Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Mercy Tiarmauli
"ABSTRAK
Latar belakang: D-dimer adalah hasil pemecahan cross-linked fibrin, sehingga peningkatan kadar D-dimer dapat dipakai sebagai penanda aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis. Kadar D-dimer yang normal dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis trombosis pada pasiendengan dugaan trombosis, tetapi hal ini tidak dapat dipakai pada kehamilan karena kadar D-dimer juga meningkat pada kehamilan.
Tujuan: Menentukan kadar D-dimer pada wanita hamil tanpa komplikasi pada tiap trimester.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada 90 wanita hamil tanpakomplikasi yang terdiri dari 30 orang dari trimester 1, trimester 2 dantrimester 3 dan 30 wanita sehat sebagai kontrol. Penelitian dilakukan daribulan Juli sampai Agustus 2012.Pengukuran kadar D-dimer denganreagen Innovance memakai koagulometer Sysmex CA 1500 diDepartemen Patologi Klinik.
Hasil:Semua wanita dalam kelompok control mempunyai kadar D-dimer dalam rentang normal (<0.5mg/L FEU). Kadar D-dimer pada trimester 1 berkisar antara0,1 – 1,07 mg/L FEU dan 8 di antara 30 (27%) menunjukkan peningkatan kadar D-dimer, pada trimester 2 kadar D-dimer berkisarantara 0.6 – 3,34 mg/L FEUdan 26 di antara 30 (87%) menunjukkan peningkatan kadar D-dimer, sedang pada trimester 3 kadar D-dimer berkisar antara 0.69 – 3,75 mg/L FEU dan seluruhnyamenunjukkan peningkatan kadar D-dimer.Kadar D-dimer pada wanita hamil lebih tinggi secara bermakna dibandingkan wanita tidak hamil.
Kesimpulan: Peningkatan kadar D-dimer ditemukan pada 27% wanita hamil trimester 1, 86% pada trimester 2 dan 100% pada trimester 3.

ABSTRACT
Background: D-dimer is degradation product of cross-linked fibrin, therefore increased D-dimer level indicates activation of coagulation and fibrinolysis. Normal D-dimer level can be used to rule out diagnosis of venous thromboembolism in suspected patient, however it cannot apply in pregnancy because D-dimer level also increase during pregnancy. The aim of study is to determine the level of D-dimer on uncomplicated pregnancy in each trimester.
Aim: The study is to determine the level of D-dimer on uncomplicated pregnancy in each trimester.
Methods: A cross sectional study was done on 90 uncomplicated pregnant women consisted of 30 women of each trimester and 30 healthy, nonpregnant women as control group from July to August 2012. D-dimer level was measured by Innovance D-dimer using Sysmex CA 1500 coagulometer in Department of Clinical Pathology, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Result: All women in the control group showed normal D-dimer level (<0,5 mg/L FEU). The range of D-dimer level in the 1st trimester was 0,17 – 1.07 mg/L FEU , 8 out of 30 (27%) pregnant women showed increased D-dimer level, in the 2nd trimester was 0,31 – 3,34 mg/L FEU, 26 out of 30 (87%) indicated increased D-dimer, and in the 3 rd trimester the range of D-dimer level was 0,69 – 3, 75 mg/L FEU, and all of pregnant women 100% showed increased D-dimer level.
