Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ambar Hardjanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Infeksi cacing tambang di Indonesia disebabkan oleh dua spesies : N. americanus dan A. duodenale, dimana N. americanus merupakan spesies yang dominan di Indonesia. Selama ini diferensiasi N. americanus dan A. duodenale hampir tidak pernah dilakukan.
Selain karena alasan teknis juga karena kedua spesies cacing tambang tersebut selama ini dianggap sama dalam hal pengobatan. Namun bukti yang ada menunjukkan bahwa kedua spesies cacing tambang tersebut berbeda, baik dalam fisiologi, patologi maupun respon terhadap pengobatan. N. americanus dan A. duodenale mempunyai bentuk telur yang sama sehingga tidak dapat dibedakan secara morfologi. Kedua cacing tambang tersebut secara morfologi dapat dibedakan dari stadium cacing dewasa dan bentuk larva filariform (stadium L3). Dalam prakteknya, cacing tambang dewasa praktis tidak pernah ditemukan, sedangkan larva L3 dapat diperoleh dengan teknik copra-culture Harada-Mori, tetapi cara ini membutuhkan waktu lama, ketelitian tinggi, dan tenaga yang berpengalaman untuk membedakannya. Untuk itu perlu dikembangkan teknik alternatif yang cepat dan dapat diandalkan seperti teknik biologi molekuler. Beberapa teknik PCR yang menggunakan DNA inti sebagai target telah dikembangkan, namun teknik tersebut belum optimal mengimplifikasi DNA yang diekstraksi dari feses. DNA mitokondria gen COII dipilih sebagai target oleh karena mempunyai laju mutasi yang tinggi dan tidak mengalami rekombinasi sehingga ideal digunakan sebagai penanda untuk menentukan variabilitas genetik pada spesies yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosis dan mendiferensiasi cacing tambang pada manusia dengan menggunakan gen COII pada mtDNA sebagai target amplifikasi.
Hasil dan Kesimpulan : Diagnosis cacing tambang dapat dilakukan dengan metode Kato-Katz, Harada-Mori dan PCR. Diferensiai spesies N. w nericanus dan A. duodenale hanya dapat dilakukan dengan metode Harada-Mori dan PCR-RFLP. Diferensiasi spesies cacing tambang dengan Harada-Mori hanya didasarkan pada stadium larva filariform (L3), sedangkan dengan PCR-RFLP dapat dilakukan pada semua stadium. Diagnosis infeksi cacing tambang dengan metode PCR memberikan prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan metode Kato-Katz dan Harada-Mori."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T11497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darnely
"Askariasis adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Untuk memberantas askariasis, upaya yang dilakukan adalah perbaikan lingkungan dan pengobatan masal.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeluarkan cacing dari tubuh penderita dan membunuh telur. Menurut laporan penelitian dikatakan bahwa mebendazol dan OPP dapat membunuh cacing dewasa dan menghambat perkembangan telur sehingga tidak terbentuk stadium infektif. Namun demikian, apakah hambatan tersebut terjadi pada telur yang masih berada dalam uterus cacing sebelum telur dilepas dalam tinja manusia, velum diketahui dengan pasti.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh mebendazol dan OPP terhadap perkembangan telur A.lumbricoides yang berada di dalam uterus cacing.
Penelitian dilakukan terhadap 684 murid sekolah dasar yang berasal dari 5 SD dan 1 madrasah di Jakarta. Pemeriksaan tinja murid SD tersebut dilakukan dengan cara modifikasi Kato Katz dan pada murid yang positif askariasis diberikan mebendazol atau OPP. Lacing yang keluar pasca pengobatan (perlakuan) dan cacing yang berasal dari bedah mayat di Bagian Forensik FKUI (kontrol) dikeluarkan uterusnya, lalu uterus tersebut diurut untuk mengeluarkan telur yang berada di daiamnya. Telur tersebut dibagi menjadi 2 kelompok untuk dibiak di media fonnalin-batu bata dan fonnalin agar.
Pengamatan telur dilakukan pada hari ke-3, minggu ke-1, ke-2, ke-3 dan minggu ke-4 untuk rnengetahui apakah terjadi perubahan morfalogi dan untuk mengetahui jumlah telur yang berubah menjadi larva.
