Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arief Widarto
"Sejarah kemerdekaan pers di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pasang surut yang tidak terlepas dari dinamika kehidupan politik di Indonesia. Dan hal ini pada gilirannya mempengaruhi hakekat pers bebas dan bertanggung jawab itu sendiri. Bahkan dengan digantikannya UU No. 21 tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dengan UU No. 40 Tahun 1999 Tenting Pers telah terjadi perubahan sistem pertanggungjawaban pers. Mengingat hal ini penulis berkeinginan menuangkan fenomena tersebut ke dalam suatu tulisan yang berjudul "Analisis Kritis Terhadap Perkembangan Pers bebas Dan Bertanggung Jawab Di Indonesia Pada Era Refarmasi". Penulisan ini bersifat deskritif dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumen, serta menggunakan metode analisis kualitatif Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan di era reformasi pengawasan terhadap pers oleh pemerintah melemah dengan ditiadakannya penyensoran, pembredelan, dan SIUPP yang barhubungan langsung dengan kebebasan pers. Dan di sisi lain kode etik sebagai pencerminan pers yang bertanggung jawab yang dimiliki oleh insan pers belumlah m.erupakan bagian yang terintegral pada setiap diri insan pers. Kondisi ini diperparah dengan ketidakpahaman pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya dengan pers sebagai akibat pemberitaannya yang dirasakan merugakan, baik melalui lembaga hak jawab, melalui jalur hokum, maupun menggunakan Dewan Pets sebagai mediator. Hal inilah yang menyebabkan kemerdekaan pers di era reformasi cenderung menjadi "kebebasan pers". Sehingga, dapat dikatakan fungsi kebebasan pers di era reformasi mendahului fungsi pers yang bertanggung jawab. Perihal limitasi kebebasan nears dalam wujui.i peraturan pidana yang diatur baik di dalam KUHP dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers merupakan penceminan bahwa kebebasan pers tidaklah bersifat absolut, namun dibatasi peraturan-peraturan pidana yang harus memenuhi syarat limitatif dan syarat demokratis.
Adapun, peraturan-peraturan pidana tersebut dapat digolongkan ke dalam 6 (lima) bagian. Dan keenam peraturan pidana tersebut dapat diategorikan sebagai suatu pembatasan yang bersifat universal, karena telah sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Konvensi Internasional Tentang Kebebasan Alas Informasi. Sedangkan perihal sistem pertanggunjawaban pidana pers, telah terjadi tiga kali perubahan dengan dua sistem pertanggungjawaban pidana pers selaina ini, Diawali dengan sistem pertanggungjawaban pidana pers berdasar KUHP yang menitikberatkan pada ajaran penyertaan dan kesalahan.
Dengan berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, maka sistem pertanggungjawaban pidana pers bersifat "air terjun/waterfalls system" yang bersifat fiktif dan suksesif. Dan akhirnya berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers sistem pertanggungjawaban pers kembali didasarkan pada KUHP yang menitikberatkan pada unsur kesalahan dan penyertaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T10834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Mira Sari
"Perlakuan narapidana sejak tahun 1964 telah mengalami perubahan dari Sistem Kepenjaraan berdasarkan Reglemen Penjara 1917 No.708 kepada Sistem Pemasyarakatan. Untuk mengimplementasikan Sistem Pemasyarakatan tersebut, maka pemerintah pada tanggal 30 Desember 1995 mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta Peraturan Pelaksananya. Sejak berlakunya Sistem Pemasyarakatan, Narapidana sebagai warga negara yang telah melakukan suatu perbuatan tercela (dalam hal ini tindak pidana), namun hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. Di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan secara tegas disebutkan sejumlah hak yang dimiliki oleh narapidana, salah satunya hak untuk menyampaikan keluhan. Mengenai hak menyampaikan keluhan ini, merupakan salah satu wujud dari asas Good Governance yang bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan dari tindakan sewenang-wenang dan juga sebagai sarana peningkatan kinerja bagi aparat penegak hukum (khususnya Lembaga Pemasyarakatan) apabila hak-haknya sebagai narapidana ada yang tidak terpenuhi.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaturan Tata Cara Penyampaian Keluhan oleh Narapidana dalam Peraturan Perundang-Undangan; Mengetahui peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam tata cara penyampaian keluhan oleh narapidana; Mengetahui penyampaian keluhan oleh narapidana baik secara intern maupun ekstern; Untuk mengetahui kontribusi Hakim Pengawas dan Pengamat dan Jaksa sebagai eksekutor dalam hal menanggulangi keluhan narapidana; Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka menangani keluhan narapidana.