Conclusion:The levelof D-dimer in the 1st trimester was 0.17- 1.07 mg/L FEU, in the 2ndtrimester was 0,31 – 3,34 mg/L FEU, andin the 3 rd trimesterwas 0.69-3.75% mg/L FEU."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Juliawati Haliman
"Gangguan sirkulasi sering menimbulkan penyakit dengan angka kematian yang tinggi. D Indonesia gangguan sirkulasi sudah merupakan masaiah utama kesehatan Peningkatan kekentalan atau viskositas darah dapat merupakan penyebab langsung kegagalan sirkulasi Dengan semakin banyaknya kematian disebabkan oleh gangguan sirkulasi maka diperkirakan dimasa yang akan datang di Indonesia permintaan pemeriksaan rheologi seperti viskositas akan semakin meningkat. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi viskometer yang dimilik Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM sebelum dapat digunakan untuk kepentingan diagnosis dan mengikuti perkembangan suatu penyakit serta menetapkan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Selain itu juga dilakukan uji korelası dan dan uji regresi untuk mengetahui faktor-taktor seluler dan non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas darah dan faktor non seluler mana yang paling mempengaruhi viskositas plasma dan serum Subyek penelitian adalah 139 subyek berasal dari mahasiswa dan penderita yang memeriksakan darahnya di Laboratorium Patolog Klinik FKUI-RSCM Pada subyek tersebut dilakukan uji korelasi dan regresi antara viskositas darah, plasma dan serum dengan parameter seluler dan non seluler Khusus untuk uj korelasi antara viskositas darah dengan vanabel bebas dilakukan uji korelasi parsial dengan melakukan kontrol terhadap variabel yang pengaruhnya pada viskositas darah paling besar yaitu Ht, Hb dan jumlah eritrosit Dari 139 subyek di atas diambil 20 subyek pria dan 20 subyek wanita baik yang memenuhi kriteria untuk dilakukan penetapan nilai rujukan viskositas darah, plasma dan serum Didapatkan hasil uji ketelitian dan ketepatan viskometer Brookfield LVDV-III Didapatkan nilai rujukan viskositas darah pada pria 3 77- 497 mPa s dan pada wanita 3.36-4 20 nilai rujukan viskositas plasma pada pria dan wanita sama yaitu 1 38-1 70 mPa s. Didapatkan mPa s, Sedangkan nilai rujukan viskositas serum pria lebih tinggi dani wanita yaitu 1 18-1 54 vs 1.19- 1.43. Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas darah Hb (r =0.8281. p 0.000), Ht (r = 0.8358, p = 0.000), hitung enitrosit (r = 0.7454, p=0000) Sedangkan pada uji korelasi parsial setelah dilakukan kontrol terhadap Ht Hb dan entrosit didapatkan korelasi antara viskositas darah dengan log. hitung leukosit (r = 0.3694, p = 0.000), log LED (r = 0.3575, p 0 000), log. hitung trombosit (r= 0.2340, p= 0 006), log trigliserida (r = 0.3707, p = 0 000), log K total (r 0.3331, p = 0.000), K LDL (r = 0 2812, p = 0.001), protein total ( r 0 1981, p 0.021) globulin (r = 0.2598, p 0.002, log glukosa (r = 0 2462, p 0 004), asam urat (r = 0.2667, p= 0.002) dan log fibrinogen ( r = 0 4387, p = 0.000) Pada uji korelasi bivariat didapatkan korelasi antara viskositas plasma dengan log fibrinogen (r = 0.2705 p = 0.001), protein total (r= 0.2362. p = 0.005 dan globulin (r = 0.2420, p = 0.004). Pada uji korelasi bivarial didapatkan korelasi antara viskositas serum dengan protein total (r = 0.1786, p = 0.035) dan log trigliserida (r = 0.2037, p= 0.016). Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas darah dipengaruhi oleh Ht, log hitung leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida dengan R² persamaan 077 Pada regresi ganda bertahap didapatkan viskositas plasma dipengaruhi oleh log fibrinogen dan protein total denga R persamaan 0.11. Pada uji regresi ganda bertahap didapatkan viskositas serum hanya dipengaruhi oleh log trigliserida dengan R² persamaan hanya 0.04. Dari hasi uji korelasi tampak bahwa faktor seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah eritrosit (Ht, r = 0.8358) sedangkan faktor non seluler terpenting yang mempengaruhi viskositas darah adalah log fibrinogen (r = 0.4367). Faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas plasma adalah log fibrinogen (r = 0.2705) dan faktor terpenting yang mempengaruhi viskositas serum adalah log triglisenda (r = 0.2037) Sebagai kesimpulan didapatkan korelasi yang baik antara viskositas darah dengan Ht dan Hb dan korelasi sedang antara viskositas darah dengan jumlah eritrosit. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas darah dengan log jumlah leukosit, log LED, log jumlah trombosit. log trigliserida, log K total, K LDL, log fibrinogen, protein total, globulin, log glukosa dan asam urat. Didapatkan korelasi lemah antara viskositas plasma dengan log fibrinogen, protein total dan log traglisenda Didapatkan kontribusi Ht, log. leukosit, log fibrinogen, albumin dan log trigliserida pada viskositas darah. Didapatkan kontribusi log fibrinogen dan protein total pada viskositas plasma Didapatkan kontribusi log trigliserida pada viskositas serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Yasma Yanti
"Infeksi Clostridium difficile toksigenik meningkat tajam pada satu dekade terakhir, menyebabkan pseudo membran colitis (PMC) dan Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). Salah satu faktor risikonya adalah penggunaan antibiotik. Tujuan penelitian adalah mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik subyek dengan Clostridium difficile toksigenik serta menilai kemampuan rapid test toksin terhadap real time PCR. Subyek penelitian prospektif ini adalah 90 subyek dewasa dengan terapi antibiotik lebih dari 2 minggu. Hasil pemeriksaan menggunakan rapid test dan real time PCR disajikan dalam tabel 2x2, dilakukan uji statistik dengan chi square. Hasil penelitian menunjukkan 2 spesimen dieksklusi karena hasil invalid, 24 spesimen positif dan 64 negatif dengan rapid test toksin; 33 spesimen positif dan 55 negatif dengan real time PCR. Prevalensi Clostridium difficile toksigenik berdasar rapid test toksin adalah 27,3% dan real time PCR 37,5%. Terdapat perbedaan bermakna antara konsistensi feses dan jumlah antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik (p<0,05). Terdapat hubungan antara lama terapi antibiotik dengan terdeteksinya Clostridium difficile toksigenik menggunakan real time PCR (p=0,010, RR=2,116). Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio kemungkinan negatif rapid test toksin terhadap real time PCR berturut-turut adalah 69,7%; 98,2%; 95,8%; 84,4%; 39,2 dan 0,31. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa prevalensi Clostridium difficile di RSCM lebih tinggi dibanding Malaysia, Thailand dan India; subyek dengan terapi antibiotik lebih dari 4 minggu berisiko terdeteksi Clostridium difficile toksigenik 2 kali lebih besar dibanding subyek dengan terapi antibiotik kurang dari 4 minggu; rapid test toksin dapat digunakan sebagai alat deteksi Clostridium difficile toksigenik.

