Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Wijayanti
"Latar belakang: Perubahan dimensi dari gigi sulung ke gigi tetap dapat menyebabkan maloklusi pada usia anak. Pada keadaan tersebut dapat dilakukan upaya interseptif untuk mencegah bertambah parahnya maloklusi. Usia 9-11 tahun merupakan usia yang tepat untuk dilakukan interseptif. Pemeriksaan dini pada populasi anak usia gigi bercampur diperlukan untuk mengetahui keadaan maloklusi.
Tujuan: Mengetahui gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Metode: Digital examination dan analisis profil wajah, untuk menentukan klasifikasi maloklusi dan pengisisan kuesioner Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), untuk mengetahui kebutuhan perawatan ortodonti anak.
Hasil: 98 subjek penelitian diperoleh maloklusi kelas I sebanyak 65,3%, maloklusi kelas II sebanyak 31,6% dan maloklusi kelas III sebanyak 3,1%. Keseluruhan populasi yang diteliti terdapat 76,5% membutuhkan perawatan ortodonti dan 23,5% tidak membutuhkan perawatan ortodonti.
Kesimpulan: Subjek dengan maloklusi kelas I paling banyak ditemukan dan sebagian besar subjek membutuhkan perawatan ortodonti.

Background: Dimensional changes from primary teeth to permanent teeth cause malocclusion in children. Interceptive can use for that situation to prevent increased severity of malocclusion. Ages for screening the child population for interceptive orthodontics is 9 to 11 years old. Early examination in mixed dentition age population needed to determine the state of malocclusion.
Purpose: Describe malocclusion and orthodontic treatment need in child 9 to 11 years old in SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta.
Method: Digital examination and analyze of facial profile to know malocclusion and filling of questionnaires orthodontic treatment needs indicator (IKPO) to determine about children orthodontic treatment need.
Result: 98 subject there are 65,3% with class I malocclusion, 31,6% with class II malocclusion, 3,1% with class III malocclusion. From child population about 76,5% need for orthodontic treatment and 23,5% no need for orthodontic treatment.
Conclusions: Subject most found with class I malocclusions and most of subject need orthodontic treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adisty
"Restorasi porselen untuk mahkota tiruan cekat semakin sering dijumpai pada pasien. Masalah yang mungkin terjadi saat bonding braket pada restorasi tersebut adalah braket mudah terlepas dan terjadi kerusakan pada porselen. Penggunaan bahan silane coupling agent dilaporkan dapat meningkatkan kekuatan rekat dan menjaga integritas porselen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kuat rekat geser pada pemakaian tiga bahan silane coupling agentdengan komposisi organosilane yang berbeda. Penelitian ini menggunakan 21 plat porselen yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu yang menggunakan bahan silane coupling agent Monobond-Plus (Ivoclar vivadent), Ultradent Silane (Ultradent product) dan Porcelain Repair Primer (Ormco). Permukaan 21 plat porselen diberi etsa asam fosfat 37%, bahan silane coupling agent dan bahan adhesif Transbond XT (3M Unitek). Setelah braket direkatkan pada permukaan plat porselen dilakukan perendaman dalam aquadest selama 24 jamdan dilakukan pengujian kuat rekat geser dengan alat uji Universal Testing Machine Shimazu AG-5000. Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan kuat rekat geser yang signifikan secara statistik dari ketiga bahan silane coupling agent. Bahan A mempunyai kuat rekat geser tertinggi (12,827 ± 1,228 MPa) dan B mempunyai kuat rekat geser terendah (6,295 ± 0,642 MPa). Ketiga bahan tersebut memenuhi kriteria kuat rekat geser minimal yaitu 6-8 MPa. Skor ARI pada bahan B memperlihatkan permukaan porselen yang bersih, sedangkan bahan A dan C memperlihatkan adanya bahan adhesif yang merekat seluruhnya di permukaan porselen.
Kesimpulan : Bahan A dan C baik digunakan jika porselen akan diganti, sedangkan bahan B baik digunakan jika porselen tidak akan diganti.

