Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwik Selviana
"Latar belakang: Dokter umum harus memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional, dimana dokter memiliki kewajiban memberikan konseling, anamnesis, pemeriksaan, pengobatan, dan menentukan tindakan medis terhadap pasiennya, hal ini berbeda dengan tenaga perawat atau nakes lainnya sehingga dokter secara tidak langsung memiliki beban kerja dengan tekanan yang lebih tinggi karena dokter memiliki wewenang dan hak untuk melakukan pelayanan kesehatan, selain itu dokter secara rutin dan berkelanjutan melakukan shif kerja lama lebih dari 12 jam tiap shiftnya beresiko tinggi mengalami kelelahan dan berhubungan dalam meningkatkan resiko kecelakaan kerja yang dampaknya bisa merugikan lingkungan kerja, dokter umum sendiri, dan keselamatan pasien jika dibandingkan dengan lama shift kerja sebanyak 8 jam perhari.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara shift kerja dan faktor-faktor risiko lain terhadap derajat kelelahan pada dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit di Kota bekasi tahun 2022.
Metode: Metode penelitian cross-sectional dengan sifat penelitian observational berupa pengisian kuesioner yang disebarkan secara online dengan menggunakan google form  kepada dokter umum yang bekerja secara shift dan non-shift di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia, dengan teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan quota sampling. Kemudian data di analisa dengan menggunakan  IBM SPSS versi 20, dimana data dikumpulkan dari bulan maret sampai mei 2022.
Hasil: Analisis multivariat membuktikan bahwa Pekerja yang mendapatkan jaga shift, cenderung lebih beresiko 38 kali (OR: 38,1; IK 95% :3,897-373,285, p <0,0500.
Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan bahwa shift kerja memiliki hubungan paling signifikan terhadap risiko kelelahan pada dokter umum dibandingkan dengan faktor risiko lain.

Background: General Practitioners must provide quality and professional services, which includes the obligation to provide counseling, history taking, examination, providing treatment, and determining medical actions for their patients, This is different from other health workers, in which doctors directly have a workload with high pressure. Besides that doctors regularly and continuously perform long work shifts for more than 12 hours. Each shift has high risk to induce fatigue and this is also associated with an increasing the risk of work accidents whose impacts can be detrimental to the work environment, doctors themselves, and especially to the patient safety when compared to the 8 hour work shift per day.
Method: This study was an observational study with a cross-sectional design by using of Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) 30-Item fatigue symptoms. Participants were general practitioners who work at hospital, both shift work and non-shift. They were selected by quota sampling technique. Data were collected from March to May 2022, data were analyzed by IBM SPSS Statistic ver.20.
Results: We collected data primarily through online questionnaire using Google Form Platform, multivariate analysis showed that doctors who work with shift had a risk of 38 times more to experience moderate to severe fatigue compared to doctors who worked with non-shifts. (OR:38,1 CI 95%: 3,897-373,285, p <0,05).
Conclusion: This study proves that shift workers have the most significant correlation to induce fatigue among general practitioner compared to other risk factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triandana Budi Wisesa
"Latar Belakang: Operator crane merupakan pekerjaan yang memiliki resiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kuswaha et al menunjukkan bahwa dari 90% operator crane, 63% mengalami nyeri leher.1 Operator crane melakukan sebagian besar aktivitas kerja mereka dengan postur tubuh yang janggal pada leher, bahu dan punggung. Prevalensi nyeri leher yang tinggi dikaitkan dengan derajat fleksi leher yang tinggi serta postur statis dan janggal saat duduk. Postur membungkuk yang terus menerus dapat menyebabkan ketegangan dan tekanan pada jaringan lunak di sekitar tulang belakang. 2 Bekerja mengoperasikan crane dalam posisi duduk statis dan membungkuk ke bawah dan dalam waktu yang lama merupakan bagian dari tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diubah secara teknis, sehingga perlu dilakukan kontrol, salah satunya dengan program peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah peregangan yang dilakukan dalam waktu dua minggu (lebih singkat dari studi referensi) mampu menurunkan nilai VAS nyeri leher pada operator crane, serta untuk mengetahui berapa nilai penurunan VAS tersebut. pengukuran sebelum peregangan dan setelah peregangan.