Toxigenic Clostridium difficile infection have increased sharply in the last decade, causing a pseudo membrane colitis (PMC) and Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD). One of the biggest risk factor is the use of antibiotics. The purpose of the study was to determine the prevalence and characteristics of subjects with toxigenic Clostridium difficile and assess the ability of the toxin rapid test compared to real-time PCR. Ninety adult subjects with antibiotic therapy more than 2 weeks were enrolled to this prospective study. The results of toxin rapid test and real-time PCR were presented in 2x2 table, statistical tests was calculated with chi square. Two specimens were excluded due to invalid results. The results showed 24 positive and 64 negative specimens by toxin rapid test; 33 positive and 55 negative specimens by real-time PCR. The prevalence of toxigenic Clostridium difficile based on toxin rapid test were 27.3% and 37.5% by real-time PCR. There were significant differences between stool consistency and number of antibiotics that were used with the detection of toxigenic Clostridium difficile. There was a relationship between duration of antibiotic therapy with detection of toxigenic Clostridium difficile using real-time PCR (p = 0.010, RR = 2.116). Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio and negative likelihood ratio of toxin rapid test against real-time PCR were 69.7%; 98.2%; 95.8%; 84.4%; 39.2 and 0.31, respectively. The study concluded that the prevalence of Clostridium difficile in RSCM was higher than Malaysia, Thailand and India; subjects with antibiotic therapy for more than 4 weeks had double risk to have toxigenic Clostridium difficile than subjects with antibiotic therapy for less than 4 weeks and toxin rapid test could be used as a tool to detect toxigenic Clostridium difficile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ro Shinta Christina Solin
"Luka bakar merupakan salah satu bentuk trauma tersering dan infeksi luka bakar merupakan masalah serius yang menyebabkan hambatan pada maturasi epidermal dan penambahan pembentukan jaringan parut. Pada tahun terkahir berbagai penelitian menemukan patogen yang resisten terhadap terapi antibiotik. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran profil bakteri dan antibiogram pada infeksi luka bakar serta mortalitas di Unit Luka Bakar ULB Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo RSUPNCM periode Januari-Desember 2015. Penelitian ini dilaksanakan secara retrospektif dan didapatkan 214 isolat dari spesimen pus, swab, dan jaringan luka bakar yang berasal dari 89 pasien yang dirawat di ULB RSUPNCM. Isolat bakteri terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan Acinetobacter baumannii. Proporsi mortalitas didapatkan sebesar 32.5

Burns is one of the most common forms of trauma and burn wound infection is a serious problem that causes a drag on epidermal maturation and addition of scar tissue formation. In recent years various studies finding pathogens that are resistant to antibiotic therapy. This study aims to get an overview of bacteria and antibiogram profile in infections and mortality burns in the Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period from January to December 2015. In this study, 214 isolates from pus specimens, swabs, and tissue burns derived from 89 patients treated at Burn Unit dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Most bacterial isolates is Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, and Acinetobacter baumannii. The proportion of mortality obtained amounted to 32.5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55643
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Utomo Nusantara
"ABSTRAK
Hemolisis merupakan masalah yang umum dijumpai dalam praktik laboratorium dengan prevalensi 3,3 dari total spesimen yang diterima di laboratorium. Hemolisis memiliki pengaruh yang berbeda pada pemeriksaan PT dan APTT pada subyek sehat dan pasien Sysmex CS2100i merupakan alat koagulometer yang menggunakan prinsip deteksi koagulasi dengan transmisi cahaya foto-optikal yang dilengkapi dengan detektor hemolisis ikterik dan lipemik HIL dan multiple wavelength detector. Aspek terpenting dalam praktik laboratorium terkait hemolisis adalah mengetahui batasan indeks hemolisis yang dapat menimbulkan bias bermakna di dalam suatu pemeriksaan dalam hal ini PT dan APTT. Jumlah subyek penelitian sebesar 70 orang yang dibagi dua yaitu, kelompok sehat sebesar 35 orang dan kelompok sakit dengan warfarin sebesar 35 orang. Pembuatan hemolisat dilakukan dengan metode trauma mekanik menggunakan syringe insulin dengan