Porcelain crown restorations are more often found in patients. Problems that may occur when bonding the bracket on the restoration is easily dislodged bracket and there is damage to the porcelain. The use of silane coupling agent has been reported to increase the bond strength and maintain the integrity of the porcelain. This study aimed to see differences of shear bond strength using three materials of silane coupling agent with different organosilane composition. This study uses 21 porcelain plates that are divided into three groups, they are using silane coupling agent material Monobond-Plus (Ivoclar Vivadent), Ultradent Silane (Ultradent product) and Porcelain Repair Primer (Ormco). The surface of 21 porcelain plates are given a 37% phosphoric acid etching, silane coupling agent material and Transbond XT adhesive (3M Unitek). Once the bracket is bonded on the surface of the porcelain plate and soaking in distilled water for 24 hours and tested the shear bond strength with test equipment Universal Testing Machine Shimazu AG-5000. The results obtained there are statistically significant differences in shear bond strength from three silane coupling agent material. Material A has the highest shear bond strength (12.827 ± 1.228 MPa) and B has the lowest shear bond strength (6.295 ± 0.642 MPa). Those three ingredients meet the minimum criteria of shear bond strength,which is 6-8 MPa. ARI scores on material B showed a clean porcelain surface, while the materials A and C show the presence of bonding adhesive on the entire surface of the porcelain.
Conclusion: Materials A and C both used if the porcelain will be replaced, while materials B is good to use if the porcelain will not be replaced.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahriansyah Maulana Sudirman
"Latar Belakang: Perawatan ortodontik, yang bertujuan memperbaiki maloklusi dan meningkatkan estetika serta fungsi dentofasial, membutuhkan keterlibatan aktif pasien untuk mencapai hasil yang optimal. Peran pasien menjadi semakin penting dengan pendekatan Pengambilan Keputusan Bersama (PKB), yang mendorong partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan perawatan. PKB, didukung oleh komunikasi efektif dan pendidikan manajemen diri, menawarkan peluang untuk meningkatkan kepuasan, kepatuhan, dan hasil klinis, meskipun menghadapi tantangan dalam implementasinya. Pembahasan: PKB memberikan banyak manfaat, termasuk peningkatan pengetahuan pasien, hubungan yang lebih baik antara pasien dan ortodontis, serta penggunaan sumber daya yang lebih efisien. Komunikasi efektif, baik verbal maupun nonverbal, memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan dan menyampaikan informasi secara jelas. Pendidikan manajemen diri juga berkontribusi signifikan, membantu pasien memahami tanggung jawab mereka dalam menjaga kebersihan mulut selama perawatan, mengurangi risiko iatrogenik, dan membentuk kebiasaan sehat jangka panjang. Ringkasan: Peran aktif pasien dalam perawatan ortodontik merupakan kunci keberhasilan perawatan jangka panjang. Dengan memperkuat PKB, komunikasi efektif, dan pendidikan manajemen diri, hasil perawatan dapat ditingkatkan secara signifikan.

Background: Orthodontic treatment, aimed at correcting malocclusion and improving dentofacial aesthetics and function, requires active patient involvement to achieve optimal outcomes. The role of patients has become increasingly significant with the adoption of Shared Decision Making (SDM), which promotes patient participation in treatment decisions. Supported by effective communication and self-management education, SDM offers opportunities to enhance patient satisfaction, compliance, and clinical outcomes, despite challenges in its implementation. Discussion: SDM provides numerous benefits, including increased patient knowledge, stronger relationships between patients and orthodontists, and more efficient resource utilization. Effective communication, both verbal and nonverbal, plays a critical role in building trust and delivering clear information. Self-management education also makes a significant contribution by helping patients understand their responsibilities in maintaining oral hygiene during treatment, reducing iatrogenic risks, and fostering long-term healthy habits. Summary: Active patient involvement in orthodontic treatment is key to achieving long-term success. Strengthening SDM, effective communication, and self-management education can significantly improve treatment outcomes."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Gatot Wijanarko
"Permintaan akan perawatan ortodonti di klinik Spesialis FKG-UI meningkat dengan persentasi yang lebih besar pada usia di atas 16 tahun (67%) dibandingkan usia yang lebih muda. Pada penelitian yang terdahulu ditemukan bahwa pada usia 12 - 14 tahun sudah terjadi maloklusi (89%). Penelitian yang saya lakukan ini merupakan studi epidemiologis dasar untuk melihat prevalensi derajat keparahan maloklusi pada usia 12 - 14 tahun di Jakarta secara "crossectional" 270 sampel diambil secara multi stages cluster random sampling dari populasi remaja di Sekolah Menengah Pertama. Indeks HMAI (Handicapping Malocclusion Assessment index) digunakan untuk menilai derajat keparahan maloklusi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Hasil penelitian memberi gambaran bahwa prevalensi terbanyak adalah malokiusi ringan sampai dengan berat (83,4%). Kelainan terbanyak adalah kasus berjejal (44,9%), gigi renggang (16,7%), gigi mendongos (6,3%), tumpang gigit dalam (6,3%), gigitan silang (12,3%) dan gigitan terbuka (13,2%). Tidak terdapat perbedaan prevalensi pada laki-laki atau perempuan. Tingkat kesadaran akan kebutuhan perawatan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan maloklusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyanti Saidah
"Panjang mandibula dapat diukur dari titik Kondilus ke titik Gnathion melalui gambaran sefalometri lateral. Panjang mandibula juga dapat diprediksi ukurannya menggunakan suatu rumusan, akan tetapi belum diketahui prediksi panjang mandibula pada anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit. Pada penelitian ini akan dibuat rumusan prediksi panjang mandibula melalui analisis vertebra servikalis 3 dan 4 yang terlihat dari gambaran sefalometri lateral.
