Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Huruswati
"ABSTRAK
Rumahsakit merupakan suatu lembaga dan tingkah-laku dilembagakan, dalam arti bahwa rumahsakit merupakan pat di mana masyarakat yang hidup di dalamnya dengan ngkah laku-tingkah laku yang dimilikinya, mempunyai ke_dayaan sendiri yang berbeda dengan masyarakat dan kebu-aan umumnyat ini disebut oleh Foster dan Anderson seba sub-kebudayaan. Paling sedikit ada dua macam sub-kebudayaan dalam ru-Eahsakit, yakni: (1) pasien sebagai penghuni rumahsakit,ian (2) tenaga-tenaga profesional sebagai orang-orang yang ekerja dalam rumahsakit (Foster & Anderson, 1978: 166). `erawat merupakan salah satu dari tenaga rofesional terse-but.Sebelum terjun ke bidang ini, para perawat adalah orang_orang yang bukan ahli, tidak mengetahui sedikit pun mengenai bidang kesehatan. Satu hal yang mereka ketahui, profesi pe_rawat adalah profesi yang dianggap mulia. Berdasarkan moti

"
1985
S12802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bartoven Vivit Nurdin
"Tesis ini mengkaji hubungan antara kepercayaan makanan, perubahan lingkungan, dan malnutrisi di Desa Simawang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Kepercayaan atau keyakinan makanan dilihat sebagai inti kebudayaan, yang menurut Ralph Linton (1954) adalah bagian dari kebudayaan yang sukar berubah. Perubahan lingkungan dalam tulisan ini adalah merosotnya kuantitas dan kualitas sumber makanan, khususnya, ikan bilih Danau Singkarak, sebagai akibat dibangunnya instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ombilin beberapa tahun yang lalu. Malnutrisi dimaksud adalah kesalahan gizi yang berakibat negatif, yakni merosotnya kualitas gizi protein masyarakat setempat, khususnya lapisan masyarakat dengan tingkat sosia/ekonomi rendah atau miskin. Konsep ideologi makanan yang digunakan dalam tulisan ini meminjam konsep ideologi dari Clifford Geertz (1973) tetapi dengan konotasi yang berbeda. Apabila Geertz mendefinisikan ideologi dalam konteks sosial dan politik, maka penulis menggunakannya dalam konteks "standar-standar ideal" makanan yang senantiasa diupayakan untuk dicapai oleh warga masyarakat.
Kajian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi, yang memusatkan perhatian pada rumah tangga sebagai satuan penelitian (Saifuddin 1999), dengan metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara, pencatatan pola konsumsi dan menu makanan dalam rumah tangga (Quandt & C.Ritenbaugh 1986).
Dalam kajian ini ditemukan bahwa kepercayaan makanan dan perilaku makan tidak berubah karena perubahan lingkungan. Hal ini tidak sejalan dengan pendekatan ekologi (Jerome, Kandel, & Pelto 1980) bahwasanya perubahan lingkungan akan mengakibatkan perubahan kebudayaan. Seperti diketahui, kebudayaan dalam pendekatan ekologi hanya ditempatkan sebagai satu bagian dari sistem yang lebih luas. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Simawang melakukan seleksi dan modifikasi unsur-unsur sumber makanan yang tersedia di lingkungan yang telah berubah dan menyiasati bahan makanan tersebut akan menghasilkan rasa enak (lamak) dan wujud makanan yang "sama" dengan standar ideal makanan Minangkabau. Meski nampaknya kebudayaan berperan penting dalam proses "kebertahanan" pola ideal makanan tersebut, penelitian ini tidaklah sepenuhnya berorientasi pada pendekatan kebudayaan dalam kajian antropologi nutrisi (seperti misalnya, Goode 1992; Meigs 1975; Douglas 1971) karena masyarakat Simawang juga beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi dengan Cara menyeleksi dan memodifikasi sumber makanan yang tersedia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T5218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Farida Swasono
"Disertasi ini mengkaji masalah kesehatan jiwa, khususnya masalah stres yang dialami oleh penduduk miskin yang tergusur oleh proyek pembangunan yang dilaksanakan di tempat tinggal mereka. Obyek penelitian adalah masyarakat Marunda Besar di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.