jarum 30G. Pada hasil PT dan APTT subyek sehat didapatkan uji repeated measures ANOVA bermakna, p=0,001 dan subyek sakit dengan warfarin didapatkan uji Friedman bermakna, p=0,001. Uji post-hoc Dunnett subyek sehat untuk hasil PT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 150, 200, 250, 330 dan 500 mg/dL, sedangkan hasil APTT didapatkan hasil bermakna pada konsentrasi hemolisis 250, 330, dan 500 mg/dL. Uji post-hoc Wilcoxon subyek sakit untuk hasil PT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 100, 150, 200, 250, 330 dan 500 mg/dL, sedangkan hasil APTT didapatkan nilai bermakna pada konsentrasi hemolisis 250, 330 dan 500 mg/dL.Bias hemolisis maksimal yang masih dapat diterima dengan kriteria Ricos dkk untuk PT dan APTT subyek sehat masing-masing adalah 100 mg/dL, sedangkan subyek sakit dengan warfarin adalah 50 mg/dL dan 200 mg/dL. Batasan dengan kriteria CLIA untuk PT dan APTT subyek sehat adalah 330 mg/dL dan 250 mg/dL, sedangkan subyek sakit dengan warfarin adalah 330 mg/dL baik untuk PT maupun APTT. Dari grafik scatter didapatkan tren pemanjangan hasil PT dan APTT subyek sehat, sedangkan pada subyek sakit dengan warfarin didapatkan tren pemanjangan hasil PT dan pemendekan hasil APTT. Penerapan batasan bias hemolisis maksimal memungkinkan praktisi laboratorium untuk tetap menerima spesimen dengan interferensi hemolisis pada pemeriksaan PT dan APTT, memastikan hasil yang dikeluarkan tetap akurat, tanpa menunda penatalaksanaan terhadap pasien dan mengurangi biaya dan ketidaknyamanan yang timbul akibat pengambilan kembali spesimen.

ABSTRACT
Hemolysis is a common problem in laboratory practice with a prevalence of 3.3 of the total specimens received in the laboratory. Haemolysis have a different influence on the examination of the PT and APTT in healthy and patients subjects. Sysmex CS2100i is a coagulometer with the photo optical method, equipped with hemolysis, icteric and lipemic detector HIL and multiple wavelength. The most important aspect in laboratory practice is to know the limits associated with haemolysis that can cause significant bias in PT and APTT assay. The total number of research subjects are 70 people, divided into 35 healthy subjects and 35 patient subject undergoing warfarin therapy. Hemolysate was conducted using a mechanical trauma using insulin syringe with 30G needle.. Repeated measures ANOVA test of PT and APTT on healthy subjects obtained a significant statistical result, p 0.001. The warfarin users also had a significant statistical result with Friedman test, p 0.001. Post hoc Dunnett test on PT values of healthy subjects, obtained a statisticaly significant results in hemolysis concentration of 150, 200, 250, 330 and 500 mg dL, while the APTT results obtained significant statistical results in haemolysis concentration of 250, 330, and 500 mg dL. Wilcoxon post hoc test of PT on patient subjects obtained significant result in the haemolysis concentration of 100, 150, 200, 250, 330 and 500 mg dL, while the APTT values obtained significant results in hemolysis concentration 250, 330 and 500 mg dL. The maximum bias that still could acceptable by Ricos et al criteria for PT and APTT on healthy subjects for both were 100 mg dL, whereas patient subjects undergoing warfarin therapy was 50 mg dL and 330 mg dL. Using CLIA criteria for PT and APTT on healthy subjects resulted maximum bias was 330 mg dL and 250 mg dL, whereas warfarin users was 330 mg dL for PT and APTT. There was a trend of increase in the readings of PT and APTT on healthy subjects, while on patient subjects undergoing warfarin there was a trend of increase in PT and decrease of APTT results. The application of acceptable hemolysis bias limit, enable laboratory practitioners to process hemolysis specimens in PT and APTT assays, ensuring the results is still accurate without delaying clinical decision and to reduce the cost and inconvenience arising from the specimen recollection. "
2017
T55610
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Kusuma Widiasih
"Latar belakang: Hemoglobin A1c HbA1c adalah pemeriksaan kontrol glikemik jangka panjang yang banyak digunakan. HbA1c berhubungan dengan risiko komplikasi diabetes. Akurasi pemeriksaan HbA1c dapat dipengaruhi kondisi hemoglobin varian. Hemoglobin varian adalah kelainan struktur hemoglobin. Di Indonesia, Hb. paling sering dijumpai. Sehingga peneliti ingin mengetahui prevalensi penderita hemoglobin varian pada pasien pemeriksaan HbA1c di RSUPNCM dan pengaruh hemoglobin varian terhadap pemeriksaan HbA1c metode afinitas boronat POCT dan ion-exchange HPLC dan gambaran mutasi gen hemoglobin varian heterozigot.
