Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Athooyaa Arsyad Temenggung
"Latar Belakang: Prevalensi perokok yang tinggi dan terus meningkat di Indonesia menjadi perhatian masalah kesehatan. Kualitas tidur yang buruk juga dianggap sebagai masalah kesehatan yang menonjol secara global, terutama pada mahasiswa. Penggunaan zat termasuk nikotin diketahui terkait dengan perkembangan kualitas tidur yang buruk. Oleh karena itu, perlu diteliti hubungan antara adiksi nikotin dengan kualitas tidur pada mahasiswa. Khusus di Jakarta, belum ada penelitian yang mengkaji kaitan antara keduanya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dimana data dikumpulkan melalui kuesioner yang disebarkan secara online kepada mahasiswa di Jakarta. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah adiksi nikotin yang diukur menggunakan Cigarette Dependence Scale (CDS) dan kualitas tidur yang diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Terdapat sejumlah 186 mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini. Analisis data untuk penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS), khususnya menggunakan Chi-square test. Hasil: Dari 186 mahasiswa di Jakarta, 44,09% tergolong perokok dengan adiksi nikotin. Prevalensi keseluruhan kualitas tidur yang buruk pada mahasiswa di Jakarta adalah 77,42% dan di antaranya, 45,14% termasuk mahasiswa yang memiliki adiksi nikotin. Namun, penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kecanduan nikotin dan kualitas tidur (P = 0,592). Kesimpulan: Tidak ada hubungan yang signifikan antara adiksi nikotin dan kualitas tidur. Namun, komponen kualitastidur termasuk kualitas tidur subjektif, latensi tidur, dan gangguan tidur menunjukkan hubungan yang signifikan dengan adiksi nikotin.

Introduction: The high and continually increasing prevalence of smokers in Indonesia raises a health concern. Poor sleep quality is also deemed as a globally-prominent health issue, especially in university students. Substance use including nicotine is known to be associated with the development of poor sleep quality. Thus, it is necessary to investigate the association between nicotine addiction and sleep quality among university students. Specifically in Jakarta, no research has been done to study the link between the two. Methods: This research is a crosssectional study, in which data was collected through a questionnaire that was distributed online to university students in Jakarta. This research studies nicotine addiction measured by the Cigarette Dependence Scale (CDS) and sleep quality measured by the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). A total of 186 university students was involved in this research. The data is analysed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS), specifically using the Chisquare test. Results: Out of 186 university students in Jakarta, 44.09% are considered as smokers with nicotine addiction. The overall prevalence of poor sleep quality among university students in Jakarta is 77.42% and among that, 45.14% are present with nicotine addiction. However, this research has found that there is no significant association between nicotine addiction and sleep quality (P = 0.592). Conclusion: There is no significant association between nicotine addiction and sleep quality. However, components of sleep quality including subjective sleep quality, sleep latency, and sleep disturbance shows to have a significance in association with nicotine addiction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agatha
"Latar belakang: Penggunaan internet meningkat terutama dengan adanya pandemik COVID-19 yang terjadi, hal ini berkontribusi terhadap kejadian adiksi internet. Usia remaja dan dewasa muda, sepertinya usia seorang mahasiswa, merupakan populasi paling rentan terhadap penggunaan internet dan adiksi internet. Adiksi internet sering juga dihubungkan dengan beberapa aspek psikologis, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian ini, merupakan kualitas tidur. