Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widyastuti Srie Utami
"Pendahuluan: Spinal cord injury (SCI) merupakan kejadian yang katastrofik, yang sering kali menyebabkan disfungsi neurologis yang signifikan serta disabilitas yang seringkali permanen, yang konsekuensinya tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sepanjang hidupnya, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat.(6,7) SCI ditandai dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom yang kompleks, yang derajatnya menandakan berat SCI yang dialami. SCI terdiri atas sejumlah gejala yang menunjukkan kerusakan neuron dari Central Neural System (CNS), yang berkisar mulai dari foramen magnum hingga regio tulang belakang bawah.
Di seluruh dunia, angka kejadian SCI kurang lebih 40 kasus per juta orang per tahun. SCI traumatik disebabkan antara lain oleh kecelakaan lalulintas (47%), jatuh (23%), kekerasan/kriminalitas (14%), cedera olahraga (9%), serta penyebab lain yang mencakup hingga 7% angka kejadian, termasuk di dalamnya SCI iatrogenik yang dapat terjadi dalam operasi intervensi tulang belakang.(5) Di USA, Eropa, dan Jepang, SCI terjadi pada kurang lebih 30.000 individu per tahun, serta merupakan problem kronis bagi kurang lebih 500.000 pasien di seluruh dunia. Di wilayah Asia Pasifik, 300-400 kasus baru dilaporkan tiap tahunnya, dengan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 28.6 tahun, dan setengah dari seluruh pasien ini merupakan golongan usia muda yang seharusnya berada dalam periode paling produktif dalam hidup mereka.(6).
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research melaporkan bahwa hingga 34.1% pasien yang mengalami SCI akan hidup dengan incomplete tetraplegia, 23% dengan complete paraplegia, 18.3% dengan complete tetraplegia, dan 18.5% dengan incomplete paraplegia. Hanya kurang dari 1% pasien dengan SCI yang cukup beruntung untuk mengalami recovery neurologis komplit.(5,10) Kebanyakan cedera di daerah thorakal menyebabkan complete SCI (73%), sedang cedera di daerah lumbal mengakibatkan incomplete SCI (79%).(2).
SCI pada manusia terutama diakibatkan oleh kombinasi dari tensile force atau gaya distraksi serta kontusio pada kolumna vertebra dan spinal cord itu sendiri. Gaya distraksi sering kali merupakan komponen integral dalam pathogenesis SCI, baik dalam kondisi traumatik maupun iatrogenik seperti pada saat tindakan intervensi tulang belakang.(4) Namun demikian belum banyak dibangun model ideal yang dapat meniru efek gaya distraksi pada spinal cord ini.
Kebanyakan pemahaman akan pathofisiologi serta tata laksana SCI didasari atau berawal dari temuan pada hewan coba yang digunakan sebagai model bagi SCI. Kebanyakan SCI termasuk yang terjadi pada saat operasi tulang belakang umumnya bersifat bireksional, sehingga model distraksi yang dapat meniru sifat bidireksional ini akan lebih dapat merefleksikan efek distraksi pada SCI yang timbul pada saat operasi intervensi tulang belakang.(4).
Tindakan bedah yang memanipulasi tulang belakang memiliki resiko tersendiri untuk terjadinya SCI intraoperatif. Koreksi deformitas skoliosis serta stabilisasi tulang belakang menggunakan instrumentasi seperti fixation rods, seringkali melibatkan gaya distraksi yang dalam besar yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan terjadinya SCI iatrogenik.(3)
SCI yang terjadi pada prosedur ini dapat disebabkan oleh kompresi spinal cord akibat translasi dari vertebra, kinking dari spinal cord, buckling dari dura, hipoksia akibat ligasi pembuluh darah segmental dan menurunnya tekanan darah selama operasi, serta stretching atau distraksi langsung pada spinal cord saat koreksi deformitas.(3) Jika berlebihan, gaya distraksi ini dapat mengakibatkan defisit neurologis bahkan paralisis, yang masih terjadi pada 1-2% operasi tulang belakang. Pencegahan terjadinya SCI iatrogenik sebagai salah satu resiko penting dalam operasi atau prosedur tulang belakang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Menilik tingginya derajat kecacatan dan bahkan kematian akibat kerusakan irreversibel yang dapat terjadi pada SCI, pencegahan terhadap terjadinya cedera ini sangatlah berharga baik dalam transportasi, tempat bekerja, olahraga, serta intraoperatif atau SCI iatrogenik. Jika memungkinkan, monitoring elektrofisiologi intraoperatif sangat berguna untuk mendeteksi dan mencegah terjadinga SCI iatrogenik ini. MEP yang diukur melalui stimulasi kortikal transkranial (TcMEP) dapat memberikan sarana deteksi dini ini.
