Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Hapsari
"ABSTRAK

Model perencanaan perjalanan telah berkembang dari faktor kuantitatif yaitu pencapaian waktu tersingkat menjadi faktor kualitatif yaitu pencapaian kepuasan. Kepuasan ini didapatkan dari kunjungan ke sejumlah tempat yang dianggap penting, kritis, atau favorit sesuai lingkup model tersebut. Penerapan dalam bidang pariwisata akan membantu wisatawan dalam pembentukan rute perjalanan pariwisata yang layak dan berkualitas tinggi. Model yang dikembangkan pada penelitian ini adalah Team Orienteering Problem with Time Windows (TOPTW). Pada model awal dilakukan penyusunan rute dengan memperhatikan prioritas wisatawan, maksimum total waktu yang dimiliki wisatawan, lokasi awal yang sama dengan lokasi akhir, serta jam operasional destinasi wisata (time window). Penelitian perencanaan perjalanan wisata ini mengubah model awal dengan melakukan penyesuaian kebutuhan wisatawan yang belum terpenuhi dan mencapai tujuan kedua yaitu minimum total waktu yang dibutuhkan. Model usulan memperhatikan waktu kedatangan yang diinginkan wisatawan, lokasi awal dan akhir yang berbeda, serta toleransi waktu yang ditetapkan wisatawan terhadap jam buka dan jam tutup suatu destinasi, serta hari operasional destinasi wisata. Wisatawan juga dapat mengubah waktu kunjungan (service time), skor destinasi yang menunjukan tingkat kefavoritan, dan menentukan waktu kedatangan ke destinasi wisata.

            Metode yang digunakan bertujuan untuk mencari keseimbangan (equilibrium solution) antara hasil yang optimal dengan proses perhitungan yang lebih efisien. Metode pencarian hasil akan diawali dengan kontruksi heuristik untuk mengakomodasi destinasi favorit terlebih dahulu dalam rute, dilanjutkan dengan tahapan local search untuk mendapatkan pengaturan terbaik dari rute-rute tersebut. Metode yang digunakan adalah Iterated Local Search (ILS) yang disesuaikan, yaitu Adjusted ILS (AILS). AILS terdiri dari tahapan permutasi dan reversed untuk setiap rute, dan terakhir adalah perturbasi untuk semua rute yang terbentuk. Pada setiap tahapan akan dibandingkan total skor dan total waktunya, dan yang terbaik akan melanjutkan ke tahapan berikutnya. Setiap tahapan ini akan melalui diverifikasi untuk menjamin kelayakan hasil.

            Selain itu dilakukan perbandingan metode antara AILS dan metode metaheuristik lain seperti Multi-start Simulated Annealing (MSA), Simulated Annealing (SA), Artificial Bee Colony (ABC) dan ILS. Hasil dari uji statistik menyatakan adanya perbedaan hasil di antara metode AILS dan metode-metode lainnya. Metode AILS memiliki keunggulan lebih tingginya skor per destinasi yang berarti lebih banyak destinasi favorit yang dikunjungi yaitu rata-rata sebesar 26% untuk metode MSA, SA, dan ABC, dan 21% untuk metode ILS. Running time pada AILS lebih singkat 537% daripada metode MSA, SA dan ABC, dan lebih lama 42% dibandingkan metode ILS. Semua metode yang dibandingkan tidak memiliki total waktu seperti yang telah dilakukan dalam AILS. Setelah itu dibuat sistem rekomendasi bernama ROSTER (Routing System Recommendation)  untuk kemudahan penggunaan dan pemahaman hasil.


ABSTRACT

 


The travel planning model has expanded from quantitative factor with the achievement of the shortest time, into a qualitative factor with the achievement of satisfaction. The satisfaction is obtained from visiting a number of destinations that are considered important, critical, or favorite. Application in the tourism industry will help tourists to develop an appropriate and high-quality travel routes. The development model in this study is Team Orienteering Problem with Time Windows (TOPTW). In the initial model, route planning considers tourist priorities, the maximum total time owned by tourists, the same initial location as the final location, and the operational hours of each destination or time window. This research develop the initial model by adjusting more demand of tourists and achieve the second goal, the minimum total time. The proposed model consider arrival time of tourists, different initial and final locations, time tolerance from tourists to destination operational hours, and operational days of the destinations. Tourists can also adjust the time of visit or service time, destination scores that indicate the level of favorability, and determine the time of arrival to tourist destinations.

