Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Gaffar Hamzah
"Latar Belakang : Tingkat akurasi EUS FNA dalam diagnosis lesi pankreas diduga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan EUS FNA untuk diagnosis lesi pankreas pada populasi Indonesia.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari data rekam medis pada januari 2012-Juli 2022 atau total seluruh subjek yang dilakukan EUS FNA karena lesi pankreas di PESC RSCM. Pasien dengan data tidak lengkap dan lesi peripankreas tidak diikutkan. Karakteristik dasar subjek penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis bivariat menggunakan uji chi square dilakukan dengan masing-masing variabel bebas terhadap keberhasilan diagnostik EUS FNA untuk menghitung nilai odds ratio (OR). Variabel dengan nilai p< 0,25 pada analisa bivariat dimasukkan ke analisa multivariat dengan regresi logistik.
Hasil : Sebanyak 201 pasien dengan lesi pankreas yang menjalani pemeriksaan EUS FNA diikutkan dalam penelitian. Angka keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas adalah sebesar 77,11%. Ukuran lesi ³3 cm diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis EUS FNA berdasarkan analisis bivariat (OR 2,46; IK95 1,25-4,86; p= 0,008). Analisis multivariat menunjukan bahwa ukuran lesi ³3 cm (OR 18,95; IK95 4,77-75,29; p = 0,000),  lokasi lesi di korpus (OR 2.82; IK95 1.03-7.77; p= 0,04) dan ukuran jarum 22G (OR 7.49; IK95 1.87-29.97; p= 0.004) diasoasikan dengan peningkatan keberhasilan diagnosis. 
Kesimpulan : Ukuran lesi, lokasi lesi dan ukuran jarum, merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan diagnostik EUS FNA pada lesi pankreas.

Background: Diagnostic accuracy of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion are affected by several factors. Clinical study regarding these factors had not been done in Indonesia. This study aims to study factors affecting the diagnostic yield of EUS FNA in diagnosing pancreatic lesion in Indonesian population. 
Method: This study is a cross-sectional study of medical record data in January 2012-July 2022 or a total of all subjects who underwent EUS FNA due to pancreatic lesions at PESC RSCM. Patient with incomplete data and peripacreatic lesion was excluded. Clinical characteristics of sample is presented in a table. Bivariat analysis was conducted with chi square test between independent factors and diagnostic success of EUS FNA to obtained the odds ratio (OR). Factors with p-value above 0,25 are included for multivariat analysis using logistic regression.  
Result: A total of 201 patients underwent EUS FNA was included in this study. Success rate of diagnosing pancreatic lesion using EUS FNA was 77,11%. Lesion size ³3 cm increased the odds for diagnostic success based on bivariat analysis (OR 2,46; 95% CI 1,25-4,86; p = 0,008). Multivariate analysis showed that the lesion size ³ 3 cm (OR 18.95; CI95 4.77-75.29; p = 0.000), the location of the lesion in the corpus (OR 2.82; CI95 1.03-7.77; p = 0.04) and needle size 22G (OR 7.49; CI95 1.87-29.97; p= 0.004) was associated with an increase in diagnostic yield.
Conclusion: The size of the lesion, the location of the lesion and the size of the needle, are factors that influence the diagnostic yield of EUS FNA in pancreatic lesions
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Yusran
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan kolonoskopi memerlukan persiapan dan usaha yang kompleks dengan melibatkan modifikasi diet dan pemilihan laksatif untuk meningkatkan kualitas bersihan kolon. Penggunaan berbagai regimen dan cara pemberian pencahar masih menjadi bahan diskusi para ahli hingga sekarang. Polyethylene glycol merupakan salah satu regimen pencahar yang dapat diberikan dalam dosis terbagi maupun dosis tunggal dalam satu waktu.