Metode: Dilakukan uji ketelitian between day serta uji ketepatan within run menggunakan kontrol normal dan patologis. Subjek uji prevalensi adalah seluruh pasien yang melakukan pemeriksaan HbA1c di RSUPNCM. Terhadap subjek tersebut dilakukan pemeriksaan HbA1c metode ion-exchange HPLC dan pada subjek yang didapatkan variant window dilakukan analisa hemoglobin metode ion-exchange HPLC. Dilakukan uji perbedaan dua rerata antar kelompok pemeriksaan, subjek didapatkan secara konsekutif yang memenuhi krteria inklusi dan eksklusi. Terhadap subjek dilakukan pemeriksaan HbA1c metode ion-exchange HPLC, HbA1c metode afinitas boronat POCT Nycocard, dan HbA1c ion exchange extended HPLC dan dilakukan analisa hemoglobin metode ion-exchange HPLC. Analisa hemoglobin metode ion-exchange HPLC dilakukan terhadap seluruh subjek pada kedua kelompok. Dilakukan analisa DNA dengan metode PCR-RFLP dan metode DNA sequence untuk mengetahui gambaran mutasi hemoglobin varian heterozigot pada penelitian ini.
Hasil: Didapatkan proporsi penderita hemoglobin varian sebesar 17 per 994 pasien 1.8 pada pasien yang melakukan pemeriksaan HbA1c di RSUPNCM. Pada uji perbedaan rerata HbA1c, metode afinitas boronat POCT dibandingkan ion-exchange extended HPLC didapatkan nilai HbA1c lebih rendah bermakna secara statistik pada kelompok hemoglobin varian p=0.006. Uji perbedaan rerata HbA1c metode ion-exchange HPLC dibandingkan dengan metode ion-exchange extended HPLC tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok subjek hemoglobin normal p= 0.534 dan hemoglobin varian p=0.781. Uji perbedaan median HbA1c metode afinitas boronat dan ion exchange extended HPLC tidak bermakna pada kelompok hemoglobin normal p=0.006. dan terdapat perbedaan bermakna pada kelompok hemoglobin varian p=0.006. Hemoglobin varian heterozigot pada penelitian ini terdiri dari. subjek HbG Makassar dan 19 subjek Hb. heterozigot. Hasil DNA sequence dideteksi HbE homozigot dan Hb. Makassar. Hasil PCR-RFLP didapatkan HbE heterozigot.
Kesimpulan: Proporsi hemoglobin varian pada pasien pemeriksaan HbA1c di RSUPNCM adalah 17 per 994 pasien 1.8. Hemoglobin varian menyebabkan nilai HbA1c lebih rendah bermakna secara statistik dan klinis pada pemeriksaan metode afinitas boronat POCT dibandingkan metode ion-exchange extended HPLC. Hasil pemeriksaan HbA1c metode ion-exchange HPLC dibandingkan ion-exchange extended HPLC metode rujukan pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna. Hasil DNA sequence dideteksi HbE homozigot dan Hb. Makassar. Hasil PCR-RFLP didapatkan HbE heterozigotKata Kunci. Hb. Makassar, Hb E, pemeriksaan HbA1c, ion-exchange extended HPLC.

Background: Hemoglobin A1c HbA1c is. widely used long term glycemic control check. HbA1c is associated with the risk of diabetes complications. Accuracy of HbA1c examination can be influenced by hemoglobin variant condition. Hemoglobin variant is hemoglobin structure disorder. In Indonesia, Hb. is most commonly found. Researcher wanted to know the prevalence of hemoglobin variant patient in HbA1c examination patient at RSUPNCM and the influence of hemoglobin variant on HbA1c examination of POCT boronate affinity method and HPLC ion exchange and gene mutation heterogeneous hemoglobin variant.
