Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwin Lesmono
"Pendahuluan: Sefalometri posteroanterior merupakan prosedur standar dalam diagnosis ortodonti yang dapat memberikan informasi radiograf mediolateral untuk evaluasi pra-bedah dan asimetri, namun memerlukan radiasi yang cukup besar, biaya yang relatif mahal serta teknik khusus. Fotografi ekstra oral yang telah distandarisasi merupakan salah satu teknik yang relatif mudah dilakukan, ekonomis, serta dapat menggambarkan anatomi kraniofasial.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.
Bahan dan cara: Ukuran linear dan angular titik-titik referensi jaringan lunak dan keras dihitung melalui kajian foto frontal ekstra oral dan sefalometri posteroanterior digital yang diambil dari 31 subjek dengan wajah simetris dan 31 subjek dengan wajah asimetris. Pengukuran dilakukan dengan piranti lunak Sirona-SIDEXIS XG 2.52.
Hasil: Hasil penelitian pada subjek dengan wajah simetris menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran jaringan lunak dan jaringan keras, kecuali pada ukuran linear dan angular menton. Pada subjek dengan wajah asimetris tidak terdapat hubungan yang bermakna antara gonion dan antegonion kanan, sudut lateral canthus dan zygomatic, serta sudut ala nasi dan nasal cavity. Hubungan bermakna ditemukan pada lateral canthus dan zygomatic kanan dan kiri, ala nasi dan nasal cavity kanan dan kiri, gonion dan antegonion kiri, sudut gonion dan antegonion, serta ukuran linear dan angular menton.
Kesimpulan: Beberapa ukuran jaringan lunak dan jaringan keras berhubungan terutama pada subjek dengan wajah asimetris. Terdapat hubungan antara titik menton jaringan lunak dan keras, baik ukuran linear dan angular, pada subjek dengan wajah simetris dan asimetris.

Introduction: Posteroanterior cephalometry is a gold standard in orthodontic diagnosis which provides mediolateral radiograph information for pre-surgery and asymmetry evaluation, but requires high level of radiation exposure, high cost, and specific technique. Standardized facial photograph is a more simple and low cost technique to describe craniofacial anatomy.
Objective: The purpose of this study was to determine the correlation between soft tissue and hard tissue measurements on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
Materials and method: Linear and angular measurements of the soft and hard tissue’s reference points were done on standardized frontal extra oral photograph and digital posteroanterior cephalometry taken from 31 subjects with symmetrical faces and 31 subjects with asymmetrical faces. The measurements were computed by using Sirona-SIDEXIS XG 2.52 software.
Results: This study showed that there were no correlations for all the measurements, except for linear and angular menton measurements on subjects with symmetrical faces. There were also no correlations between right gonion and antegonion, lateral canthus and zygomatic angle, as well as ala nasi and nasal cavity angle on subjects with asymmetrical faces. On the other hand, there were significant correlations between right and left lateral canthus and zygomatic, right and left ala nasi and nasal cavity, left gonion and antegonion, gonion and antegonion angle, as well as linear and angular menton measurements on subjects with asymmetrical faces.
Conclusion: This study concluded that some of the soft tissue and hard tissue measurements have significant correlations particularly on subjects with asymmetrical faces. There were significant correlations between soft tissue and hard tissue menton, both linear and angular measurements, on subjects with symmetrical and asymmetrical faces.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Wijayanti
"Latar belakang: Perubahan dimensi dari gigi sulung ke gigi tetap dapat menyebabkan maloklusi pada usia anak. Pada keadaan tersebut dapat dilakukan upaya interseptif untuk mencegah bertambah parahnya maloklusi. Usia 9-11 tahun merupakan usia yang tepat untuk dilakukan interseptif. Pemeriksaan dini pada populasi anak usia gigi bercampur diperlukan untuk mengetahui keadaan maloklusi.
Tujuan: Mengetahui gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Metode: Digital examination dan analisis profil wajah, untuk menentukan klasifikasi maloklusi dan pengisisan kuesioner Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti anak.