Tujuan: Mengetahui perbedaan bersihan kolon pada polyethylene glycol dosis tunggal dengan dosis terbagi pada persiapan kolonoskopi
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan di Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Juni hingga Agustus 2018. Pasien yang dilakukan tindakan kolonoskopi dijadikan sampel dengan pemilihan secara konsekutif. Pasien dengan obstruksi kolon, penyakit jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati berat, riwayat reseksi usus besar, alergi terhadap polyehtylene glycol, dan pasien yang tidak bersedia mengikuti penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian. Penilaian bersihan kolon dilakukan oleh beberapa staf gastroenterologi yang telah ditunjuk menggunakan Boston Bowel Preparation Score (BBPS) tanpa mengetahui cara pemberian preparat saat persiapan kolonoskopi pasien.
Hasil: Sebanyak 76 subyek penelitian, 38 pada kelompok pemberian dosis tunggal dan 38 pada kelompok pemberian dosis terbagi, diikutsertakan dalam uji klinis. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara metode pemberian polyethylene glycol terhadap tingkat bersihan kolon pada pasien kolonoskopi.
Simpulan: Bersihan kolon pada regimen pemberian polyethylene glycol dosis terbagi dan dosis tunggal pada persiapan kolonoskopi memiliki nilai efikasi yang sama.

ABSTRACT
Introduction: Colonoscopic examination is a unique examination requiring various plans and efforts including diet modifications and laxative choices in order to maximize colon adequacy. A plethora of regiments and methods have been served as a discussion topic for experts. Polyethylene glycol is one of the laxative regiments used in multiple administration method, either split dose or single dose
Aim: Comparing bowel cleanliness between polyehtylene glycol given in single dose and split dose on patients undergoing colonoscopic preparation.
Methods: Single blinded study was done in Gastroenterology Division, Internal Medicine Department of Doctor Cipto Mangunkusumo National General Hospital during June to August 2018. Patients undergoing colonoscopic preparations weree chosen as research samples using consecutive method. Patients with colon obstruction, heart disease, kidney function decline, severe liver damage, history of colon resection, allergic to polyehtylene glycol, or disagree to join the study was excluded. Bowel cleanliness was assessed by multiple gastroenterologist staff using Boston Bowel Preparation Score (BBPS) without knowing patients laxative regiment
Results: There were 76 study samples, 38 of each study groups, included in this study. There were no significant difference of efficacy between polyehtylene glycol administration method with bowel cleanliness in colonoscopic examination patients.
Conclusion: Bowel cleanliness on polyehtylene glycol given in split dose and single dose were of similar efficacy"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Florencia
"Penyakit gastroenterologi masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia, dengan kolitis menempati urutan kelima dari sepuluh penyakit terbanyak pada pelayanan rawat jalan. Kesamaan gambaran klinis dan hasil pemeriksaan diagnostik kolitis TB dan Inflammatory Bowel Disease (IBD) menyebabkan kesulitan diagnosis. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran diagnostik Interferon-Gamma Release Assay (IGRA) metode Elispot pada pasien terduga kolitis tuberkulosis di Indonesia. Dilakukan studi potong lintang dan acak dengan penyajian data deskriptif analitik. Subjek penelitian merupakan 60 pasien terduga kolitis tuberkulosis yang mengunjungi poliklinik gastroenterologi di RSUPNCM bulan April-Oktober 2018. Sampel yang digunakan adalah darah vena. Hasil uji diagnostik IGRA metode Elispot dengan baku emas pemeriksaan histopatologi adalah sensitivitas 83,3%, spesifisitas 57,4%, NPP 17,3%, dan NPN 96,9%. Hasil uji diagnostik IGRA metode Elispot dengan baku emas pemeriksaan kolonoskopi adalah sensitivitas 53,9%, spesifisitas 55,3%, NPP 25%, dan NPN 81,3%. Hasil uji diagnostik IGRA metode Elispot dengan baku emas pemeriksaan kolonoskopi dan histopatologi adalah sensitivitas 57,1%, spesifisitas 60,5%, NPP 28,6%, dan NPN 81,3%. Hasil uji diagnostik IGRA metode Elispot dengan baku emas pemeriksaan histopatologi, kolonoskopi, dan evaluasi klinis akhir adalah sensitivitas 100%, spesifisitas 59,3%, NPP 21,3%, dan NPN 100%. Tes IGRA Metode Elispot dapat digunakan sebagai pemeriksaan penapisan.

