Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johanes Kadjat Hartojo
"ABSTRAK
Pada tanggal 26 Juni 1988 di Paris ditandatangani suatu persetujuan tentang masa depan Kaledonia Baru, wilayah seberang lautan Perancis yang berupa gugusan pulau di kawasan Pasifik Barat Daya, di antara 19 dan 23 derajat Lintang Selatan, 163 dan 168 derajat Bujur Timur (lihat peta hal. 6-8). Nama resmi persetujuan itu adalah l'Accord sur l'avenir de la Nouvelle-Caledonia (Persetujuan tentang Masa Depan Kaledonia Baru) (Lampiran II, hal. 251), tetapi dalam pers Perancis persetujuan ini biasa disebut l'Accord de Matignon (Persetujuan Matignon), sesuai dengan nama kantor Perdana Menteri Perancis, l'Hotel (Wisma) Matignon, tempat persetujuan itu ditandatangani. Persetujuan itu pada hakikatnya adalah upaya menyelesaikan konflik di antara golongan-golongan penduduk yang menghendaki kemerdekaan dan yang menentangnya. Konflik itu begitu keras, sehingga untuk melukiskan keadaan, pada awal teks Persetujuan yang dirancang pemerintah Perancis itu digunakan kata-kata "nyaris perang saudara" (Accord: 2)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D61
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pantouw, Bertha
"ABSTRAK
Di desa-desa terpencil seperti Atep, Palamba dan Teep di daerah Minahasa Tengah, kecamatan Langoan, Hari Pekabaran Injil (Hari PT) biasa diperingati setiap tanggal 12 Juni. Hari ini termasuk Hari Besar untuk rakyat setempat yang diperingati di gereja-gereja. Para generasi muda mengadakan sandiwara di gereja. Ada tokoh pemain yang berkuda, dan mengabarkan Injil. Bagian yang amat menarik dari drama yang dipentaskan adalah si tokoh yang berperan sebagai penginjil itu berbahasa Tontemboan, dan didampingi oleh seorang penerjemah yang berbahasa Indonesia.
Peringatan tanggal 12 Juni di desa-desa terasa lebih syahdu. Perayaan biasanya diadakan sehari penuh, bahkan sampai tengah malam, karena sesudah memperingati di gereja-gereja di desa, penduduk pada sore hari dengan berjalan kaki, menuju kota kecil Langoan untuk memperingatinya di pusat gereja kota kecil tersebut, yang dikenal sebagai gereja-centrum Langoan.
Di Langoan bentuk perayaan bagi anak-anak muda dilakukan dengan mengadakan semacam pawai alegori, ada tokoh penginjil yang memakai pakaian pendeta berwarna hitam, dan biasanya yang menjadi tokoh adalah seorang pemuda yang berperawakan seperti orang Eropa atau diambil seorang albino.
Di daerah Tompaso dan Kawangkoan walaupun penduduk tidak lagi mengadakan perayaan semacam itu, tetapi gereja tetap memperingatinya. Di Kakas, Remboken dan sekitarnya para pemuda juga masih mengenalnya, mereka mengatakan bahwa cerita tentang J.G.Schwarz mereka dapatkan dari orang tua mereka, atau dari gereja. Rakyat pada umumnya mengenangnya sebagai se tuang panda. to ang kawalo (tuan pendeta yang berkuda). Hari. Pekabaran Injil sering dipusatkan di gereja pusat Langoan pada setiap tanggal 12 Juni, kedatangan J.G.Schwarz di daerah Minahasa Tengah dikenang kembali pada hari itu.
Para pemuda dari sekeliling Langoan, pada sore hari biasanya memenuhi kota kecil ini.Para orang tua berpakaian hitam datang berkumpul ke Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), dan setelah ibadah diadakan ziarah ke makam J.G.Schwarz.
Makam J.G.Schwarz ini.terletak di kampung Wolaang, tanah yang pernah tercatat sebagai miliknya yang dibeli dengan uang Zending, yang sekarang ini tercatat sebagai milik GMIM."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
D253
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangkuti-Hasibuan, Sofia
"Dalam desertasi ini, penulis meneliti individualisme dalam pengalaman bangsa Amerika. Dari penelitian terbukti bahwa individualisme, dalam pengalaman bangsa tersebut, mempunyai makna yang terpuji. Individualisme berarti mengedepankan kepentingan pribadi yang sejalan dengan kepentingan umum. Individualisme yang demikian disebut oleh Alexis deToqueville "individualism properly understood" (individualisme yang tepat) Penelitian juga membuktikan bahwa bangsa Amerika amat menghayati individualisme yang terpuji tersebut. Bahkan, individualisme merupakan sebagian dari jatidiri bangsa tersebut di samping nilai-nilai budaya lainnya seperti materialisme dan sekulerisme. Individualisme juga berkembang menjadi "self-reliant individualism" dalam budaya bangsa Amerika atau disebut juga individualisme yang menekankan kemandirian.
Namun, di akhir-akhir abad ke-20an, individualisme telah berubah kembali ke individualisme yang tidak terpuji. Hal ini terjadi karena berbagai unsur. John Locke, dengan pemikixan dasarnya yang amat mengandalkan manusia telah membawa pengaruh besar dalam budaya bangsa tersebut. Kedua, penelitian juga membuktikan bahwa filosof-filosof Amerika seperti Ralph Waldo Emerson, Henry David Thoreau, dan Walt Whitman, antara lain, turut membentuk pribadi bangsa tersebut karena luasnya tulisan mereka memasyarakat. Bahkan, tulisan mereka pun digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Amerika. Seperti telah dipahami, ketiga filosof tersebut sangat mengandalkan pentingnya individu atau "aku". Oleh sebab dalamnya penghayatan bangsa Amerika terhadap "aku", maka individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat pun bergeser maknanya menjadi individualisme yang sempit. Individualisme yang sempit amat menekankan pentingnya "aku." Maka, di akhir-akhir abad ke-2Oan ini timbul gejala, hedonisme, narsisisme, skeptisisme, kenisbian nilai dan sekulerisme dalam budaya bangsa Amerika. Sebagian besar faham tersebut menekankan bahwa segala sesuatunya itu adalah individu atau "aku" sumbernya.