Hasil: 98 subjek penelitian diperoleh maloklusi kelas I sebanyak 65,3%, maloklusi kelas II sebanyak 31,6% dan maloklusi kelas III sebanyak 3,1%. Keseluruhan populasi yang diteliti terdapat 76,5% membutuhkan perawatan ortodonti dan 23,5% tidak membutuhkan perawatan ortodonti.
Kesimpulan: Subjek dengan maloklusi kelas I paling banyak ditemukan dan sebagian besar subjek membutuhkan perawatan ortodonti.

Background: Dimensional changes from primary teeth to permanent teeth cause malocclusion in children. Interceptive can use for that situation to prevent increased severity of malocclusion. Ages for screening the child population for interceptive orthodontics is 9 to 11 years old. Early examination in mixed dentition age population needed to determine the state of malocclusion.
Purpose: Describe malocclusion and orthodontic treatment need in child 9 to 11 years old in SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Method: Digital examination and analyze of facial profile to know malocclusion and filling of questionnaires orthodontic treatment needs indicator (IKPO) to determine about children orthodontic treatment need.
Result: 98 subject there are 65,3% with class I malocclusion, 31,6% with class II malocclusion, 3,1% with class III malocclusion. From child population about 76,5% need for orthodontic treatment and 23,5% no need for orthodontic treatment.
Conclusions: Subject most found with class I malocclusions and most of subject need orthodontic treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adisty
"Restorasi porselen untuk mahkota tiruan cekat semakin sering dijumpai pada pasien. Masalah yang mungkin terjadi saat bonding braket pada restorasi tersebut adalah braket mudah terlepas dan terjadi kerusakan pada porselen. Penggunaan bahan silane coupling agent dilaporkan dapat meningkatkan kekuatan rekat dan menjaga integritas porselen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kuat rekat geser pada pemakaian tiga bahan silane coupling agentdengan komposisi organosilane yang berbeda. Penelitian ini menggunakan 21 plat porselen yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu yang menggunakan bahan silane coupling agent Monobond-Plus (Ivoclar vivadent), Ultradent Silane (Ultradent product) dan Porcelain Repair Primer (Ormco). Permukaan 21 plat porselen diberi etsa asam fosfat 37%, bahan silane coupling agent dan bahan adhesif Transbond XT (3M Unitek). Setelah braket direkatkan pada permukaan plat porselen dilakukan perendaman dalam aquadest selama 24 jamdan dilakukan pengujian kuat rekat geser dengan alat uji Universal Testing Machine Shimazu AG-5000. Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan kuat rekat geser yang signifikan secara statistik dari ketiga bahan silane coupling agent. Bahan A mempunyai kuat rekat geser tertinggi (12,827 ± 1,228 MPa) dan B mempunyai kuat rekat geser terendah (6,295 ± 0,642 MPa). Ketiga bahan tersebut memenuhi kriteria kuat rekat geser minimal yaitu 6-8 MPa. Skor ARI pada bahan B memperlihatkan permukaan porselen yang bersih, sedangkan bahan A dan C memperlihatkan adanya bahan adhesif yang merekat seluruhnya di permukaan porselen.
Kesimpulan : Bahan A dan C baik digunakan jika porselen akan diganti, sedangkan bahan B baik digunakan jika porselen tidak akan diganti.