Gastroenterology diseases are still a major health problem in Indonesia, with colitis ranks fifth among the top ten diseases in outpatient care. The similarity of clinical features and diagnostic results of TB and Inflammatory Bowel Disease causes difficulties in diagnosis. This study is aimed to determine the diagnostic value of Interferon-Gamma Release Assay (IGRA) with Elispot Method in patients with suspected tuberculous colitis in Indonesia. It is a cross sectional and randomized study, shown as an analytic descriptive report. There were 60 patients with suspected tuberculosis colitis, visiting gastroenterology polyclinic at RSCM from April-October 2018. The sample was venous blood.  Diagnostic results of IGRA with Elispot Method with histopathology test as the gold standard are sensitivity 83,3%, specificity 57,4%, PPV 17,3%, and NPV 96,9%. As with colonoscopy as the gold standard are sensitivity 53,9%, specificity 55,3%, PPV 25%, dan NPV 81,3%. Meanwhile, with colonoscopy and histopathology test as the gold standard are sensitivity 57,1%, specificity 60,5%, PPV 28,6%, dan NPV 81,3%. And, diagnostic results  of IGRA with Elispot Method with colonoscopy, histopathology test, and final clinical judgement as the gold standard are sensitivity 100%, specificity 59,3%, PPV 21,3%, dan NPV 100%. IGRA with Elispot Method can be used as screening test."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siskawati Suparmin
"Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia, khususnya di Indonesia. Tuberkulosis umumnya menyerang paru (TB paru), namun bisa juga menyerang organ lain (TB ekstraparu), seperti kolitis TB. Diagnosis kolitis TB menjadi tantangan karena klinis dan hasil pemeriksaannya menyerupai penyakit lain, seperti inflammatory bowel disease (IBD). Studi ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hasil PCR-TB feses pada pasien teduga kolitis TB dan uji diagnosis pemeriksaan PCR-TB feses jika dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Metode: Dilakukan studi uji diagnostik pada 60 subjek terduga kolitis TB di RSCM yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi pada bulan Februari-April 2019. Ekstraksi DNA dari feses dilakukan dengan menggunakan QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit dan PCR dilakukan dengan kit artus® M. tuberculosis RG dengan target gen 16s rRNA. Hasil pemeriksaan PCR-TB feses dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Hasil: Terdapat 60 subjek terduga kolitis TB yang disertakan dan dianalisis dalam penelitian ini. Diperoleh 26 (43,3%) hasil PCR-TB feses positif, yang terdiri atas 7/8 subjek kolitis TB dan 19/52 subjek bukan kolitis TB. Dari hasil penelitian ini, didapatkan nilai diagnostik PCR-TB feses dibandingkan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis memiliki sensitivitas 87,5%, spesifisitas 63,5%, NPP 26,9%, dan NPN 97,1%. Simpulan: Pemeriksaan PCR-TB feses memiliki sensitivitas baik namun spesifisitas yang rendah untuk diagnosis kolitis TB sehingga lebih baik sebagai pemeriksaan penyaring untuk kolitis TB.