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan metode analitik observasional. Data penelitian didapat dengan menyebarkan kuesioner daring menggunakan Google Forms, berisi lembar informed consent, kuesioner data demografik, Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), dan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI). Kuesioner disebarkan melalui sosial media kepada populasi target. Kemudian data yang didapat dilakukan uji statistik menggunakan program SPSS, untuk menemukan hubungan antara masalah adiksi internet dan gangguan tidur. Hasil: Dari 282 responden penelitian yang merupakan mahasiswa FKUI tahap akademik, ditemukan prevalensi adiksi internet yaitu 23,40% (n=66), dan prevalensi gangguan tidur yaitu 45,39% (n=128). Hubungan dari variabel adiksi internet dan gangguan tidur diuji menggunakan uji Kai-Kuadrat dan ditemukan hubungan signifikan (Nilai p 0,000 (<0,05)). Dari 66 populasi adiksi internet, 46 juga mengalami gangguan tidur. Selain itu, dilakukan juga uji korelasi antara faktor demografik dan pola penggunaan internet terhadap gangguan tidur, menggunakan uji Spearman. Hasil uji korelasi tidak ditemukan hubungan signifikan (Nilai p<0,05). Mahasiswa FKUI cenderung menggunakan internet untuk media sosial (63,48%) dibandingkan dengan pembelajaran (20,92%). Kesimpulan: Ditemukan hubungan bermakna antara adiksi internet dan gangguan tidur pada mahasiswa
Background: Internet usage has increased during the ongoing COVID-19 pandemic, this has contributed to the incidence of internet addiction. Adolescents and young adults are the population most vulnerable population to internet use and internet addiction. Several psychological aspects are often related to internet addiction, one of which will be discussed in this study is sleep quality. Methods: The study that was conducted is a observational analysis cross-sectional design. The data in this research was obtained by distributing an online questionnaire using Google Forms, containing an informed consent sheet, a demographic data questionnaire, the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), and the Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI). The questionnaire was distributed via social media to the target population. Then the data obtained were statistically tested using the SPSS program, to find the relationship between internet addiction problems and sleep disorders. Results: In a total of 282 respondents from Pre-Clinical students of the Faculty of Medicine, University of Indonesia, it was found that the prevalence of internet addiction was 23.40% (n=66), and the prevalence of sleep disorders was 45.39% (n=128). The relationship between internet addiction and sleep disorders was tested using the Chi-Square test and a significant relationship was found (p-value 0.000 (<0.05)). Of the 66 respondents with internet addiction, 46 also experience sleep disorders. In addition, a correlation test was also conducted between demographic factors and internet usage patterns on sleep disorders, using the Spearman test. Correlation test found no significant relationship (p-value <0.05). FKUI students use the internet for social media (63.48%) compared to learning (20.92%). Conclusion: There is significant relationship between internet addiction and sleep disorders among university students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditha Anjani Nabiilah
"Latar Belakang: Kecanduan smartphone baru-baru ini mendapat perhatian ilmiah yang meningkat sebagai potensi kecanduan perilaku. Perilaku adiktif secara tradisional telah dikaitkan dengan citra diri yang rendah. Langkah pertama menuju mitigasi konsekuensi kecanduan smartphone adalah deteksi dini, dan itu harus mempertimbangkan faktor risiko individu; citra diri adalah salah satu faktor risiko tersebut. Citra diri adalah penilaian individu secara keseluruhan atas nilai atau nilai seseorang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara citra diri dan kecanduan smartphone di kalangan mahasiswa di Jakarta, Indonesia.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dan menggunakan teknik simple random sampling. Rosenberg Self-Esteem Scale versi Indonesia dan Smartphone Addiction Scale versi Indonesia digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Uji korelasi pearson dilakukan untuk mengetahui hubungan antara citra diri dengan kecanduan smartphone, sedangkan analisis regresi logistik multivariat dilakukan untuk menguji hubungan antara faktor demografi, pola penggunaan smartphone, dan kerentanan terhadap kecanduan smartphone.