Porcelain crown restorations are more often found in patients. Problems that may occur when bonding the bracket on the restoration is easily dislodged bracket and there is damage to the porcelain. The use of silane coupling agent has been reported to increase the bond strength and maintain the integrity of the porcelain. This study aimed to see differences of shear bond strength using three materials of silane coupling agent with different organosilane composition. This study uses 21 porcelain plates that are divided into three groups, they are using silane coupling agent material Monobond-Plus (Ivoclar Vivadent), Ultradent Silane (Ultradent product) and Porcelain Repair Primer (Ormco). The surface of 21 porcelain plates are given a 37% phosphoric acid etching, silane coupling agent material and Transbond XT adhesive (3M Unitek). Once the bracket is bonded on the surface of the porcelain plate and soaking in distilled water for 24 hours and tested the shear bond strength with test equipment Universal Testing Machine Shimazu AG-5000. The results obtained there are statistically significant differences in shear bond strength from three silane coupling agent material. Material A has the highest shear bond strength (12.827 ± 1.228 MPa) and B has the lowest shear bond strength (6.295 ± 0.642 MPa). Those three ingredients meet the minimum criteria of shear bond strength,which is 6-8 MPa. ARI scores on material B showed a clean porcelain surface, while the materials A and C show the presence of bonding adhesive on the entire surface of the porcelain.
Conclusion: Materials A and C both used if the porcelain will be replaced, while materials B is good to use if the porcelain will not be replaced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriansyah Maulana Sudirman
"Latar Belakang: Perawatan ortodontik, yang bertujuan memperbaiki maloklusi dan meningkatkan estetika serta fungsi dentofasial, membutuhkan keterlibatan aktif pasien untuk mencapai hasil yang optimal. Peran pasien menjadi semakin penting dengan pendekatan Pengambilan Keputusan Bersama (PKB), yang mendorong partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan perawatan. PKB, didukung oleh komunikasi efektif dan pendidikan manajemen diri, menawarkan peluang untuk meningkatkan kepuasan, kepatuhan, dan hasil klinis, meskipun menghadapi tantangan dalam implementasinya. Pembahasan: PKB memberikan banyak manfaat, termasuk peningkatan pengetahuan pasien, hubungan yang lebih baik antara pasien dan ortodontis, serta penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Komunikasi efektif, baik verbal maupun nonverbal, memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan dan menyampaikan informasi secara jelas. Pendidikan manajemen diri juga berkontribusi signifikan, membantu pasien memahami tanggung jawab mereka dalam menjaga kebersihan mulut selama perawatan, mengurangi risiko iatrogenik, dan membentuk kebiasaan sehat jangka panjang. Ringkasan: Peran aktif pasien dalam perawatan ortodontik merupakan kunci keberhasilan perawatan jangka panjang. Dengan memperkuat PKB, komunikasi efektif, dan pendidikan manajemen diri, hasil perawatan dapat ditingkatkan secara signifikan.

Background: Orthodontic treatment, aimed at correcting malocclusion and improving dentofacial aesthetics and function, requires active patient involvement to achieve optimal outcomes. The role of patients has become increasingly significant with the adoption of Shared Decision Making (SDM), which promotes patient participation in treatment decisions. Supported by effective communication and self-management education, SDM offers opportunities to enhance patient satisfaction, compliance, and clinical outcomes, despite challenges in its implementation. Discussion: SDM provides numerous benefits, including increased patient knowledge, stronger relationships between patients and orthodontists, and more efficient resource utilization. Effective communication, both verbal and nonverbal, plays a critical role in building trust and delivering clear information. Self-management education also makes a significant contribution by helping patients understand their responsibilities in maintaining oral hygiene during treatment, reducing iatrogenic risks, and fostering long-term healthy habits. Summary: Active patient involvement in orthodontic treatment is key to achieving long-term success. Strengthening SDM, effective communication, and self-management education can significantly improve treatment outcomes."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina
"Pendahuluan: Kehadiran jenis braket sistem self-ligating pasif menambah variasi jenis braket yang digunakan dalam perawatan ortodonti saat ini, sehingga timbul pertanyaan mengenai efektifitasnya terhadap perawatan ortodonti. Salah satu parameter yang menentukan efektifitas tersebut adalah durasi waktu perawatan yang dibutuhkan untuk memperbaiki maloklusi, misalnya kecepatan penutupan ruang secara en-masse menggunakan elastomeric chain.