Metode: Studi analitik dengan desain within group experiment with repeated measurement. Dilakukan terhadap 25 orang responden yang dipilih secara consecutive sampling dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemberian edukasi gerakan peregangan yang dilakukan dalam durasi sekitar lima menit, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu sebelum dan setelah bekerja, dilakukan lima hari dalam satu minggu, selama dua minggu. Kemudian dilakukan pengukuran nilai Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan 5 hari peregangan dan 10 hari peregangan.
Hasil: Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 39,6% serta terdapat penurunan signifikan dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan (VAS = 5 (3-7)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan (VAS = 3 (1-5)) dengan nilai p<0,01 dari uji wilcoxon. Tidak didapatkannya perubahan yang bermakna terhadap faktor individu yang dinilai, baik berdasarkan variabel umur, status gizi, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan merokok.
Kesimpulan: Peregangan otot dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk leher pada subjek penelitian operator crane, yang diukur berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) dengan intervensi peregangan dilakukan  selama 2 minggu.      

Background: Working to operate a crane in a sitting position for a long time with the back and neck bent is considered to be associated with an increased risk of neck and back pain disorders in crane operators, and is part of the job demands that cannot be changed technically. It is necessary to control the incidence of neck pain in crane operators, one of which is by stretching. The purpose of this study was to prove whether stretching that was carried out within two weeks (shorter than the reference study) was able to reduce the VAS value in neck pain in crane operators.
Methods: This study used an analytical study in the form of within group experiment with repeated measurement design. This research was conducted at the X container terminal located in North Sumatra, carried out when there were still social restrictions on the Covid-19 pandemic in October 2020. This study involved 25 respondents, who were obtained through consecutive sampling. Interventions were carried out by providing education for the McKenzie stretching movements which were about five minutes duration, twice a day, before and after work, for five days a week, in two weeks. Then the Visual Analog Scale (VAS) value was measured before stretching, 5 days of stretching and 10 days of stretching. The stretching and VAS measurement activities were monitored by the company doctor as well as the research team whose perceptions were matched.
Results: The prevalence value of neck pain was 39,6% and there was a statistically significant decrease in VAS levels from VAS = 5 (3-7) before stretching to VAS = 3 (1-5) after stretching for 2 weeks with p values 0.000. There were no significant changes in individual factors that could potentially be confounding factors, such as age, nutritional status, exercise habits, and smoking habits during the experiment.
Conclusion: Muscle stretching can reduce the value of neck pain in crane operator research subjects, which was measured based on the Visual Analog Scale (VAS) with stretching interventions carried out for 2 weeks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eugene Nathania
"Pola isapan nutritif pada neonatus cukup bulan sehat penting untuk diketahui, namun selama ini belum ada bukti ilmiah yang tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pola isapan nutritif pada neonatus cukup bulan sehat berdasarkan berat badan lahir dan usia gestasi. Desain studi yang digunakan adalah pendekatan potong lintang pada neonatus cukup bulan sehat di beberapa Puskesmas tingkat Kecamatan di Jakarta. Sebanyak 88 neonatus cukup bulan sehat dinilai karakteristik pola isapan nutritif dengan Sucking Mechanism System Equipment. Dari hasil penilaian tersebut, tidak ditemukan adanya perbedaan bermakna pada pola isapan nutritif neonatus cukup bulan sehat berdasarkan usia gestasi dan berat badan lahir. Rerata amplitudo tekanan isapan adalah -86,69 (76.0 – 102,68) mmHg, rerata frekuensi isapan 0,847 (0,717 – 0,97) isapan/detik, rerata durasi satu isapan nutritif 0,858 0,124 detik, rerata durasi satu burst 13,4 (8,49 – 22,48) detik, rerata jumlah burst dalam satu menit 3,74 1,53 burst/menit, rerata jumlah isapan per burst 15,36 (9,19 – 24,45) isapan/burst. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pola isapan nutritif terus berkembang seiring dengan peningkatan usia gesatasi dan berat badan lahir.