Hasil: Analisis data menunjukkan nilai signifikansi (p =<0.05, r =-0,345), hal ini berarti tingkat citra diri berkorelasi negatif dengan kecanduan smartphone. Temuan menunjukkan bahwa citra diri yang rendah merupakan ciri penting dari kecanduan smartphone. Mayoritas dari 192 peserta ditemukan memiliki tingkat citra diri rata-rata (72,3%). Mayoritas peserta menggunakan smartphone lebih dari 6 jam setiap hari (74,2%). Rata-rata usia pertama kali menggunakan smartphone adalah 10,69 tahun (SD = 1,99). Sebagian besar responden menggunakan smartphone untuk berkomunikasi dengan orang lain (63,2%) dan mengakses media sosial (16,1%). Usia partisipan, jenis kelamin, usia pertama kali menggunakan smartphone, durasi penggunaan smartphone setiap hari, dan tujuan utama penggunaan smartphone tidak memengaruhi hubungan tersebut.

Konklusi: Secara keseluruhan, studi ini membuktikan bahwa ada korelasi negatif lemah yang signifikan antara citra diri dan kecanduan smartphone. Selain itu, studi ini menekankan pentingnya mengatasi citra diri dan keyakinan inti yang sesuai dalam pencegahan dan pengobatan kecanduan smartphone.


Background: Smartphone addiction has recently received increased scientific attention as a potential behavioral addiction. Addictive behaviors have traditionally been associated with low self-esteem. The first step toward the mitigation of the smartphone addiction consequences is early detection, and it should take individual risk factors into consideration; self-esteem is one such risk factor. Self-esteem is individual's overall assessment of one's worth or value. The goal of this study is to examine the correlation between self-esteem and smartphone addiction among university students in Jakarta, Indonesia.

Methods: The research study adopted a cross-sectional research design and used a simple random sampling technique. The Indonesian versions of the Rosenberg Self-Esteem Scale and the Smartphone Addiction Scale were used to measure the study variables. Pearson correlation test was conducted to acknowledge the correlation between self-esteem and smartphone addiction, while multivariate logistic regression analysis was conducted to examine the relationships between demographic factors, patterns of smartphone use, and vulnerability to smartphone addiction.

Result: Data analysis shows significance value (p =<0.05, r =-0.345), this means the level of self-esteem is negatively correlated with smartphone addiction. The findings show that low self-esteem is an important hallmark of smartphone addiction. A majority of 192 participants were found to have average self-esteem level (72.3%). The majority of participants use smartphone more than 6 hours daily (74.2%). The average of age at first smartphone use was 10.69 years (SD = 1.99). Most of the respondents used smartphone to communicate with other people (63.2%) and access social media (16.1%). Participant’s age, gender, age at first smartphone use, duration of daily smartphone use, and primary purpose of smartphone use did not moderate the association.

Conclusion: Overall, this study proves that there is a significant weak negative correlation between self-esteem and smartphone addiction. Moreover, our findings emphasize the importance of addressing self-esteem and corresponding core beliefs in the prevention and treatment of smartphone addiction."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Princessa
"Pendahuluan: Adiksi internet merupakan masalah kesehatan yang terus meningkat. Kelompok usia dewasa dan remaja, yang merupakan kelompok usia pada mahasiswa kedokteran, adalah populasi yang paling rentan mengalami adiksi internet. Masalah emosi dan depresi sering ditemukan bersama dengan adiksi internet. Metode: Penelitian ini dilakukan secara potong lintang dengan menyebarkan kuesioner Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), dan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) kepada seluruh mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) secara daring dengan menggunakan Google Forms. Setelah itu, dilakukan uji statistik dengan SPSS edisi 25 untuk menemukan hubungan antara masalah emosi, depresi, dan adiksi internet. Hasil Penelitian: Didapatkan 153 responden penelitian dari mahasiswa preklinik FKUI. Prevalensi adiksi internet pada mahasiswa FKUI adalah 20,26%, sedangkan prevalensi masalah emosi adalah 26,79%. Ditemukan bahwa tingkat kejadian masalah emosi lebih tinggi secara signifikan pada populasi adiksi (61,3%) dibandingkan tidak adiksi (18,0%) dan terdapat hubungan signifikan antara masalah emosi dan adiksi internet (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)). Depresi juga lebih banyak ditemukan pada kelompok adiksi (58,1%) dibandingkan yang tidak adiksi dan ditemukan hubungan yang signifikan antara keduanya (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Kesimpulan: Masalah emosi dan depresi ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan adiksi internet.
