Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Dwinda Fildzah Hani
"Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi parameter eksposi optimum pada pemeriksaan sinar-x diagnostik menggunakan Computed Radiography (CR). Kombinasi faktor eksposi yang diuji berada dalam rentang 55 kVp-66 kVp dan 15 mAs-24 mAs untuk toraks, 81 kVp-102 kVp dan 8 mAs-20 mAs untuk abdomen, serta filter tambahan 0 mmAl, 1 mm Al + 0.1 mm Cu, 1 mm Al + 0.2 mm Cu, dan 2 mm Al. Figure of Merit (FOM) sebagai rasio antara kuadrat Signal Difference to Noise Ratio (SDNR) dan dosis dipilih sebagai parameter uji, dengan parameter kualitas citra tambahan berupa Modulation Transfer Function (MTF) dan Contrast Consistency (CV). Meskipun didapatkan kombinasi dengan FOM tertinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa FOM tidak dapat digunakan sebagai parameter optimisasi tunggal dan penggunaannya harus disertai parameter lain. Karenanya, diperlukan penelitian lanjutan sebelum metode ini dapat diterapkan secara klinis.

This study aims to obtain an optimum combination of exposure parameters on diagnostic x-ray examinations using Computed Radiography (CR). The combination of exposure parameters tested were in the range of 55 kVp-66 kVp and 15 mAs-24 mAs for thorax, 81 kVp-102 kVp and 8 mAs-20 mAs for the abdomen, and additional filters 0 mmAl, 1 mm Al + 0.1 mm Cu, 1 mm Al + 0.2 mm Cu, and 2 mm Al. Figure of Merit (FOM) as a ratio between the squared Difference to Noise Ratio (SDNR) signal and the Entrance Surface Dose (ESD) was chosen as optimization parameter alongside with additional image quality parameters such as Modulation Transfer Function (MTF) and Contrast Consistency (CV). Although the combination with the highest FOM was obtained, the results showed that FOM cannot be used as a single optimization parameter and its use must be accompanied by other parameters. Therefore, further research is needed before this method can be applied clinically."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renita Hasna Febrianti
"Penelitian ini membahas karakter dua digital radiography (MobileDiagnost wDr dan Essenta DR Compact) menggunakan fantom in-house dan fantom pro-digi dilihat dari kualitas citranya. Parameter kualitas citra direpresentasikan sebagai koefisien linearitas (CL) yaitu korelasi antara Signal Difference to Noise Ratio (SDNR) dengan kedalaman obyek, dan koefisien variasi (CV) yaitu konsistensi nilai SDNR obyek terhadap perubahan ukuran. Selain itu, Modulation Transfer Function (MTF) juga dievaluasi sebagai parameter tambahan. Pengambilan citra dilakukan dengan empat variasi filter (0 mm Al, 1 mm Al + 0.1 mm Cu, 1 mm Al + 0.2 mm Cu, dan 2 mm Al) juga dengan dan tanpa antiscatter grid. Penelitian ini menunjukan desain dari fantom in-house dapat digunakan untuk Quality control (QC) pada sistem DR tetapi penggunaannya tidak dapat digeneralisasi pada semua DR dikarenakan setiap alat memiliki karakteristik masing-masing.