Nutritive sucking pattern in healthy term neonates is important to know, but so far there is no scientific evidence available The aim of this study was to determine the characteristics of the nutritive suction pattern in healthy term neonates based on birth weight and gestational age. A cross-sectional approach was applied among healthy term neonates in several sub-district health centres in Jakarta. A total of 88 healthy term newborns were assessed for nutritional sucking pattern characteristics using the Sucking Mechanism System Equipment. The result showed no significant difference in terms of nutritive suction pattern based on gestational age and birth weight. The mean amplitude of suction pressure was -86.69 (76.0 - 102.68) mmHg, mean suction frequency was 0.847 (0.717 - 0.97) sucks/second, mean duration of a nutritional suction was 0.858 ± 0.124 seconds, mean duration of a burst was 13.4 (8.49 - 22.48) seconds, mean number of bursts per minute was 3.74 ± 1.53 bursts/minute, mean number of sucks per burst was 15.36 (9.19 - 24.45) sucks/burst. This study suggests that the nutritional sucking pattern continues to evolve with increasing age and birth weight"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ketty Sjarifuddin
"Latar Belakang: Kualitas tidur seorang pekerja merupakan hal penting dalam menjaga status kesehatan juga produktivitas kerja karena melalui tidur terjadi proses pemulihan pada tubuh. Kualitas tidur yang tidak baik dapat berdampak buruk pada masalah kesehatan, menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan resiko kecelakaan. Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor individu, pekerjaan dan lingkungan. Studi global meta analisis sebanyak 30% pekerja industri mengalami kualitas tidur buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas tidur pekerja teknisi alat berat di perusahaan X dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pekerja dimana belum adanya penelitian yang berfokus pada kualitas tidur teknisi alat berat. 
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Menggunakan data sekunder hasil MCU karyawan Perusahaan X. Total sampling sebanyak 105 teknisi alat berat, dianalisa multivariate dengan regresi logistik batas kemaknaan p<0.05 untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur. Instrumen terdiri dari kuesioner terbuka karakteristik responden, kuesioner PSQI untuk menilai kualitas tidur yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia (α Cronbach 0.79), dan kuesioner SOFI untuk menilai kelelahan yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia (α Cronbach  0.969). 
Hasil: Prevalensi pekerja yang mengalami kualitas tidur buruk didapatkan sebesar 48.6%. Hanya faktor kelelahan kerja yang memiliki hubungan bermakna dengan kualitas tidur  (p=0.026, aOR 11.7, CI95% 1.333- 102.76) 
Kesimpulan: Terdapat kualitas tidur yang buruk pada pekerja teknisi alat berat dengan kelelahan kerja menjadi faktor resiko yang bermakna secara statistik dengan kualitas tidur yang buruk.  

Background: Sleep quality of a worker is important in maintaining health status as well as work productivity because the proccess of recovery is sleeping. Poor sleep quality can have a negative impact on health problems, reduce work productivity, increase the risk of accidents. Sleep quality is influenced by individual, occupational and environmental factors. A global meta-analysis study found that 30% of industrial workers experience poor sleep quality. This study aims to determine the sleep quality of heavy equipment technicians at company X and the factors related to the sleep quality of workers where there has been no research that focuses on the sleep quality of heavy equipment technicians.
Methods: This study uses cross-sectional methods. Using secondary data from MCU result of workers at Company X. A total sample of 105 heavy equipment technicians was analyzed multivariat  using a regression logistic. The instruments consisted of an open questionnaire on respondent characteristics, a PSQI questionnaire to assess sleep quality which had been validated in Indonesian (Alpha Cronbach 0.79), and a SOFI questionnaire to assess fatigue which had been validated in Indonesian (Alpha Cronbach 0.969).
Results: The prevalence of workers experiencing poor sleep quality was 48.6%. Only work fatigue had a significant relationship with sleep quality (p=0.026, aOR 11.7, 95% CI 1.333-102.76).