Introduction: Internet addiction is an ever increasing health problem. Teenagers and young adults, which are the age groups of medical students, are populations most prone to internet addiction. Emotional problems and depression are often found alongside internet addiction. Methods: This cross-sectional study was done with the Self-Reporting Questionnaire-20 (SRQ-20), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), and Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) given out to preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia online via Google Forms. Statistical tests were done with SPSS 25th edition to assess the relationship between emotional problems, depression, and internet addiction. Results: A total of 153 preclinical medical students at Faculty of Medicine, Universitas Indonesia were involved in this study. The prevalance of internet addiction was found to be 20,26%, while the prevalance of emotional problems was 26,8%. The prevalance of emotional problem was found to be greater in students with internet addiction (61,3%) than students without internet addiction (18,0%) and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 7,2 (3,05–16,97)).  The prevalance of depression was also found to be greater in students with internet addiction (58,1%) than students without internet addiction and a significant relationship was found between emotional problems and internet addiction (p<0,001; OR (95% CI) = 9,17 (3,78-22,25)). Conclusion: Emotional problems and depression was found to be significantly associated with internet addiction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Ellenzy
"Kemajuan teknologi medis dan informasi mengenai terapi antiretroviral (ART) menyebabkan pasien HIV memiliki angka harapan hidup yang meningkat. Di sisi lain, angka harapan hidup yang meningkat ini juga perlu diselaraskan dengan kualitas hidup yang baik. Pada populasi pasien HIV terdapat risiko mengalami gangguan neurokognitif sehingga berdampak terhadap kualitas hidupnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengidentifikasi faktor yang memengaruhi penurunan fungsi kognitif yang terdapat pada pasien HIV/AIDS di Pokdisus RSCM. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dari Mei 2022 hingga Desember 2023. Sampel penelitian adalah pasien HIV/AIDS dewasa di Pokdisus RSCM. Sebanyak 121 subjek terpilih berdasarkan simple random sampling. Analisis regresi linear dilakukan untuk menilai faktor risiko gangguan fungsi kognitif. Dari 121 subjek, mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki, dengan rerata usia 40,25 (SD ± 8,42). Prevalensi gangguan kognitif pada pasien dewasa dengan HIV/AIDS di Pokdisus RSCM yakni sebesar 55,4% dengan faktor risiko yang berhubungan memengaruhi rerata skor MOCA-INA yakni faktor durasi inisiasi terapi, yakni satu tahun keterlambatan inisiasi pengobatan ART dapat menurunkan skor MOCA-INA sebesar -0,3 poin. Temuan lainnya yakni kondisi meningitis secara signifikan memengaruhi gangguan kognitif pada HIV. Dari hasil analisis multivariat, meningitis menurunkan skor MOCA-INA sebesar 2,629 poin. Program untuk penapisan gangguan kogntif dapat dilakukan pada pasien HIV secara berkala.