Kajian disertasi ini menunjukkan bahwa kompensasi material berupa biaya pindah tempat, yang kadangkala juga ditambah dengan penyediaan lokasi pemukiman baru sebagai suatu paket penggusuran, tidak menjamin penyelesaian masalah yang menimpa penduduk tergusur itu. Penggusuran ternyata memerlukan penyelesaian yang lebih terintegrasi, cermat dan penuh kepekaan, yang meliputi kesehatan jiwa mereka.
Peningkatan stres dan disintegrasi sosial-budaya terjadi pada pihak yang tergusur karena proyek pembangunan mengakibatkan perubahan lingkungan fisik dan sosial-budaya yang cepat. Terdapat lebih banyak respons maladaptif daripada respons adaptif, karena adanya keterbatasan kemampuan budaya masyarakat dalam beradaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan yang terlalu berat; yang muncul karena kehadiran proyek pembangunan dan segala akibatnya itu_ Karena itu kajian mengenai masalah stres yang dialami oleh masyarakat yang sedang membangun menjadi obyek yang relevan dan merupakan suatu tuntutan bags penelitian antropologi.
Penelitian ini mengacu kepada model teoritis yang dihasilkan oleh D.P. Lumsden mengenai sistem terbuka yang mengalami stres (amnen system under stress) dan teori integrasi-disintegrasi sosial-budaya yang diajukan oleh A.H. Leighton.
Untuk mengukur tingginya stres, digunakan instrumen penelitian Daftar Isian Kesehatan Cornell Medical Index (CMI) yang telah dimodifikasi oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI untuk digunakan di Indonesia. Dengan memodifikasi pula indikator-indikator Leighton agar sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Marunda Besar, dapat dihasilkan perhitungan korelasi antara skor disintegrasi sosial-budaya dan skor CMI.
Dari penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup empat pokok, yaitu:
Pertama, berbagai masalah lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya yang berat yang harus dihadapi oleh Marunda Besar, berpengaruh negatif pada kesehatan jiwa mereka.
Kedua, hasil pengukuran stres yang menggunakan kuesioner CMI menemukan adanya 73 orang dari 166 orang responden (43,98%) yang mengalami gangguan psikofisiologi yang bermakna. Angka persentasi ini cukup tinggi diperbandingkan dengan ukuran WHO yang menentukan prevalensi gangguan jiwa ringan dalam masyarakat pada umumnya hanya berkisar antara 40-80 orang di antara 1000 penduduk (4-8%).
Ketiga, perhitungan korelasi antara skor dieintegrasi sosial-budaya dan skor CMI lebih rendah (0,271) daripada penemuan hasil penelitian Leighton yang menunjukkan korelasi yang lebih tinggi (sekitar 0,45). Korelasi yang lebih rendah ini tampak berkaitan dengan konsepsi tentang nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang menimbulkan rasa aman, yang sebenarnya bersifat semu.
Keempat, pembangunan di lingkungan itu ternyata telah menimbulkan penderitaan psikologi, sosial-budaya dan ekonomi pada penduduk setempat. Hal ini dapat dilihat sebagai kekurangtepatan orientasi pembangunan dalam bentuk model pembangunan yang mengutamakan manfaat ekonomi secara makro, umat kurang memperhatikan kepentingan masyarakat di tingkat mikro, spasial dan sektoral. Kajian tentang stres, disintegrasi sosial-budaya, dan respons maledaptif yang bersumber pada hambatan kemampuan budaya masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam lingkungan, menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat diabaikan dalam penanganan masalah penggusuran. Masalah penggusuran dan kesehatan jiwa harus diperlakukan sebagai bagian integral dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Development Project, Relocation of Kampungs and Stress among the Marunda Besar Population, Northern JakartaThis dissertation examines the mental health problem, particularly stress, suffered by the poor facing relocation of their living quarters. The object of research was the population of Marunda Besar, Kelurahan Marunda, Northern Jakarta.
The research pointed out that material compensation in the form of moving expenses which sometimes was supplemented by the preparation of new location as a relocation package, did not guarantee in solving the problems' faced by the people. It turned out that re-location needed a more integrated 'solution, which is meticulous and subtle, towards the people's mental health.
An increase of the degree of stress and socio-cultural disintegration had been experienced by the relocated people, as the development project in the area created rapid environmental as well as socio-cultural changes. There were more maladaptive responses to these changing physical and socio-cultural environments than adaptive responses, since the existence of the project and its entire consequences had turned to be beyond the people's cultural ability to overcome_ Therefore the study on stress experienced by a developing community becomes a relevant one, which calls for an anthropological research.