Background: Tuberculosis (TB) is a major health problem in the world, particularly in Indonesia. Tuberculosis commonly affects lung (pulmonary TB), but it can also affect other organs (extrapulmonary TB), such as TB colitis. The diagnosis of TB colitis has become a challenge because the clinical manifestation and its tests result can mimic other diseases, such as inflammatory bowel disease (IBD). This study was aimed to find the proportion of stool TB-PCR result in patients which suspected with TB colitis and the diagnostic value of stool TB-PCR if compared to colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Methods: Diagnostic study was done in 60 subjects suspected for TB colitis in RSCM which underwent colonoscopy and histopathology examination in February-April 2019. The DNA extraction from the stool was done by using QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit and TB-PCR was done with artus® M. tuberculosis RG PCR kit which targeting 16s rRNA gene. The result of stool TB-PCR then was compared to the result of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Results: There were 60 subjects suspected with TB colitis recruited and analyzed in this study. There were 26 (43,3%) positive stool TB, consist of 7/8 subjects with TB colitis and 19/52 subjects with non-TB colitis. From this study, the diagnostic value of stool TB-PCR that was compared to combination of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation were: sensitivity 87,5%, specificity 63,5%, positive predictive value (PPV) 26,9% and negative predictive value (NPV) 97,1%. Conclusion: Stool TB-PCR has good sensitivity but low specificity for diagnosing TB colitis. Therefore, stool TB-PCR is better utilized for TB colitis screening."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Januarti Sururi
"Kolitis adalah salah satu penyakit saluran cerna yang sering dijumpai di Indonesia. Peptida antimikroba human beta-defensin 2 (hBD-2) merupakan bagian dari komponen sistem imun alamiah sistem gastrointestinal yang diteliti perannya dalam patofisiologi kolitis. Penelitian ini bertujuan memperoleh kadar hBD-2 feses pada pasien kolitis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, serta apakah terdapat perbedaan kadarnya pada kolitis infeksi dan non-infeksi. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada subjek kolitis yang direkrut secara konsekutif di poliklinik Gastroenterologi dan Pusat Endoskopi Saluran Cerna RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, pada bulan Juni – Oktober 2020. Sampel feses dari subjek diperiksakan kadar hBD-2 dengan metode ELISA, feses rutin, darah samar, serta biakan di Laboratorium Departemen Patologi Klinik RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Kadar hBD-2 feses subjek kolitis infeksi dibandingkan dengan kadar hBD-2 feses subjek kolitis non-infeksi. Diperoleh 26 subjek kolitis infeksi dan 20 subjek kolitis non-infeksi dengan median kadar hBD-2 feses berturut-turut adalah 40,39 (5,11 – 555,27) ng/ml dan 36,35 (1,75 – 260,34) ng/ml. Terdapat kecenderungan kadar hBD-2 feses yang tinggi pada subjek kolitis tuberkulosis dan kolitis jamur dengan median berturut-turut 460,55 (30,94 – 555,27) ng/ml dan 340,45 (283,01 – 361,95) ng/ml. Tidak terdapat perbedaan kadar hBD-2 feses yang bermakna antara kolitis infeksi dan non-infeksi (p > 0,05). Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah subjek lebih banyak untuk kelompok kolitis tuberkulosis dan kolitis jamur.

Colitis is one of the most common gastrointestinal diseases in Indonesia. Antimicrobial peptide human beta-defensin 2 (hBD-2) is a part of gastrointestinal innate immunity which roles in the pathophysiology of colitis are still being studied. This study aims to determine fecal hBD-2 concentration in colitis at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, and whether there is significant difference of its concentration in infective and non-infective colitis. A cross-sectional study was conducted on colitis subjects recruited consecutively at Gastroenterology Clinic and Gastroenterology Endoscopy Center of RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, in June - October 2020. Stool samples collected were tested for hBD-2 concentration using ELISA method, routine fecal analysis, fecal occult blood test, and culture at Clinical Pathology Laboratory of RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Fecal hBD-2 concentration was compared between infective and non-infective colitis. There were 26 subjects with infective colitis and 20 subjects with non-infective colitis. Fecal hBD-2 concentrations of the two groups were 40,39 (5,11 – 555,27) ng/ml and 36,35 (1,75 – 260,34) ng/ml. Fecal hBD-2 concentrations in tuberculous colitis and fungal colitis tended to be high, 460,55 (30,94 – 555,27) ng/ml and 340,45 (283,01 – 361,95) ng/ml. There was no significant difference of fecal hBD-2 concentrations in infective and non-infective colitis (p > 0,05). It is recommended to conduct further study with more subjects regarding group tuberculous colitis and fungal colitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Yugo Hario Sakti Dua
"Latar Belakang. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) masih menjadi masalah di Indonesia. Penanganan yang tepat serta identifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi lamanya perawatan dapat mengurangi pembiayaan. Di Indonesia belum ada studi secara terkait faktor-faktor yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarahan SCBA.