The advancement of medical technology and information regarding antiretroviral therapy (ART) have led to an increased life expectancy among HIV patients. This improved life expectancy needs to be aligned with a good quality of life. In the population of HIV patients, there is a risk of experiencing neurocognitive disorders that can impact the patients' quality of life. This research aims to identify factors influencing the decline in cognitive function in HIV/AIDS patients at the Pokdisus RSCM. The study was conducted with a cross-sectional design from May 2022 to December 2023. The research sample was adult HIV/AIDS patients at Pokdisus RSCM. Out of 121 subjects, the majority of respondents were male, with a mean age of 40.25 (SD ± 8.42). The prevalence of cognitive impairment in adult patients with HIV/AIDS at Pokdisus RSCM was 55.4%, associated risk factors affecting the mean MOCA-INA score, such as the duration of treatment initiation. A one-year delay in initiating ART treatment could decrease the MOCA-INA score by 0.3 points. Another finding is meningitis significantly influences the presence of cognitive impairment. From the multivariate analysis, meningitis can decrease the MOCA-INA score by 2.629 points. Screening programs for cognitive impairment can be periodically conducted in HIV patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunyun Setiawan
"Latar Belakang: Prevalensi gangguan penggunaan benzodiapin (GPB) di dunia meningkat setiap tahun. Prevalensi GPB di Indonesia pada tahun 2022 adalah sebesar 11,8% dari seluruh jenis zat yang digunakan dan merupakan urutan ke-3 zat yang sering disalahgunakan, terutama pada usia produktif 30-40 tahun. GPB berdampak negatif bagi kehidupan pasien, keluarga dan lingkungan. GPB berhubungan dengan psikopatologi individu dan dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan GPB dan psikopatologi serta faktor sosiodemografi yang memengaruhi pada pasien di RSJ Provinsi Jawa Barat.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan menggunakan metode potong lintang. Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling pada pasien yang dengan GPB sesuai kriteria DSM-5 dan pemeriksaan psikopatolgi berdasarkan MINI ICD-10 serta pengambilan data faktor sosiodemografi pada pasien yang berobat di RSJ Provinsi Jawa Barat
Hasil penelitian: Dari 96 pasien yang memenuhi krieria inklusi untuk penelitian ini 99% laki-laki, 90,6% usia dewasa, 56,% tidak memiliki pasangan, 63,5% berpendidikan sedang (SLTA sederajat), 57,3% karyawan swasta, berdasarkan tingkat keparahan 93,8% berat, 32,3% memiliki 2 komorbid psikopatologi dan 1 komorbid gangguan cemas menyeluruh 21,9%, 98,96% menggunakan multi zat alprazolam dengan benzodiazepin yang lain, 44,79% menggunakan 2 zat alrazolam dan clonazepam. Terdapat hubungan yang signifikan antara status pasangan dengan tingkat keparahan penggunaan benzodiazepin p=0.044 dengan RR=1.11 dan OR=7.16, kelompok yang tidak berpasangan 11% lebih tinggi untuk mengalami gangguan penggunaan benzodiazepin dan 7 kali lebih mungkin untuk mengalami gangguan penggunaan benzodiazepin. Dosis rata-rata penggunaan benzodiazepin jenis alprazolam 3,7mg/hari. Clonazepam 5,43mg/hari. Lorazepam 3,12mg/hari, nitrazepam 5mg/hari dan diazepam 10mg/hari
Simpulan: Berdasarkan penelitian ini tingkat keparahan gangguan penggunaan benzodiazepin berisiko pada individu yang tidak memiliki pasangan, memiliki komorbid psikiatri dan diperlukan kehati-hatian pada peresepan alprazolam melebihi dosis 3,7mg/hari.

Background: The world’s prevalence of benzodiapine use disorders (BUD) increases every year. The prevalence of BUD in Indonesia in 2022 was 11.8% of all types of substances used and is the third most frequently abused substance, especially in the productive age group of 30-40 years. BUD has a negative impact on the lives of patients, families and the environment. BUD is related to individual psychopathology and is influenced by sociodemographic factors. This study aims to determine the relationship between GPB and psychopathology as well as sociodemographic factors that influence patients at The West Java Mental Hospital.
Method: This research is an analytical observational study using a cross-sectional method. Sampling used consecutive sampling on patients with BUD according to DSM-5 criteria and psychopathology examination based on MINI ICD-10 as well as data collection on sociodemographic factors on patients seeking treatment at The West Java Mental Hospital.