Walaupun intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring dapat sangat membantu dalam identifikasi gangguan neurologis akut intraoperatif sehingga dapat membantu mencegah atau setidaknya membatasi kejadian SCI iatrogenik, pemeriksaan ini belum bisa rutin dilakukan di semua rumah sakit karena relatif masih mahalnya alat, terbatasnya ketersediaan, serta dibutuhkannya personel terlatih untuk melaksanakan monitoring intraoperatif bersangkutan, terutama di negara-negara dengan sarana yang masih terbatas.(4,33).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara besar gaya distraksi yang diberikan pada spinal cord kelinci coba dengan timbulnya gangguan neurologis serta perubahan histopathologis yang ditimbulkannya. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan model SCI pada kelinci sebagai hewan coba dengan mengaplikasikan gaya distraksi pada spinal cord lumbal menggunakan alat distraktor yang telah diukur dan dikalibrasi, dan pada saat yang sama mengukur besaran perubahan amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) yang terjadi yang menggambarkan gangguan neurokonduksi yang terjadi secara real-time.(33) Gangguan neurologis juga diobservasi secara klinis, dan perubahan histopathologis akibat cedera pada spinal cord diteliti melalui pemeriksaan histopathologis setelah spinal cord melalui proses harvesting. Penelitian ini juga membandingkan hasilnya dengan hasil penelitian oleh kolega dr. Robin Novriansyah yang mempelajari efek distraksi pada spinal cord regio thorakal(35), dengan tujuan untuk membandingkan kerentanan antara kedua level spinal cord terhadap gaya distraksi selama prosedur intervensi tulang belakang.
Metode: Dua puluh kelinci jantan galur New Zealand dengan berat 3.000-3500 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok intervensi (amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, 40-20%, dan 20-0% (flat) dari amplitudo baseline awal sebelum dilakukan distraksi) dan kelompok kontrol digunakan dalam penelitian ini. Gaya distraksi diberikan intraoperatif menggunakan midline posterior approach pada vertebra lumbal L1-L2 menggunakan alat distraktor yang telah menjalani uji konstanta dan kalibrasi, dimana untuk tiap 1 milimeter peregangan pada alat ini diperlukan gaya distraksi sebesar 16.29 Newton. Monitoring TcMEP intraoperatif diukur pada tiap milimeter distraksi yang diberikan pada masing-masing kelompok intervensi. Gangguan motorik dimonitor pasca operasi, dan pada hari ke-10 dilakukan spinal cord harvesting yang kemudian dinilai secara histopathologis untuk mempelajari perubahan selular maupun struktural yang terjadi.
Hasil: Ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Di antara kelompok intervensi juga ditemukan perbedaan yang berbeda secara bermakna secara statistik dalam hal penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis yang terjadi.
Jarak minimum sebesar 18 mm yang sesuai dengan gaya distraksi sebesar 293.22 Newton diperlukan untuk mencapai terjadinya amplitudo TcMEP 0% (flat). Gangguan neurologis ini ditemukan reversibel walaupun ditemukan perubahan iskhemik dengan edema, iskhemia, degenerasi, nekrosis, serta gliosis derajatnya bersesuaian dengan besar distraksi.
Menggunakan uji statistik regresi linear pada monitoring perubahan amplitudo TcMEP pada setiap pertambahan jarak distraksi yang dikenakan pada spinal cord lumbal kelinci coba, melalui penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara jarak distraksi (D) dalam satuan milimeter (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada kelinci coba dapat diformulasikan sebagai berikut :
aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D)
Dengan :
aTcMEP = Amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential
D = Distraction Distance dalam satuan milimeter (mm)
Dibandingkan dengan kelompok intervensi dari kelompok spinal cord level thorakal, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada gaya distraksi yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, dan 40-20%.