Penelitian juga menyimpulkan bahwa materialisme adalah jatidiri bangsa Amerika. "The pusuit of happiness" yang mengawali Deklarasi Kemerdekaan bangsa tersebut telah menjadi dasar dari kehidupan mereka sehingga terjadilah "pendewaan kebendaan". Berbagai kejahatan seperti perjudian, pelacuran, perdagangan minuman keras, dan obat bius, dsb. telah menjadi sumber mencari keuntungan tinggi. Orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut telah mengaadalkan berbagai cara untuk tujuan mereka.
Paradoks juga adalah sebagian dari jatidiri bangsa Amerika. Salah satu wujud paradoks yang nyata dalam budaya bangsa tersebut adalah perbudakan. Bangsa tersebut amat meyakini kesucian fitrah manusia, kemandirian, kehandalan dan keutuhannya. Namun hal tersebut tidak diakui untuk para keturunan budak, orang-orang ras kulit hitam dari Afrika. Walaupun perbudakan telah dianggap punah setelah presiden A. Lincoln mengeluarkan peraturannya "the Proclamation Act" tahun 1861, hingga sekarang sisa-sisa perbudakan tersebut masih ada dalam bentuk-bentuk yang lain pula.
Akibat dari penekanan yang amat kuat pada "aku' tersebut yang dibarengi dengan berbagai unsur-unsur buruknya seperti materialisme dan paradoks, timbullah kekosongan rohani dalam bangsa tersebut. Dari hasil penelitian sulit akan disimpulkan yang manakah yang terdahulu, kekosongan rohani atau individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat. Tetapi, memang kehampaan rohani tersebut pun mempunyai akar dalam sejarahnya. Kekakuan kaidah-kaidah Puritanisme telah membuat umatnya lari dari keyakinan tersebut dan mencari keyakinan yang lebih praktis di luar kubu Puritanisme.
Oleh karena akibat sampingan tersebut di atas, maka individualisme yang terpuji perlu diteliti apabila is akan digunakan sebagai landasan pembangunan bangsa Indonesia dalam (PJP It). Seperti telah dimaklumi program pemerintah dalam pengembangan sumberdaya insani ini menekankan pengembangan manusia yang sejahtera rohani dan jasmani dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Untukmemahami individualisme tersebut dalam suasana Indonesia, maka penelitian mengenai Individualisme di Indonesia diadakan juga untuk bahan pembahasan agar penulis mengetahui letak individualisme yang terpuji tersebut dalam budaya bangsa Indonesia. Terbukti bahwa individualisme di Indonesia mempunyai warna yang tidak terpuji karena dua unsur. Pertama, feodalisme turut memberi makna yang jelek pada individualisme. Kaum feodal telah mematikan kemandirian dan kehendak rakyat jelata. Mereka menganggap diri mereka sebagai "titisan dewa di bumi", menurut istilah mantan presiden Indonesia Sukarno. Kehendak mereka adalah kehendak dewa dan harus ditaati oleh rakyat jelata.
Kedua, kolonialisme juga turut menambah makna yang tidak terpuji pada individualisme. Dari semenjak awal berdirinya republik ini, pendiri-pendiri bangsa tidak menyetujui faham-faham dari barat untuk digunakan sebagai dasar INdonesia merdeka. Hal ini disebabkan, penelitian membuktikan, oleh penindasan dan kekerasan yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial pada bangsa pribumi demi keuntungan kaum penjajah. Individualisme adalah faham dari barat yang menggambarkan keserakahan kaum kolonial atas kekayaan Nusantara.
Namun, penelitian juga menguraikan dan menyimpulkan bahwa pendiri-pendiri bangsa Indonesia seperti Ki Hajar Dewantara, H.O.S. Cokroaminoto, Sukarno, M. Hatta, M. Yamin, dan lain-lain merupakan pengejawantahan dari individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat. Mereka telah berjuang keras memajukan rakyat dan bangsanya dan membawakan kesejahteraan bagi mereka.
Tulisan ini juga menyimpulkan bahwa individualisme berkemandirian dan individualisme yang tepat dapat digunakan sebagai landasan pembangunan bangsa. Dengan demikian penelitian ini ada manfaatnya bagi negara dan bangsa karena akan sia-sialah suatu studi atau penelitian apabila is tidak bisa dimanfaatkan bagi tanah air yang tercinta ini.
Dari penelitian dapat diraih kesimpulan bahwa individualisme yang terpuji sejalan dengan budaya dan agama sebagian besar masyarakat Indonesia. Faham tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dengan nilai-nilai agama sebagai landasan spiritual, Pancasila sebagai dasar filosofis dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
D293
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutejo Kuwat Widodo
"Disertasi ini membahas perkembangan pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900 hingga 1990, dengan menyinggung latar belakang peran pelabuhan Pekalongan sebeiumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembangannya seielah raenjadi pelabuhan khusus perikanan, kemudian dampak sosial ekonomi dari perkembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan rentang waktu dari tahun 1900 sampai 1990, yang berarti selama 90 tahun, pembahasan meliputi perkembangan pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintah kolonial, masa pendudukan Jepang, masa revolusi, sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Pengambilan rentang waktu tersebut, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dinamika pelabuhan dalam kaitannya dengan masyarakat Pekalongan dan sekitarnya secara lengkap dan berkelanjutan. Sampai dengan masa akhir pemerintah kolonial, kegiatan nelayan yang melakukan pendaratan ikan di pelabuhan Pekalongan hanyalah merupakan salah satu kegiatan pelabuhan yang tidak begitu besar.
