Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
Gitta Amalia Widyaputri
"
ABSTRAKKimono adalah baju tradisional Jepang yang berarti sesuatu yang dipakai. Kimono memiliki banyak ragam yang terkenal, tergantung dari status pemakainya, acara dimana kimono itu akan dipakai, dan lain sebagainya. Kimono adalah pakaian yang memiliki motif dan warna-warna yang indah. Motif dan warna pada kimono memiliki nilai estetika yang tinggi serta mengandung maknanya tersendiri. Beberapa nilai estetika yang dapat ditemui pada kimono adalah unsur Wabi-sabi dan shibui. Selain itu, motif pada kimono banyak yang mengandung Kisetsu atau unsur musim.
ABSTRACTKimono is Japanese traditional clothes that literally means something to wear. There are various types of kimono depending on the persons status, the event where the kimono will be used, and others. Kimono are the type of clothes that has various motifs and beautiful colors. These motifs and colors has high aesthetic values and each has their own meanings. Some of the aesthetics that can be found on kimono is Wabi-sabi and Shibui. Other than that, it also has Kisetsu or seasonal elements on it."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Faza Nadila
"
ABSTRAKJurnal ini menjelaskan penggambaran salah satu budaya Jepang yaitu hubungan Senpai-Kouhai dalam manga Hataraku Saibou. Hataraku Saibou bercerita mengenai bagaimana sel antropomorfisme bekerja untuk menghidupi tubuh yang mereka diami. Hubungan senpai-kouhai yang ada di dalam manga tersebut ditampilkan oleh beberapa karakter di dalam manga. Chie Nakane dalam bukunya Japanese Society, dan Davies & Ikeno dalam teori senpai-kouhai menjelaskan bahwa hubungan tersebut dapat terlihat dalam bentuk gramatikal tertentu dalam bahasa Jepang. Teori tokoh dan penokohan milik Nurgiyantoro digunakan untuk mendukung data. Hubungan Senpai dan Kouhai dalam manga Hataraku Saibou terbentuk oleh rentang waktu pekerjaan sel dalam divisinya masing-masing. Dalam hubungannya dengan senpai, bila kouhai ingin mengutarakan opininya, mereka harus menggunakan bahasa sopan kepada senpai. Hubungan tersebut membuat mereka menjadi sosok yang lebih baik dalam
karakter dan pekerjaannya.
ABSTRACTThe journal explains the depiction of one of the Japanese cultures, namely the relationship between Senpai-Kouhai in the Hataraku Saibou manga. Hataraku Saibou tells about how anthropomorphic cells work to support the body they live in. The relationship between senpai-kouhai in the manga is displayed by several characters in the manga. Chie Nakane in her book Japanese Society, and Davies & Ikeno in senpai-kouhai s theory explain that the relationship can be seen in certain grammatical forms in Japanese. The theory of characters and characterizations belonging to Nurgiyantoro is used to support data. The relationship between Senpai and Kouhai in the Hataraku Saibou manga was formed by the time span of cell has worked in their respective divisions. In the relationship with Senpai, if kouhai wants to state their opinion, they must use polite language to Senpai. This relationship make them better
in their character and their work."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
T. Elfani Prassanti
"Jepang mengalami dua kali peristiwa ekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi dan Bubble Economy. Bubble Economy, baik pada masa emasnya maupun kejatuhannya telah mengakibatkan perubahan khususnya pada pola pikir generasi muda Jepang tentang bekerja serta pada perubahan sistem perusahaan Jepang. Kedua faktor tersebut memunculkan generasi furiitaa yang merujuk kepada anak muda yang tidak bekerja sebagai pegawai tetap seperti orang tua mereka dulu, namun menggantungkan hidupnya pada pekerjaan paruh waktu. Menjadi furiitaa baik sukarela maupun terpaksa memiliki dilema tersendiri berkaitan dengan posisinya. Tetapi tidak hanya itu, keberadaan furiitaa di tengah-tengah masyarakat Jepang juga ditakutkan akan mernbawa permasalahan baru. Sehingga pemerintah perlu untuk melakukan usaha-usaha tertentu berkaitan dengan bertambahnya jumlah furiitaa setiap tahunnya. Skripsi ini bertujuan untuk mengkaji tentang fenomena furiitaa dilihat dari latar belakang Bubble Economy Jepang serta usaha yang dilakukan pemerintah agar jumlah furiitaa tidak terus bertambah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S13645
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Asri Wulandari