Setelah pengobatan dengan mebendazol maupun OPP angka penyembuhan dan angka penurunan telur sangat tinggi sedangkan angka reinfeksi sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua obat tersebut adalah antelmintik yang baik. Perkembangan telur pada kedua kelompok perlakuan lebih lambat dibandingkan kontrol dan hambatan perkembangan pada mebendazol lebih besar daripada OPP. Hal ini menunjukkan bahwa mebendazol dan OPP dapat menghambat perkembangan telur yang berada pada uterus cacing. Namun demikian, hambatan perkembangan tersebut hanya berupa perpanjangan masa perkembangan dan telur tetap mencapai stadium infektif. Hal tersebut perlu mendapat perhatian karena bila pengobatan tidak memberikan angka penyembuhan 100% maka cacing yang masih tertiuggal di dalam lumen usus masih tetap bertelur dan telur tersebut tetap potensial untuk pencemaran.
Pada penelitian ini tidak dijumpai telur yang rusak. Hal ini mungkin karena dosis obat yang mencapai uterus dan kontak dengan telur racing lebih kecil dibandingkan dengan telur yang berada dalam tinja sehingga obat tersebut tidak merusak telur Karena telur tidak rusak maka telur tetap menjadi infektif walaupun masa perkembangannya memanjang.
Disimpulkan bahwa mebendazol dan OPP dapat menghambat perkembangan telur yang berada dalam uterus, namun telur tersebut tetap menjadi infektif meskipun masa perkembangannya memanjang.

Ascariasis has been recognized as one of the most important public health problem in Indonesia. The control of ascariasis was focussed on the mass treatment using anthelmintics to expell the wonns from the host and inhibit the development of eggs. Thus the eggs will not develop into the infective stage on the soil. However, whether the inhibition occur on the eggs inside the uterus has not been studied yet.
The aims of the study was to know the effect of mebendazole and oxantel pyrantel pamoate (OPP) against the development of A.lumbricoides eggs which are still in the uterus.
The study has been carried out among students of 6 primary school in Jakarta with a sample population of 684 students.Kato Katz thick smear technique was used for the examination of stool samples. The students who were found to be positive for ascariasis were treated with mebendazole 500 mg as a single dose or OPP 10 mg/kgBB as a single dose. Thirty female adult worms with a length of more than 12.5 cm were collected and afterwards dissected. Mature eggs were removed from the uterus and spread out on a sterile porous clay plate or agar which were put in a petri dish containing a 1% solution of formalin. The eggs were incubated for 4 weeks and examined after the third day and then once every week.
After treatment with mebendazole or OPP, cure rate and egg reduction rate were very high while reinfection rate was low. Development of A.lmnhricoides eggs was slow in the treated group. In mebendazole group the development was slower than in the OPP group. It showed that mebendazole and OPP could inhibit the development of eggs in the uterus of the worms. However, the egg could reach the infective stage although the duration of growth was longer. This fact should be taken into consideration, because if the cure rate is not 100%, the worms which are left in the lumen of intestine of the host could still lay their eggs and potential for transmission.
hi this study, no deformed eggs was found. It seems that the action of the drugs on eggs in the uterus was less than the eggs that has been released in the stool. Thus the eggs could develop into infective stage,
It was concluded that OPP and mebendazole could inhibit the development of eggs in the uterus. The eggs could reach the infective stage although the duration of growth was longer.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilly Haslinda
"Bakteri Wolbachia merupakan bakteri intraseluler yang ditemukan didalam cacing filaria. Sebagai endosimbion, wolbachia berperan dalam patogenesis dan efek samping yang timbul setelah pengobatan anti-filaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemberian antibiotik, doksisiklin, terhadap penurunan densitas mikrofilaria Brugia malayi dan efek samping pengobatan DEC. Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, sebanyak 161 penderita mikrofilaremia Brugia malayi dari daerah endemis filaria di Sulawesi Tengah dan Gorontalo ikut dalam pengobatan. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok ( 1 ) 100mg doksisiklin/hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis tunggal placebo DEC-Albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, ( 2 ) 100mg doksis/klin/hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mg/kgBB DEC ditambah 400 mg albendazole setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, dan ( 3 ) 100mg placebo doksisiklin/hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mg/kgBB DEC ditambah 400 mg albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin. Darah diambil dari semua pasien sebelum dan sesudah pengobatan sampai satu tahun untuk pemeriksaan parasitologis mengetahui densitas mikrofilaria, pemeriksaan biologi molekuler untuk wolbachia dan pemeriksaan serologi dalam hubungannya dengan efek samping. Satu tahun setelah pengobatan densitas mikrotilaria pada ketiga kelompok menurun pada kelompok doksisikIin+pl DEC-albendazol 98%, kelompok kombinasi doksisiklin+DEC-albendazol 99% dan kelompok DEC-albendazol 94%. Perbandingan angka kesembuhan (amikrohlaremi) pada masing-masing kelompok sebagai berikut: 78% (dokslsiklin+p| DEC-Albendazol), 91% (doksisiklin+DEC-Albendazol), dan 23% (DEC-Albendazol). Pasien mengalami efek samping setelah pengobatan lebih banyak pada kelompok DEC albendazol dibanding kelompok yang mendapat pengobatan doksisiklin (p=0.000). Doksisiklin memiliki kemampuan yang baik dalam menurunkan mikrofilaria dan efek samping dalam pengobatan DEG-abendazol pada penderita mikrofilaremi Brugia malayi.