Namun demikian perkembangan yang terjadi setelah tahun 1960-an, dan perkembangan kegiatan perikanan laut yang lebih mengesankan memasuki tahun 1970-an, menghantarkan perubahan status pelabuhan menjadi pelabuhan khusus perikanan. Berdasar pada sumber-sumber yang diperoleh, dapat dikemukakan bahwa perkembangan pelabuhan perikanan memiliki kecenderungan corak tersendiri yang tidak sama dengan perkembangan yang berlangsung pada pelabuhan niaga.
Perkembangan pelabuhan niaga di kawasan pantai utara Jawa sejak awal abad ke-20 lebih terfokus di tiga pelabuhan utama, yaitu pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Perak di Surabaya, dan Pelabuhan Semarang. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial dengan memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut. Kebijakan untuk memodernisasi ketiga pelabuhan utama tersebut mempunyai akibat semakin berkurangnya kegiatan dan peran pelabuhan-pelabuhan kecil. Secara substansial arah kebijakan tersebut diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia yang tetap memberikan perhatian besar tehadap ketiga pelabuhan utama tersebut. Sementara itu perkembangan pelabuhan perikanan di kawasan pantai utara Jawa, yang beikembang secara mengesankan sejak awal tahun 1980-an, menunjukkan suatu pola yang berbeda. Bahwa berkembangnya satu pelabuhan perikanan tidak sampai mematikan kegiatan pelabuhan perikanan di sekitarnya.
Corak perkembangan satu pelabuhan niaga yang mengakibatkan surutnya pelabuhan niaga lainnya, berbeda dengan pola yang terjadi terhadap perkembangan satu pelabuhan perikanan yang tidak sampai mematikan kegiatan pelabuhan lain di sekitarnya. Perbedaan pola perkembangan di antara kedua jenis pelabuhan tersebut, antara lain disebabkan oleh perbedaan yang mendasar antara fungsi pelabuhan niaga dengan pelabuhan perikanan. Pelabuhan niaga
Pada awal perkembangan pelabuhan perikanan di Kotamadya Pekalongan sekitar pertengahan sampai akhir tahun 1970-an, sempat mempengaruhi aktivitas pendaratan ikan di pelabuhan Wonokerto Kabupaten Pekalongan. Namun sejalan dengan peningkatan teknologi dan jumlah perahu yang mana mencapai fishing ground yang lebih luas dan perkembangan pasar ikan lokal, mulai akhir tahun 1980-an pelabuhan perikanan Wonokerto dan pelabuhan Batang sebagai pelabuhan terdekat dari pelabuhan perikanan Pekalongan, terus dapat bertahan dan bahkan mengalami peningkatan, mempunyai fungsi "kolektif-distributif", yaitu sebagai pintu gerbang keluarrnasuknya komoditi perdagangan dari dan ke daerah hinterland dan foreland. Sementara itu pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan dari hasil tankapannya di fishing ground, untuk dijual dan kemudian disalurkan oleh pasar kepada konsumen ke wilayah sekitar, termasuk ke wilayah hinterland. Pertemuan antara nelayan sebagai penjual dengan pedagang ikan melalui sistem lelang, memerlukan waktu yang cepat, mengingat bahwa ikan mempunyai sifat yang mudah rusak.
Sejalan dengan adanya kebutuhan konsumen untuk memperoleh ikan dalam keadaan yang masih segar atau ikan yang terjaga kesegarannya, diperlukan perubahan teknologi distribusi yang dapat memenuhi tuntuan kebutuhan tersebut. Teknologi distribusi konvensional yang mendasarkan pada pemakaian garam untuk pengolahan ikan asin dan ikan kering, tidak dapat memenuhi perubahan tuntutan selera konsumen tersebut. Oleh karena itu penggunaan es untuk menjaga kesegaran ikan, dilengkapi dengan alat transportasi yang mempunyai mobilitas cepat, rrierupakan tuntutan konsumen atau pasar yang harus direspon oleh pengusaha perikanan. Akibatnya, teknologi distribusi yang berdasarkan pada pemakaian garam bergeser kepada pemakaian teknologi distribusi berdasarkan pada pemakaian es."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D428
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Susilowati
"ABSTRAK
Disertasi yang berjudul "Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880 - 1990" ini difokuskan pada aktivitas pelayaran perahu rakyat di pelabuhan Banjarmasin dalam jaringan pelayaran dengan pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya. Disertasi ini mengkaji dua perrnasalahan utama. Pertama, bagaimana respon pelayaran perahu dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan jaman terutama berkaitan dengan perubahan teknologi dalam sarana pengangkutan laut, perubahan ekonomi, dan politik selama kurun waktu 1880 hingga 1990 dengan memfokuskan pada pelabuhan Banjarmasin sebagai daerah kajian utama. Kedua, disertasi ini juga membahas posisi pelabuhan Banjarmasin dalam perkembangan jaringan pelayaran perahu rakyat di kawasan sekitarnya.