This study aims to discuss the characteristics of two digital radiography systems, namely Mobile Diagnosis WDR and Essenta DR Compact using in-house phantoms and Pro-Digi in terms of image quality. Proposed image quality parameters are linearity coefficients (CL), namely the correlation between the Signal Difference to Noise Ratio (SDNR) and the depth of the object, and the coefficient of variation (CV), namely the consistency of the SDNR value of an object to size change. In addition, Modulation Transfer Function (MTF) was also evaluated as additional parameter. Phantom images were taken with four filter variations (0 mm Al, 1 mm Al + 0.1 mm Cu, 1 mm Al + 0.2 mm Cu, and 2 mm Al) with and without antiscatter grid. This study shows that the in-house phantom can be utilized for Quality Control (QC) in the DR system but its use cannot be generalized to all DRs due to unique characteristics of each devices."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Hariyati
"Akuisisi citra sistem digital perlu dioptimasi untuk mendapatkan kombinasi parameter fisis paling optimum, sehingga menghasilkan kualitas citra yang cukup dengan dosis radiasi atau mengikuti prinsip ALARA (as low as reasonably achievable). Studi ini dilakukan pada dua anatomi yaitu thoraks dan abdomen dengan fantom in-house yang dibuat khusus sebagai alat kuantisasi kualitas citra. Parameter Figure of Merit (FOM) dikalkulasi sebagai perbandingan antara SDNR kuadrat dan dosis yang aplikasinya diuji pada studi ini. Parameter kualitas citra lainnya direpresentasikan oleh Modulation Transfer Function (MTF) dan Contrast Consistency (CV).
Pada pengukuran menggunakan fantom In-house menghasilkan nilai FOM tertinggi pada thoraks ketika kombinasi faktor eksposi di 57 kV, 8 mAs, 1 mm Al + 0.1 mm Cu; 55 kV, 6.3 mAs, 1 mm Al +0.1 mm Cu dan 63 kV, 5 mAs, 1 mm Al +0.1 mm Cu untuk ketebalan 15 cm, 20 cm, dan 24 cm. Pada abdomen, kombinasi faktor eksposi di 102 kV, 12.5 mAs; 96 kV, 12.5 mAs; 81 kV, 8 mAs, dengan 1 mm Al +0.2 mm Cu menghasilkan nilai FOM tertinggi untuk ketebalan 20 cm, 25 cm, dan 30 cm. Studi ini menunjukkan perlunya penelitian lanjutan untuk mendeskripsikan parameter lain untuk keperluan optimasi.

Digital image acquisition system needs to be optimized to get the most optimum combination of physical parameters, to produce sufficient image quality with radiation doses following ALARA (as low as reasonably achievable) principles. This study was carried out on two anatomies, namely thorax and abdomen with in-house phantoms specifically constructed as image quality quantization tool. The Figure of Merit (FOM) parameter is calculated as the ratio between squared Signal Different to Noise Ratio (SDNR) and the dose for which the application was tested in this study. Other image quality parameters are represented by Modulation Transfer Function (MTF) and Contrast Consistency (CV).
The measurements using the in-house phantom produced the highest FOM values ​​on the thorax when the combination of exposure factors at 57 kV, 8 mAs, 1 mm Al + 0.1 mm Cu; 55 kV, 6.3 mAs, 1 mm Al + 0.1 mm Cu and 63 kV, 5 mAs, 1 mm Al + 0.1 mm Cu for thicknesses of 15 cm, 20 cm, and 24 cm. On the abdomen, a combination of exposure factors at 102 kV, 12.5 mAs; 96 kV, 12.5 mAs; 81 kV, 8 mAs, with 1 mm Al +0.2 mm Cu was resulting in the highest FOM value for 20 cm, 25 cm, and 30 cm thickness. This study shows the need for further research to describe other parameters for optimization purposes.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Ginova
"Studi eksperimental hewan memperlihatkan bahwa kadar vasopresin serum yang tinggi berhubungan dengan hiperfiltrasi, albuminuria dan hipertrofi glomerulus, dan dikhawatirkan berlanjut menjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dalam jangka panjang. Namun, belum terdapat laporan yang membuktikan hubungan sebab-akibat antara peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan vasopresin serum dengan gangguan ginjal, beserta lokasi gangguan ginjal tersebut. Studi ini juga ditujukan untuk melihat kemampuan berat jenis (BJ) urin untuk mendeteksi gangguan ginjal.