The method used aims to find a balancing (equilibrium solution) between optimal results with  more efficient running time. The method will begin with a heuristic construction to accommodate the favorite destinations in advance on the route, followed by the local search to get the best routes. The method used is modification of Iterated Local Search (ILS) and being Adjusted ILS (AILS). AILS consists of permutation and reversed stages for each route, and perturbation for all routes formed in previous stages. At each stage the total score and total time will be compared, and the best routes will proceed to the next stage. Each of these stages will be verified through to ensure the feasibility of the results.

A comparison method was conducted between AILS and other metaheuristic methods such as Multi-start Simulated Annealing (MSA), Simulated Annealing (SA), Artificial Bee Colony (ABC) and ILS. The results of the statistical test revealed differences in results between the AILS method and other methods. The AILS method has the advantage of higher scores per destination which means more favorite destinations visited are on average 26% for the MSA, SA, and ABC methods, and 21% for the ILS method. Running time on AILS is 537% shorter than MSA, SA and ABC methods, and 42% shorter than ILS method. All the previous methods do not have the minimum total time that was reached in AILS. A recommendation system named ROSTER (Routing System Recommendation) was made for user convenience.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
D2714
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dene Herwanto
"Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian negara, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun kontribusinya sangat besar, kondisi ruang kerja di UKM manufaktur kurang baik dengan tingkat kecelakaan yang tinggi dan produktivitas yang rendah, yang disebabkan karena proses perancangan tempat kerja yang kurang baik akibat tidak adanya framework proses perancangan tempat kerja untuk UKM. Penelitian ini ditujukan untuk mengembangkan framework proses perancangan tempat kerja yang sesuai dengan karakteristik UKM manufaktur di Indonesia guna membantu para pengelola UKM manufaktur dalam merancang tempat kerjanya dengan baik sehingga dapat diperoleh ruang kerja yang aman, sehat, dan produktif.
Pengembangan framework ini diawali dengan tahapan pencarian literatur yang mendapatkan enam artikel yang mencatumkan framework atau metodologi proses perancangan tempat kerja. Tahap selanjutnya adalah melakukan analisis kualitatif terhadap enam framework proses perancangan tempat kerja untuk industri manufaktur yang diperkenalkan oleh para peneliti terdahulu. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa dua dari enam framework dapat digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan framework usulan, yaitu framework yang diperkenalkan oleh Battini et al. (2011) dan Caputo et al. (2019). Analisis kualitatif lanjutan dilakukan untuk mengevaluasi kesesuaian variabel-variabel dan tahapan-tahapan proses perancangan tempat kerja di dalam kedua framework acuan dengan karakteristik UKM manufaktur di Indonesia sekaligus untuk menentukan variabel-variabel dan tahapan-tahapan yang relevan dan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan framework usulan.
Berdasarkan hasil analisis, dikembangkan framework usulan awal yang kemudian diverifikasi melalui wawancara dengan para pengelola UKM manufaktur di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Berdasarkan hasil verifikasi dan paper review lanjutan kemudian framework usulan awal direvisi sehingga menghasilkan framework usulan final yang terdiri dari tujuh tahapan, yaitu: (1) analisis famili produk, (2) pendefinisian siklus produksi, (3) estimasi waktu produksi, (4) perancangan tempat kerja, (5) evaluasi produktivitas, (6) optimalisasi waktu produksi, dan (7) tempat kerja yang aman, sehat, dan produktif. Mengingat ukuran tempat kerja di UKM yang terbatas, maka tahap keempat dirinci menjadi tiga subtahapan, yaitu (1) perancangan stasiun kerja; (2) perancangan layout fasilitas; dan (3) pengaturan kondisi lingkungan fisik (kebisingan, pencahayaan, dan temperatur), yang berarti bahwa perancangan tempat kerja di UKM harus dilakukan secara menyeluruh di area tempat kerja. Pemerincian tahap keempat tersebut menjadi pembeda antara framework usulan ini dengan framework sebelumnya, di mana perancangan tempat kerja pada framework sebelumnya hanya difokuskan pada satu stasiun kerja atau lini assembly saja. Selain itu, framework usulan ini juga mempertimbangkan aspek kondisi lingkungan (kebisingan, pencahayaan, dan temperatur) yang tidak ada dalam framework sebelumnya. Terdapat tujuh variabel yang dipertimbangkan dalam framework usulan ini dalam proses perancangan tempat kerja, yaitu variabel: (1) produk, (2) proses, (3) ruangan, (4) pekerja, (5) ergonomi, (6) material handling, dan (7) kondisi lingkungan fisik. Validasi framework usulan dilakukan melalui studi kasus dengan simulasi pada enam UKM manufaktur di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Hasil studi kasus menunjukkan bahwa penerapan framework ini dapat memperbaiki produktivitas rata-rata sebesar 14,69%, memperbaiki efisiensi jarak dan waktu material handling rata-rata sebesar 23,97% dan 22,46%, menekan risiko kecelakaan kerja hingga 0 (nol), dan memperbaiki kondisi lingkungan fisik (kebisingan, pencahayaan, dan temperatur) hingga 100% sesuai dengan standar atau nilai ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini bisa diterapkan oleh para pengelola UKM dalam merancang tempat kerjanya sehingga dapat diperoleh tempat kerja di UKM manufaktur yang aman, sehat, dan produktif. Meskipun ditujukan untuk membantu pengelola UKM, framework ini juga dapat digunakan oleh para peneliti, konsultan, dan para praktisi yang memiliki minat pada proses perancangan tempat kerja di UKM manufaktur.