Method: Performed between day precision test and accuracy test within run using normal and pathological control. The subjects of prevalence test were all patients performing HbA1c examination at RSUPNCM. Against this subject, HbA1c examination of the HPLC ion exchange method and in the subjects obtained by the variant window was analyzed by the HPLC ion exchange method hemoglobin. The difference test was performed between the two groups, the subjects were obtained in. consecutive manner which fulfilled the inclusion and exclusion krteria. Subjects were subjected to HbA1c examination of the HPLC ion exchange method, HbA1c POCT Nycocard boronate affinity method, and HbA1c ion exchange extended HPLC and HPLC ion exchange hemoglobin analysis performed. The HPLC ion exchange method hemoglobin analysis was performed on all subjects in both groups. DNA analysis was performed using PCR RFLP method and DNA sequence method to find out the heterozygot hemoglobin mutations in this study.
Result: The proportion of variant hemoglobin patients was 17 per 994 patients 1.8 in patients who performed HbA1c examination at RSUPNCM. In the HbA1c mean difference test, the POCT boronate affinity method versus the HPLC extended exchange ion obtained significantly lower HbA1c values in the variant hemoglobin group. 0.006. HbA1c difference test of the HPLC ion exchange method compared with the HPLC extended ion exchange method found no significant difference in the normal hemoglobin group. 0.534 and the variant hemoglobin group. 0.781. The median HbA1c difference test of the boronate affinity method and the extended exchange ion HPLC was not significant in the normal hemoglobin group. 0.006. and there was. significant difference in the variant hemoglobin group. 0.006. Variant hemoglobin heterozygous in this study consisted of. subjects of HbG Makassar and 19 Hb. heterozygous subjects. The DNA sequence result was detected by HbE homozygot and Hb. Makassar. Results of PCR RFLP obtained HbE heterozygotes.
Conclusion: The proportion of variant hemoglobin in HbA1c examination patients at RSUPNCM was 17 per 994 patients 1.8. Variant hemoglobin causes significantly lower HbA1c values statistically and clinically on examination of the POCT boronate affinity method than the HPLC extended exchange ion method. HbA1c examination of ion exchange HPLC method compared to HPLC extended exchange ion reference method in both groups was not significantly different. The DNA sequence result was detected by HbE homozygot and Hb. Makassar. Results of PCR RFLP obtained HbE heterozygotesKey Words Hb. Makassar, Hb E, HbA1c examination, ion exchange extended HPLC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny
"Latar belakang: Leukemia limfoblastik akut LLA merupakan jenis kanker tersering pada anak. Faktor penyakit dan kemoterapi dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi makro maupun mikro. Zinc adalah salah satu nutrien mikro yang memiliki banyak peran fisiologis dalam tubuh, namun kadarnya berkurang pada penyakit limfoproliferatif. Defisiensi zinc cenderung meningkatkan morbiditas pada anak LLA, salah satunya infeksi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mencari proporsi defisiensi zinc pada LLA anak serta hubungannya dengan kejadian infeksi.
Pasien dan metode: Disain penelitian potong lintang deskriptif-analitik, tempat pelaksanaan di Departemen Patologi Klinik dan Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jumlah subjek 81 anak LLA, yang terdiri dari 26 pasien baru dan 55 pasien pada berbagai fase kemoterapi. Kadar zinc diukur menggunakan prinsip kolorimetri dengan alat spektrofotometer otomatis.
Hasil: Proporsi defisiensi zinc pada pasien yang baru terdiagnosis sebesar 65.4 n= 26 dan pada pasien kemoterapi sebesar 49 n= 55 . Terdapat hubungan bermakna antara defisiensi zinc dengan kejadian infeksi p= 0.003; RR= 3.2, 95 CI 1.33 ndash; 7.69
Kesimpulan: Defisiensi zinc ditemukan pada anak dengan LLA sebelum kemoterapi dimulai, maupun pada berbagai fase kemoterapi. Risiko infeksi lebih besar pada anak LLA yang mengalami defisiensi zinc. Suplementasi zinc dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan prognosis, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya.

Background: Acute lymphoblastic leukemia ALL is a most common malignancy in children. Disease factors and chemotherapy effects may cause both macro or micro nutritional imbalance. Zinc is one of the micro nutrients that has many physiological roles in the body, but the levels may decrease in ALL. Zinc deficiency tend to increase morbidity in children with ALL, including infection.