This dissertation is based on the theoretical model by D.P. Lumeden concerning an open system under stress and the theory of socio-cultural integration-disintegration put forward by A. H. Leighton.
In measuring the degree of stress, the research instrument Cornell Medical Index (CMI) has been used. The instrument has been modified by the Directorate of Mental Health of the Department of Health of the Republic of Indonesia, for its use in Indonesia. With further modification on Leighton's indicators to make it relevant to the socio-cultural conditions of the Marunda Besar population, a correlation of the score of socio-cultural disintegration and CMI score could be made.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an integral part of the implementation of development projects.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an intregral part of the implementation of development projects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
D356
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melalatoa, Muhammad Junus
"Satu karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa Gayo yang cukup menyeluruh dan mendalam pernah di tulis oleh C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul Hot Gayoland enzinae Bewoners (1903). Karangan yang sudah berumur 80 tahun ini, isinya tentu saja sudah banyak berbeda dengan kenyataan yang ada pada masa kini. Beberapa karangan lain yang berasal dari masa puluhan tahun yang lalu itu tidak ada yang seluas dan semendalam hasil karya C. Snouck Hurgronje tadi; di antaranya hanya membahas unsur-unsur tertentu saja dari kebudayaan Gayo. Kita dapat melihat misalnya buah tangan dari G.A.J. Hazeu, Gasjosch Nederlandsch Woordenboek met Nederlandsch Gajosch Register (1907). Karangan ini hanya merupakan sebuah kamus bahasa Gayo-Belanda, meskipun kamus ini memang memberikan contoh-contoh yang cukup luas berkaitan dengan berbagai unsur kebudayaan Gayo. Buku ini pun, seperti tanpak dari tahun penerbitannya, berasal dari masa tiga-perempat abad yang lalu. Buku-buku atau karangan lainnya yang semua berasal dari awal abad ini sudah cukup langka untuk bisa diperoleh, dan lagi ditulis dalam bahasa asing seperti bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis (Kennedy, I, 1945; hlm. 50). Di antara unsur - unsur kebudayaan Gayo yang banyak mendapat perhatian ialah sastra. Namun sebagian terbesar dari terbitan mengenai sastra Gayo ini tidak disertai pembahasan atau analisa. Banyak di antaranya hanya merupakan langkah pendokumentasian, sebagai salah satu tindakan untuk menyelamatkan unsur-unsur kesusastraan tersebut dari kepunahan. Buku-buku tersebut masih ditulis dalam bahasa aslinya yang hanya dapat difahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Gayo saja. Seorang ahli folklor, James Danandjaja, menyatakan bahwa terbitan semacam itu menyerupai koleksi kupu-kupu dalam kotak kaca yang merupakan hiasan belaka (Kompas, 5 Nbpember 1973). Kami juga melihat bahwa berbagai karangan tentang kebudayaan Gayo pada masa terakhir ini banyak mengungkap gejala-gejala kebudayaan sebagai pola ideal. Apa yang dihidangkan pada masa ini lebih kurang sama dengan apa yang ditulis oleh C. Snouck Hurgronje 8O tahun yang lalu? "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1983
D211
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P.M. Laksono
"Pemahaman mengenai struktur masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh terobosan unsur-unsur sosial budaya Barat terhadap Jawa. Berkenaan dengan hal ini, maka abad XIX merupakan periode yang sangat penting diperhatikan. Sebab pada masa ini berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat Jawa yang digerakkan oleh penumpangan kekuasaan langsung kolonial Belanda di Jawa. Peneliti bermaksud menganalisis tradisi dalam kerangka suatu struktur masyarakat. Disini tradisi ditempatkan sebagai bagian dinamis dalam struktur itu. Pendekatan serupa ini tentu saja belum jelas, karena struktur masyarakat yang merupakan medan bagi berlakunya tradisi sering ditafsirkan secara berlainan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1984
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ataupah, Hendrik, authro
"ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui cara-cara peternak mengelola sapi supaya dapat mengatasi masalah-masalah kekurangan makanan ternak, terutama pada musim kemarau. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui keputusan-keputusan apakah yang biasa diambil peternak untuk mengatasi kekurangan makanan ternak, faktor-faktor apa yang mendorong peternak untuk mengambil keputusan, dan apakah akibat dari kegiatan-kegiatan peternak terhadap lingkungan.