Tujuan : Mengetahui kemungkinan penggunaan usia skeletal vertebra servikalis dalam memprediksi panjang mandibula anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit kelompok usia 9 sampai 13 tahun.
Material dan metode : Subyek penelitian terdiri dari 2 kelompok, masing-masing 20 anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labioplasti dan palatoplasti pada usia 9-13 tahun. Kelompok pertama digunakan untuk membuat rumusan prediksi panjang mandibula. Kelompok kedua digunakan untuk menguji rumusan yang telah didapat pada kelompok pertama. Usia skeletal ditentukan dari analisis vertebra servikalis 3 dan 4 sesuai dengan metode Mito, 2003. Uji pada kelompok pertama menggunakan analisis regresi yang menghasilkan suatu persamaan linier, dan uji pada kelompok kedua digunakan uji t berpasangan untuk mengetahui perbedaan antara pengukuran langsung dan penghitungan menggunakan rumusan.
Hasil : Dari kelompok pertama, diperoleh rumusan prediksi panjang mandibula 96,079 + 0,516 x usia skeletal (dalam satuan millimeter) dengan R2 sebesar 2,0%. Pada kelompok kedua, terdapat perbedaan bermakna antara sub kelompok pengukuran langsung dan sub kelompok penghitungan menggunakan dengan rumusan (p=0,001).
Kesimpulan : Usia skeletal hanya menyebabkan sebagian kecil variasi panjang mandibula (2%), sedangkan 98%-nya merupakan faktor-faktor risiko lain seperti faktor tumbuh kembang, faktor genetika dan faktor lingkungan. Sehingga persamaan yang diperoleh, tidak dapat digunakan dalam memprediksi panjang mandibula pada anak usia 9-13 tahun dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit.

Introduction : The mandibular length can be measured from Condylus point to Gnathion point using lateral cephalograms. The mandibular length also can be predicted using a formula, but there are still no formulas for predicting the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate. In this study, the formula for predicting mandibular length will be derived by analyzing the third and fourth cervical vertebrae (CV 3 and CV 4).
Objective : The purpose of this study was to assess the possibility of using cervical vertebrae bone age to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty between 9 and 13 years of age.
Methods : The subjects were 2 groups of 40 children, one group to derive a formula for predicting mandibular length, the other to compare actual values and predicted values. The cervical vertebrae bone age was calculated from CV 3 and CV 4 according to the method of Mito, 2003. A regression analysis was used to determine a formula for predicting mandibular length in group one. In group two, an paired t-test was run for 10 subjects with actual values and 10 predicted values subjects.
Results : In group one, the formula for predicting mandibular length was 96,079 + 0,516 x bone age (in millimeters) with R2 of 2,0%. In the group two, there was significant mandibular length difference between actual and predicted values (p = 0,001).