Small and Medium Enterprises (SMEs) have a significant contribution to the country's economy, especially in developing countries, including Indonesia. Even though their contribution is significant, the working space conditions in manufacturing SMEs are not good with high accident rates and low productivity, which caused by a poor workplace design process due to the absence of a workplace design process framework for SMEs. This research aims to develop a workplace design process framework that suits the characteristics of manufacturing SMEs in Indonesia to assist manufacturing SME managers in designing their workplaces well so that they can obtain a safe, healthy, and productive workplace.
The development of this framework began with a literature search stage which obtained six articles that included a framework or methodology for the workplace design process. The next stage is to carry out a qualitative analysis of the six workplace design process frameworks for the manufacturing industry introduced by previous researchers. The results of the qualitative analysis show that two of the six frameworks can be used as a reference for developing the proposed framework, namely, the framework introduced by Battini et al. (2011) and Caputo et al. (2019). Further qualitative analysis was carried out to evaluate the suitability of the variables and stages of the workplace design process in the two reference frameworks with the characteristics of manufacturing SMEs in Indonesia as well as to determine the variables and stages that are relevant and can be used as a reference in developing the proposed framework.
Based on the results of the analysis, an initial proposed framework was developed which was then verified through interviews with managers of manufacturing SMEs in the Karawang Regency area, West Java. Based on the results of the verification and follow-up paper review, the initial proposal framework was revised to produce a final proposal framework consisting of seven stages, namely: (1) product family analysis, (2) definition of the production cycle, (3) production time estimation, (4) design workplace, (5) productivity evaluation, (6) optimization of production time, and (7) safe, healthy and productive workplace. Considering the limited size of workplaces in SMEs, the fourth stage is broken down into three sub-stages, namely (1) workstation design; (2) facility layout design; and (3) regulation of physical environmental conditions (noise, lighting, and temperature), which means that workplace design in SMEs must be carried out thoroughly in the workplace area. The detailing of the fourth stage is the difference between this proposed framework and the previous framework, where workplace design in the previous framework only focused on one workstation or assembly line. Apart from that, this proposed framework also considers aspects of environmental conditions (noise, lighting, and temperature) that were not included in the previous framework. There are seven variables considered in this proposed framework in the workplace design process, namely variables: (1) product, (2) process, (3) space, (4) workers, (5) ergonomics, (6) material handling, and (7) physical environmental conditions. Validation of the proposed framework was carried out through case studies with simulations on six manufacturing SMEs in the Karawang Regency area, West Java.
The results of the case study show that the application of this framework can improve productivity by an average of 14.69%, improve the efficiency of distance and material handling time by an average of 23.97% and 22.46%, reduce the risk of work accidents to 0 (zero), and improve physical environmental conditions (noise, lighting, and temperature) up to 100% by standards or threshold values set by the government. The results of this research can be applied by SME managers in designing their workplaces so that they can obtain a workplace in manufacturing SMEs that is safe, healthy, and productive. Although intended to help SME managers, this framework can also be used by researchers, consultants, and practitioners who have an interest in the workplace design process in manufacturing SMEs.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library