Tujuan: Mengetahui efektifitas perawatan ortodonti yang dilakukan menggunakan sistem braket self-ligating pasif dan sistem braket konvensional selama tahap penutupan ruang secara en-masse.
Metode: Penelitian prospective randomized controlled clinical trial dengan teknik split mouth ini dilakukan selama 11 bulan. Sebelas subyek (3 pria dan 8 wanita usia minimal 15 tahun) dengan pencabutan premolar satu rahang atas dan akan memasuki tahap space closure diikutsertakan dalam penelitian ini. Setiap subyek dipasangkan braket konvensional di satu sisi rahang dan self-ligating pasif di sisi lainnya, dimana penentuannya dilakukan secara random, kemudian diberikan gaya sebesar 150 g dengan powerchain pada kawat SS .019 x .025. Pengukuran jarak penutupan ruang dan kehilangan penjangkaran dilakukan pada T0, T1 (4 minggu), dan T2 (8 minggu).
Hasil: Terdapat perbedaan rata-rata kecepatan penutupan ruang yang signifikan antara kelompok sistem braket self-ligating pasif dan kelompok sistem braket konvensional (p=0,010) dimana kelompok braket self-ligating pasif memiliki kecepatan yang lebih besar dibandingkan kelompok braket konvensional, namun tidak terdapat perbedaan rata-rata kehilangan penjangkaran yang signifikan secara statistik antara kedua kelompok tersebut.
Kesimpulan: Sistem braket self-ligating pasif memiliki efektifitas yang lebih baik karena dapat mempercepat durasi waktu perawatan ortodonti.

Introduction: The presences of passive self - ligating bracket system add variety of bracket type used in today's orthodontic treatment, so that raised question in regard to the effectiveness of the treatment. One of the parameters that determines the effectiveness of the treatment is the time required to fix malocclusion, e.g. rate of en - masse closing space using elastomeric chain.
Objectives: To study the effectiveness of orthodontic treatment using passive self - ligating system and conventional system during space closure stages.
Methods: Prospective randomized controlled clinical trial with a split mouth technique was carried out for 11 months. Eleven subjects (3 men and 8 women with age minimum of 15 year old) with the extraction of the first premolars, where it will enter the space closure stage were included in this study. Each subject was bonded with conventional bracket on one side of the arch and with passive self - ligating on the other side which was determined randomly, was given a force of 150 g with power chain on .019 x .025 SS wire. The measurement of space closure and loss of anchorage were performed at T0, T1 (4 weeks), and T2 (8 weeks).
Result: There was significant differences of the average rate of closing space between passive self - ligating system and conventional system group (p = 0.010), for which a group of passive self - ligating system has a greater speed compare than conventional group, though there was no difference in loss of anchorage between the two groups.
Conclusion: The passive self - ligating system is more effective because it can reduce the duration of orthodontic treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Gatot Wijanarko
"Permintaan akan perawatan ortodonti di klinik Spesialis FKG-UI meningkat dengan persentasi yang lebih besar pada usia di atas 16 tahun (67%) dibandingkan usia yang lebih muda. Pada penelitian yang terdahulu ditemukan bahwa pada usia 12 - 14 tahun sudah terjadi maloklusi (89%). Penelitian yang saya lakukan ini merupakan studi epidemiologis dasar untuk melihat prevalensi derajat keparahan maloklusi pada usia 12 - 14 tahun di Jakarta secara "crossectional" 270 sampel diambil secara multi stages cluster random sampling dari populasi remaja di Sekolah Menengah Pertama. Indeks HMAI (Handicapping Malocclusion Assessment index) digunakan untuk menilai derajat keparahan maloklusi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Hasil penelitian memberi gambaran bahwa prevalensi terbanyak adalah malokiusi ringan sampai dengan berat (83,4%). Kelainan terbanyak adalah kasus berjejal (44,9%), gigi renggang (16,7%), gigi mendongos (6,3%), tumpang gigit dalam (6,3%), gigitan silang (12,3%) dan gigitan terbuka (13,2%). Tidak terdapat perbedaan prevalensi pada laki-laki atau perempuan. Tingkat kesadaran akan kebutuhan perawatan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan maloklusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Monika
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, zoledronate bisphosphonate dalam bentuk gel emulsi telah terbukti meningkatkan jumlah apoptosis sel osteoklas. Aplikasi topikal dalam bentuk gel telah banyak digunakan pada rongga mulut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui stabilitas fisik gel zoledronate bisphosphonate sebagai salah satu syarat dalam pengembangan produk baru.