Conclusion : Cervical vertebrae bone age affected only 2% of a mandibular length variation, while 98% were affected by other risk factors such as growth factors, genetic factors and environmental factors. The formula might not be used to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate between 9 and 13 years of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Abigail Gayatri
"Pendahuluan: Hilangnya penjangkaran dan relaps pada perawatan ortodontik menjadi hal yang dapat menyebabkan kegagalan perawatan ortodonti dalam jangka panjang. Pemberian gel emulsi berbahan dasar minyak Zoledronate Bisphosphonate (ZOL) dan campuran Virgin Coconut Oil (VCO) secara topikal memiliki potensi meningkatkan apoptosis osteoklas sehingga dapat dipertimbangkan sebagai alternatif penjangkaran dan pencegahan relaps. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui stabilitas fisik dan kadar obat gel emulsi ZOL dengan VCO sebagai syarat suatu sediaan dan pengembangan obat baru pada penyimpanan suhu ruangan (25°C) dan suhu pengiriman (40°C).
Metode: Gel emulsi disimpan selama 1 bulan pada suhu 25°C dan 40°C. Parameter pengukuran stabilitas, antara lain pH, viskositas, daya sebar, daya lekat, dan kadar obat. Evaluasi dilakukan pada hari pertama, 7, 14, dan 28.
Hasil: Uji repeated measure ANOVA pada penyimpanan suhu 25°C dan 40°C menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada parameter pH, viskositas, daya lekat, dan kadar obat antar waktu penyimpanan (p<0,05). Pada parameter kadar obat pada penyimpanan suhu 25°C dan 40°C tidak terdapat perbedaan bermakna antar waktu penyimpanan (p>0,05). Sementara, pada penyimpanan gel emulsi ZOL antara suhu 25°C dan 40°C dengan uji t-test independent menunjukkan bahwa nilai pH pada hari ke-7 dan 14, nilai viskositas pada hari ke-14, nilai daya lekat pada hari ke-7, dan nilai kadar pada hari ke-7 dan 14 berbeda bermakna (p>0.05). Sebaliknya, nilai viskositas pada hari ke-7, daya sebar, dan daya lekat pada hari ke- 14 tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05).
Kesimpulan: Gel emulsi zoledronate dengan VCO yang disimpan pada suhu 25°C selama 28 hari relatif stabil. Namun perubahan pada nilai pada uji stabilitas relatif konstan dan dalam batas normal mukosa rongga mulut. Gel emulsi zoledronate yang disimpan pada suhu 40°C selama 28 hari disimpulkan tidak stabil.

Introduction: Loss of anchorage and relapse during and after orthodontic treatment could be the leading causes of an unsuccessful result of orthodontic treatment. Various intra and extra oral application have been used to prevent anchorage loss and relapse in orthodontics with some risks and patient dependent compliance. Topical application of gel emulsion Zoledronate Bisphosphonate (ZOL) with Virgin Coconut Oil (VCO) has a potential to increase the apoptosis of osteoclast to prevent undesirable tooth movement. This study aims to analyze and evaluate the physical stability and drug content of gel emulsion zoledronate, VCO, and preservative agent as a new pharmaceutical drug for one month, stored in a room temperature (25°C) and distribution temperature (40°C). The parameters used for evaluation of ZOL gel emulsion are pH value, viscosity, spread ability, adhesive strength, and drug content.
Methods: The ingredients of ZOL gel emulsion consisted of ZOL powder, carboxyl methyl cellulose (CMC), VCO, sodium benzoate, antioxidant butylated hydroxytoluene (BHT), and distilled water. The gel emulsions stored for one month at 25°C and 40°C. The parameters used for stability tests were pH, viscosity, spreadability, adhesive strength, and drug content. The ZOL gel emulsion was evaluated on the 1st day, 7th day, 14th day, and 28th day.
Results: The result of this study showed that ZOL gel emulsion was clinically stable over 28 days of storage at 25°C. As for the ZOL gel emulsion that stored at 40°C on the 28th day the gel was not stable. Also, there was no significant difference between ZOL gel emulsion at 25°C and 40°C storage.
