: 1.9-12.3), working in high risk of transmitting COVID-19 area with p=0.04 and a 5.1 ORadj (95% C.I.: 1.0-24.2), and workers who are being quarantined with p=0.001 a 10.5 ORadj (2.6-42.3) after being adjusted by age and gender variables.
Conclusion: Significant relations were found between anxiety disorder among Hospital X workers with risk factors such as: health workers, working in high risk of transmitting COVID-19 area, and workers that are being quarantined. Researcher strongly advice health providers to do regular monitoring and seek moral support especially for workers who have higher risk of anxiety disorder
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library