Untuk mengungkapkan respon armada pelayaran perahu rakyat terhadap masuknya teknologi baru, yaitu dioperasikannya kapal uap dan peti kemas di pelabuhan Banjarmasin, akan digunakan konsep tentang dampak penyebaran teknologi baru bagi keberadaan teknologi lama dari à Campo. Menurut à Campo penyebaran teknologi baru pada dasarnya akan menimbulkan empat opsi bagi masyarakat pengguna teknologi lama yang sudah lebih dulu mapan. Opsi pertama adalah adopsi, yaitu orang berupaya untuk memperoleh alat dan keahlian untuk mengoperasikan teknologi baru yang tampak menguntungkan. Opsi ke dua adalah adaptasi, yaitu orang tetap mempertahankan teknologi tradisionalnya tetapi berusaha mengambil keuntungan dan meningkatnya produktivitas dan melimpahnya kesempatan yang muncul sebagai efek dari inovasi teknologi. Apabila kesempatan itu tidak muncul, maka orang akan memilih opsi ke tiga, yaitu relokasi. Dalam hal ini orang terpaksa harus merelokasi usahanya ke wilayah periferi. Opsi ke empat adalah menank diri. Hal itu terjadi bila tidak ada kemungkinan sama sekali untuk melanjutkan usahanya sehingga orang memilih mundur dan merintis usaha lainnya.
Berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi ini, ada dua asumsi yang diajukan. Pertama, pelayaran perahu rakyat di Pelabuhan Banjarmasin masih tetap dapat eksis di tengah berbagai tantangan dan laju modernisasi karena didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut: (a) produksi dari wilayah hinterland berupa hasil hutan seperti karat, kayu, rotan, dan lain-lain serta hasil kerajinan penduduk seperti tikar purun dan barang anyaman lainnya yang cukup melimpah; (b) adanya pangsa pasar sendiri bagi armada perahu (para pedagang atau pengusaha kecil); (c) sifat fleksibel dalam pengangkutan maupun bongkar-muat barang (bisa mengangkut berbagai jenis barang, prosesnya mudah, dan ongkosnya murah).
Asumsi yang kedua, dalam menghadapi masuknya teknologi baru (alat transportasi modern) yang mengancam eksistensinya, respon armada pelayaran perahu rakyat adalah sebagai berikut: (a) adaptasi, yaitu berusaha mengambil keuntungan dari kesempatan yang muncul sehubungan dengan masuknya teknologi baru; (b) relokasi, yaitu memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah pinggiran agar tetap dapat memperoleh muatan.
Pada tahun 1880-an hingga tahun 1942 eksistensi pelayaran perahu rakyat menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, antara lain mulai berhadapan dengan teknologi pengangkutan yang lebih moderen yaitu kapal uap, perubahan ekonomi sebagai akibat dari krisis ekonomi dunia yang telah terasa sejak tahun 1920-an, dan mengalami kebangkitan kembali di bawah organisasi pelayaran yang dibentuk pada tahun 1935. Di akhir periode ini pelayaran perahu kembali mengalami kemunduran sebagai akibat dari invasi Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Dalam menghadapai tantangan perubahan teknologi yang terjadi sejak tahun 1880-an, khususnya berkaitan dengan ekspansi kapal uap KPM, armada perahu mula-mula meresponnya dengan ber"kompetisi" dengan KPM tetapi kemudian berubah dengan beradaptasi, karena kehadiran kapal uap KPM juga telah meningkatkan produksi yang bisa diangkut oleh perahu.
Selanjutnya ketika terjadi krisis ekonomi dunia, armada perahu justru tetap dapat bertahan hidup dan menjadi alternatif bagi sarana pengangkutan laut, sementara itu armada kapal uap justru collapse. Setelah masa krisis ekonomi berlalu, armada perahu mendapat semangat baru dan mulai bangkit kembali berkat berdirinya ROEPELIN (Roekoen Pelajaran Indonesia) pada tahun 1935. Pada akhir periode ini armada perahu kembali mendapat tantangan karena terjadinya perubahan politik di tanah air sehubungan dengan pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Meskipun pada awalnya armada perahu masih dapat bertahan hidup, namun pada akhir pendudukan Jepang tidak sedikit kerugian yang diderita oleh masyarakat pelayaran perahu, karena banyak armada perahu yang hilang dan rusak selama pendudukan Jepang.
Pada periode berikutnya yaitu dari tahun 1942 sampai dengan 1964 pelayaran perahu merespon perkembangan situasi ekonomi yang kurang kondusif sehubungan dengan kemerosotan ekonomi Indonesia yang antara lain disebabkan oleh pendudukan Jepang di Indonesia dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, kemerosotan ekonomi juga disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia selama periode 1950-1957 yang sebenarnya pada saat itu perahu layar memiliki kesempatan emas untuk berkembang, namun kurang mendapatkan dukungan dari pemerintah. Walaupun kondisi ekonomi masih belum kondusif, namun antara tahun 1957 hingga 1964 pelayaran perahu mulai menunjukkan kebangkitan. Sayang pada waktu itu pemerintah belum memberikan perhatian yang serius karena pemerintah lebih mengutamakan pengembangan pelayaran dengan kapal bermesin dalam sistem angkutan laut di Indonesia.
Masa kejayaan armada pelayaran rakyat terjadi pada tahun 1964 hingga 1985. Dalam rentang waktu dua dasawarsa tersebut armada perahu mengejar ketertinggalannya antara lain dengan memodernisasi armada melalui motorisasi yang mulai dilakukankan sejak tahun 1970-an. Proses adaptasi ini terutama dimaksudkan untuk bertahan dari persaingan yang semakin keras. Ketika terjadi booming dalam perdagangan kayu sejak tahun 1970-an, armada perahu memegang peranan penting dalam pengangkutan kayu dari Banjarmasin ke pelabuhan-pelabuhan lain. Perkembangan yang luar biasa dalam perdagangan kayu domestik juga direspon secara lihai oleh pelayaran rakyat, sehingga armada pelayaran rakyat mencapai kejayaannya.