Conclusion: There is poor sleep quality in heavy equipment technician workers with work fatigue being a statistically significant risk factor for poor sleep quality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Halim
"Latar Belakang : 1 dari setiap 10 pekerja Indonesia menderita diabetes melitus (DM). Pekerja dengan DM mengalami pengurangan produktivitas disesuaikan tahun hidup (PALY) sebesar 12% dan biaya kesehatan tambahan rata-rata $USD 467 dibandingkan dengan rekan mereka yang sehat. Diagnosis dan intervensi dini memungkinkan pekerja diabetes untuk mempertahankan produktivitas dan kualitas hidup mereka. Salah satu titik masuk potensial untuk program dan kebijakan tempat kerja yang efektif mengenai skrining dan intervensi dini DM adalah klasifikasi pekerjaan pekerja. Namun, sebagian besar studi yang ada belum menggunakan konsensus internasional terpadu, menciptakan hambatan ketika mencoba menggabungkan/menggabungkan studi lintas wilayah/negara yang melibatkan kelompok pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kontrol glikemik optimal dan parameter metabolisme pekerja diabetes.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang memanfaatkan rekam medis pasien dari tahun 2015-2021. Klasifikasi pekerjaan pekerja diklasifikasikan menggunakan (International Classification of Occupation) ISCO-08 dan dikelompokkan menurut klasifikasi ISCO-08 yang disederhanakan oleh Lee et al. Ditemukan 2.796 pegawai yang menjalani medical check up (MCU) dan pemeriksaan HbA1c; 1.322 juga menjalani pemeriksaan glukosa darah puasa (FBG), dan 1.316 profil lipid juga. Dari daftar klien 2015-2021, kami menemukan 160 responden dengan riwayat diabetes. Namun, hanya 86 dari mereka memiliki catatan medis laboratorium yang cocok, di mana 35 memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis bivariat dilakukan melalui uji Chi-square dan/atau Fischer Exact.
Hasil : Dari 2.796 responden yang menjalani pemeriksaan HbA1c, 65,8% memiliki hasil normal, 29,6% pradiabetes, dan 4,6% memiliki kadar HbA1c yang melebihi batas DM. Untuk 1.322 responden yang memeriksa FBG mereka bersama dengan HbA1c mereka, 62% memiliki kadar FBG normal, 33,1% mengalami peningkatan glukosa puasa dan 5% melebihi batas DM. Sebanyak 80,5% dari 1.316 responden yang diperiksa profil lipidnya mengalami dislipidemia. Dari 35 responden, 32 di antaranya berasal dari kelompok pekerja kerah putih (ISCO-08 kelompok 1-4), dimana 56,2% di antaranya memiliki kontrol glikemik yang optimal. Mayoritas pemeriksaan HbA1c dilakukan berdasarkan arsip dan pangkat karyawan di dalam perusahaan mereka dan bukan berdasarkan risiko kesehatan kerja atau kondisi kesehatan karyawan tersebut. Hal ini menyebabkan HbA1c yang biayanya jauh lebih tinggi dari FBG dan glukosa postprandial 2 jam, kebanyakan dilakukan pada karyawan dengan jabatan senior/tinggi.
Kesimpulan : Peningkatan komunikasi dan kolaborasi lebih lanjut antara penyedia layanan medis dan klien pemangku kepentingan perusahaan diperlukan untuk memastikan alokasi sumber daya yang optimal, khususnya mengenai karyawan dengan diabetes.

Background : 1 in every 10 Indonesian workers have diabetes mellitus (DM). Workers with DM experience a 12% productivity adjusted life years (PALY) reduction and an average of $USD 467 additional healthcare cost as compared to their healthy colleagues. Early diagnosis and intervention allows diabetic workers to maintain their productivity and quality of life. One of the potential entry point for effective workplace programs and policies regarding screening and early intervention of DM are worker’s occupational classification. However, most existing studies have yet to use a unified international consensus, creating barriers when attempting to pool/aggregate cross-regional/country studies involving occupational groups. This study aims to determine the prevalence of optimal glycaemic control and metabolic parameters of diabetic workers.
Methods : This is a cross-sectional study which utilizes medical records of patients from 2015-2021. Worker’s occupational classification is classified using (International Classification of Occupation) ISCO-08 and grouped according to a simplified ISCO-08 classification by Lee et al. We found 2.796 employees who underwent medical check-up (MCU) and had their HbA1c examined; 1.322 also had their fasting blood glucose (FBG) checked, and 1.316 their lipid profile too. From the client list of 2015-2021, we found 160 respondents with a history of diabetes. However, only 86 of those had matching laboratory medical records, in which 35 met the inclusion and exclusion criteria. Bivariate analysis is performed via Chi-square and/or Fischer Exact test.
Results: Of the 2,796 respondents who underwent HbA1c examination, 65.8% had normal results, 29.6% were pre-diabetic, and 4.6% had HbA1c levels that exceeded the DM cut-off. For 1.322 respondents who examined their FBG alongside their HbA1c, 62% had normal FBG levels, 33.1% experienced increased fasting glucose and 5% exceeded the DM cut-off. 80,5% of the 1.316 respondents who had their lipid profile examined had dyslipidaemia. Of the 35 respondents, 32 were from the white collar worker group (ISCO-08 group 1-4), of which 56,2% have optimal glycaemic control. A majority of HbA1c examinations were performed based upon employee’s file-and-rank within their company and not based on occupational health risk or said employee's health conditions. This causes HbA1c, which substantially costs higher than FBG and 2-hour post-prandial glucose, to be carried out mostly on employees with senior/high positions.