Diskusi: Derajat distraksi yang direfleksikan dalam jarak dan gaya yang diaplikasikan pada spinal cord regio lumbal akan mengakibatkan timbulnya gangguan neurokonduksi yang bersesuaian dengan besarnya distraksi, yang tercermin pada derajat penurunan amplitudo TcMEP yang terjadi. Derajat ini juga bersesuaian dengan derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan jaringan spinal cord secara histopathologis yang terjadi.
Melalui rumus formulasi hubungan antara jarak distraksi (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada model kelinci coba yang didapatkan yaitu aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D), diperlihatkan melalui penelitian ini bahwa perubahan amplitudo TcMEP yang menggambarkan perubahan status neurologis yang terjadi akibat distraksi pada kelinci coba adalah mungkin untuk diperkiraan, sehingga dengan penelitian lebih lanjut mengenai spinal cord, dapat dibangun suatu formulasi yang dapat menjadi perangkat yang berharga bagi ahli bedah dalam operasi intervensi tulang belakang dalam keadaan tanpa alat intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring.
Seperti yang terwakili dalam perbedaan besar gaya distraksi yang diperlukan untuk mencapai derajat gangguan neurologis dan kerusakan jarimgan spinal cord secara histopathologis yang bersesuaian, spinal cord regio lumbal menunjukkan ketahanan yang lebih besar atau lebih tidak rentan terhadap gaya distraksi jika dibandingkan dengan spinal cord regio thorakal.
Kesimpulan: Penelitian ini mengajukan model seberapa besar suatu distraksi diperkirakan masih bisa dianggap aman dengan resiko cedera yang seminimal mungkin secara struktural maupun fungsional pada spinal cord regio lumbal walaupun tanpa bantuan perangkat monitoring neurodiagnostik intraoperatif.
Dengan meningkatnya pemahaman akan biomekanika dan pathofisiologi SCI serta perubahan biokimia dan selular yang terjadi di dalamnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi penelitian mendatang mengenai tata laksana SCI serta potensi recovery-nya, namun juga yang paling penting, bagi upaya ke arah pencegahan SCI iatrogenik, terutama selama prosedur intervensi tulang belakang.

Introduction: Acute traumatic spinal cord injury (SCI) is a catastrophic, devastating, life-altering event, with loss of function and poor long-term prognosis, which consequences often persist for life, both for the patient, family, and society at large.(6,7) It is marked by a complex motoric, sensoric, and autonomous disfunction, with severity that mirrors the degree of injury to the neurons of the Central Neural System (CNS), ranging from the foramen magnum to the lowermost spinal regions.
The incidence of traumatic spinal cord injury is approximately 40 SCIs per million persons per year. Traumatic SCI is reported to occur by motor vehicle and workplace accident, falls, violence, sports accident, and other sources of trauma (7%), including iatrogenic cause during spine surgeries.(5) In USA, Europe and Japan, its incidence reaches approximately 30.000 persons per year, and becomes a mainstay for health problem for more than 500.000 patients around the globe. In Asia Pacific regio, a staggering 300-400 new cases have been reported annually, with peak incidence at 28.6 year of age, and approximately half of these patients are of youth demographic, who supposedly at the most productive period of their lives.(6)
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research reporting that up to 34.1% patients with history of SCI will live their lives with incomplete tetraplegia, 23% with complete paraplegia, 18,3% with complete tetraplegia, and 18,5% with incomplete paraplegia, with only less than 1% will be lucky enough to gain complete neurological recovery.(5,10) Injury to the thoracic regio usually will cause a complete SCI (73%), while injury to lumbar regio commonly will cause a less severe or incomplete SCI (79%).(2)
SCI on human are mostly caused by combination of tensile force or distraction combined with contusion to vertebral coloumn and spinal cord itself. This distraction force is an integral component in SCI, whether in traumatic or iatrogenic milieu, yet there’s still lack of such an ideal model that capable of mimicking the effect of this force to the spinal cord.(4)
Most new understanding of pathophysiology and current treatment on SCI were based on studies on animal models, and most SCIs including ones that occur in spine surgeries are of bidirectional force, thus a distractor model on experimental animal that able to mimic this bidirectional force would be a more reliable model in mimicking the effect of distraction in SCI on human during spine surgeries.(4)
Spine surgery contributes its own risks to iatrogenic SCI. Procedures that involve intervention to the spine, e.g during curved spine deformity correction and stabilization of the spine using instrumentation such as fixation rods, oftenly involve application of significant amount of distraction force with its potential as a cause of iatrogenic SCI.(3)