Tujuan.Mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarahan SCBA.
Metode. Desain penelitian kohort retrospektif dilakukanpada yang datang dengan perdarahan SCBA yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pengambilan sampel secara konsekutif dan dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Mann Whitney, hasil yang signifikan dilanjutkan analisis multivariat regresi multiple linier.
Hasil. Penelitian melibatkan 133 subjek dengan rerata usia subjek 51 tahun (minimal 20 tahun, maksimal 83 tahun), subyek penelitian 57,1% subjek berjenis kelamin laki-laki. Analisis bivariat Endoskopi kurang dari 24 jam, Hemodinamik subyek, infeksi, gagal jantung, dan keganasan didapatkan memengaruhi lamanya perawatan pada pasien perdarahan SCBA. Analisis multivariat mendapatkan keganasan, hemodinamik, infeksi dan lama tunggu endoskopi merupakan variabel yang paling berpengaruh dengan R square: 0,374.
Kesimpulan. Endoskopi lebih dari 24 jam, hemodinamik subyek, infeksi selama perawatan, gagal jantung dan keganasan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarhan SCBA.

ABSTRACT
Background. Upper Gastrointestinal bleeding are prevalent cause of hospitalization. Risk factor identification of length of stay can minimize the cost. In Indonesia, there is no specific study about risk factor identification that prolong length of stay in upper Gastrointestinal bleeding patient.
Objectives. To identification factors that influence length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding
Methods. This is a retrospective cohort study, analyzing medical record upper gastrointestinal bleeding patient in Cipto Mangunkusumo Hospital. Consecutive sampling was performed with bivariate analysis is performed by using Mann Whitney analysis and Multivariate analysis by Regression linier.
Result. A total of 133 subject enrolled in this study, withmedian age of subject was 51 years (minimal 20 years, maximal 83 years), male (57,1%). In bivariate analysis, late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection, heart failure, and malignancy in gastrointestinal tract influence the length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding. Multivariate analysis found late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection and malignancy has major impact.
Conclusion. Late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection, and malignancy in gastrointestinal tract influence the length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Kurniawan
"Latar Belakang. Keganasan merupakan etiologi utama ikterus obstruktif selain batu. EUS memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dibandingkan MRCP dalam mendeteksi batu saluran empedu. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membandingkan EUS dan MRCP pada kasus keganasan saluran bilier dan pankreas. Nilai diagnostik ini penting untuk meningkatkan kecepatan dan ketepatan diagnostik sehingga dapat diambil tatalaksana yang paling sesuai.
Tujuan. Mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas EUS dibandingkan MRCP pada pasien ikterus obstruktif karena keganasan.
Metode. Studi observasional analitik dengan mengumpulkan data rekam medik pasien usia > 18 tahun di RSCM yang terdiagnosis ikterus obstruktif diduga karena keganasan tahun 2014-2018 dan telah dilakukan pemeriksaan EUS dan atau MRCP sebelum dilakukan ERCP (baku emas). Dilakukan identifikasi hasil EUS, MRCP, dan ERCP, kemudian dilakukan analisis dengan IBM SPSS Statistic 20 untuk uji diagnostik.
Hasil Utama. Terdapat 54 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dimana 53,7% di antaranya adalah laki-laki dengan rerata usia 56,48 ± 11,37 tahun. Tumor kaput pankreas merupakan jenis keganasan yang paling banyak dijumpai (50%) berdasarkan pemeriksaan ERCP. Nilai sensitivitas, spesifistas, NDP, NDN, RKP, RKN, dan akurasi untuk EUS masing-masing adalah 96%, 60%, 96%, 60%, 2.40, 0.07, dan 93%. Untuk MRCP, nilai masing-masing adalah 90%, 40%, 94%, 29%, 1.50, 0.26, 85%. Sedangkan nilai AUC dari EUS adalah 78% (IK95% 51%-100%), p = 0,041. Untuk MRCP, nilai AUC yang diperoleh adalah 64,9% (IK95% 36,2%-93,6%), p = 0,276.