Conclusion : Further improvement of communication and collaboration between medical service provider and client company stakeholders is needed to ensure optimal resource allocation, in particular regarding employees with diabetes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasser Jayawinata
"Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di Indonesia di mana sekitar 42,7% datang pada stadium lanjut lokal. Pemberian kemoterapi neoajuvan pada stadium lanjut lokal bertujuan mengecilkan ukuran tumor sehingga dapat dilakukan operasi dan menurunkan mortalitas. Salah satu prediktor untuk mengetahui keberhasilan kemoterapi neoajuvan adalah Ki-67, yaitu protein non-histone yang ekspresinya tinggi saat proliferasi sementara obat-obatan kemoterapi bekerja efektif pada fase proliferasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Ki-67 sebagai faktor prediktor terhadap respons kemoterapi neoajuvan pada pasien KPDLL. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan kriteria inklusi adalah pasien dengan diagnosis kanker payudara stadium lanjut lokal dan mendapatkan kemoterapi neoajuvan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak 1 Januari 2014- 31Desember 2019. Cut-off ekspresi Ki-67 adalah 20%. Respons klinis kemoterapi neoajuvan dinilai berdasarkan kriteria WHO yang diukur setelah pemberian kemoterapi ketiga. Respons kemoterapi ini dikelompokkan menjadi respons baik (complete response dan partial response) dan respons buruk (stable disease dan progresive response). Hasil: Pasien kanker payudara lanjut lokal rata-rata berusia 50 tahun, ukuran tumor terbanyak T4 (90,4%), keterlibatan kelenjar getah bening N1 (52,1%), jenis histopatologi NST (71,3%), grade 2 (54,4%), ER positif (78,7%), PR positif (70,2%), HER2negatif (58,5%), Ki67 tinggi (70,2%), dan luminal B (56,4%). Lima puluh dua koma satu persen subjek memiliki respons kemoterapi buruk. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dengan respons kemoterapi (p= 1). Bila dihitung presentase sisa tumor, pasien dengan ekspresi Ki-67 tinggi memiliki persentase sisa tumor 74,6%, pasien dengan ekspresi Ki-67 rendah rata-rata tidak mengalami penurunan ukuran tumor dengan sisa tumor 103,8% (p= 0,977). Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan respons kemoterapi neoajuvan pada kanker payudara stadium lanjut lokal di RSCM.

Breast cancer is one of the most common health problems in Indonesia where 42.7% of patients have been diagnosed with Locally Advanced Breast Cancer (LABC). Neoadjuvant chemotherapy (NAC) is aimed to decrease the tumor size to be operable and decrease mortality. Ki-67 is highly expressed in the cell proliferation phase, while chemotherapy agents work effectively by targeting this proliferation. This study evaluates the utility of Ki-67 in LABC patients of the Asian-Indonesian population. Methods: This is a retrospective cohort study. Ki-67 data was from the medical record based on the immunohistochemistry staining with >20% cut off point. Clinical response was measured based on the WHO criteria after the third chemotherapy cycle, classified as good response (complete response and partial response) and poor response (stable disease and progresive response). Result: The majority of subjects in this study were 50 years old, with T4 tumor size (90.4%), N1 lymph node involvement (52.1%), NST histopathological type (71.3%), grade 2 (54.4%), ER-positive (78.7%), PR-positive (70.2%), HER2-negative (58.5%), high Ki67 expression (70.2%), and luminal B subtype (56.4%). 52.1% of all subjects showed ‘poor’ clinical responses to NAC. There was no significant association between subjects’ characteristics and the NAC Clinical response. Moreover, there was no significant association between Ki-67 and chemotherapy clinical response (p=1). Residual tumor size was 74.6% in high Ki-67 group and 103.8% in low Ki-67 group (p= 0.977). Conclusion: There is no statistically significant association between Ki-67 expression and NAC clinical response of LABC patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti
"Latar belakang : Pandemi Covid-19 telah menimbulkan perubahan dalam pola bekerja yaitu yang semula bekerja di kantor sepenuhnya menjadi kombinasi bekerja dari rumah dan bekerja di kantor. Perubahan ini berpotensi menyebabkan konflik pekerjaan keluarga dan stress pada pegawai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konflik pekerjaan keluarga dan stress yang dialami pegawai Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Metode : Penelitian dilakukan di Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan dengan jumlah subyek penelitian 103 pegawai yang menjalani work from home minimal selama 6 bulan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner Skala Konflik Pekerjaan Keluarga dan Perceived Stress Scale-10 yang sudah divalidasi dalam Bahasa Indonesia.
Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang memiliki persepsi stress berat adalah sebanyak 14.6%, yang mengalami stress sedang 59.2%. Prevalensi konflik pekerjaan keluarga yang dialami sebesar 67%. Secara statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara konflik pekerjaan keluarga dan persepsi stress di mana pegawai yang mengalami konflik pekerjaan keluarga memiliki risiko 9,6 kali lebih tinggi untuk mengalami stres sedang (OR: 9,59, 95% CI: 2,42-37,98).
Kesimpulan : Sebagian besar subyek penelitian mengalami konflik pekerjaan keluarga dan stress sedang selama bekerja dengan pola kerja yang berubah di masa pandemi Covid-19; dan ternyata terdapat hubungan antara konflik pekerjaan keluarga dan stress.

Background: The Covid-19 pandemic has caused a change in work patterns, which were originally working in the office completely to a combination of working from home and working in the office. This change has the potential to cause work-family conflict and stress on employees. This study aims to describe the work-family conflict and stress experienced by employees of the Directorate General of Public Health, Ministry of Health during the Covid-19 pandemic.
Methods: The study was conducted at the Directorate General of Public Health, Ministry of Health with the number of research subjects 103 employees who underwent work from home for at least 6 months. The research was conducted using Work- Family Conflict Scale and Perceived Stress Scale-10 questionnaires which has been validated in Indonesian.
Results: It was found that respondents who had experienced severe stress were 14.6% and moderate stress were 59.2%. The prevalence of work-family conflict is 67%. Statistically, there was a significant relationship between work-family conflict and perceived stress where employees who experienced work-family conflict had a 9.6 times higher risk of experiencing moderate stress (OR: 9.59, 95% CI: 2.42-37, 98).
Conclusion: Most of the research subjects experienced work-family conflict and moderate stress while working with changing work patterns during the Covid-19 pandemic; and it turns out that there is a relationship between work-family conflict and stress.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firly Ratsmita
"Pendahuluan Mayoritas kasus sekitar 82% kasus gangguan pendengaran terjadi pada pekerja manufaktur. Insiden gangguan pendengaran memiliki dampak yang permanen yang dapat dicegah dengan deteksi dini melalui STS ( standard threshold shift).Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan faktor risiko baik individu maupun pekerjaan terhadap kejadian standard threshold shift pada pekerja manufaktur. Metode Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional pada karyawan dengan pajanan kebisingan. Variabel bebas mencakup faktor individu seperti usia,riwayat hipertensi, riwayat diabetes mellitus,merokok,dan obesitas dan faktor pekerjaan seperti bahan kimia,lama kerja, penyediaan alat pelindung diri, dan area kerja. Hasil Subjek penelitian berjumlah 200 karyawan dimana 67 karyawan mengalami STS dengan baseline tahun 2018. Dari hasil penelitian didapatkan faktor risiko yang berhubungan adalah masa kerja (OR 1.9 IK 95% 1.0-3.4),riwayat diabetes mellitus (OR 17 IK 95% 2.1 -146) dan obesitas (OR 2.4 (IK 95% 1.1- 5.0).Variabel riwayat diabetes mellitus, masa kerja, dan BMI berperan sekitar 12% dalam proporsi 12% STS dengan nilai prediktif utama adalah riwayat diabetes mellitus.Kesimpulan Proporsi STS di perusahaan manufaktur dalam periode 2018 sampai 2020 adalah 33,5%. Masih tingginya proporsiSTS pada karyawan dapat menjadi nilai evaluasi dari program perlindungan pendengaran yang telah dijalankan sejak tahun 2016. Prevalensi kejadian STS pada PT.X dalam periode 2018 sampai 2020 adalah 33,5 %.Diharapkan adanya program kesehatan terutama dalam mengontrol penyakit kronis terutama diabetes mellitus dan obesitas untuk mengurangi risiko individu terhadap gangguan gangguan pendengaran.