Penelitian ini adalah studi potong lintang dengan consecutive sampling di sebuah pabrik sepatu pada bulan Januari–Maret 2020. Subjek adalah pekerja terpajan panas yang dinyatakan sehat berdasarkan medical checkup tahun 2019. Sampel darah dan urin diambil lima jam setelah subjek bekerja. Subjek diperiksakan kreatinin plasma, estimasi LFG berdasarkan CKD-EPI, BJ urin, albuminuria carik-celup, albumincreatinine ratio (ACR) urin, vasopresin serum, kidney injury molecule-1 (KIM-1) urin, dan nefrin urin. Data masa kerja, dan jenis kelamin diperoleh melalui wawancara.
Pada studi ini, diperoleh 119 subjek wanita dengan median usia 38 (31–51) tahun dan median masa kerja 10 (3–14) tahun. Hiperfiltrasi didapatkan pada 18 subjek, LFG tidak menurun pada 104 subjek (87,4%), dan peningkatan nefrin urin pada 104 pekerja (87,4%). Tidak terdapat hubungan antara vasopresin meningkat dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, nefrin urin, dan KIM-1 urin. Terdapat hubungan bermakna antara peningkatan nefrin urin dengan masa kerja ≥ 10 tahun (p = 0,03). Terdapat hubungan peningkatan KIM-1 urin dengan albuminuria (p = 0,008). Terdapat area under the curve (AUC) antara BJ urin dan nefrin urin sebesar 81,7% (95% CI 68,8–94,6%), dengan titik potong BJ urin ≥ 1,018 yang memiliki sensitivitas 71,2% dan spesifisitas 80% untuk kenaikan nefrin.
Sebagai simpulan, peningkatan vasopresin serum tidak berhubungan dengan hiperfiltrasi, penurunan LFG, albuminuria, dan peningkatan KIM-urin. Masa kerja > 10 tahun dihubungkan dengan peningkatan nefrin urin. BJ urin ≥ 1,018 dapat dijadikan acuan untuk mendeteksi kenaikan nefrin urin pada pekerja terpajan panas.

Animal experimental studies have shown that high serum vasopressin levels are associated with hyperfiltration, albuminuria, and glomerular hypertrophy, which may lead to decreased glomerular filtration rate (GFR) in long-term. However, there was no earlier report that has established the causal relationship between elevated serum vasopressin and renal impairment. This study aims to determine the association between increased serum vasopressin and kidney impairments, along with the location of these impairments. This study is also aimed to look at the ability of urine specific gravity to detect elevated serum vasopressin and kidney impairments.
This study was a cross-sectional study with consecutive sampling in a shoe factory from January–March 2020. Subjects were heat-exposed workers who were declared healthy based on the medical checkup in 2019. Blood and urine samples were taken five hours after the subject worked. Subjects were examined for plasma creatinine, estimated GFR (eGFR) based on CKD-EPI, urine specific gravity, dipstick albuminuria, urine albumin-creatinine ratio (ACR), serum vasopressin, urine kidney injury molecule-1 (KIM-1), and urinary nephrin. Data on age, length of service, and gender were obtained through interviews.
There were 119 female subjects with a median age of 38 (31–51) years and a median length of service 10 (3–14) years. eGFR was not decreased in 104 subjects (87.4%) and urinary nephrin increased in 104 workers (87.4%). There were no increase in urinary albumin excretion and urinary KIM-1. There were significant association between increased urinary nephrin with length of service ≥ 10 years (p = 0.03), normal-increased eGFR with age 30–39 years (p = 0.001), and increased urinary KIM-1 with albuminuria (p = 0.008). There was an area under the curve (AUC) of 81.7% (95% CI 68.8–94.6%) between urine specific gravity and urinary nephrin, with a cut-off point of urine specific gravity > 1.018 having a sensitivity of 71.2% and a specificity of 80% for the increase in urinary nephrin.
In conclusion, increased serum vasopressin does not cause a decrease in GFR, albuminuria, and increase in urinary KIM, but does cause an increase in urinary nephrin. urine specific gravity ≥ 1.018 can be used as a cut-off for detecting increased urinary nephrin in heat-exposed workers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library