Result: Of the 96 patients who met the inclusion criteria for this study, 99% were men, 90.6% were adults, 56.% did not have a partner, 63.5% had moderate education (high school equivalent), 57.3% were private employees , based on severity level 93.8% severe, 32.3% had 2 comorbid psychopathology and 1 comorbid generalized anxiety disorder 21.9%, 98.96% used multi-substance alprazolam with other benzodiazepines, 44.79% used 2 alrazolam substances and clonazepam. There was a significant relationship between partner status and the severity of benzodiazepine use p=0.044 with RR=1.11 and OR=7.16, the non-partnered group was 11% more likely to experience benzodiazepine use disorders and 7 times more likely to experience benzodiazepine use disorders. The average dose of benzodiazepine alprazolam is 3.7mg/day. Clonazepam 5.43mg/day. Lorazepam 3.12mg/day, nitrazepam 5mg/day and diazepam 10mg/day.
Conclusion: Based on this study, the severity of benzodiazepine use disorders is a risk in individuals who do not have a partner, have psychiatric comorbidities and caution is needed when prescribing alprazolam exceeding a dose of 3.7 mg/day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Saraswati Sanjaya
"Latar belakang: Di Indonesia, merokok merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar akibat masih tingginya tingkat penggunaan rokok. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, persentase perokok usia di atas 15 tahun di Indonesia adalah 33,8%, perokok laki-laki sebesar 62,9%, dan perempuan sebesar 4,8%. Nikotin dalam rokok dapat memberikan berbagai efek positif terhadap kognitif dan suasana hati, namun penggunaan nikotin secara terus menerus dapat menyebabkan desensitisasi terhadap reseptor kolinergik nikotin (nAChRs) yang kemudian dapat menyebabkan kondisi ketergantungan dan adiksi. Adiksi nikotin diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara kepada 87 pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM menggunakan kusioner yang telah disiapkan peneliti untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi adiksi nikotin, serta kuesioner Cigarette Dependance Scale (CDS) untuk mengukur tingkat ketergantungan rokok. Hasil kuesioner akan dianalisis secara bivariat untuk melihat perbedaan rerata setiap komponen faktor terhadap adiksi nikotin. Hasil: Terdapat perbedaan rerata skor total CDS yang bermakna pada jenis kelamin laki-laki (5.79 ± 5.25; p=0.000), tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah (0.55 ± 8.34; p=0.001), usia mulai merokok ≤ 15 tahun (4.62 ± 5.29; p=0.006), dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). Tidak ditemukan perbedaan bermakna rerata skor total CDS pada kelompok usia yang berbeda (0.09 ± 7.93; p=0.471). Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada rerata skor total CDS untuk kelompok jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SMA sederajat atau lebih rendah, usia mulai merokok ≤ 15 tahun, dan diagnosis gangguan jiwa skizofrenia pada pasien di Poli Jiwa Dewasa RSCM.