Conclusion: According to the physical stability and drug content test of ZOL gel emulsion, this study concluded that the ZOL gel emulsion stable in the room temperature (25°C) storage. Organoleptic, pH, viscosity, spreadability, adhesive strength value was also stable and the degradation was constant. It is recommended that the storage of ZOL gel emulsion is in room temperature and also well tightly packed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tangkudung, Gerard
"ABSTRAK Tindakan intrusi molar pertama rahang atas menggunakan penjangkar miniscrew yang diletakkan di sisi bukal dan palatal sering digunakan dan memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan distribusi tekanan pada tindakan intrusi molar pertama rahang atas menggunakan miniscrew yang diletakkan dengan ketinggian 3 mm, 5 mm, dan 7 mm dari cementoenamel junction, serta sudut 45° dan 90° dari sumbu gigi. Model tiga dimensi struktur kraniomaksila dibuat dari hasil pemindaian tengkorak kering. Terdapat empat Region of Interest (ROI) yang ditentukan yaitu akar molar pertama rahang atas, alveolar molar pertama rahang atas, miniscrew, dan alveolar miniscrew. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) distribusi tekanan pada tindakan intrusi molar pertama rahang atas, baik pada kelompok ketinggian maupun sudut pemasangan miniscrew, di semua ROI. Gambaran tekanan pada molar pertama rahang atas dan alveolarnya terkonsentrasi di daerah akar palatal dan trifurkasi. Gambaran tekanan pada alveolar miniscrew menunjukkan perbedaan distribusi spektrum warna pada kelompok sudut pemasangan. Tindakan intrusi molar pertama rahang atas dipengaruhi oleh ketinggian dan sudut pemasangan miniscrew.

ABSTRACT
Miniscrew-assisted upper first molar intrusion had been developed recently with high rate of success. The placement of two miniscrews, buccally and palatally, is usually done to deliver such force. This research was conducted to analyse the difference of stress distribution of upper first molar intrusion using two miniscrews, placed at 3 mm, 5 mm, and 7 mm from cementoenamel junction, and 45° and 90° from the tooth axis. A three-dimensional solid model of craniomaxillary structure was rendered and the region of interests (ROI) were defined at the first molar roots, its alveolar, miniscrews, and the bone surrounding the miniscrews. Statistical analysis showed that there were significant differences (p<.05) of Von Mises mean values in the ROIs between all groups of height and angle of placement. Visual analysis showed that the stress distribution in first molar roots were concentrated at the trifurcation and palatal root apex area, while in the bone surrounding the miniscrews, the highest stress distribution was located diversely among separate angles of placement groups. The stress distribution of upper first molar intrusion using miniscrews anchorage was affected by heights and angles of miniscrews placement.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Lestari Yuwono
"Latar belakang: Penggunaan alat ortodonti dikatakan dapat mempersulit prosedur membersihkan gigi sehingga dapat menurunkan kesehatan rongga mulut. Untuk mengatasi hal tersebut, kontrol plak kimiawi lewat penggunaan obat kumur berbahan antimikroba dikatakan dapat memberikan hasil yang lebih superior. Akan tetapi mengingat minimnya penggunaan obat kumur pada masyarakat umum, pasta gigi berbahan antimikroba seperti cetylperydinium chloride (CPC) pun dikembangkan.
Tujuan: Membandingkan efektivitas penggunaan pasta gigi CPC dan kombinasi pasta gigi dan obat kumur CPC pada pasien ortodonti.
Metode: Penelitian randomized, single blind clinical trial dilakukkan dengan membagi 63 subjek penelitian menjadi kelompok pasta gigi CPC (kelompok A) dan kombinasi pasta gigi dan obat kumur CPC (kelompok B). Oral profilaksis dilakukan dua minggu sebelum pemeriksaan pertama (T0). Pemeriksaan ke dua (T1) dan ke tiga (T2) dilakukan tiga dan sembilan minggu paska penggunaan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan klinis (indeks gingiva/GI, indeks perdarahan gingiva saat probing/BOMP, dan indeks plak/PI) dan mikrobiologis (jumlah total bakteri plak lewat RT-PCR).
Hasil: Ke dua kelompok menunjukkan tidak terdapat perbedaan baik pada T0, T1, dan T2 baik secara klinis maupun mikrobiologis.
Kesimpulan: Penggunaan pasta gigi CPC berhasil menunjukkan efektivitas yang setara dengan penggunaan kombinasi pasta gigi dan obat kumur CPC.

Background: Fixed orthodontic appliances may hinder oral hygiene procedures, leading to aggravated overall oral health. Thus, chemical plaque control through the use of mouthrinse containing antimicrobial agents may give better results. Unfortunately, the use of mouthrinse as chemical plaque control is not used as a daily oral hygiene routine in majority. Therefore, toothpaste containing antimicrobial agents, such as ceytlperydinium chloride (CPC), was developed to assist chemical plaque control.