Wolbachia bacteria are intracellular bacteria found in filarial worms. As endosymbiont bacteria, Wolbachia contribute to pathogenesis and adverse reactions to antifilarial treatment. The aim of the study was to determine the efficacy of the antibiotic, doxycycline, to reduce the microfilarial density as well as the adverse reactions to DEC treatment. This study is a double blind clinical trial. A total of 161 microfilaremie B. malayi patients living in Central Sulawesi and Gorontalo provinces participated in the study. Those patients were divided into 3 treatment groups: ( 1 ) 100 mg doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of placebo DEC-Albendazole after 4 months post doxycycline treatment, ( 2 ) 100 mg doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazele 400 mg after 4 months post doxyeycline treatment, and ( 3 ) placebo doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazole 400mg after 4 months post doxycycline treatment. The blood samples were taken from all patients before and after treatment until 1 year. The samples were tested for the presence of mf; Wolbachia DNA and IL6 in relation to adverse reactions of DEC treatment. The result showed that the mf density dcereased in all treatment groups after one year post treatment (98% in dexycycline-pl.DEC-albendazole group, 99% in doxyeycline-DEC-albendazole group, and 94% in doxyeyline-pl.DEC-albendazolc) compared to pre treatment. The percentage of cure rate (amierotilaremie) was higher in the doxyeyeline treatment groups (78% in doxycycline-pl.DEC-albendazole group, 91% in doxycycline-DEC-albendazole group) compared to the DEC alone (23% in pl. doxyeycline~DEC-albendazole). The number of patients experiencing the adverse reactions after DEC treatment was higher in the DEC-albendazole group compared to the doxycycline group (p=0.000). In this study, doxycycline was proved to have a good efficacy in reducing ml' density as well as adverse reactions to DEC treatment in microfilaremic B.malayi patients."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilly Haslinda
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian :
Bakteri Wolbachia merupakan bakteri intraseluler yang ditemukan didalam cacing filaria. Sebagai endosimbion, wolbachia berperan dalam patogenesis dan efek samping yang timbul setelah pengobatan anti-filaria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemberian antibiotik, doksisiklin, terhadap penurunan densitas mikrofilaria Brugia malayi dan efek samping pengobatan DEC. Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, sebanyak 161 penderita mikroflaremia Brugia malayi dari daerah endemis filaria di Sulawesi Tengah dan Gorontalo ikut dalam pengobatan. Pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok ( 1 ) 100mg doksisiklinlhari selama 6 minggu dilanjutkan dengan dosis tunggal placebo DEC-Albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, (2 ) 100mg doksisiklin/hari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mglicgBB DEC ditambah 400 mg albendazole setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin, dan ( 3 ) 100mg placebo doksisiklinlhari selama 6 minggu dilanjutkan dengan 6mg/kgBB DEC ditambah 400 mg albendazol setelah 4 bulan pengobatan doksisiklin. Darah diambil dari semua pasien sebelum dan sesudah pengobatan sampai satu tahun untuk pemeriksaan parasitologis mengetahui densitas mikrofilaria, pemeriksaan biologi molekuler untuk wolbachia dan pemeriksaan serologi dalam hubungannya dengan efek samping.
Hasil: Satu tahun setelah pengobatan densitas mikrofilaria pada ketiga kelompok menurun pada kelompok doksisiklin+pl DEC-albendazol 98%, kelompok kombinasi doksisiklin+DEC-albendazol 99% dan kelompok DEC-albendazol 94%. Perbandingan angka kesembuhan (amikrofilaremi) pada masing-masing kelompok sebagai berikut: 78% (doksisiklin+pI DEC-Albendazol), 91% (doksisiklin+DEC-Albendazol), dan 23% (DEC-Albendazol). Pasien mengalami efek samping setelah pengobatan lebih banyak pada kelompok DEC albendazol dibanding kelompok yang mendapat pengobatan doksisiklin (p=0.000).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki kemampuan yang baik dalam menurunkan mikrofilaria dan efek samping dalam pengobatan DEC-abendazol pada penderita mikrofilaremi Brugia malayi.