Introduction:In Indonesia, smoking is one of the biggest health problem contributors as the smoking rate in Indonesia is still high. Based on Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) in 2018, the smoker at the age of 15 and above has a percentage of 33,8% in Indonesia, with 62,9% of the smoker being men and 4,8% being women. Nicotine which is found inside the cigarette has a positive effect on cognition and mood, however continuous usage of nicotine results in desensitization of nicotine cholinergic receptors (nAChRs) which can cause nicotine dependence and addiction. Nicotine addiction is known to have a high prevalence in psychiatric patients. This study is aimed to know the factors contributing to nicotine addiction at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangungkusumo Hospital. Method:This study uses a cross-sectional design for patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted by interviewing 87 patients in the psychiatric ward. The interview uses a questionnaire that has been prepared by the researcher to find out the factors contributing to nicotine addiction, and Cigarette Dependence Scale (CDS) to measure nicotine dependency. The results will be analyzed using a bivariate study to discover the significance of each factor toward nicotine addiction. Result:There is a significant difference of total CDS score on men (5.79 ± 5.25; p= 0.000), educational level of high school or below (0.55 ± 8.34; p=0.001), age to start smoking ≤15 years old (4.62 ± 5.29; p=0.006), and psychiatric diagnosis of schizophrenia (3.92 ± 7.48; p=0.006). There is no significant difference of total CDS score between different groups of age (0.09 ± 7.93; p=0.471).Conclusion:There is significant difference of total CDS score between male sex group, educational level, the age to start smoking, and psychiatric diagnosis in patients at Adult Psychiatric Ward Cipto Mangunkusumo."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Owen, Albert
"Seseorang dengan penyakit skizofrenia umumnya rentan untuk terjadi ketergantungan terhadap nikotin. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari lingkungan, sosioekonomi, maupun dari biologis orang tersebut. Nikotin memiliki dampak negatif terhadap tubuh terutama pada pasien dengan skizofrenia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hal yang berhubungan dengan perilaku merokok pada pasien skizofrenia sehingga dapat diberikan perhatian khusus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pemberian kuesioner demografik dan kuesioner Fagerstrom untuk mengumpulkan data. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah potong lintang. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis hubungannya dengan uji Chi-square. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, proporsi pasien dengan skizofrenia yang merokok pada penelitian ini adalah 47,5 dan pola penggunaan nikotin pada pasien yang merokok adalah sedang dan tinggi dengan persentase sebesar 58,4. Analisis dari data yang ada didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap perilaku merokok pada pasien dengan skizofrenia p < 0,001. Hal ini disebabkan oleh tingkat stres yang lebih tinggi dan adanya stigma pada wanita yang merokok. Selain itu, terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah rokok yang dikonsumsi terhadap tingkat ketergantungan nikotin pada pasien dengan skizofrenia p = 0,002. Hal ini disebabkan oleh kadar nikotin yang lebih tinggi menyebabkan tingkat ketergantungan yang lebih tinggi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan jenis obat antipsikotik baik terhadap perilaku merokok maupun tingkat ketergantungan nikotin. Faktor lain seperti jenis rokok yang digunakan, lama riwayat merokok juga tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap tingkat ketergantungan nikotin.

Someone with schizophrenia is prone to be dependent of nicotine. This can be affected by a lot of factors, such as environment factors, socioeconomy factors, or biological factors of schizophrenic patient. Nicotine has negative effects on the body, especially in patients with schizophrenia. The aim of this study is to identify the factors that affect the smoking behavior of schizophrenic patients so people can give more attention for them. This study was conducted with cross sectional as the study design. Demographic questionnaire and Fagerstrom questionnaire was given to the schizophrenic patients and data was collected from those answered questionnaires. Data was analyzed using Chi square test to identify the relationship between factors and smoking. From this study, the proportion of schizophrenic patients that smoke is 47,5 and the nicotine usage pattern of those who smoke is moderate and high with percentage of 58,4. The result of this study is that there is a significant relationship between gender with smoking behavior of schizophrenic patients p 0,001. This is caused by higher stress level in men and stigma in women that smoke. There is a significant relationship between the amount of smoke with nicotine dependency level p 0,002. This is caused by higher nicotine level could cause higher dependency. There are no significant relationship between education level, income level, and the type of antipsychotic drugs used with either smoking behavior and nicotine dependency level. There are also no significant relationship between the duration of smoking and type of smoke used with nicotine dependency level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian
"Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan psikiatri yang lazim ditemukan pada pasien HIV/AIDS dan dihubungkan dengan berbagai faktor. Namun, studi ini belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal studi ini penting untuk diteliti untuk menentukan faktor-faktor yang harus diintervensi sehingga terbentuk pelayanan yang optimal terhadap pasien HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ide bunuh diri dengan faktor-faktor yang memengaruhinya pada pasien HIV/AIDS. Metode penelitian adalah dengan cross-sectional. Subjek dikumpulkan sebagai sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah orang dewasa berusia 18-65 tahun dengan diagnosis HIV/AIDS yang sedang menjalani pengobatan ARV di Poliklinik Khusus HIV/AIDS RSCM. Analisis data bivariat menggunakan uji Chi-square dan Fisher exact test, serta analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Dari total 86 subjek, 20 23,3 diantaranya memiliki ide bunuh diri. Melalui uji Chi-square, hubungan terbukti bermakna pada 5 variabel, yaitu depresi p=0,000, ansietas p=0,001, tidak menikah p=0,007, jumlah CD4.