Metode: Formulasi gel zoledronate dibuat dari carboxylmethylcellulose (CMC), gliserin, dan sodium benzoat dengan dosis 40 μg zoledronate dalam setiap 25 mg gel. Gel disimpan pada suhu 25°C dan 40°C selama 28 hari dan dievaluasi viskositas, pH, daya sebar, daya lekat, dan kadar obat pada awal, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28.
Hasil: Pada penyimpanan suhu 25°C, uji repeated measure ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada parameter viskositas, daya sebar, dan daya lekat antar waktu penyimpanan (p>0,05). Pada parameter kadar obat dan pH, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05) namun secara kuantatif masih dalam batas normal. Sementara pada hari ke-28 penyimpanan suhu 40°C, gel mengeras sehingga pengujian hanya dilakukan pada hari ke-7 dan ke-14. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada semua parameter uji stabilitas (p<0,05) antar waktu pengamatan pada suhu 40°C. Hasil uji t-test independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada semua parameter (p>0,05) antar suhu penyimpanan pada hari ke-7 dan ke-14.
Kesimpulan: Nilai viskositas, daya sebar, daya lekat, kadar obat, dan pH gel zoledronate stabil selama 28 hari pada suhu penyimpanan 25°C. Pada suhu 40°C setelah hari ke-14, gel zoledronate menjadi tidak stabil karena konsistensi gel mengeras pada hari ke-28.

ABSTRACT
Introduction: In the previous study, topical application of zoledronate bisphosphonate in gel emulsion has been proven to increase the number of osteoclasts apoptosis. In the oral cavity, topical application is commonly used in gel form; therefore, this study was conducted to evaluate the physical stability of zoledronate bisphosphonate in gel form as one of the prerequisites in developing a new drug product.
Methods: The gel formulation was prepared using carboxylmethylcellulose (CMC), glycerine, and sodium benzoate in a dosage form of 40 μg zoledronate in every 25 mg gel. The gels were stored at 25°C and 40°C for 28 days and evaluated for viscosity, pH value, spreadability, adhesive strength, and drug content on the 1st day, 7th day, 14th day, and 28th day.
Results: At the 25°C of storage, repeated measure ANOVA test shows no statistically significant changes in viscosity, spreadability, and adhesive strength between the 7th, 14th, and 28th day (p>0,05). The changes in drug content and pH value were statistically significant (p<0,05) but quantitatively still in the normal range. Meanwhile, on the 28th day at the 40°C of storage, the gel hardened; therefore, the stability test could only be performed on the 7th and 14th day. There were statistically significant changes in all parameters (p<0,05) between the 7th, 14th, and 28th day at 40°C. The t-test independent shows no statistically significant changes in all parameters (p>0,05) between the 25°C and 40°C of storage on the 7th and 14th day.