Walbachia bacteria are intracellular bacteria Found in filarial worms. As endosyrnbiont bacteria, Wolbachia contribute to pathogenesis and adverse reactions to antifilarial treatment. The aim of the study was to determine the efficacy of the antibiotic, doxycycline, to reduce the microfilarial density as well as the adverse reactions to DEC treatment. This study is a double blind clinical trial. A total of 161 microfilaremic B. Inalayi patients living in Central Sulawesi and Gorontalo provinces participated in the study, Those patients were divided into 3 treatment groups: (1) 100 mg doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of placebo DEC-Albendazole after 4 months post doxycycline treatment, ( 2 ) 100 mg doxycyclinelday for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazole 400 mg after 4 months post doxycycline treatment, and ( 3 ) placebo doxycycline/day for 6 weeks followed by a single dose of DEC 6mg/kg BW-albendazole 400mg after 4 months post doxycycline treatment. The blood samples were taken from all patients before and after treatment until 1 year. The samples were tested for the presence of mf, Walbachia DNA and IL6 in relation to adverse reactions of DEC treatment. The result showed that the mf density decreased in all treatment groups after one year post treatment (98% in doxycyclinepl.DEC-albendazole group, 99% in doxycycline-DEC-albendazole group, and 94% in doxycyline-pl.DEC-albendazole) compared to pre treatment. The percentage of cure rate (amicrofilaremic) was higher in the doxycycline treatment groups (78% in doxycyclinepl.DEC-albendazole group, 91% in doxycycline-DEC-albendazole group) compared to the DEC alone (23% in pl. doxycycline-DEC-albendazole). The number of patients experiencing the adverse reactions after DEC treatment was higher in the DEC-albendazole group compared to the doxycycline group (p=0.000). In this study, doxycycline was proved to have a good efficacy in reducing mf density as well as adverse reactions to DEC treatment in microfilaremic Brugia malayi patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samidjo Onggowaluyo
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Penelitian kepekaan Anopheles sinensis terhadap larva filaria W. bancrofti telah dilakukan di Laboratorium Bagian Parasitologi FKUI, Naval Medical Research Unit (NAMRU) No.2 Jakarta dan Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga. Sumber infeksi W. bancrofti berasal dari wilayah kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mikrofilaria W, bancrofti tipe urban yang vektor aktualnya Culex quinquefasciatus dapat berkembang dalam An. sinensis yang umumnya banyak terdapat pada daerah persawahan di pedesaan. Strain An. sinensis berasal dari kepulauan Nias dan dikembang-biakan di Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga, sedangkan Cx.quinquefasciatus sebagai kontrol telah dikembangbiakkan di Laboratorium NAMRU No. 2 Jakarta. Penelitian ini dimulai dengan infeksi nyamuk An. sinensis dan Cx. quinquefasciatus dewasa muda dengan mikrofilaria secara per os. Pengamatan perkembangan larva filaria dilakukan melalui pembedahan nyamuk yang telah kenyang darah (full fed) masing-masing 20 ekor pada 1 jam, 3, 6, 9, 12, 15 hari pasca infeksi dan dilakukan 3 kali pengulangan untuk mengetahui : angka infeksi, densitas infeksi, waktu perkembangan larva serta tingkat efisiensi. Pengamatan umur An. sinensis dilakukan dengan mengamati jumlah kematian nyamuk setiap hari pasca infeksi pada kelompok nyamuk yang tidak di bedah.