Insults that contribute to SCI during spine intervention surgery include cord compression due to vertebral translation, cord kinking, dura buckling, hypoxia secondary to segmental blood vessel ligation and decreased blood pressure, ischemia, and/or direct spinal cord stretching due to distraction forces applied. If excessive, these distraction forces may result in neurological deficit even paralysis, that still occurs in 1-2% of spine surgeries. Prevention to iatrogenic SCI as an important risk in spine surgeries would be the focus of this study.(3)
Considering catastrophic impairment and even permanent paralysis caused by SCI, its prevention is of utmost importance in every possible milieu, not only in transportation, workplace, sports setting, but also intraoperative or iatrogenic SCI. When available, intraoperative electrophysiological monitoring could be very useful for the detection and prevention of iatrogenic SCI. Motor evoked potentials (MEP), obtained by transcranial cortical stimulation (TcMEP), can provide this early detection.
Eventhough intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring could be very beneficial in early identification of intraoperative neurological disturbance, and thus, is such a valuable tool in preventing the incidence or limiting the degree of severity of iatrogenic SCI during spine intervention surgery, its expensive costs and limited availability and the need for its specifically-trained personnels has made its application in each and every spine surgery is still limited, particularly in developing countries with limited resources.(4,33)
This experiment aims to study the correlation of the amount of distraction force applied to experimental animal lumbar spinal cord with its resulted neurological disturbances and histopathological changes. In this study, author proposes an SCI model by applying distraction force to experimental animal lumbar spinal cord using calibrated distractor device, at the same time, neurological disturbances were monitored intraoperatively using TcMEP that will show the degree of amplitude declination that represents its real-time neuroconduction disturbance.(33) Neurological disturbances were also observed clinically, and after spinal cord harvesting, histopathological changes due to injury to the spinal cord were also examined.
This experiment also compares its result with study of effect of distraction to the thoracic spinal cord in animal model performed by colleague Robin Novriansyah, MD(35), with aim to compare the vulnerability between the two spinal cord levels to distraction injury during spine intervention procedures.
Methods: Twenty male New Zealand experimental rabbits weighting 3.000-3.500 grams were divided into 4 intervention groups (80-60%, 60-40%, 40-20%, and 20-0% (flat) amplitude group compared to their baseline amplitude prior to distraction) and control group were used in this study. Distraction force were applied intraoperatively using midline posterior approach to the vertebra L1-L2 using calibrated spinal cord distraction device, in which a force of 16.29 Newton was required for each millimetre of distraction. Declination of Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) amplitude were measured for each millimetre of distraction applied to each intervention group. Motoric disturbances were also monitored post operatively, and on day 10, after spinal cord harvesting, the spinal cords were examined histopathologically for its degree of selullar and structural damages.
Results: We found that there were statistically significant differences (p<0,005) of TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between intervention groups and control group.
Among intervention groups, there were also statistically significant differences on TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between each intervention group.
A minimum distance of 18 millimetres of distraction equal to 293.22 Newton of distraction force was required to achieve a flat (0%) TcMEP amplitude in this animal model study. These neurological changes due to distraction force even in flat TcMEPs appear to be clinically reversible eventhough ischemic changes were histopathologically found, represented in the degree of severity of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings that correlate to the amount of distraction force applied.
Using statistical linear regression on careful TcMEP amplitude monitoring in each and every additional distraction distance applied to the experimental rabbits’ lumbar spinal cord, through this study we conclude that the relationship between distraction distance (mm) and TcMEP amplitude (aTcMEP) in rabbit animal model can be formulated as :
aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D)
When compared to the thoracic spinal cord study, there were statistically significant (p<0,05) differences of distraction force required in lumbar 80-60%, 60-40%, and 40-20% amplitude groups compared to the corresponding thoracic spinal cord groups.