Objective: The present study was done in order to find the proportion of zinc deficiency in pediatric ALL patients and to identify its relationship with the incidence of infection.
Patients and methods: This cross sectional study was carried out in the Departement of Clinical Pathology and Department of Paediatric Health, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. We conducted 81 paediatric ALL patients, consisted of 26 newly diagnosed and 55 in various phases of chemotherapy. Zinc levels were measured using colorimetric method by an automatic spectrophotometer.
Results: The proportion of zinc deficiency is 65.4 in newly diagnosed patients and 49 in children with various chemotherapy phases. There is a significant association between zinc deficiency and the incidence of infection p 0.003 RR 3.2, 95 CI 1.33 ndash 7.69.
Conclusion: zinc deficiency was found in children with LLA, and has significant association with the risk of infection. Zinc supplementation may be considered to improve the prognosis, however futher study of safety and side effect is necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Novianingtyas
"Kanker kolorektal adalah salah satu kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Kanker kolorektal terkait dengan reaksi inflamasi lokal akut dan dapat tergambarkan melalui neutrofil. Kalprotektin merupakan petanda spesifik yang stabil, dapat diperiksa pada sampel feses, mudah dan memiliki presisi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong kadar kalprotektin fekal pada pasien terduga kanker kolorektal dan mengetahui peran diagnostik kalprotektin fekal dibandingkan dengan gambaran histopatologik sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif analitik. Penelitian melibatkan 84 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi dan kadar kalprotektin fekal diperiksa menggunakan kit Calprest® Eurospital metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar kalprotektin fekal berdasarkan analisis kurva ROC pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,617 (95%CI: 0,483-0,75). Titik potong kadar kalprotektin fekal didapatkan 125 mg/kg dengan sensitivitas 60,71%, spesivisitas 60,71%, NPP 43,58% dan NPN 75,55%. Berdasarkan hasil uji diagnostik, kadar kalprotektin fekal dapat dipertimbangkan dalam penegakkan diagnosis pasien terduga kanker kolorektal sehingga pemeriksaannya dalam panel pemeriksaan pasien dengan terduga kanker kolorektal perlu dilakukan.

Cancer colorectal has high prevalence worldwide. Colorectal cancer is associated with local acute inflammatory reaction so that in some cases it can be visualized by white cell neutrophil scanning. Calportectine is a stable neutrophil specific marker which can be easily evaluated in stool with a high precision. This study aims to find out fecal calprotectine cut off on suspected colorectal cancer and to establish its diagnostic role with histopathologic findings as a gold standart. The study design was cross sectional with descriptive analytic data presentation. The study involved 84 adult patients who performed colonoscopy and fecal calprotectine consentration was examined with ELISA kit Calprest® Eurospital. Diagnostic accuracy of fecal calprotectine based on ROC curve analysis in this study was 0,617 (95% CI: 0,483-0,75). Cut off fecal calprotectine was 125 mg/kg with sensitivity 60,71%, spesivicity 60,71%, PPV 43,58% and NPV 75,55%. Based on diagnostic accuracy, fecal calprotectine was considered in diagnosting suspected colorectal cancer and that should be tested on the panel of suspected colorectal cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mery Nitalia
"ABSTRAK
Berbagai studi terkini menunjukkan hubungan antara vitamin D dan sepsis. Vitamin D berperan sebagai stimulator produksi peptida antimikroba dan mencegah inflamasi yang berlebihan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin D berhubungan dengan risiko terjadinya sepsis. Saat ini belum terdapat data mengenai hubungan status vitamin D dengan pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara proporsi status vitamin D dengan pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat.
Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 60 pasien infeksi terbagi menjadi kelompok infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat masing-masing 20 pasien. Diagnosis sepsis berdasarkan modifikasi SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference 2001. Status vitamin D ditetapkan menurut rekomendasi Holick. Pada ketiga kelompok tersebut dicatat data karakteristik subjek dan dilakukan pemeriksaan 25(OH)D.
Status vitamin D pada subjek penelitian ini didapatkan sebanyak 5 (8,33%) orang insufisiensi dan 55 (91,67%) orang defisiensi vitamin D Proporsi insufisiensi pada kelompok infeksi tanpa sepsis adalah 5%, sepsis 10%, dan sepsis berat 10%. Proporsi defisiensi pada kelompok infeksi tanpa sepsis adalah 95%, sepsis 90%, dan sepsis berat 90%. Didapatkan perbedaan tidak bermakna proporsi insufisiensi dan defisiensi vitamin D pada kelompok infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat.