Hasil dan kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan perbandingan angka 'infeksi (68,3% : 56,7%), densitas infeksi (1,2 mikrofilaria/nyamuk : 1,3 mikrofilaria/nyamuk) serta tingkat efisiensi (0,58 : 0,59) pada An. sinensis tidak berbeda bermakna dengan Cx. quinquefasciatus. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva filaria seluruhnya(100%) menjadi stadium infektif pada An. sinensis (17 hari) lebih lama daripada Cx.quinquefasciatus (15 hari). Umur nyamuk maksimum yang mengisap darah mengandung mikrofilaria pada An. sinensis dan Cx.quinquefasciatus (26 hari) lebih kecil dari nyamuk yang mengisap darah normal. Keberhasilan An. sinensis mengembangkan larva stadium infektif (L3) serta umur nyamuk yang lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva infektif dalam penelitian ini, menyebabkan An.sinensis dapat dikategorikan sebagai vektor potensial bagi W.bancrofti.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suriptiastuti
"Prevalensi STH pada anak di Jakarta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Program penanggulangan dilakukan pengobatan masal dan penyuluhan kesehatan. Beberapa obat telah dicoba untuk pengobatan masal, namun prevalensi STH masih tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui berapa besar kemungkinan kontribusi anak Sekolah Dasar dalam transmisi A. lumbricoides setelah pemberian antelmintik. Telah diperiksa 861 tinja anak dari 3 SD Kalibaru, Jakarta Utara dengan Cara Kato Katz. Sebanyak 636 anak yang terinfeksi A.lumbricoides dibagi secara acak menjadi 2 kelompok masing-masing terdiri dari 318 anak, kelompok I diobati albendazol dan kelompok II diobati pirantel pamoat. Tinja anak yang tidak sembuh setelah pengobatan diblak dalam larutan kalium bikromat 2%, untuk melihat pertumbuhan telur menjadi bentuk Infektif. Prevalensi askarlasis ditemukan di Sekolah Dasar ini adalah 66,36%-78,74%, dengan Intensitas Infeksi sangat ringan (RTPG 4495 sampai 5959). Setelah pengobatan prevalensi askariasis pada kelompok I menjadi 3,59% dan pada kelompok II menjadi 6,02%. Terdapat penurunan jumlah telur dibuahi dan tidak dibuahi sesudah pengobatan albendazol maupun pirantel pamoat. Perbandingan jumlah telur dibuahi dan tidak dibuahi sesudah pengobatan dengan albendazol menjadi besar sedangkan dengan pirantel pamoat menjadi kecil. Pada pengamatan biakan telur ternyata pada kelompok yang diobati albendazol belum ditemukan telur yang berubah menjadi bentuk infektif sampai hari ke 26. Sedangkan pada kelompok pirantel pamoat, bentuk infektif telah ditemukan pada hari ke 19 (15,25%). Kesimpulan kontribusi anak yang belum sembuh dengan pirantel pamoat adalah 15,25% dari jumlah telur yang dikeluarkan. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refirman DJ
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian : Penelitian mengenai faktor pendukung transmisi STH telah dilakukan terhadap murid-murid sekolah dasar di dusun Talang Dabok dan dusun Sungai Rengit, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sampel penelitian terdiri dari 139 murid SD Talang Bungin II dan 141 murid SD Sungai Rengit. Terhadap murid-murid tersebut dilakukan pemeriksaan tinja dengan cara modifikasi Kato-Katz dan modifikasi Harada Mori. Selain itu juga diberikan kuesioner untuk mengetahui faktor pendukung transmisi STH serta dilakukan pemeriksaan tanah untuk mengetahui adanya pencemaran lingkungan oleh telur cacing.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan prevalensi STH pada murid SD Talang Bungin II sebesar 69,8% terdiri dari A. lumbricoides 40,3%, T trichiura 41,0% dan casing tambang 38,8% dengan intensitas sangat ringan dan ringan. Pada murid SD Sungai Rengit prevalensi STH sebesar 90,8% terdiri dari A. lumbricoides 58,9%, T. trichiura 75,9% dan cacing lambang 39,7% dengan intensitas ringan. Didapatkan faktor pendukung transmisi STH yang agak berbeda pada murid-murid ke dua sekolah dasar tersebut. Pada murid SD Sungai Rengit kebiasaan buang air besar- di halaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi infeksi STH. Faktor ekonomi dan pekerjaan orang tua sangat mempengaruhi transmisi A. lumbricoides, sedangkan pada murid SD Talang Bungin II kebiasaan mencuci tangan dan kondisi halaman rumah berpengaruh terhadap transmisi T. trichiura. Kebiasaan memakai alas kaki, menimbun tinja serta keadaan ekonomi berpengaruh terhadap infeksi cacing tambang. Sumber air, pendidikan orang tua dan kondisi halaman rumah sangat mempengaruhi trasnmisi A. lumbricoides. Hasil pemeriksaan tanah menunjukkan pencemaran tanah oleh telur cacing A. lumbricoides dan Trichuris lebih banyak ditemukan di dusun Sungai Rengit. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan adanya infeksi STH endemis dengan prevalensi tinggi di dusun Sungai Rengit dan Talang Dabok. Faktor yang menjadi pendukung transmisi STH adalah kebiasaan buang air besar di halaman, cuci tangan sebelum makan, pemakaian alas kaki, keadaan sosial ekonomi dan pendidikan orang tua.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library