Pada periode 1985 sampai 1990 pelayaran rakyat mulai mengalami masa surut. Berbagai hal menjadi penyebabnya, antara lain kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan pelayaran rakyat, dan semakin banyaknya pilihan alat transportasi dalam pengangkutan barang antarpulau. Persaingan yang ketat dengan armada pelayaran lokal dan masuknya teknologi peti kemas di pelabuhan Banjarmasin telah membawa dampak negatif bagi aktivitas pelayaran perahu rakyat pada sentra perahu tersebut. Respon armada pelayaran rakyat dalam menghadapi tantangan perubahan teknologi kali ini, meminjam konsep à Campo, adalah relokasi. Namun tidak seperti hasil penelitian a Campo, relokasi yang terjadi dalam pelayaran perahu di pelabuhan Banjarmasin lebih tepat dikategorikan sebagai semi relokasi, karena pelabuhan Banjarmasin tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh armada perahu rakyat. Ketidakrnampuan armada perahu berhadapan dengan kemajuan teknologi menyebabkan pelayaran rakyat semakin mundur.
Disertasi ini menyimpulkan dua hal. Pertama, dalam merespon tantangan inovasi teknologi dan perubahan politik maupun ekonomi, armada pelayaran rakyat di .pelabuhan Banjarmasin mengambil pilihan adaptasi dan semi relokasi. Dengan demikian, konsep yang dikemukakan oleh à Campo mengenai adanya empat opsi berkaitan dengan penyebaran teknologi baru tidak semuanya berlaku di Banjarmasin. Kedua, secara historis pelayaran rakyat di pelabuhan Banjarmasin telah menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan. Pelayaran rakyat tidak akan punah begitu saja, karena pelayaran rakyat merupakan bagian integral dan kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia. Selama pelabuhan Banjarmasin masih menjadi mata rantai penting dalam perdagangan antar pulau, pelayaran rakyat pasti masih akan tetap dibutuhkan, dan selama Indonesia masih merupakan negara kepulauan, selama itu Pula pelayaran rakyat masih akan terus hidup.

ABSTRACT
This study, titled "Pasang Surut Pelayaran Perahu Rakyat di Pelabuhan Banjarmasin, 1880- 1990" (The Ebb and Flow of Prahu Shipping in Banjarmasin Port, 1880-1990), is focused on the activities of prahu shipping in Banjarmasin port in its shipping network with surrounding ports. The objectives of this study are (1) to describe the responses of prahu fleets to the changes in technology of sea transportation (steam ship, motorization, container ship, and crane) which go along with the changes in economic and politic affairs and also with the government's policy between 1880 up to 1990 in Banjarmasin port, and (2) to describe the position of Banjarmasin port in the growth of prahu shipping network in surrounding area.
To describe the responses of prahu fleets to the technological as well as economical and political changes, I use a Campo's concept about the impacts of a new technology on the old one. According to him, the diffusion of a new technology will bring about four options to the users of the old one. The first, they try to adopt it. The second, they try to adapt to it: while using the old technology, they benefit from the rise in productivity and the spill-over of opportunities which often follow in the wake of technological innovation. The third, if there are no such opportunities, they maybe force to relocate their activities to some peripheral area The fourth, if there seem to be no such opportunities for continuation, they exit and try to do another enterprise.
In this study, I propose two assumptions. The first, prahu shipping in Banjarmasin port still exists in coping with challenges of modernization because of some enabling factors: (a) the productions from hinterland such as rubber, wood, rattan etc. and handicrafts like likar purun are plentiful, (b) prahu fleets have their own customers i.e. the small traders, (c) the flexibility of prahu fleets in loading and unloading cargo (it can load various cargo in a simple way and cheap cost. The second, the responses of prahu fleets to the new technology (steam ship, container, crane) are: (a) adaptation i.e. prahu fleets can benefit the chances the new technology brings, and (b) semi relocation i.e. prahu fleets expand their activity to the peripheral area, without retreat from the core area (Banjarmasin port), in order to get cargo.
In 1880s to 1942 the existence of prahu shipping faced some challenges and changes i.e. new technology (steam ship), crisis of world economy, and war politic of Japan. The responses were at first competition with the steam ships of KPM and then adaptation (1880s to 1920s). When the steam ships of -PM collapsed for a while in the early of 1930s because of Economic Depression, prahu fleets revived, especially when the prahu shipping organization (ROEPELIN) was established 1935. In the early of 1940s, however, it decreased because the invasion of Japan in Indonesia
In the period of 1942 up to 1964, the prahu shipping was not in good condition because of war (up to the end of 1940s) and the political and economical unrest (1950-1957). It had actually chance to revive at the end of this period, but the government gave top priority to the development of modem ships as the means of the sea transport.
The glory of prahu shipping took place in the period of 1964-1985. Motorization, since 1970s, was its adaptive strategy. Prahu fleets had a prominent role in timber trade booming. They transported timber from Banjarmasin to the main ports on the other islands.
In 1985-1990, technology of container and crane in Banjarmasin port, and the absence attention from the government side were the main factors that force prahu fleets to search for cargo to the peripheral area. Prahu shipping had to relocate (semirelocation) its activity.