Aims: To study and compare the effectiveness between CPC toothpaste and combination of CPC toothpaste and mouthrinse usage in orthodontic patients.
Methods: A randomized, single blind clinical trial was conducted on 63 subjects wearing orthodontic appliances, divided into CPC toothpaste group (group A) and combination of CPC toothpaste and mouthrinse group (group B). Oral prophylaxis was done two weeks prior first examination (T0). Second (T1) and third (T2) examinations were carried out after three and nine weeks of usage. Both clinical examination (gingival index/GI, bleeding on marginal probing/BOMP, and plaque index/PI) and microbiological examination (total bacterial count thorough RT-PCR) were done in each examinations.
Results: There were no statistically significant differences found between groups either at T0, T1, or T2 both clinically or microbiologically.
Conclusion: CPC toothpaste usage successfully showed an equal effectiveness compared to combination of CPC toothpaste and mouthrinse usage.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Siswoyo
"Latar belakang: Evaluasi asimetri dentokraniofasial merupakan hal yang penting dalam perawatan ortodonti dan bedah ortognati. Evaluasi ini berfungsi dalam diagnosis, rencana perawatan, dan evaluasi hasil perawatan. Penggunaan perhitungan indeks asimetri Katsumata secara tiiga dimensi menjadi hal yang marak digunakan dalam penilaian asimetri dentokraniofasial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan dalam membandingkan hasil diagnosis kesimetrisan dentokaniofasial yang didapatkan dari perhitungan indeks asimetri Katsumata secara tiga dimensi pada CBCT dan analisis komparasi linier dua dimensi Grummon pada sefalogram posteroanterior yang direkonstruksi dari hasil CBCT. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada lima belas CBCT . Sefalogram posteroanterior pada penelitian ini direkonstruksi dari hasil CBCT yang sama. Perhitungan indeks asimetri pada lima belas titik kraniometri dilakukan pada hasil CBCT dan dilakukan pengambilan diagnosis pada masing-masing parameter sesuai dengan tabel Katsumata. Perbandingan linear dua dimensi dilakukan pada lima belas titik yang sama pada sefalogram posteroanterior. Diagnosis ditegakan sesuai standar Grummon. Uji Kohen Kappa dilakukan untuk melihar reliabilitas intereksaminer dan uji McNemar untuk melihar reliabilitas intraeksaminer. Uji Fisher dilakukan untuk melihat beda diagnosis dan Uji Kohen Kappa dilakukan untuk melihat kuat kesepakatan diagnosis. Hasil: Hasil penelitian menunjukan tidak ada perbedaan diagnosis antara kedua metode pada lima belas parameter yang diukur. Tingkat kesepakatan beragam pada lima belas parameter. Kesimpulan : Penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan diagnosis kesimetrisan dentokraniofasial pada metode dua dan tiga dimensi sehingga diharapkan ortodontis dapat menggunakan analisis tiga dimensi secara langsung pada hasil CBCT.