Discussion: Degree of distraction reflected in its distance and force required to be applied to lumbar spinal cord in rabbit experimental model will cause a corresponding degree of neuroconduction disturbance represented in declination of its TcMEP amplitude. This degree also correlates with the degree of neurological disturbances clinically and the degree of histopathological changes in the injured spinal cord tissue represented in the degree of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings.
Through the defined formula of relationship between distraction distance in millimeter unit applied with TcMEP : aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D) established in this experiment, it is shown that TcMEP amplitude changes that reflect the neurological disturbances due to the applied distraction on rabbit animal model can be predicted, thus through further future spinal cord study, valuable formulation could be established for surgeons during spine intervension surgery in the circumstance without the availability of an intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring device.
Represented in statistically significant more amount of distraction force required to achieve similar degree of neurological disturbance and histopathologically corresponding spinal cord tissue damage, the lumbar spinal cord apparently shows a less vulnerability to distraction force compared to the thoracic spinal cord.
Conclusion: This model offers orthopaedic surgeons an animal model of how far a distraction could still be considered safe with the least risk of injury to the spinal cord structurally and functionally, even without the help of intraoperative neuro-electrodiagnostic device.
With the increasing understanding of the biomechanics and pathophysiology of SCI, and also its biochemical and celullar changes, we hope that this study could share its contribution not only for future study of SCI treatment and its recovery potential, but also of utmost importance, to the prevention of iatrogenic SCI, particularly during spine intervention procedures such as during scoliosis deformity correction surgeries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Imamul Aziz Albar
"Nyeri punggung pada anak merupakan gejala yang sering terjadi terkait dengan permasalahan pada sistem muskuloskeletal. Pengetahuan akan nyeri punggung pada anak sangat penting karena diketahui nyeri punggung pada anak akan memburuk seiring waktu dan merupakan faktor risiko utama terjadinya nyeri punggung saat dewasa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi dari nyeri punggung pada anak serta menentukan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengannya.Dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner pada anak sekolah usia 10-15 tahun di DKI Jakarta. Didapati hasil sebanyak 68,96% menderita nyeri punggung, dimana 62,79% dari jumlah tersebut adalah wanita. Lama menonton televisi dan lama berolahraga merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh dalam kejadian nyeri punggung pada anak.

Back pain in children is a frequent symptom associated with musculoskeletal system problems. Awareness of back pain in children is very important, because we know that it will be worsened with time and it is the main risk factor of back pain in adults. The aim of this research is determining the prevalence of back pain in children and the risk factors correlated with it. Samples were collected using a questionnaire for school students within 10-15 years old in Jakarta. 68,96% of the respondent have ever experienced any back pain, which 62,79% of them are females. Duration of watching television and exercise are the most significant risk factors in contributing back pain problems in children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudistira Prama Tirta
"ABSTRAK
Pendahuluan. Parameter spinopelvik merupakan parameter untuk mengukur
keseimbangan poros tulang belakang terhadap ekstrimitas bawah pada penampang
sagital. Parameter ini terdiri dari sagittal vertical axis (SVA), pelvic incidence
(PI), pelvic tilt (PT), pelvic incidence (PI) dan diukur melalui X-ray whole spine
lateral view dalam keadaan berdiri. Pengukuran parameter ini penting sebagai
dasar analisa keseimbangan sagital dalam operasi rekonstruktif tulang belakang,
karena dengan tidak adanya keseimbangan pada penampang sagital ini akan
berakibat timbulnya adjacent segment degeneration yang akan memengaruhi
luaran klinis. Hingga saat ini belum ada studi yang mengevaluasi hubungan antara
luaran parameter spinopelvik dengan luaran klinis di indonesia.
Metode Penelitian. Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang dengan
subyek 19 pasien dewasa pasca operasi stabilisasi dan fusi tulang belakang torakal
dan lumbal di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun
2012-2014. Pasien tersebut dilakukan evaluasi X-ray parameter spinopelvik SVA,
PI, PT, dan SS dilakukan penilaian skor Indeks Disabilitas Oswestry (IDO) pada
saat 1 tahun pasca operasi. Lalu dilakukan analisis statistik dengan menggunakan
uji hipotesis komparatif numerik dengan menggunakan pearson dimana
dibandingkan luaran parameter spinopelvik SVA, PI, PT, dan SS dengan luaran
fungsional skor IDO.