This study concludes two things. The first, in responding to the challenges of the technological innovation, of the political and economical changes, and of the government policy, prahu fleets take the options of adaptation and semi relocation. Thus, a Campo's concept about the four options relating to the diffusion of a new technology does not fully occur in Banjarmasin port. The second, historically prahu shipping in Banjarmasin port has shown its strength in facing the challenges of change. It cannot just fade away because it is an integral part of the social, economical, and cultural life of the people of Indonesia. It still survives because of the archipelago condition and the maritime spirit of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
D501
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tundjung
"Kalimantan Selatan adalah salah satu daerah penghasil karet terbesar di Indonesia. Para pengusaha Eropa mulai membuka perkebunan karet pada awal tahun 1900-an, dan penduduk Hulu Sungai juga turut berpartisipasi membudidayakannya sejak tahun 1909. Ekspor karet perkebunan ke pasar internasional dimulai tahun 1911, dan karet rakyat dimulai tahun 1914. Akan tetapi setelah Perang Dunia Pertama, produsen karet rakyat menguasai ekspor karet dari Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini lebih ditekankan pada karet rakyat. Perkembangan budidaya dan perdagangan karet di Kalimantan Selatan tergantung dari perdagangan karet di pasar internasional. Aka perdagangan karet menguntungkan, maka budidaya karet bertambah luas, dan aktivitas perdagangan meningkat, namun jika perdagangan karet merosot, maka kebun-kebun karet menjadi terbengkali, dan aktivitas perdagangan berkurang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat naik-turunnya budidaya, dan perdagangan karet, serta pengaruhnya terhadap perekonomian di Kalimantan Selatan. Permasalahan utama dalam studi ini adalah, mengapa komoditi karet dapat meningkatkan penghasilkan penduduk dan perdagangan ekspor, tetapi tidak merubah struktur ekonomi di Kalimantan Selatan?
Menurut Hla Myint, jika petani yang memproduksi komoditi ekspor, masih memproduksi kebutuhan pokok, maka penghasilannya tidak semata-mata tergantung dari pasar internasional; tetapi petani yang hanya memproduksi komoditi ekspor, maka penghasilannya akan sepenuhnya tergantung pada pasar internasional. Oleh karena itu, budidaya tanaman yang menghasilkan komoditi ekspor tidak akan merubah struktur ekonomi masyarakat petani yang tidak banyak tergantung pada pasar internasional. Petani masih mempunyai penghasilan dari sawahnya jika perdagangan komoditi ekspor mundur. Budidaya tanaman yang menghasilkan komoditi ekspor akan merubah struktur ekonomi, jika petani yang bersangkutan sepenuhnya tergantung pada pasar internasional. Petani harus mencari pekerjaan di luar bidang pertanian jika produksi komoditi ekspornya tidak laku.
Bagaimana penduduk hulu Sungai membudidayakan karet? Ternyata penduduk Hulu Sungai tidak sepenuhnya masuk ke dalam pasar internasional. Mereka adalah petani semi-subsestensi yang menumpangkan budidaya karet pada pola pertanian tradisional, yang memproduksi kebutuhan pokok dan komoditi ekspor. Walaupun perdagangan karet yang cukup menguntungkan mengakibatkan aktivitas perdagangan meningkat dan penghasilan penduduk bertambah, tetapi tidak mengakibatkan penduduk meninggalkan lahan persawahannya.

South Kalimantan was one of the greatest rubber producing areas in Indonesia, European entrepreneurs opened rubber plantation in early 20 century, and the inhabitants of Hulu Sungai participated in rubber cultivation since 1901. Rubber export of plantation began in 1911, and rubber export of smallholders started in 1914. Yet, after the First World War, rubber export of the smallholder dominated. This study pursues smallholding rubber. Development of rubber cultivation and rubber trade in South Kalimantan depended on international rubber trading. If rubber trading provided big profit, areas of rubber cultivation by smallholder expanded, and trading activities increased. If the rubber trading went down, rubber cultivation by smallholder was neglected.
The aim of this research is to study the rise and fall of rubber cultivation and rubber trading, and its economic impact to South Kalimantan. This main focus of this study concerns with the question why rubber affected the increased income of population and the export trade, yet it was unable to change the economic structure of South Kalimantan.
According Hla Myint, the peasants, producing export commodity, and staple foods make their own economy independent from international market. But if peasants produced only export commodity, their income were depended on international market. Therefore, cultivation of export commodities did not change economic structure of the peasants, those being independent from international market, given that they still produced staple foods no matter the international market is, Peasant, who produced only export commodities, when the price of their commodities fall down, should find a job out of agriculture.
How did the inhabitants of the Hulu Sungai cultivate rubber? They did not enter fully into international market, as semi-subsistence peasants cultivate rubber in traditional agriculture system, that produced both staple foods and export commodities. Although, the rubber trading provided big profit, population incomes increased, there was no market force that would make the inhabitants of Hulu Sungai leave their own sawah.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
D526
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saleh A. Djamhari
"Empat tahun seusai pemberontakan Diponegoro Kolonel Jhr. F.V.A. Ridder de Stuers, anak menantu dan mantan ajudan Letnan Jenderal H.M. de Kock, menerbitkan memoarnya yang berjudul Memoires sur la guerre d'ile de Java de 1825 - 1830, (1834). Memoar ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H.M. Lange dengan judul Gedenkschrif van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830, terbit pada 1847. Khusus pada Bab III, yang berjudul: 1827, amat menarik perhatian peneliti. Pada tahun 1827 tersebut oleh penulisnya, disebut sebagai tahun titik balik strategi militer Belanda, tahun peralihan dari strategi mobilitas ke strategi benteng atau Stelsel Benteng. Strategi benteng adalah strategi militer yang tidak sekedar memiliki ciri yang unik, baik aspek pemikiran maupun pelaksanaannya, namun amat berkaitan dengan aspek politik, sosial, kultural, seni perang kedua belah pihak yang belum pernah diterapkan dalam perang kolonial mana pun. Dengan asumsi demikian, peneliti memilihnya sebagai topik kajian utama.