Introduction The majority of hearing loss cases by 82% are experienced by manufacturing workers. The incidence of hearing loss has a permanent impact which is obtained by prevention with early detection through STS (standard threshold shift). The aim of study was to determine the relationship between individual and occupational risk factors on the proportion of standard threshold shift. Methods The research was a cross sectional study on employees with noise exposure. The independent variables include individual factors such as age, history of hypertension, history of diabetes mellitus, smoking, body mass index and occupational factors such as history of chemical exposures, working period, provision of PPE and working area. Results Research subjects found 200 employees of which 67 employees experienced STS with 2018 baseline.The study showed that the associated risk factors were working period (OR 1.9 with 95% CI 1.0- 3.4), history of diabetes mellitus (OR 17 with 95% CI 2.1 -146), obesity (OR 2.4 with 95% CI 1.1-5.0). The variables history of diabetes mellitus, working period, and BMI account for about 12% in the proportion of STS with the main predictive value being history of diabetes mellitus. Conclusions The proportion of STS in manufacturing company by period 2018 to 2020 was 33.5%. The high proportion of STS in employees can be an evaluation of the hearing protection program that has been running since 2016. Suggestions for improving employee protection programs, monitoring and evaluating ongoing hearing protection programs, and health programs, especially chronic diseases such as diabetes mellitus and weight loss."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andyka Banyu Sutrisno
"Risiko depresi atau depresi subklinis merupakan kondisi paling awal sebelum terjadinya depresi. Risiko depresi dapat meningkat pada individu yang bekerja dengan stresor yang tinggi seperti awak kabin dan dapat menyebabkan inkapasitasi pada dikarenakan gejalanya yang dapat mengganggu performa saat bertugas. Pandemi COVID-19 meningkatkan terjadinya risiko depresi pada awak kabin terkait dengan adanya regulasi dalam mencegah penyebaran COVID-19. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi serta hubungan antara jam terbang dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko depresi pada awak kabin penerbangan sipil di Indonesia pada masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada tanggal 17 Mei-8 Juni 2022. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 22. Dari 159 sampel, 80 awak kabin (50,3%) memiliki risiko depresi. Jam terbang tidak berhubungan dengan risiko depresi (p = 0.579). Ketakutan berlebih terhadap COVID-19 dan gangguan tidur dapat meningkatkan kemungkinan awak kabin mengalami risiko depresi sebesar 3.21 (95% IK 1,68-6,14); p < 0.001 dan 2.48 (95% IK 1.30-4.72); p = 0.005 kali secara berurutan. Prevalensi risiko depresi pada awak kabin penerbangan sipil di Indonesia pada masa pandemi COVID-19 cukup tinggi. Dari semua faktor yang dianalisis pada penelitian ini, hanya ketakutan berlebih terhadap COVID-19 dan gangguan tidur yang berhubungan dengan risiko depresi.

The risk of depression or subclinical depression is the earliest stage of depression. The risk of depression can increase in individuals who work in high stressors environments such as cabin crew and can cause incapacitation due to symptoms that can interfere with their flight performance. The COVID-19 pandemic increases the risk of depression in cabin crew related to regulations in preventing the spread of COVID-19. The purpose of this study is to determine the prevalence and the relationship between flight hours and other factors on the risk of depression in civil aviation cabin crew in Indonesia during the COVID-19 pandemic. This was a cross-sectional study conducted from 17 May – 8 June 2022. Data were collected using a questionnaire and analyzed using SPSS version 22. Among 159 samples, 80 cabin crews (50,3%) had a risk of depression. Flight hours were not associated with the risk of depression (p = 0.579). Excessive fear of COVID-19 and sleep disturbances can increase the odds of cabin crews of having the risk of depression 3.21 (95% CI 1.68-6.14); p < 0.001) and 2.48 (95% CI 1.30-4.72); p = 0.005) times, respectively. The prevalence risk of depression in civil aviation cabin crew in Indonesia during the COVID-19 pandemic was relatively high. Among all the factors analyzed in this study, only excessive fear of COVID-19 and sleep disturbances were associated with the risk of depression in cabin crew."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidar Muttaqin
"Latar belakang: Terapi sel punca dikembangkan sebagai alternatif terapi gagal jantung akibat infark miokardium. Bermacam tipe sel dengan berbagai metode implantasi telah banyak dikembangkan tetapi belum mendapatkan hasil optimal. Sel h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) memiliki sifat yang sangat mendukung sebagai sumber sel bagi terapi sel punca pada jantung. Teknologi rekayasa jaringan dengan melakukan ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs pada biomaterial scaffold diyakini dapat menjawab permasalahan pada pengembangan terapi sel punca pada gagal jantung.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental in-vitro dengan penyemaian ko-kultur sel kardiomiosit dan h-AECs ke dalam scaffold patch. Kardiomiosit berasal dari otot ventrikel kanan pasien penderita penyakit tetralogy of Fallots yang dilakukan operasi koreksi TOF. Sedangkan sel h-AECs didapat dari epitel amnion yang merupakan limbah operasi seksio sesarea. Setelah dilakukan karakterisasi pada kardiomiosit dan h-AECs, dilakukan ko-kultur pada scaffold amnion dengan perbandingan densitas penyemaian 1:5 dan 1:6. Evaluasi hasil ko-kultur dilakukan dengan penilaian viabilitas sel, ekspresi gen spesifik kardiomiosit dan uji toksisitas patch.