Peternak-peternak di lokasi penelitian ini bekerja dari ekosistem sabana Timor yang ditentukan dan dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks diantara : musim hujan yang singkat dengan curah hujan yang tidak menentu, musim kemarau yang panjang, tanah list yang mudah mengalarri erosi, tanah kapur yang poreus dan tanah karang berbatu-batu yang kering dalam musim kemarau, sungai-sungai musim yang tidak tetap debit airnya, pertumbuhan vegetasi yang targantung pada keadaan cuaca, dan pertambahan penduduk yang tidak memperdulikan daya dukung lingkungan dalam mencari nafkah. Pengelolaan ternak yang tidak dikaitkan dengan pengelolaan padang rumput, sedangkan padangrumput sabana diandalkan sebagai sumber makanan ternak, merupakan titik ancang dari proses kerusakan lingkungan yang didalangi peternak.
Padang rumput menjadi arena kegiatan peternakan oleh peladang, tukang-tukang di pe desaan,pedagang,penyiar agama, pegawai negeri, dan sebagainya sehingga daya dukung lingkungan makin menurun. Ketika rumput alam makin habis oleh sapi, tidak segera dilakukan kegiatan penanaman rumput dan pohon-pohon lain untuk diberikan sumber makanan ternak, dan tidak dilakukan pengelolaan padang rumput yang baik, tetapi justru peternak berpaling pada pohon - pohon yang relatif sedikit jumlahnya. Padang rumput, hutan, dan tanah menjadi rusak, dan terjadi suatu rangkaian kerusakan lingkungan, sehingga manusi a dan sapi terpengaruh. Kawanan sapi yang lapar menyerbu ladang, sawah, dan tanaman pekarangan. Petani inempertahankan .pertaniannya dengan pagar yang tinggi dan kokoh dengan menggunakan kayu, pelepah lontar dan gebang, bambu, dan sebagainya sehingga proses perusakan hutan berlangsung.
Peternakan sapi yang dinaksudkan sebagai pengganti perdagangan cendana sebagai tulang punggung perekonomian Timor ternyata merupakan faktor perusak lingkungan meskipun demikian Pemerintah berusaha agar sapi tetap d.ipelihara rakyat, tetapi kebebasan sapi harus dibatasi, diberikan makanan dan minuman yang cukup, serta kualitasnya diper baiki. Pembatasan kebebasan sapi antara lain dilakukan relalui pembuatan pagar desa, tetapi segera timbul parselisihan antara peternak yang masih melepaskan sapi dengan penduduk desa yang membuat pager pencegah sapi. makanan utama sapi yang diikat terdi ri atas lantoro.
Kehadiran lantoro yang pada mulanya ditanam untuk penyuburan tanah dan anti erosi tetapi yang kini menjadi sumber makanan penggemuk sapi merangsang petanimenjadi peternak dan peternak meningkatkan Jumlah sapinya yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Peternak dapat memutuskan untuk melakukan peternakan dengan mengikat sapi dan sekaligus melepaskan sapi lainnya, tetapi keputusan itu menimbulkan masalah tenaga kerja dan masalah lainnya yang tidak dapat dipecahkan peternak sendiri.
Bimbingan dan penyuluhan untuk perbaikan kualitas sapi melalui kontes sapi dan inseminasi buatan dilakukan pemerintah dan diikuti peternak, tetapi menimbulkan masalah penyediaan makanan ternak.
Penanggulangan kekurangan air dilakukan melalui penggalian sumur, pembuatan cekdam, dan penggunaan batang pi-sang. Keadaan curah hujan yang tidak teratur, jenis tanah, dan kenampuan teknologi peternak yang terbatas menghambat usaha penanggulangan kekurangan air ini.