Berhadapan dengan topik kajian ini, peneliti menyusun kerangka pertanyaan: Seberapa besarkah kekuatan militer Diponegoro sehingga berhasil memaksa tentara Belanda untuk mengubah strategi militernya pada 1827? Sejauh manakah motivasi perang Diponegoro dan pengikutnya sehingga berhasil memperpanjang jangka waktu perang? Mengapa Jenderal de Kock memilih strategi Stelsel Benteng, apakah sekedar kontra strategi dari strategi Diponegoro atau mempunyai pemikiran lain untuk pasta perang?
Berangkat dari pertanyaan tersebut, peneliti berusaha mengenali beberapa masalah topik kajian tersebut dengan mengkaji secara kritis sejumlah sumber arsip dan historiografi militer Belanda pada periode abad 19 dan memoar Diponegoro tentang peperangan yang dilakukannya.
Dari kajian tersebut peneliti berpendapat, masih ada domain yang "luput" dari perhatian penulis terdahulu. Pertama, terutama kekuatan motivasi dan kemampuan para pemimpin perang dalam mengelola aksi-aksi mereka untuk tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuan aksi mereka untuk mempertahankan kedaulatan negara? Atau untuk merebut kedaulatan negara? Karena kedua belah pihak, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Diponegoro saling mengaku memiliki kedaulatan (berdaulat) di Kesultanan Yogyakarta dan saling mengaku pula kedaulatan dan kehormatannya dilanggar dan direndahkan. Karena masalah kedaulatan sebagai masalah prinsip, tidak ada cara lain untuk saling mempertahankan dan merebut kedaulatan kecuali dengan perang. Kedua, perang yang terjadi dalam satu wilayah negara (infra states warfare) dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Perang kecil yang terjadi di wilayah Kerajaan Yogyakarta bisa ditinjau dari beberapa aspek: politik, sosial, kultural dan ekonomi?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D528
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sobana Hardjasaputra
"ABSTRAK
Bandung yang dimaksud dalam judul utama tulisan ini adalah kota Bandung, ibukota Propinsi Jawa Barat sekarang. Berdasarkan waktu pendiriannya kota itu termasuk salah satu kota lama di Jawa Barat. Perubahan sosial di Bandung pada periode 1810-1906 -bagian dari masa penjajahan Belanda- cukup menarik untuk dikaji karena beberapa hal. Pertama, masalah tersebut belum ada yang membahas secara khusus, mendalam, dan menyeluruh. Tulisan-tulisan tentang sejarah Bandung abad ke-19 yang telah ada, pada umumnya berupa penggalan-penggalan yang lebih menonjolkan kegiatan orang Belanda/Eropa di Bandung, sedangkan peranan orang pribumi belum banyak terungkap. Kedua, dalam periode tersebut kota Bandung memiliki berbagai fungsi, baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang sosial ekonomi dan budaya. Fungsi yang menonjol adalah sebagai ibukota kabupaten (sejak berdiri, akhir tahun 1810), ibukota keresidenan (sejak 1864), pusat pendidikan pribumi di Jawa Barat (sejak pertengahan tahun 1866), pusat transportasi kereta api "Jalur Barat" (sejak pertengahan tahun 1884), kemudian menjadi gemeente (kota berpemerintahan otonom, awal tahun 1906), Ketiga, perubahan yang terjadi dalam aspek tertentu memiliki keunikan. Dalam perubahan yang dikehendaki (intended change), ada perubahan yang prosesnya dipercepat oleh faktor tidak disengaja (unintended factor).
Dalam membahas perubahan sosial di Bandung waktu itu, ada beberapa permasalahan pokok yang perlu dikaji/dijelaskan. Pertama, darimana asal atau sumber perubahan itu? Apakah berasal dari dalam (pihak masyarakat priburni yang diwakili oleh bupati) atau berasal dari luar (pihak kolonial yang diwakili oleh gubernur jenderal dan/atau residen/asisten residen)? Atau berasal dan kedua belah pihak? Kedua, aspek apa yang pertama-tama mengalami perubahan? Ketiga, kondisi awal bagaimana dan faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya perubahan lebih luas, atau menghambat perubahan? Keempat, bagaimana dan seberapa jauh pengaruh kekuasaan gubernur jenderal dan residen/asisten residen (pihak penjajah) terhadap bupati (pihak terjajah)? Hal itu perlu dijelaskan, karena dalam lingkup pemerintahan dan kehidupan masyarakat pribumi, bupati memiliki kekuasaan/otoritas besar/kuat. Kelima, bagaimana dan seberapa jauh pengaruh kekuasaan terhadap aspek-aspek yang berubah? Keenam, bagaimana sifat dan arah perubahan itu? Proses perubahan sosial mungkin berlangsung lambat pada kurun waktu tertentu, tetapi menjadi cepat dalam kurun waktu lain (Bottomore, 1972: 308-310)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D521
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
"Sejak VOC menguasai wilayah Hindia Timur, banyak masalah tidak pernah ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain pemberantasan korupsi, penyuapan kepada penguasa dengan dalih pemberian hadiah, atau penyelewengan lain yang merugikan pemerintah. Masalah itu seakan telah mengakar dan "membudaya", sehingga sulit untuk diatasi. Upaya mengatasi penyelewengan itu pernah dilakukan. Namun, sejak kapan upaya untuk mengatasi masalah-masalah itu pernah dilakukan, merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh sejarawan, khususnya yang mempelajari sejarah kolonial.