Simpulan. EUS memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan MRCP pada pasien ikterus obstuktif karena keganasan.

Background Malignancy is the main etiology of obstructive jaundice besides stones. EUS has a better diagnostic value than MRCP in detecting bile duct stones. In Indonesia, there are no studies comparing EUS and MRCP in cases of biliary and pancreatic malignancies. This diagnostic value is important to improve the speed and accuracy of the diagnostic so that the most appropriate treatment can be taken.
Methods Analytic observational study by collecting medical records of patients aged> 18 years in RSCM diagnosed with obstructive jaundice suspected due to malignancy in 2014-2018 and EUS and / or MRCP examination before the ERCP (gold standard) was performed. EUS, MRCP, and ERCP results were identified, then an analysis was performed with IBM SPSS Statistics 20 for diagnostic tests.
Results There were 54 subjects who met the inclusion and exclusion criteria, of which 53.7% were men with an average age of 56.48 ± 11.37 years. Pancreatic head tumor is the most common type of malignancy (50%) based on ERCP examination. The sensitivity, specificity, PPV, NPV, LR+, LR-, and accuracy values for EUS are 96%, 60%, 96%, 60%, 2.40, 0.07, and 93%, respectively. For MRCP, the values are 90%, 40%, 94%, 29%, 1.50, 0.26, 85%, respectively. AUC value for EUS is 78% (CI95% 51%-100%), p = 0.041. Meanwhile, AUC value for MRCP is 64,9% (CI95% 36,2%-93,6%), p = 0.276.
Conclusion: EUS has better sensitivity and specificity values than MRCP in obstructive jaundice patients due to malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firhat Idrus
"Latar Belakang: Kanker pankreas merupakan penyakit dengan kesintasan rendah dan kesulitan untuk melakukan diagnosis. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)-Scan abdomen dan Ca 19-9 merupakan modalitas yang murah, mudah, dan terjangkau dalam diagnosis kanker pankreas. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis kanker pankreas tetapi belum banyak tersedia di fasilitas kesehatan di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan diagnostik CT-Scan abdomen dan Ca 19-9 dibandingkan dengan EUS-FNA dalam diagnosis kanker pankreas.
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan melihat rekam medis 62 pasien dengan kecurigaan kanker pankreas di RSCM pada tahun 2015-2019. Diambil pasien-pasien yang memiliki data Ca 19-9 dan CT-Scan abdomen yang kemudian dilakukan EUS-FNA untuk penegakan diagnosis kanker pankreas.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas CT-Scan abdomen masing-masing 76,27% dan 100%, sedangkan Ca 19-9 masing-masing 67,8% dan 33,33%. Nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), rasio kemungkinan negatif (RKN), dan akurasi CT-Scan abdomen masing-masing adalah 100%, 17.65%, tidak dapat dinilai, 0,24 , dan 77,42%. Nilai duga positif, NDN, RKP, RKN, dan akurasi untuk Ca 19-9 masing-masing adalah 95.24%, 5%, 1,02, 0,97, dan 66,13%.
Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan CT-Scan Abdomen dan Ca 19-9 memiliki sensitivitas yang tinggi untuk kanker pankreas. Computed Tomography abdomen dapat digunakan untuk diagnosis kanker pankreas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Introduction: Pancreatic cancer is a disease with low survival rate and difficult to diagnose. Abdominal computed tomography (CT) and Ca 19-9 are diagnostic modalities which are easy, simple, and non-invasive in diagnosis of pancreatic cancer. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) is the gold standard for diagnosis of pancreatic cancer but it is not available in many health care facilities in Indonesia.
Purpose: This study aims to know the diagnostic accuracy of abdominal CT and Ca 19-9 compared to EUS-FNA for diagnosis of pancreatic cancer.