Berdasarkan hasil penelitian sampai saat ini belum ada Keputusan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penyampaian dan penyelesaian keluhan tersebut. Akan tetapi tata cara penyampaian keluhan oleh narapidana ini diatur secara implisit dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.22.PR.08.03 tahun 2001 tentang Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. Dalam prakteknya narapidana dapat menyampaikan keluhannya pada pihak Lembaga Pemasyarakatan maupun pihak luar Lembaga Pemasyarakatan seperti Keluarga, Kerabat, Pengacara maupun Hakim Pengawas dan Pengamat.
Belum adanya peningkatan terhadap kinerja Lembaga Pemasyarakatan yang mampu menanggulangi keluhan-keluhan narapidana secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena adanya kendala-kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam penyampaian maupun penanggulangan keluhan narapidana yaitu: Kesejahteraan pegawai yang masih minim; Kuantitas pegawai yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana yang sangat besar dan kualitas pegawai yang rendah; Sarana prasarana dan anggaran yang sangat minim sehingga keluhan narapidana tidak dapat terselesaikan dengan tuntas.
Dalam penanggulangan keterlambatan eksekusi oleh Jaksa sebagai eksekutor, pihak Lembaga Pemasyarakatan mengalami kendala dalam melakukan koordinasi dengan sub sistem Kejaksaan (Jaksa), Pengadilan maupun Hakim Pengawas dan Pengamat. Hal ini terjadi karena Hakim Pengawas dan Pengamat tidak pernah melakukan kontrol langsung terhadap pelaksanaan putusan oleh jaksa sebagai eksekutor, sehingga Hakim Pengawas dan Pengamat tidak pernah mengetahui apakah jaksa sudah melakukan eksekusi tepat pada waktunya atau tidak.
Pengawasan dan Pengamatan terhadap Lembaga Pemasyarakatan memang dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat dengan melakukan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi tidak dilakukan secara rutin 3 (tiga) bulan sekali. Salah satu hal yang dilakukannya pada saat kunjungan ini adalah melakukan wawancara dengan narapidana. Dalam wawancara tersebut narapidana berhak menyampaikan keluhannya pada Hakim Pengawas dan Pengamat. Atas keluhan narapidana tersebut, selama ini Hakim Pengawas dan Pengamat tidak pernah memberikan saran atau pendapat kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk bahan pertimbangannya dalam menyelesaikan keluhan-keluhan narapidana, karena Hakim Pengawas dan Pengamat tidak ingin mencampuri urusan intern Lembaga Pemasyarakatan (Hands Off Doctrine).
Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tidak mengatur mengenai tugas dan wewenang Hakim Pengawas dan Pengamat untuk melakukan Pengawasan dan Pengamatan terhadap pelaksanaan Hak asasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Namun dalam prakteknya selama ini Hakim Pengawas dan Pengamat tetap dapat diterima oleh Lembaga Pemasyarakatan dengan prosedur yang sama seperti sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, akan tetapi keberadaannya belum dapat diandalkan sebagai salah satu sarana penyampaian keluhan narapidana secara ekstern."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudarmanto
"Kemampuan seseorang dalam mengelola uang sangatlah terbatas. Baik untuk pengelolaan bagi diri sendiri yang sifamya konsumtif apalagi untuk kegiatan produktif supaya uang tersebut dapat berkembang dan bertambah banyak. Sehingga peluang usaha tersebut banyak dilirik oleh banyak pihak yang merasa mampu untuk mengelola uang tersebut, diantaranya adalah Bank. Bank sebagai fasilitator menghimpun uang nasabah yang memiliki kelebihan uang dalam bentuk simpanan, kemudian menyalurkan kembali uang nasabah dalam bentuk kredit. Selain bank, ternyata ada juga pihak perorangan maupun lembaga keuangan yang mirip bank yang melakukan kegiatan perbankan baik berupa menghimpun dana dari masyarakat maupun berupa kredit, walaupun tidak mempunyai izin usaha dari Bank Indonesia biasanya mereka hanya memiliki ijin usaha sebagai perusahaan non bank dan memberikan iming-iming untuk menarik nasabahnya.