"
1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Betty Julinar
"Dalam bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa skripsi ini berusaha untuk mengetahui aktivitas dari kelompok marga orang Batak Toba di Jakarta. Untuk apa sebenarnya dibentuk kelompok marga orang Batak Toba ini, sebab di daerah asal sendiri di Kabupaten tapanuli Sumatera Utara, tidak terdapat kelompok marga. Dengan melihat bentuk kehidupan dan latar belakang buaya yang dimiliki oleh orang batak Toba serta melihat aktivitas yang ada pada kelompok marga ini. Pada dasarnya kehidupan orang Batak Toba tidak dapat lepas dari latar belakang kehidupan yang merka bawa dari daerah asal. Lingkungan kampung halaman serta adat istiadat yang mereka miliki pada waktu di daerah. Orang Batak sejak nenek moyang hidup secara berkelompok, dimana hal ini dapat dilihat dari bentuk huta yang mereka buat..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1984
S12908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayu Rahayu Ratna P
"ABSTRAK
Lingkungan bisnis tengah mengalami perubahan yang amat cepat yang
dikarakteristikan penuh dengan ketidakpastian, mengejutkan dan lebih kompleks.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 masih terasa
dampaknya hingga saat ini, akibat krisis tersebut sektor perbankan mengalami
kehancuran.
Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap bank sebagai penghimpun dana
hingga beramai-ramai menarik uang simpanannya, menyebabkan rush di banyak
bank. Sebagian besar bank terpaksa dilikuidasi oleh pemerintah, namun ada pula yang
justru malah berkembang pesat di tengah krisis.
Bagi Bank NESP yang niampu bertahan dan malah berkembang di saat krisis,
kebudayaan korporat diyakini inenjadi andalan mereka untuk tetap bertahan.
Orientasi perusahaan yang mengutamakan pelayanan yang terbaik menjadi fokus
penting bagi seluruhjajaran manajemen.
Tesis ini mencoba mengangkat dan memahami bagaimana kebudayaan koi-porat
dioperasionalisasilcafl dalam perusahaan, baik sebagai suatu sistem aturan yang
mengatur perilaku karyawan hingga akhirnya dioperasionalisasikan menjadi strategi
perusahaan untuk mencapai tujuan bisnisnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang dioperasionalisasikan oleh Bank
NISP mampu membuat Bank NTSP bertahan menghadapì luisis ekonomi bahkan
mengalami perkembangan. Lebih jauh lagi kebudayaan korporat ini mampu menjaga
loyalitas nasabahnya
"
2002
T6143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Buchari Lapau
"ABSTRACT
The main purpose of the study was to determine which characteristics and factors affect the pattern of treatment-seeking behavior in the sub district. The achievement of this objective was intended to add knowledge of treatment-seeking behavior to existing knowledge on both behavioral epidemiology and health services research as well as to provide useful information to formulate interventions in extending treatment services from the Lilirilau Sub district Health Center to the whole sub district.
In early 1982, the data were collected from a representative sample of 1347 households with 472 sick household members. The data were analyzed using univariate, bivariate and discriminant analysis.
The main results of the study are: The decision maker who preferred the sick person to be treated at home was more likely to choose home treatment than to seek treatment, to seek treatment from traditional healers than modern health services, and from paramedical personnel than the health center. Those who knew about the medications needed for a sickness were more likely to conduct self-treatment than choose no treatment. Most of those living more than 3 km from the health center were more likely to choose the policlinic and health promoter in the village concerned than the sub district health center.
Most of those from families with lower wealth and with occupations in the FHLN (farmers, housewives, laborers and no job) category were more likely to seek treatment from traditional healers than modern health services, and to seek treatment from paramedical personnel than at the health center when compared with those from families with higher wealth and with occupations in the GEMS (government employees, businessmen, merchants and skilled workers) category. The decision makers for under-fives were more likely to-seek treatment from traditional healers than modern health services. Most of those with occupations in the FHLN category and who were uneducated were more likely to seek treatment at the policlinic and health promoter in the village concerned than at the health center. The household head was most often the decision maker for sick persons of all ages, while the housewife had a more important role in making decisions for children under-five than older children.
The preference to be treated at home that was associated with knowledge about the medication needed and may be related to the habits of the community, while that associated with the age of the sick person may be related to the beliefs in the community. In line with these habits and beliefs, the sick persons undertake home treatment or seek treatment from paramedical personnel and traditional healers. Thus, the health center should undertake interventions to make self-treatment safe and effective. In addition, the health center should consider and implement alternative interventions so that both paramedical personnel and traditional healers extend treatment services safely and effectively. This intervention should be directed especially toward the target population: those with occupations in the FHLN category in the community, and household heads and housewives at the household level."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
D186
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>