"Beberapa orang mengatakan pemasaran adalah suatu hal yang universal. Aktifitas pemasaran merupakan aktifitas yang disesuaikan dengan kondisi di sekitarnya. Penulis menganggap kondisi masyarakat Jepang menarik untuk dilihat dari segi pemasaran. Seperti tadi dikatakan, pemasaran tergantung pada lingkungan sekitar,hal itu berarti pemasaran Jepang tentu saja disesuaikan dengan lingkungan masyarakat Jepang. Skripsi ini memaparkan tentang manajemen pemasaran Jepang dilihat dari kinerja Toyota Motor Corporation .Ada dua hal yang menyebabkan penulis memilih Toyota Motor Corporation sebagai tema. Pertama, kompetisi manufaktur kendaraan di pasar dunia memang sulit, tetapi Toyota telah berhasil menembus pasar dunia dan menempati urutan ketiga dalam penjualan tingkat dunia. Urutan pertama ditempati oleh General Motor dan urutan kedua dipegang oleh Ford. Alasan kedua pemilihan Toyota sebagai tema adalah, di Jepang sendiri, Toyota berhasil menguasai pangsa pasar mayoritas dari kendaraan roda empat. Toyota Motor Corporation memegang bagian sebesar 40,8% dengan urutan keduanya adalah Nissan yang hanya memiliki 16,9% bagian.Kelebihan Toyota Motor Corporation dalam manajemen pemasaran itu sendiri terletak pada Sistem Produksi Toyota. Taichi Ono adalah penemu Sistem Produksi Toyota dan telah membuktikan dirinya sebagai pegawai Toyota berdaya kreasi dan inovasi. Kemampuan Taichi Ono ini didedikasikan untuk kesuksesan Toyota. Tentu saja karena Sistem Produksi Toyota lahir di dalam Toyota maka Toyota menguasai penggunaan sistem tersebut dengan sangat memuaskan. Adanya Sistem Produksi Toyota menjadikan produksi Toyota menjadi tetap stabil bahkan bila keadaan pasar berubah. Toyota dengan Sistem Produksi Toyota-nya mampu memenuhi keinginan konsumen melalui kualitas produk yang balk. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan Toyota.Keistimewaan lain adalah dukungan dari jaringan distribusi dan pemasok Toyota yang telah ada sejak 1930-an hingga kini. Dimulai dari pendirian Toyota Motor Sales oleh Kamiya Shotaro pada tahun 1950, Toyota mulai memperluas jaringanpemasarannya, dan bahkan menjadi pelopor strategi yang efektif dalam penjualan mobil. Strategi yang efektif ini berupa pemisahan dealer sesuai dengan jenis mobil yang akan dijual, dengan pemisahan dealer maka aktivitas pemasaran untuk jenis mobil tertentu bisa difokuskan sesuai target penjualan. Cara seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga saat ini jaringan dealer tersebut menjadi kuat. Jaringan yang kuat memudahkan arus perpindahan produk dan produsen ke konsumen. Dengan kata lain, penjualan produk Toyota berjalan dengan lancar sesuai target.Manajemen pemasaran seperti ini membawa Toyota berhasil menembus pasar global dan menjadikan Toyota sebagai salah satu perusahaan yang mendominasi pasar negeri sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13474
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Oki Gunawan
"Idol atau dalam pelafalan Jepang, aidoru adalah salah satu fenomena dalam kebudayaan popular Jepang. Fenomena ini mulai muncul sekitar tahun 1970-an yang dilatarbelakangi oleh perubahan dalam sistem kemasyarakatan Jepang sebagai dampak dari meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat secara ekonomi sehingga berpengaruh pula terhadap pandangan dan gaya hidup mereka. Fenomena aidoru sendiri merupakan sebuah gejala yang sangat menarik dalam masyarakat Jepang dimana mereka seperti memiliki penafsiran dan konsep sendiri terhadap kata idol. Sehingga konsep aidoru di Jepang tentunya tidak sama dengan konsep idol di negara lain. Pandangan masyarakat Jepang terhadap konsep aidoru berubah dari masa ke masa. Pada masa awal kemunculannya sekitar tahun 1970-an masyarakat memandang aidoru sebagai sosok ideal wanita Jepang (yamato nadeshiko). Pada periode tahun 1980-an yang Iahir fenomena _idol boom_ yaitu fenomena rnenjamurnya aidoru_-aidoru baru akibat merebaknya acara-acara pencarian bakat. Pada masa ini pandangan masyarakat Jepang terhadap gadis-gadis muda yang menjadi aidoru tak hanya dijadikan idola dan ukuran terhadap wanita Jepang yang ideal tetapi mulai dijadikan sebagai objek fantasi seksual kaum laki-laki. Memasuki tahun 1990-an fenomena perkembangan aidoru dikatakan sedang mengalami resesi. Hal ini berkaitan dengan keadaan ekonomi dan kemakmuran masyarakat Jepang yang juga sedang mengalami kemunduran. Akan tetapi, memasuki akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000 fenomena ini kernbali merebak dengan munculnya aidoru-aidoru barn yang memiliki _nilai lebih_ yaitu bakat atau sainou dan rasa percaya diri atau jishin. Hal ini menjadikan seorang aidoru bukan lagi sosok yang diidolakan oleh kaum pria raja, tetapi juga menjadi panutan bagi kaum gadis-gadis Jepang. Hal ini menunjukkan