Modus operandi yang dilakukan pelaku tindak pidana bank gelap tersebul bermacam-macam antara lain: tabungan dengan memberikan bunga yang tinggi, tabungan haji, arisan dan disediakan hadian misalkan sepeda motor. Bank gelap hanya merupakan istilah yang ketentuan diatur dalam Pasal 46 ayat (I) Undang-undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang merupakan perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana bank gelap ini diharapkan dapat sebagai tumpuan bagi aparat penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menegakkan hukum khususnya dibidang pidana perbankan Namun untuk membuktikan seseorang atau korporasi melakukan praktek bank gelap sangat sulit hal ini disebabkan karena keterbatasan atau ketidaksiapan oleh aparat penegak hukum dan adanya perbedaan persepsi diantara penegak hukum. Terjadi di Purbalingga I perkara atas nama krisbianto. Terjadi di Cibadak sukabumi I perkara atas nama HM. Ramli Araby.
Namun keuletan penyidik dan penuntut umum untuk memberantas praktek bank gelap terbukti atas nama HM. Ramli Araby Putusan Pengadilan Negeri Cibadak No:69/Pid.B/2003/PN.Cbd. malanggar Pasal 46 (1), (2) UU No.10. Tahun 1998 tentang Perbankan Jo Pasal 55 (1) pasal 64 (I) KUHP dikualkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 247/Pid/2003/PT.Bdg dan Mahkamah Agung RI Nomor: 154/TU/308 K/Pid/2004. Dalam bentuk simpanan atau yang disamakan dengan itu seluruhnya terhimpun secara akumulasi sebesar kurang Iebih Rp.413.127.457.742,- tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia yaitu bertindak seolah-olah sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat
Sedangkan tindak pidana bank gelap yang terjadi diwilayah hukum purbalingga. Terdakwa Krisbianto Bin Sutrisno selaku Direktur CV. Berlian Artha Sejahtera, pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat ditentukan lagi antara bulan juli 2003 sampai dengan tahun 2005, bertempat di Kabupaten Purbalinga telah melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia dengan korban 1.780 orang nasabah dan uang nasabah sebesar Rp. 62 milliar."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Kurniawan
"Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan empiris, yang meliputi studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan pedomanpedoman, dan juga meliputi studi lapangan yang diperoleh melalui wawancara, dengan beberapa informan yang relevan, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan "Sejauhmanakah peranan PPATK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia", yang mencakup: Bagaimana peranan PPATK dalam proses penegakan hukum terhadap money laundering di Indonesia? Bagaimana pengawasan yang dilakukan PPATK terhadap kasus persangkaan tindak pidana pencucian uang pada penyedia jasa keuangan? Kewenangan apalagi yang dapat diberikan kepada PPATK dalam mendukung tugasnya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia? PPATK memiliki peranan yang sangat besar dalam upaya menanggulangi tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Secara umum PPATK memiliki peranan balk bersifat prenventif maupun represif terhadap penanggulangan kejahatan secara umum yaitu mengejar tindak pidana asal (predicat crime) maupun tindak pidana pencucian uang itu sendiri dengan cara mengejar harta kekayaan hasil kekayaan dan pelaku kejahatan di belakang layar (profesionalnya). PPATK berperan dalam membantu proses penegakan hukum dengan cara mendeteksi adanya dugaan tindak pidana pencucian uang dengan informasi yang telah dianalisisnya meskipun hanya sebatas pengumpan saja, yang diperolehnya dari laporan penyedia jasa keuangan maupun pihakpihak lain.
Dalam pelaksanaannya banyak permasalahan yang dihadapi oleh PPATK sehingga kurang optimalnya hasil yang dicapai. PPATK juga memiliki peranan dalam mendorong pihak yang berkewajiban pelaporan untuk berperan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dengan cara melakukan complaint audit atau pengawasan kepatuhan. Hal ini dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penyedia jasa keuangan dengan cara mengaudit sendiri dan atau bersama-sama pihak regulator.