Temuan dan Diskusi Penelitian. Didapatkan hasil korelasi antara IDO dan SVA
(p<0,001) (r=0,866). Korelasi antara IDO dan PI (p=0,006) (r=0,603). Korelasi
antara IDO dan PT (p=0,107) (r=0,382). Korelasi IDO dan SS (p=0,051)
(r=0,454).
Simpulan. Didapatkan korelasi kuat antara IDO dan SVA serta IDO dan PI.
Tidak didapatkan korelasi antara IDO dan PT serta IDO dan SS. SVA dan PI
merupakan parameter spinopelvik yang berpengaruh pada luaran pasca operasi fusi tulang belakang torakal dan lumbal.
ABSTRACT
Introduction. Spinopelvic parameter is a parameter that used to measure the
sagital balance of vertebrae in congruency with lower extrimity in sagital plane.
This parametr is consist of sagittal vertical axis (SVA), pelvic incidence (PI),
pelvic tilt (PT), pelvic incidence (PI) dan diukur melalui X-ray whole spine lateral
view in standing position. Measurement of this parameter is important as basic
analysis for achieve sagital balance in reconstructive operation of the vertebrae,
because if the sagital balance is interupted will cause the adjacent segment
degeneration that will influence the clinical outcomes. Up until now, there is no
study that evaluate the spinopelvic parameter with the clinical outcomes in
Indonesia.
Methods. This study is a cross-sectional analytic with 19 subject of adult patient
that had undergo thoracal and lumbar fusion and stabilization in Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta in 2012-2014. The subject was underwent
x-ray evaluation of SVA, PI, PT, and SS. The patient also underwent evaluation
of Indeks Disabilitas Oswestry (IDO) score in 1 year after operation. Then the
statistical work was done with numeric comparative pearson test analysis to
determine whether there is correlation between SVA, PI, PT, and SS with IDO
score.
Result and Discussion. There is strong correlation between IDO and SVA
(p<0,001) (r=0,866). Strong correlation between IDO and PI (p=0,006) (r=0,603).
No correlation between IDO and PT (p=0,107) (r=0,382). No correlation between
IDO and SS (p=0,051) (r=0,454).
Conclusion. Strong correlation is indicated in IDO and SVA, also in IDO and PI.
There is no correlation between IDO and PT, also in IDO and SS. SVA and PI are
the important spinopelvic parameter that have influence on clinical outcome in
post thoracal and lumbar fusion and stabilization patient.
;Introduction. Spinopelvic parameter is a parameter that used to measure the
sagital balance of vertebrae in congruency with lower extrimity in sagital plane.
This parametr is consist of sagittal vertical axis (SVA), pelvic incidence (PI),
pelvic tilt (PT), pelvic incidence (PI) dan diukur melalui X-ray whole spine lateral
view in standing position. Measurement of this parameter is important as basic
analysis for achieve sagital balance in reconstructive operation of the vertebrae,
because if the sagital balance is interupted will cause the adjacent segment
degeneration that will influence the clinical outcomes. Up until now, there is no
study that evaluate the spinopelvic parameter with the clinical outcomes in
Indonesia.
Methods. This study is a cross-sectional analytic with 19 subject of adult patient
that had undergo thoracal and lumbar fusion and stabilization in Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta in 2012-2014. The subject was underwent
x-ray evaluation of SVA, PI, PT, and SS. The patient also underwent evaluation
of Indeks Disabilitas Oswestry (IDO) score in 1 year after operation. Then the
statistical work was done with numeric comparative pearson test analysis to
determine whether there is correlation between SVA, PI, PT, and SS with IDO
score.
Result and Discussion. There is strong correlation between IDO and SVA
(p<0,001) (r=0,866). Strong correlation between IDO and PI (p=0,006) (r=0,603).
No correlation between IDO and PT (p=0,107) (r=0,382). No correlation between
IDO and SS (p=0,051) (r=0,454).
Conclusion. Strong correlation is indicated in IDO and SVA, also in IDO and PI.