Conclusion: The zoledronate bisphosphonate gel was stable in viscosity, spreadability, adhesive strength, drug content, and pH value at 25°C for 28 days. At 40°C of storage, zoledronate gel was unstable after 14 days because the consistency of the gel hardened on the 28th day.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Putri Sabrina
"ABSTRACT
Latar Belakang: Berdasarkan Riskesdas 2013, proporsi penduduk Indonesia yang menerima perawatan ortodontik masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya adalah sering kali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan perawatan ortodontik. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi kebutuhan perawatan ortodontik memiliki peran yang penting. Adapun salah satu faktor yang memengaruhi persepsi kebutuhan perawatan ortodontik adalah status sosioekonomi, namun penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang kontradiktif. Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal ini di Indonesia. Tujuan: Mengetahui hubungan antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik pada siswa SMAN 27 Jakarta. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada 85 siswa SMAN 27 Jakarta yang berusia 15-17 tahun. Diberikan kuesioner Family Affluence Scale III (FAS III) pada 85 subjek penelitian untuk menilai status sosioekonominya dan diberikan lembar index of Orthodontic Treatment Need-Aesthetic Component (IOTN-AC) guna menilai persepsi kebutuhan perawatan ortodontiknya. Digunakan uji chi-square untuk analisis data. Hasil: Uji chi-square menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p = 0,009) yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status sosioekonomi dengan persepsi kebutuhan perawatan ortodontik pada siswa SMAN 27 Jakarta.

ABSTRACT
Background: According to Riskesdas 2013, the proportion of people who had received orthodontic treatment in Indonesia is very low. One of the reasons is that people oftentimes dont realize that they need orthodontic treatment. It shows that self-perceived orthodontic treatment need has an important role. One of the factors affecting self-perceived orthodontic treatment need is socioeconomic status, but previous studies showed contradictory results. Furthermore, this research has never been conducted in Indonesia. Objective: To determine whether the socioeconomic status associated with self-perceived orthodontic treatment need in students of SMAN 27 Jakarta. Methods: This cross-sectional study comprised 85 students of SMAN 27 Jakarta aged 15-17 years. Family Affluence Scale III (FAS III) questionnaire was given to assess their socioeconomic status and Index of Orthodontic Treatment Need-Aesthetic Component (IOTN-AC) sheet was given to assess their self-perceived orthodontic treatment need. The chi-square test was used for data analysis. Results: The significance value is less than 0,05 (p = 0,009) which indicates that there is a statistically significant difference between socioeconomic status and self-perceived orthodontic treatment need. Conclusion: There is an association between socioeconomic status and self-perceived orthodontic treatment need in students of SMAN 27 Jakarta."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Nabila
"Latar belakang: Tujuan utama perawatan ortodonti bukan hanya untuk mendapatkan oklusi yang ideal tetapi juga meningkatkan estetika wajah. Profil wajah merupakan salah satu indikator untuk melihat estetika wajah. Persepsi Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam mengenai profil wajah perlu diketahui untuk mencapai tujuan perawatan ortodontik. Tujuan: Mengetahui perbedaan persepsi antara Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam tentang profil wajah berdasarkan analisis Arnett dan Bregman. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif dengan desain potong lintang. Penilaian profil wajah dengan sudut 50,80 ,110, 140 ,170 menurut analisis Arnett dan Bregman dilakukan oleh Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam yang masing-masing berjumlah 35 orang menggunakan VAS. Data diuji menggunakan Kruskal-Wallis dan Mann Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara persepsi Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam terhadap profil wajah (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna menurut statistik antara persepsi Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam terhadap profil wajah dengan sudut kecembungan 50,80, dan 110 pada laki-laki (p> 0,05) dan 50,110,140, dan 170 pada perempuan (p> 0,05). Ortodontis dan Dokter Gigi memiliki preferensi pada profil wajah lurus dan masyarakat awam memiliki perferensi pada profil wajah cekung. Kesesuaian paling tinggi terhadap analisis jaringan lunak menurut Arnett dan Bregman yaitu Ortodontis, diikuti oleh Dokter Gigi, dan kemudian masyarakat awam. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan persepsi antara Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam tentang profil wajah, namun terdapat perbedaan persepsi masing-masing Ortodontis, Dokter Gigi, dan masyarakat awam terhadap variasi sudut kecembungan wajah (50,80 ,110, 140 ,170) menurut Arnett dan Bregman.