Dalam pelaksanaan fungsi ini juga banyak mengalami hambatan seperti tidak adanya kewenangan untuk memberikan sanksi sendiri dan terbatasnya sumber daya untuk dapat mengaudit seluruh penyedia jasa keuangan yang jumlahnya cukup banyak. Pelaksanaan tugas PPATK yang kurang maksimal disebabkan baik karena subtansi perundang-undangan, pelaksananya maupun budaya hukum masyarakat dan penegak hukum terhadap tindak pidana pencucian uang. Sedangkan yang perlu diperhatikan yaitu banyaknya kelemahan kewenangan PPATK dalam menjalankan tugasnya, sehingga mendesak perlunya amandemen terhadap undang-undang pencucian uang terutama mengenai kelembagaan, seperti kewenangan penyelidikan, penyidikan, pemblokiran harta kekayaan yang diduga terindikasi tindak pidana dan lain-lain."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didi Sunardi
"Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada setiap warga negara di Indonesia, khususnya dalam hal ini tersangka/terdakwa seperti yang tertera di dalam Pasal 52 KUHAP tentang memberikan keterangan secara sukarela dalam proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) masih sangat jauh bahkan belum sama sekali terwujud karena belum adanya pelaksanaan yang nyata dalam praktek proses penyidikan dalam pembuatan BAP. Adapun penelitian ini mempunyai tujuan sehagai berikut: untuk mengetahui HAM seorang tersangka/terdakwa, untuk mengetahui latar belakang siapa yang melindungi HAM tersangka/terdakwa, untuk mengetahui alasan-alasan mengapa negara harus melindungi HAM tersangka/ terdakwa, serta untuk mengetahui yang menjadi kendala HAM tersangka/terdakwa tidak berjalan dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan sehingga penelitian ini dapat digolongkan ke dalam jenis penelitian hukum normatif.
Untuk menunjang penelitian ini, penulis juga melampirkan hasil wawancara dengan para narasumber, yaitu kepada instansi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat, dan tersangka/terdakwa yang menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah dalam kasus pembunuhan seorang aktivis buruh di Surabaya yang bernama Marsinah.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia berkewajiban melindungi HAM setiap warga negaranya tanpa membedakan agama, warna kulit, ras, suku, ideologi, miskin atau kaya, militer atau sipil. Proses penegakan hukum pidana di Indonesia mempunyai berbagai kendala, yang paling besar adalah adanya pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa berupa penyiksaan dan penganiayaan di setiap proses penyidikan di dalam proses pembuatan BAP yang akhirnya hasil dari putusan akhir dari pengadilanpun cacat demi hukum dan telah mencoreng nama baik negara Indonesia itu sendiri, bahwa di dalam kenyataannya di negara Indonesia tidak berjalan bahkan tidak adanya budaya hukum sama sekali, padahal seringkali para aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah selalu menyebutkan bahwa kita (Indonesia) adalah negara yang berlandaskan atas hukum bukan atas kekuasaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan
"Dalam pelaksanaan tugas pokok menegakkan hukum dan memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat, salah satu tugas yang dilaksanakan Kepolisian RI, adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. penyidikan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pencarian informasi. Informasi yang telah dikumpulkan ini kemudian digolong-golongkan, untuk dilihat segi manfaat dan peruntukannya yang dapat menunjang kegiatan pengungkapan suatu kasus. Selain itu kegiatan penyidikan ditata secara manajerial dan dilakukan dengan melibatkan disiplin ilmu lainnya, guna membantu kegiatan pengungkapan perkara.
Sebagai gerbang awal masuknya kasus pidana umum, penyidik Polri juga harus memahami mengenai pembuktian, kendati pun ketentuan pembuktian lebih ditujukan pada pengadilan tetapi kebanyakan terjadi bahwa yang pertama-tama menemukan bukti sehubungan dengan kejahatan adalah kepolisian dan disamping itu Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa tugas penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pasal 183 Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Berpijak dari ketentuan tersebut, maka penyidik setidak-tidaknya harus mengumpulkan minimal 2 (dua) bukti yang saling bersesuaian dan dari persesuaiannya itu membuat terang suatu tindak pidana.