There is no correlation between IDO and PT, also in IDO and SS. SVA and PI are
the important spinopelvic parameter that have influence on clinical outcome in
post thoracal and lumbar fusion and stabilization patient.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrisal
"Desain Penelitian. Sebuah penelitian kohort retrospektif pada pasien yang telah menjalani operasi fusi tulang belakang yang dilakukan bone graft yang diambil dari posterior ilium. Tujuan. Untuk menilai prevalensi nyeri pada lokasi pengambilan bone graft pada ·operasi tulang belakang Untuk mengetahui faktor resiko nyeri pada pengambilan bone graft dan komplikasinya. Latar Belakang. Fusi menjadi tujuan pada beberapa operasi tulang belakang dan dapat dicapai dengan melakukan instrumentasi dan bone graft. Telah diketahui bahwa salah satu sumber yang baik adalah berasal dari posterior i1iaka. Tempat pengambilan graft ini dapat menyebabkan nyeri. Meskipun akan hilang dalam 3 bulan namun beberpa pasien mengalami nyeri yang lebih lama. Bahkan pada beberapa kasus hal ini merupakan salah satu sumber nyeri pos operasi. Bahan dan Cara : Sampel diambil dari buku registrasi spine Prof Subroto Sapardan, dan di bagi dalam dua kelompok, dimana kelompok satu yang di lakukan graft dan kelompok dua yang tidak dilakukan graft dari iii aka posterior sebagai kontrol. Kemudian dilakukan wawancara, penilaian nyeri dengan skala analok, dan pemeriksaan fisik pada ke dua kelompok. Setiap kelompok dievaluasi adanya nyeri di ilium posterior dalam kurun enam bulan pos operasi. Analisa data menggunakan software SPSS Vl3, uji statistic di set pada a. sama dengan 0,05 dan power 80% dan interval kepercayaan 95%. Basil: Dalam penelitian diperoleh basil untuk kelompok 1 mengalami nyeri 75,6% sementara yang tidak 24,4%, sebaran diagnosis adalah 27,6% pada spondilitis TB, 55% skoliosis, 22% pada degenerative disk. Kami menemukan risiko rasio nyeri pada pengambilan bone graft di ilium posterior sebesar 11,2. Kesimpulan: Kejadian nyeri pada lokasi donor di iliaka posterior dibandingkan dengan yang tidak dilakukan bone graft cukup signifikan. Dari penelitian ini kami sarankan untuk mencari materi alternative lain untuk mempercepat fusi pada operasi tulang belakang."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T58781
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Muhammad Nobel
"Plain film merupakan modalitas standar radiologi semua rumah sakit di Indonesia dan biaya relatif rendah. Dalam diagnosis kanal spinal stenosis , CT scan lebih baik tetapi plain film lebih tersedia .Rerata sagital diameter terbesar pada C6 (18mm) dan yang terkecil C4 (17,0mm). Terdapat perbedaan bermakna berdasarkan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan sedangkan usia tidak. Korelasi kuat didapatkan pada pengukuran sagital diameter dari C3-C7 sedangkan interpedikel korelasinya lemah. Didapatkan sagital c3 (r=0,85), c4 (r=0,84), c5(0,84), c6(r=0,81) dan c7(r=0,86) sedangkan interpedikel c3(r=0,23), c4 (r=0,51), c5(r=0,47), c6 (r=0,84) dan c7(r=0,56).