Background: The main purpose of orthodontics treatment is not only to achieve ideal occlusion but also to improve facial aesthetics. Facial profile is one of the indicators to show facial aesthetics. The facial profile perception of Orthodontists, Dentists, and Laypeople sometimes need to be assessed to meet the purpose of orthodontics treatment. Objectives: To compare facial profile perception between Orthodontists, Dentists, and Laypeople according to Arnett and Bregman facial profile analysis. Methods: This study was a comparative analytic with cross-sectional design. Facial profile convexity of 50, 80,110,140,170 in male and female were assessed using VAS by 35 Orthodontists, Dentists, and Laypeople respectively. Data were tested using the Kruskal-Wallis and the Mann Whitney test. Result: There was a significant difference of facial profile perception between Orthodontists, Dentists, and Laypeople (p< 0.05) There was no significant difference of facial profile perception with facial profile convexity of 50, 80,110 in male (p> 0.05) and 50,110,140,170 in female (p> 0.05) between Orthodontists, Dentists, and Laypeople. Orthodontists and Dentists preference was a straight facial profile and the Laypeople preference was a concave facial profile. The group that met the highest agreement with Arnett and Bregman facial profile analysis was the Orthodontists, followed by the Dentists, and Laypeople. Conclusion: There was no significant difference of facial profile perception between Orthodontists, Dentists, and Laypeople. However, there was significant difference of facial profile perception between Orthodontists, Dentists, and Laypeople with variation facial convexity (50, 80,110,140,170) according to Arnett and Bregman."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Aryani
"Braket merupakan salah satu komponen perawatan ortodonti cekat yang paling lama berada di dalam mulut. Braket stainless steel merupakan salah satu jenis braket yang paling seringdigunakan, dikarenakan komponen mekanisnya yang baik, ekonomis dan relatif tahan terhadap korosi.Namun, tingkat ketahanan korosi brakets tainless steel bervariasi.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui danm embandingkan tingkat ketahanan korosi beberapa braket stainless steel yang beredar di Indonesia ditinjau dari lepasan ion Cr dan Ni di dalam saliva buatan.Sampel yang digunakan terdiri dari 5 kelompok merk braket stainless steel yang masing masing berjumlah 16 buah braket premolar rahang atas slot .022 sistem edgewise standar. Pada tiap kelompok jumlah sampel dibagi dua untuk diuji jumlah ion Ni dan Cr tanpa perendaman di dalam saliva buatan dan sebagian diuji lepasan ion Ni dan Cr setelah perendaman di dalam saliva buatan selama 30 hari. Tingkat ketahanan braket dihitung berdasarkan perbandingan jumlah ion Ni dan Cr yang terlepas di dalam saliva buatan terhadap jumlah awal pada braket yang tidak direndam menggunakan alat ICP-MS. Diperoleh hasil adanya perbedaan yang bermakna pada tingkatk etahanan korosi antar kelompok yang ditinjau dari lepasan ion Ni dan Cr.

Orthodontic Bracketis thelongestcomponent of fix appliance which stayed in oral cavity. Stainless steel bracket is one of the popular fix orthodontic appliance and have been used most frequently for fixed orthodontic treatment because of its favorable mechanical properties, economic value and relatively resistant to corrosion. However, the level of corrosion resistance of stainless steel bracket varied. The purpose of this study was to determine and compare level of corrosion resistance of different brands stainless steel brackets in Indonesia based on Ni and Cr release in artificial Saliva.This study used 80 samples of single maxillary premolar brackets slot .022 standard edgewise system, consisted of 5 groups of brands stainless steel brackets. In each group there are 16 samples divided in 2 subgroup, first sub-groupwithout immersion in artificial saliva, and second subgroup were maintained in artificial saliva immersion and stored at 37⁰ for 30 days. The release of Ni and Cr analyses was quantified by inductively coupled plasma mass spectrometry (ICP-MS). The corrosion resistance is calculated by comparing the number of ions Cr and Ni that release in artificial saliva on the initial number in brakets without immersion. The result shows a significant difference in the level of corrosion resistance between groups based on Ni and Cr release. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T30894
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>