Suicide is a psychiatric emergency commonly found in HIV AIDS patients and is associated with various factors. However, this study has not been conducted in Indonesia. Besides, this study is important to determine the factors which must be intervened to establish optimum service for HIV AIDS patients. The aim of this study is to find the association between suicidal ideation and its determinant factors in HIV AIDS patients. Observational study with cross sectional method was conducted. Samples were collected using consecutive sampling technique. The inclusion criteria were adults aged 18 65 with HIV AIDS diagnosis and currently undergoing ARV treatment at Poliklinik Khusus HIV AIDS RSCM. Univariate analysis was performed using Chi square and Fisher exact test, while multivariate analysis was performed using logistic regression test. Of the total 86 subjects, 20 23.3 had suicidal ideation. Chi square test proved significant association on 5 variables depression p 0,000, anxiety p 0,001, being unmarried p 0,007, CD4 count."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Hermawanto
"Amfetamin merupakan salah satu NAPZA yang paling banyak digunakan di Indonesia. Salah satu komponen penting dalam penatalaksanaan penggunaan stimulan tipe amfetamin (STA) adalah mencegah terjadinya gejala putus zat. Penggunaan repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) dapat digunakan sebagai salah satu modalitas terapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan rTMS untuk mencegah gejala putus zat pada pengguna STA. Penelitian ini dilakukan secara kuasi eksperimental dengan 18 pria pengguna STA. Subjek dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan mendapatkan terapi rTMS 10 Hz selama 10 sesi dalam 2 periode, masing-masing 5 sesi. Evaluasi gejala putus zat dilakukan pada hari pertama, keenam dan ketiga belas. Penelitian ini menemukan adanya perbedaan signifikan gejala putus zat pada hari keenam pada kedua kelompok (p: 0,003; effect size: 1,163; 95% CI: 0,457-1,869). Pada kelompok perlakuan, gejala putus zat secara signifikan berkurang pada hari keenam (p: 0,047) dan dipertahankan hingga hari ketiga belas (p: 0,015). Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan gejala putus zat pada hari keenam dan baru mengalami penurunan yang signifikan pada hari ketiga belas (p: 0,002). Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan rTMS efektif dalam mempercepat terjadinya perbaikan gejala putus zat pada pengguna STA.

Amphetamines are one of the most widely used drugs in Indonesia. One of the important components in amphetamine-type stimulants (STA) therapy is to prevent withdrawal symptoms. The repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS) can be used as a therapeutic modality. The aim of this study was to determine the effectiveness of using rTMS to prevent withdrawal symptoms in STA users. This study was conducted in a quasi-experimental with 36 male STA users. Subjects were grouped into 2 groups. The treatment group received 10 Hz rTMS therapy for 10 sessions in 2 periods, 5 sessions each. Evaluation of withdrawal symptoms was carried out on the first, sixth and thirteenth days. This study found a significant difference in withdrawal symptoms on the sixth day between two groups (p: 0.003; effect size: 1.163; 95% CI: 0.457-1.869). In the treatment group, withdrawal symptoms were significantly reduced on the sixth day (p: 0.047) and maintained until the thirteenth day (p: 0.015). Meanwhile in the control group, there was an increase in withdrawal symptoms on the sixth day and only experienced a significant decrease on the thirteenth day (p: 0.002). This study concludes that the use of rTMS is effective in accelerating the improvement of withdrawal symptoms in STA users.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library