Semakin canggihnya teknologi, modus operandi kejahatan juga dilakukan secara rapi dan semakin minim bukti yang ditemukan sehingga menyulitkan dalam pengungkapannya. Oleh karena itu, kepolisian juga harus mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam penyidikan tindak pidana agar pengungkapan tindak pidana berjalan lebih objektif. Disinilah peranan ahli dalam bidang tertentu yang latar belakang keahliannya ilmu pengetahuan dan teknologi membantu proses penyidikan dan keterangan yang diberikannya juga termasuk alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waruwu, Jovan Kurata
"Pemikiran tentang adanya perlindungan terhadap saksi dan korban tidak lepas dari kebutuhan akan saksi dan korban yang menjadi saksi dalam setiap persidangan. Hampir semua perkara membutuhkan saksi sebagai alat bukti di pengadilan. Sifat sebagai "kartu as" terhadap seorang saksi akan diberikan apabila data yang dimiliki oleh seorang saksi tersebut diinginkan sesuai dengan harapan penyidik atau Penuntut Umum. Selama ini perlakukan terhadap saksi sangat berbeda dengan perlakukan terhadap terdakwa, negara memberikan ruang hak asasi yang sangat luas terhadap terdakwa namun melupakan perlindungan terhadap saksi. Meskipun ada beberapa pasal dalam KUHAP yang dapat diintepretasikan sebagai suatu perlindungan terhadap saksi, namun dalam hal tersebut masih dirasa kurang. Suasana seperti itulah yang menjadikan keberadaan saksi sampai saat ini masih menjadi tanda-tanya, dimana banyak dari beberapa saksi yang menganggap kehadiran dirinya di dalam sebuah persidangan hanyalah sebagai bagian dari penindasan terhadap hak asasi mereka.
Pemikiran lebih jauh mengarah kepada kesejahteraan, kenyamanan, dan keselamatan saksi dan korban termasuk dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dan korban yang didalamnya termasuk institusi yang melindungi dan melaksanakan perlindungan yang harus telah menjadi program pemerintah mulai dari sekarang. Hal ini dikarenakan negara adalah pihak yang mengayomi kepentingan masyarakat, oleh karena itu harus memberikan kecukupan perlindungan termasuk dalam hal perlindungan terhadap hak-hak seorang saksi, hal ini akan berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia. Khusus dalam beberapa kasus tertentu seperti terorisme, perkosaan, penganiayaan, pengancaman termasuk juga kasus korupsi, perlindungan terhadap saksi dan korban mutlak diperlukan.
Berbicara mengenai perlindungan maka akan berbicara pula mengenai pandangan dari institusi Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang perlindungan, serta pelaksanaan perlindungan tersebut dan bagaimana keterlibatan ketiga institusi ini dalam rangka perlindungan terhadap saksi dan korban."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Iwan
"Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, terorisme, penggelapan, penipuan, dan berbagai kejahatan kerah putih lainnya. Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut, pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan, karena apabila langsung digunakan akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan (banking system).Dengan cara demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan inilah yang dikenal dengan pencucian uang (money laundering). Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besar dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara yang dapat ditimbulkannya, mendorong negara-negara di dunia dan organisasi internasional menaruh perhatian serius terhadap pencegahan dan pemberantasannya. Bagi Indonesia, masalah pencucian uang baru dinyatakan sebagai tindak pidana oleh Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No.25 Tahun 2003, dan menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan rezim anti pencucian uang. Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa pencucian uang merupakan perbuatan kriminal atau kejahatan.Berdasarkan undang-undang itu pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dibentuk dengan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang di Indonesia.
Hal ini tentunya akan sangat membantu dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dan menurunkan terjadinya tindak pidana asal (predicate crimes). Lembaga ini juga berwenang menerima laporan dari penyedia jasa keuangan dan bila menemukan transaksi mencurigakan, menyerahkan laporan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Jadi dalam penanganan tindak pidana pencucian uang dalam tahap pra-adjudikasi, penyidik dan penuntut umum mempunyai mitra baru yang akan sangat membantu dalam proses penanganan tindak pidana pencucian uang tersebut. Sampai dengan saat ini penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang masih menggunakan system pembuktian dua kali, yaitu membuktikan dulu tindak pidana asalnya baru kemudian membuktikan tindak pidana pencucian uangnya. Jadi penyidikan selalu dimulai dari tindak pidana asal.Demikian juga dalam proses penuntutan, belum ada kesepahaman/persamaan persepsi antara penuntut umum dalam penentuan bentuk dakwaan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang sekaligus juga melakukan tindak pidana asal. Hal ini dapat diketahui dari beberapa kasus yang sudah ditangani, ada bermacam bentuk dakwaan yang digunakan tanpa ada dasar teori yang jelas."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16456
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinrang
"Pada awal reformasi isu utama yang perlu dibenahi terkait dua hal yaitu maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan pemerintahan yang totaliter. Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang saran dengan KKN, oleh karena itu perlu adanya pembanasan internal kelembagaan sesuai dengan agenda reformasi di bidang hukum tersebut. Naskah kesepakatan bersama pimpinan lembaga penegak hukum yang isinya perlu dikembangkan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel yang salah pointnya adalah pengakajian atas kemungkinan pengembangan lembaga pengawasan eksternal kejaksaan. Pengawasan di dalam lembaga (internal control) itu sendiri dari dulu sudah dikenal seperti Pengawasan melekat (WASKAT), di kejaksaan sendiri ada JAMWAS dan Inspektur-Inspektur, tetapi sampai sekarang masih ada KKN sehingga muncul ide pembentukan semacam lembaga di luar untuk mengawasi lembaga kejaksaan. Isu tentang perlu dibentuknya pengawasan eksternal kejaksaan berkembang dengan masuknya dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kejaksaan RI.
Dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun tentang Kejaksaan Republik Indonesia disepakati Pasal 38 bahwa "untuk meningkatkan kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Dengan kata "meningkatkan kenirja kejaksaan", maka salah faktor untuk meningkatkan kinerja adalah masalah pengawasan. Pelaksanaan dari amanat Pasal 38 tersebut maka dibentuklah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan RI. Dengan terbentuknya Komisi Kejaksaan yang mempunyai tugas utama sebagai lembaga pengawasan eksternal kejaksaan mernungkinkan adanya tumpang-tindih dengan kewenangan dengan pengawasan internal kejaksaan yang dilakukan oleh JAMWAS beserta jajarannya.
Dengan tugas dan wewenang yang obyeknya sama sebagai lembaga pengawasan maka diperlukan adalah prinsip koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing sehingga sehingga tercipta suatu mekanisme pengawasan terhadap lembaga kejaksan yang baku, transparan, akuntabel dan partisipatif. Dengan prinsip koordinasi maka keberadaan Komisi Kejaksaan tidak tumpang tindih dengan tugas dan kewenangan pengasan internal kejaksaan dan justru dapat mendorong peningkatan kinerja lembaga pengawasan internal kejaksaan dan kejaksaan secara umum. Dengan demikian kehadiran Komisi Kejaksaan patut disambut secara positif untuk melaksanakan salah satu agenda reformasi, khususnya reformasi di bidang hukum. (Sinrang, Komisi Kejaksaan Sebagai Perwujudan Partisipasi Publik Dalam Pengasawasan Lembaga Kejaksaan)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, M.S. Anabertha
"Pidana denda merupakan sanksi pidana yang tergolong tua. Beberapa negara dalam pelaksanaannya pada awalnya bersifat keperdataan, karena berhubungan dengan ganti kerugian. Pada perkembangan selanjutnya pidana denda tidak lagi berhubungan dengan ganti kerugian, melainkan menjadi sanksi pidana.
Perkembangan teori pemidanaan mulai dari teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan mencari jawaban atas kebaradaan dan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan kepada pelaku kejahatan yang awalnya sebagai balasan atas tindak pidana yang telah dilakukan kemudian berkembang menjadi penjatuhan pidana, seyogyanya memberikan manfaat baik kepada masyarakat maupun kepada pelaku kejahatan. Perkembangan teori pemidanaan ini kemudia.n menjadi penyebab berkembangnya pidana denda.
Pada perkembangan, Di Indonesia Pidana denda semakin banyak dipergunakan sebagai ancaman sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan, antara lain adalah pada kejahatan psikotropika dan narkotika. Akan tetapi, pencantuman ancaman pidana denda tersebut adalah untuk memperberat ancaman sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Hal ini karena ancaman pidana denda merupakan kumulatif dari ancaman sanksi pidana penjara, sehingqa dengan demikian penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan narkotika dan psikotropika adalah pidana penjara dan pidana denda.
Bukti lain pidana denda berkembang pesat di Indonesia adalah bahwa dalam rancangan KUHP juga banyak menggunakan ancaman pidana denda sebagai alternatif pemidanaan selain pidana penjara. Pengaturan mengenai pidana denda dalam rancangan KUHP mengatur ancaman pidana denda secara kategori, mengatur sistem penerapan sanksi pidana denda, mengatur batas waktu dan cara pembayaran denda, serta mengenai tindakan paksaan serta pedoman penjatuhan pidana denda. Pidana denda akan semakin sering diterapkan karena semakin dipandang sebagai sanksi pidana yang mampu memenuhi tujuan pemidanaan, yaitu bukan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia, melainkan untuk pencegahan, pembinaan dan penyelesaian konflik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>