The evaluation of dentoskeletal asymmetry is essential in orthodontics and orthognathic surgery, as it aids in diagnosis, treatment planning, and monitoring treatment outcomes. The asymmetry index developed by Katsumata is widely used in assessing craniofacial asymmetry. This study focuses on the comparative diagnosis between Katsumata asymmetry index in three-dimensional (3D) CBCT evaluations and conventional two-dimensional (2D) analysis comparing linear parameters on 2D reconstructed posteroanterior cephalogram. This research is aimed to widely share information and discuss further about utilization latest  three dimensinonal method especially measurement of asymmetry index by Katsumata for diagnosing dentocraniofacial asymmetry using cone beam computed tomography. A cross-sectional study was conducted on 15 CBCT data imaging. Posteroanterior cephalograms were reconstructed CBCT data imaging. Asymmetry index of fifteen anatomical parameter was measured on CBCT data imaging. Diagnosis was risen according to table of Katsumata.  Comparison of linear measurement on 2D reconstructed posteroanterior cephalogram was done on fifteen parameters. Diagnosis was risen accoding to the standard of Grummon analysis. Kappa Kohens were used to asses interexaminer reliabilities and Mc Nemar tests were used to asses intraexaminer reliabilities. The data was tested using Fisher’s exact test. Results showed no significant differences between diagnosis achieved by comparison in two-dimensional analysis (2D) and Katsumata’s asymmetry index in three-dimensional(3D) analysis. Kappa Kohen analysis was performed to every parameter for analyzing strength agreement in diagnosis between both methods. Better agreements are showed in maxillary parameter than mandible parameter. Newer method to evaluate dentoskeletal asymmetry using measurement asymmetry index in three-dimensional(3D) analysis CBCT is considered to have same result in diagnosis with two dimensional Grummon’s analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sugiartati Arif
"Latar Belakang: Variasi pada posisi nasion dapat mengubah nilai SNA yang berpengaruh secara signifikan pada interpretasi hubungan rahang sebagai contoh, semakin ke anterior atau superior posisi nasion maka semakin kecil nilai SNA yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai ANB dan perubahan nilai estimasi pada pola skeletal rahang. Titik S dan N yang mewakili bidang basis kranium anterior yang berperan dalam menentukan pola skeletal rahang. Garis S-N yang tidak sesuai dapat mempengaruhi hasil pada analisa sefalometri lateral dengan keadaan S-N yang sangat miring terhadap FHP akan menghasilkan ketidaksesuaian hasil analisa sefalometri lateral dengan keadaan morfologi yang sebenarnya sehingga diperlukan alternatif lain dalam menegakkan diagnosis, antara lain dengan menganalisis basis kranium posterior (S-Ba).
Tujuan: Menganalisis hubungan antara inklinasi basis kranium posterior dengan berbagai pola skeletal rahang.
Metode: Subjek penelitian menggunakan sefalogram lateral pada pasien laki-laki dan perempuan berusia 20-45 tahun yang belum melakukan perawatan ortodonti. Sefalogram lateral dalam kondisi baik dan terlihat jelas serta memiliki kemiringan bidang S-N terhadap bidang Frankfort 5°-7° dengan mengelompokkan masing-masing sefalogram berdasarkan pola skeletal rahang kelas I, kelas II dan kelas III.
Hasil: Uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan antara basis kranium posterior terhadap pola skeletal rahang kelas II dan kelas III (p<0,05).
Kesimpulan: Rata-rata inklinasi basis kranium posterior pada kelompok pola skeletal II lebih besar (mandibula retrognati) dibandingkan pola skeletal kelas III (mandibula prognati). Terdapat perbedaan bermakna antara inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas I dan kelas III, kelas II dan kelas III. Selain itu terdapat hubungan inklinasi basis kranium posterior pada pola skeletal kelas II dan kelas III yaitu moderate signifikan pada populasi di Jakarta.

Introduction: Variations in the position of nasion could significantly affect the SNA value, which in turn influences the interpretation of jaw relationships. For example, as nasion position moves more anterior or superior, the SNA value decreases, ultimately affecting the ANB value and altering the estimated jaw skeletal patterns. Points S and N represent the anterior cranial base, a crucial role in determining the skeletal jaw patterns. Improper S-N line can affect lateral cephalometric analysis results, as a highly tilted S-N line relative to the Frankfort Horizontal Plane (FHP) can lead to discrepancies between the analysis results and true morphology. Therefore, alternative methods, such as analyzing the posterior cranial base (S-Ba), are needed to establish a diagnosis.
Objective: To determine relationship between posterior cranial base inclination and skeletal jaw patterns.
Materials and Methods: The study included male and female subjects aged 20-45 who had not undergone orthodontic treatment. Lateral cephalograms with clear visibility and a 5°-7° tilted of the S-N plane relative to the Frankfort plane were selected. The cephalograms were grouped based on the skeletal jaw patterns: Class I, Class II, and Class III.
Results: Spearman correlation tests showed a relationship between the posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns (p<0.05).
Conclusions: The average inclination of the posterior cranial base was greater in the Class II skeletal jaw patterns group (retrognathic mandible) compared to the Class III skeletal jaw patterns group (prognathic mandible). Significant differences were observed in the inclination of the posterior cranial base between Class I and Class III then between Class II and Class III skeletal jaw patterns. Furthermore, there was a moderate significant relationship between posterior cranial base inclination in Class II and Class III skeletal jaw patterns within the Indonesian Subpopulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>