Berkaitan dengan upaya menertibkan sistem administrasi pemerintahan pada masa kolonial, diketahui bahwa pembenahan itu pernah dilakukan dan dimulai pertama kali oleh Gubemur Jenderal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang menjabat Gubernur Jenderal di wilayah koloni Hindia Timur dari tanggal 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811 (3 tahun 4 bulan). Daendels melakukan upaya itu dalam rangka melaksanakan perintah yang diberikan oleh Napoleon Bonaparte kepadanya, yang saat itu menguasai Belanda.
Daendels disebut sebagai "orang asing" oleh orang Eropa yang bertugas di Batavia. Hal ini disebabkan karena sebelum kedatangannya di Jawa, ia belum pemah bekerja atau bahkan belum pernah mengunjungi wilayah koloni ini. Daendels tidak memiliki pengalaman karir kolonial. Padahal, telah menjadi kebiasaan di koloni Hindia Timur, yang menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Timur adalah para pejabat Eropa yang telah bertugas di wilayah ini, khususnya kelompok penguasa di Batavia. Mereka itu biasanya menjadi sumber bakal calon Gubernur Jenderal dan Gubernur.
Selain disebut sebagai "orang asing", Daendels juga disebut sebagai seorang "revolusioner" oleh para sejarawan. Sebutan itu diberikan kepadanya karena sebelum ditugaskan menjadi Gubernur Jenderal, ia menjadi bagian dari penganut paham Revolusi Prancis yang sangat dikaguminya. Ia adalah pemimpin patriot, bahkan bersama dengan pasukan Prancis, ia menyerbu Belanda dan berhasil menggulingkan Republik Belanda Bersatu (Republiek der Verenigde Nederlanden) yang dianggap bersekutu dengan pihak Inggris dan Prusia Daendels juga membantu upaya Prancis dalam mendirikan Republik Bataf di Belanda (Ong Hok Ham 1991:107)
Ong Hok Ham juga menyatakan bahwa Republik Bataf memiliki ciri pemerintahan yang sentralistis dan birokratis. Dikatakan sentralistis karena semua hal yang berkaitan dengan kenegaraan diatur oleh pusat, sementara disebut birokratis karena pemerintahan dijalankan oleh pegawai pemerintah yang memiliki hirarki dan jenjang jabatan. Dengan pemerintahan seperti ini, Belanda dan Prancis dianggap sebagai dua negara pertama di Eropa yang menerapkan birokrasi modern. Belanda meniru Republik Prancis yang baru, khususnya setelah kemenangan kelompok Unitaris, yang menggunakan sistem pemerintahan yang sentralistis dan demokratis.
Pada tahun 1806, Republik Bataf dibubarkan. Sebagai gantinya, didirikan pemerintahan kerajaan di bawah kekuasaan Raja Belanda Louis Napoleon, adik kandung Napoleon Bonaparte. Ia menjadi Raja Belanda dari tahun 1806 hingga 1810. Setelah penandatangan kesepakatan Rembouillet (Juli 1810), negara Belanda dijadikan bagian dari kekaisaran Prancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Konflik antara Prancis dan Inggris tidak dapat dilepaskan dari sejarah kedua bangsa Eropa itu. Konflik yang sering diikuti dengan perang bermula dari abad XIV, sejak Prancis diperintah oleh raja Charles VII (1403-1461). Konflik antardua negara ini terus berlangsung sarnpai masa Napoleon Bonaparte berkuasa. Bahkan hingga akhir abad XX, hubungan kedua negara itu masih sering menemui kendala. Oleh karena itu, untuk memahami pembenahan yang dilakukan oleh Daendels dan kebijakannya di Hindia Timur dari tahun 1808-1811 hal itu hanya bisa dipahami dalam konteks sejarah Eropa pada awal abad MX."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
D544
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
"Labu rope labu walla adalah ungkapan dalam bahasa Wolio (bahasa kaum penguasa di kerajaan Butun) yang berarti "berlabuh haluan, berlabuh buritan". Ungkapan ini diangkat dari historiografi tradisional berbentuk kabanti, berjudul Ajonga Inda Malusa (harfiah berarti Takaian yang tidak Luntur) karya Haji Abdul Gani, yang diperkirakan ditulis pertengahan abad ke-19.
Penyebutan nama Butun didasarkan atas pertimbangan yang berkaitan dengan asal-usulnya. Bahwa nama ilu telah lebih dahulu ada dikenal (pada rnasanya) daripada nama yang sekarang, Buton. Penduduk setempat menerima penycbulan atas pulau yang mereka diami, dari para pelaut di Kepulauan Nusantara yang sering menyinggahi di pulau itu. Banyaknya pohon Butu (Barringtania Asiatica, lihat Anceaux 1987:25) di sana, yang membuat para pelaut menyebut Butun sebagai penanda untuk pulau nu_ Penyebutan nama Butun untuk pulau itu sudah ada sebelum orang Majapahit menorehkan nama Butun di dalam Negarakartagallna (1365) dalam kerangka daerah "pembayar upeti". Sesudah masa itu, ketika telah berdiri kesultanan, penamaan Butun tetap digunakan. Dalam surat-surat perjanjian dengan VOC, sultan menyebut Butuni untuk wilayah kekuasaannya. orang Bugis/Makasar menyebut Butun dengan Butung. Nada sengau "ng" terdengar dari mulut mereka jika sebuah kata berakhir dengan konsonan. Sejajar dengan itu, orang Portugis menyebut Butun dengan Bulgur:. Orang Belandalah yang menyebut Buton, sebagai yang kita kenal sampai sckarang.
"
1999
D439
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>