sifat budaya pop yang cepat berubah dan beradaptasi sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat. Dan aidoru sebagai salah satu bagian dari budaya pop Jepang dituntut untuk dapat ikut beradaptasi agar tetap dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu contoh aidoru yang menjadi fenomena khususnya pada periode awal tahun 2000-an adalah grup aidoru Morning Musume atau sering jugs disebut Momusu. Berbagai karakteristik aidoru yang muncul menurut pandangan masyarakat Jepang ini yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti tentang fenomena aidoru di Jepang. Dan untuk itu penulis menggunakan Morning Musume sebagai objek penelitian karena grup ini memenuhi kriteria sebagai kelompok aidoru dan dapat mewakili aidoru yang muncul pada masa kontemporer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S13796
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nurfitriani Dewi
"
ABSTRAKTakarazuka Revue adalah sebuah teater asal Kansai, Jepang yang seluruh pemainnya terdiri dari perempuan. Dalam pembagian peran yang dimainkan, para pemain yang disebut dengan Takarasiennes dibagi menjadi dua peran, yakni peran laki-laki atau otokoyaku dan peran perempuan atau musumeyaku. Dalam membawakan karakter laki-laki, otokoyaku cenderung membawakan karakter androgini yang merupakan kombinasi kuat dari sifat maskulin dan feminin. Karakter tersebut dibentuk pada saat pelatihan di sekolah musik Takarazuka.
ABSTRACTTakarazuka Revue is a theater from Kansai, Japan, where all of its players consist of women. In the division of roles played, the players called Takarasiennes are divided into two, male role or otokoyaku, and female role or musumeyaku. In bringing male characters, otokoyaku tends to carry an androgynous character which is a strong combination of masculine and feminine traits. The character is formed when training in the Takarazuka music school."
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Dinda Fatimah Yahya
"Bon-odori sebagai salah satu kebudayaan Jepang sudah berkembang sejak sangat lama dan masih dipraktikkan hingga saat ini. Selama perkembangan zaman dan teknologi Bon-odori juga mengalami beberapa perkembangan. Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan makna sakral dan perubahan lainnya yang terjadi pada Bon-odori sejak masuk ke Jepang hingga saat ini. Penelitian ini menggunakan metode studi literasi. Berdasarkan hasil penelitian tidak ada perubahan makna sakral pada Bon-odori yang masih dilakukan di Jepang. Sedangkan pada aspek-aspek lain Bon-odori, seperti gerakan, lagu, musik, dan instrumen pengiring Bon-odori terdapat perubahan yang terjadi seiring berkembangnya zaman.
ABSTRACTBon-odori as one of the Japanese cultures have developed since a very long time and are still practiced today. During the changing era and technologies development Bon-odori also experienced some developments. This research will discuss changes in sacred meaning and other changes that have occurred in Bon-odori since entering Japan until now. This research uses literacy study methods. Based on the result of the research there were no changes in the sacred meaning of Bon-odori that were still carried out in Japan. Whereas in the other aspects of the Bon-odori, such as movements, songs, music, and, accompaniment instruments of the Bon-odori there are changes that occur as the times passes."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Shabirah Rahmah
"
ABSTRAKOrang Jepang dikenal sebagai bangsa yang menghargai dan mencintai alam. Salah satu bentuk penghargaan orang Jepang terhadap alam adalah dengan adanya tradisi dan kebiasaan yang berkaitan dengan alam, salah satunya ialah kebiasaan menikmati mekarnya bunga sakura atau yang dikenal dengan hanami yang dilakukan setiap musim semi. Dalam kebiasaan ini bunga sakura dijadikan sebagai objek karena memiliki arti yang khusus bagi orang Jepang yang didukung dengan adanya sakura zensen atau ramalan mengenai mekarnya sakura di seluruh negeri. Oleh karena itu, tugas akhir ini membahas mengenai kebiasaan hanami yang merupakan wujud dari naturalisme Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan tinjauan pustaka dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini digunakan teori naturalisme oleh Nakamura Hajime untuk dapat menganalisis sumber-sumber yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang sangat memperhatikan secara detil segala sesuatu yang berhubungan dengan alam, salah satunya adalah dengan adanya sakura zensen yang secara tidak langsung sebagai daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan hanami.