Kami menyimpulkan status vitamin D tidak berhubungan dengan beratnya sepsis. Proporsi insufisiensi dan defisiensi pada pasien infeksi tanpa sepsis, sepsis, dan sepsis berat masing-masing didapatkan 5% dan 95%; 10% dan 90%; 10% dan 90%.

ABSTRACT
Recent studies have shown that there is a relationship between vitamin D and sepsis. Vitamin D has a a role as a potent stimulator of antimicrobial peptides and prevent an over reaction of the inflammatory response. Insufficiency and deficiency of vitamin D have been associated with sepsis event. Nevertheless, there is no data about the relationship between vitamin D status with infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient. The aim of this study was to obtain the relationship between proportions of vitamin D with infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient.
This was a cross-sectional study, 60 patients with infection were divided into groups of infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis, each consisted of 20 patients. Diagnosis of sepsis was based on modified SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference 2001. Vitamin D status was defined according to Holick recommendations. Baseline characteristics of subjects were recorded and 25(OH)D concentrations were measured in subjects of each groups.
According to status of Vitamin D, 5 (8,33%) subjects were insufficiency and 55 (91,67%) were deficiency. The proportions of vitamin D insufficiency at infection without sepsis group were 5%, sepsis 10%, and severe sepsis 10%. The proportions of vitamin D deficiency at infection without sepsis group were 95%, sepsis 90%, and severe sepsis 90%. The proportions of insufficiency and deficiency at infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis patient were not significantly different (p > 0.05).
It is concluded that vitamin D status were not related to infection severity. The proportions of vitamin D insufficiency and deficiency at infection without sepsis, sepsis, and severe sepsis, i.e. 5% and 95%; 10% and 90%; 10% and 90%, respectively."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanamal, Grace C.D.
"ABSTRAK
Latar belakang. Defisiensi besi adalah salah satu gangguan gizi yang paling umum di seluruh dunia dan ini bisa terjadi pada para donor darah laki-laki yang rutin. Seorang donor tetap diharapkan dapat menyumbangkan darahnya secara teratur dalam jangka waktu yang tertentu. Pada donor darah yang seringkali diambil, dikhawatirkan pada suatu waktu dapat terjadi defisiensi besi, tanpa anemia. Dengan demikian menjadi perhatian utama para donor tersebut untuk dilakukan skrining defisiensi besi yang bertujuan bagi para donor darah ini agar tetap sehat dan terus mendonorkan darahnya.
Metodologi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada para donor darah laki-laki yang menyumbangkan darahnya pertama, kelima dan kesepuluh kali. Masing-masing donasi terdiri dari 25 orang yang diambil sampel darahnya untuk dilakukan pemeriksaan hematologi darah lengkap dan pemeriksaan serum iron, TIBC, saturasi transferin dan feritin serum.
Hasil. Didapatkan hasil pada donasi pertama, rerata kadar feritin adalah 91,78; pada donasi kelima terjadi peningkatan kadar feritin yaitu sebesar 111,49 dan menurun lagi pada kelompok pendonor donasi kesepuluh yakni 65,28. Hasil uji kruskal wallis menunjukkan ada perbedaan rerata yang bermakna antara kadar feritin pada donasi pertama, kelima dan kesepuluh kali (nilai p = 0,044).
Simpulan. Terdapat penurunan cadangan besi tubuh (feritin serum) pada donasi pertama dan kesepuluh. Semakin sering kita menyumbangkan darah dapat terjadi defisiensi besi tahap pertama yang kita sebut juga iron depletion. Karena itu perlu diperhatikan pola makan atau status gizi dan juga suplemen yang diberikan sesudah donor.

ABSTRACT
Background : Iron deficiency is one of the most common nutritional disorder in the world and this can occur in the routine male blood donors. A blood donor is expected to donate blood regularly in a certain period of time. In routine blood donors, it is feared that they could have iron deficiency without anemia. Thus the need for screening these donors the iron status of these donors, becomes major concern to keep these blood donors healthy and can donate their blood intensly continue to donate blood.
Methodology : This study used a cross-sectional design on the first, fifth and tenth times male blood donors. Each donation consists of 25 people who were test for serum iron, total iron binding capacity ( TIBC), transferrin saturation and serum ferritin.
Results : it is increasing in the first donation, the mean ferritin levels were 91,78, the fifth donation ferritin levels increase in the amount of 111,49 and declined again in the tenth donation donor group 65,28. Results of Kruskal Wallis test showed significant difference between the mean ferritin levels at the first donation, the fifth and the tenth time (p = 0,044).
Conclusion : There is a significant of serum ferritin in the first and tenth routine male male blood donors. Therefore need to be considered diet or nutritional status and iron supplements were given after the donor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>