Methods: The design of this study is cross-sectional by searching medical record of 62 patients with clinical suspicion of pancreatic cancer in Cipto Mangunkusumo hospital from year 2015-2019. Patients who undergo EUS-FNA with clinical suspicion of pancreatic cancer and have abdominal CT and Ca 19-9 data is included.
Results: The sensitivity and specificity of abdominal CT are 76.27% and 100%, respectively, and Ca 19-9 are 67.8% and 33.33%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of abdominal CT are 100%, 17.65%, unmeasurable, 0.24 , and 77.42%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of Ca 19-9 are 95.24%, 5%, 1.02, 0.97, and 66.13%, respectively.
Conclusion: The combined sensitivity of abdominal CT and Ca 19-9 has high sensitivity to diagnose pancreatic cancer. Abdominal CT can be used to diagnose pancreatic cancer with good sensitivity and specificity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Farani
"Latar Belakang/Tujuan: Pasien ikterus obstruktif maligna stadium lanjut membutuhkan
drainase bilier. Sten metal memiliki efektivitas yang lebih baik, namun klinisi perlu
mempertimbangkan patensi sten dan keterbatasan sumber daya, mengingat kesintasan
pasien yang rendah. Oleh karena itu analisis efektivitas biaya pada kasus ini penting untuk
dilakukan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan di rumah
sakit tersier terhadap pasien ikterus obstruktif maligna yang menjalani pemasangan sten
bilier paliatif pada Januari 2015 sampai Desember 2018. Perbedaan kesintasan 180-hari
dianalisis dengan uji log-rank. Perbedaan durasi patensi dianalisis dengan uji Mann-
Whitney U. Efektivitas didefinisikan sebagai patensi sten, biaya dihitung dengan
perspektif rumah sakit menggunakan model decision tree dan dinyatakan dalam
incremental cost effectiveness ratio.
Hasil: Sebanyak 81 laki-laki dan 83 perempuan dengan rentang usia 24 -88 tahun ikut
dalam penelitian ini. Kesintasan 180-hari kelompok sten plastik 35,9% (median 76, 95%
IK 50-102 hari) dan sten metal 33,3% (median 55, 95% IK 32 -78 hari). Rerata (SB)
patensi sten plastik 123 (8) hari dan sten metal 149 (13) hari (p=0,489). Pemasangan sten
bilier metal dapat menghemat biaya sebesar Rp. 1.217.750 untuk setiap penambahan
durasi patensi 26 hari.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan antara kesintasan dan patensi antara kedua
kelompok. Pemasangan sten bilier metal sebagai tata laksana paliatif pada pasien ikterus
obstruktif maligna lebih cost-effective dibandingkan sten plastik.

Background/Aim: Patients with advanced stage of malignant obstructive jaundice often
require biliary drainage. Metal stent is more effective than plastic stent, but we also ought
to consider of stent patency and resources restraint due to poor patient survival. Hence,
cost effectiveness analysis in this case was necessary.
Methods: We conducted a retrospective cohort of malignant biliary obstruction patients
who underwent palliative biliary stenting between January 2015 to December 2018 at a
tertiary hospital. We evaluated the difference of 180-day survival using log-rank test and
stent patency duration using Mann-Whitney U test. Effectiveness was defined as stent
patency, cost was calculated using hospital perspective following a decision tree model
and reported as incremental cost effectiveness ratio.
Results: A total of 81 men and 83 women aged 24-88 years old were enrolled in this
study. 180-day survival was 35.9% (median 76, 95% CI 50 -102 days) and 33.3%
(median 55, 95% CI 32 -78 days) for plastic and metal stent group respectively. Mean
(SD) of stent patency 123 (8) vs 149 (13) days for plastic and metal stent group
respectively (p=0.489). Metal stent insertion could save IDR 1,217,750 to get additional
26 days of stent patency.
Conclusion: There were no differences in survival and patency between the two groups.
Metal biliary stent is cost effective than plastic stent for palliation in malignant biliary
obstruction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library