ABSTRACTJapanese people are known as their respects and loves towards nature. One form of Japanese peoples appreciation for nature is the existence of tradition and custom related to nature, one of which is the custom of enjoying the blooming of cherry blossoms or known as hanami, which is done every spring. In this custom, cherry blossoms is used as an objects because they have special meanings for Japanese people who are supported by the presence of sakura zensen or known as predictions about the blooming of cherry blossoms throughout the country. Therefore, this paper discusses the hanami custom which is a form of Japanese naturalism. This paper uses descriptive analytical methods with literature reviews from various sources. In this paper Nakamura Hajimes naturalism theory was used to analyze the sources used. The results of the study showed that Japanese people were very concerned about everything related to nature, one of which was the presence of sakura zensen which indirectly served as an attraction for the people to do hanami."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Dharmasena Akmal Aji
"Pada zaman Edo di Jepang, terdapat sistem kasta yang menjadikan kaum bushi (武士) atau pejuang sebagai kelas yang paling tinggi. Bushi terbagi menjadi Daimyo (大名) dan Samurai (侍). Daimyo memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada samurai, sebagai pemilik tanah dan pemberi upah kepada para samurai yang berjuang di bawah mereka. Namun, ada samurai yang menjadi ronin (浪人), yakni samurai tanpa tuan. Di Jepang terdapat salah satu kisah terkenal yang berkaitan dengan ronin , yaitu adalah kisah keempat puluh tujuh ronin yang membalas dendam atas kematian tuan mereka. Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi film yang disutradarai oleh Kenji Mizoguchi. Meskipun berstatus sebagai ronin , keempat puluh tujuh pejuang tersebut tetap memegang nilai-nilai Bushido. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai Bushido berdasarkan deskripsi nilai-nilai bushido dari Nitobe Inazo yang terdapat dalam film "The 47 Ronin " karya Kenji Mizoguchi dengan menggunakan metode mise en scene yang dirujuk dari buku John Gibbs. Peneliti menemukan bahwa di dalam film ini Oishi menunjukkan nilai-nilai kebajikan, keadilan, kejujuran, kebenaran, kesetiaan , kehormatan, pengendalian diri.
During the Edo period in Japan, there was a caste system that placed the bushi (武士) or warriors as the highest class. The bushi were divided into Daimyo (大名) and Samurai (侍). Daimyo held a higher position than samurai, as they were landowners and provided salaries to the samurai who fought under them. However, there were samurai who became ronin (浪人), meaning samurai without a master. In Japan, there is a famous story related to the ronin, known as "The 47 Ronin," who sought revenge for the death of their lord. This story was later adapted into a film directed by Kenji Mizoguchi. Despite being ronin, the forty-seven warriors still adhered to the values of Bushido. This research aims to analyze the values of Bushido based on Nitobe Inazo's descriptions found in the film "The 47 Ronin" by Kenji Mizoguchi, using the mise en scene method referred to in John Gibbs' book. The researchers found that in this film, Oishi exemplified the values of virtue, justice, honesty, truth, loyalty, honor, and self-control."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Pardede, Trifena Artanauli
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan cara menggambarkan korban bencana yang sesuai untuk anak-anak dan juga nilai yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan deskripsi kualitatif, metode pengumpulan data, melalui studi pustaka, metode analisis data dan metode berpikir induktif. Hasil penelitian akan disampaikan dalam deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa cara yang digunakan dalam menggambarkan korban bencana dalam komik anak-anak tidak dengan gambar yang mengerikan, namun lebih menekankan pada cerita. Komikus menggunakan hal-hal yang biasa ada pada anak-anak, yaitu teman, keluarga, sahabat, tempat bermain, dan benda kesayangan. Keempat data mengandung nilai pendidikan karakter dan nilai kemanusiaan, yaitu peduli sosial dan sesama.
The purpose of this research is to find out how to describe disaster victims that are appropriate for children and also the value they contain. The analysis is using qualitative description method, data collection method, namely literature study, data analysis method and inductive thinking method. The result of the study will be presented in analytical descriptive. The result shows that the method used in describing victims of disasters in children`s comics is not with terrible images, but rather emphasizes the story. Comic artist use things that are common to children, namely friends, family, bestfriends, playground, and favorite objects. All four data contain the values of character education and human values, namely social care and others."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library