Hasil: Hasil ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah sel viabel pada hari kedua dan kelima (p>0,05). Sedangkan pada hari kedelapan terdapat perbedaan bermakna pada jumlah sel viabel, rasio 1:5 menghasilkan jumlah sel viabel lebih baik dibanding rasio 1:6 (p=0,011). Ekspresi gen spesifik kardiomiosit konsisten tampak pada kelompok rasio 1:6 dan mulai menunjukkan signifikan pada hari kedelapan, terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi gen di hari kedelapan, kelompok rasio 1:6 mengekspresikan gen cTnT dan ACTN2 lebih baik dibanding kelompok 1:5 (p=0,000 dan p=0,001). Pada uji toksisitas, tidak terdapat perbedaan bermakna pada jumlah ATP dan kadar TNFα antara kelompok 1:5 dan 1:6.
Simpulan: Teknik ko-kultur yang dikembangkan dapat menghasilkan sel kardiomiosit baru. Kelompok rasio 1:6 menghasilkan sel yang memiliki sifat spesifik kardiomiosit lebih baik dibanding kelompok rasio 1:5 tetapi menghasilkan jumlah sel viabel lebih sedikit. Patch hasil ko-kultur tidak bersifat toksik.

Background: Stem cell therapy was developed as an alternative therapy for heart failure due to myocardial infarction. Various types of cells with various methods of implantation have been developed but have not yet obtained optimal results. h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) have very supportive properties as a source of cells for stem cell therapy in the heart. Tissue engineering technology by co-culturing cardiomyocytes and h-AECs on scaffold biomaterials is believed to be able to answer problems in the development of stem cell therapy in heart failure.
Method: This study is an in-vitro experimental study by seeding co-cultures of cardiomyocytes and h-AECs into the scaffold patch. Cardiomyocytes were derived from the right ventricular muscle of patients with tetralogy of Fallot disease who underwent TOF correction surgery. Meanwhile, the h-AECs cells were obtained from the amniotic epithelium which is the waste from cesarean section. After characterization of cardiomyocytes and h-AECs, co-culture was performed on amnion scaffold with seeding density ratio 1:5 and 1:6. Evaluation of co-culture results was carried out by assessing cells viability, expression of specific cardiomyocytes gen and patch toxicity tests.
Result: The results of co-culture of cardiomyocytes and h-AECs showed no significant difference in the mean number of viable cells on the second and fifth days (p>0.05). While on the eighth day there was a significant difference in the number of viable cells, a ratio of 1:5 resulted in a better number of viable cells than a ratio of 1:6 (p=0.011). Cardiomyocyte-specific gene expression was consistently seen in the 1:6 ratio group and began to show significantly on the eighth day, there was a significant difference in gene expression on the eighth day, the 1:6 ratio group expressed cTnT and ACTN2 genes better than the 1:5 group (p= 0.000 and p=0.001). In the toxicity test, there was no significant difference in the amount of ATP and TNFα levels between the 1:5 and 1:6 groups.
Conclusion: The developed co-culture technique can generate new cardiomyocytes. The 1:6 ratio group produced cells that had better cardiomyocyte-specific properties than the 1:5 ratio group but produced fewer cells. Co-culture of h-AECs and cardiomyocytes on patch was not toxic.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library