Plain film is modality standar of radiology for all hospital in Indonesia and cost cheaper. In diagnosis stenosis of spinal canal, Ct scan better than Plain film but plain film more avalaible. The mean sagital diameter of the cervical canal at the biggest 18 mm (C6) and smallest 16 mm (C4). There was significantly correlation of sex,body weight, and height but no with age. Result of corelation between plain film and ct scan there was strong corelation at sagital diameter but weak at interpedikel diameter. We can see at C3 sagital (r = 0,85), C4 sagital (r= 0,84), C5 (r=0,84), C6 (r=0,81) and C7 (r=0,86). Otherwise interpedikel diameter C3 (r=0,23, p=0,11), C4 (r=0,51), C5 (r=0,47), C6 (r=0,48), and C7 (r=0,56).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Auliya Akbar
"ABSTRAK
Kondisidisuse osteoporosispada pasien hemiparesis dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh faktor-faktor klinis tersebut terhadap status kepadatan massa tulang. Sebanyak34 subjek direkrut dalam penelitian ini. Rerata nilai BMD (g/cm2) wrist sisi sehat dan sakit adalah 0,8 ±0,15 dan 0,74 ± 0,15; hipsisi sehat dan sakit adalah 0,83 ± 0,15 dan 0,77 ± 0,16; serta spine adalah 1,005 ± 0,20. Terdapat perbedaan bermakna antara BMD sisi sehat dengan sisi sakit baik pada hip maupun wrist (p<0,001). Didapatkan korelasi positif yang kuat antara awitan hemiparesis dengan delta BMD wrist dan hip (r= 0,779 p=0,001 dan r=0,791 p=0,001). Terdapat juga hubungan yang secara statistik bermakna antara delta BMD dengan usia dan kekuatan motorik. Pada uji multivariat didapatkan bahwa usia dan awitan hemiparesis merupakan faktor prediktor utama terhadap delta BMD (aR2 wrist= 0,486, aR2 hip= 0,614). Usia, kekuatan motorik ekstremitas, awitan hemiparesis, dan kepatuhan rehabilitasi mempengaruhi penurunan nilai BMD. Selain itu, usia dan awitan hemiparesis menjadi faktor prediktor utama terhadap penurunan nilai BMD. Faktor-faktor ini sebaiknya menjadi salah satu pertimbangan utama dalam manajemen diagnostik dan tatalaksana disuse osteoporosis pada pasien stroke

ABSTRACT
Disuse osteoporosis in hemiparetic patients often results in significant morbidity and decreased quality of life. This study aims to investigate the effect of these csinical factors on bone mineral density. A total of 34 subjects were recruited for this study. The mean BMD value (g / cm2) of the healthy and paretic side of the wrist was 0.8 ± 0.15 and 0.74 ± 0.15; healthy and paretic hip was 0.83 ± 0.15 and 0.77 ± 0. 16); and the spine was 1.005 ± 0.20. There was a significant difference between the healthy and paretic side of BMD of both hip and wrist (p <0.001). Multivariate analysis demonstrated that the onset of hemiparesis was a strong predictor of delta BMD (aR2 wrist = 0.486, aR2 hip = 0.614). Age, limb strength, the onset of hemiparesis, and rehabilitation compliance are associated with the decreased BMD among patients with post-stroke neuromuscular deficit. In addition, age and the onset of hemiparesis are major predictors of accelerated BMD loss, which can be used to calculate delta BMD score. These factors should perhaps become the main issues addressed in the diagnosis or treatment of disuse osteoporosis among stroke patient."
2019
T55545
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Satya Pradana
"Pendahuluan: Skoliosis idiopatik remaja terbukti dapat menyebabkan masalah fisik, psikologis, dan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas hidup setiap individu. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi factor faktor yang mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien skoliosis idiopatik.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada dua rumah sakit tersier di Jakarta, Indonesia dengan menggunakan kuesioner Scoliosis Research Society-22 (SRS-22)dan Short Form (SF)-36. Subjek penelitian merupakan 80 pasien dengan skoliosis idiopatik remaja yang telah dioperasi dalam 5 tahun terakhir dengan minimum follow up selama 1 tahun. Data yang dianalis adalah jenis kelamin, usia, lokasi kurva, derajat keparahan (sudut Cobb), presentase koreksi, C7 plumb line, jumlah operasi, jumlah perdarahan, dan lama operasi.
Hasil: Skor keseluruhan SF-36 adalah 94,5 (46,3-100) dan SRS-22 adalah 4,45 (3,58-4,84). Usia rata-rata subjek adalah 15 (10-26) tahun terdiridari 10% (n = 8) laki-laki dan 90% (n = 72) perempuan. Sembilan belas subjek (23,8%) memiliki skoliosis ringan (40°-60°), 41,3% sedang (60°-80°), dan 35% berat (> 80°). Presentase koreksi<50% ditemukan pada 30 (37,5%), 50-70% pada 39 (48,8%), dan> 70% pada 11 (13,8%) peserta. Lebih dari separuh peserta (57,5%, n = 46) berada dalam neutral balance dan 34 (42,5%) positive balance. Skor total SRS-22r memiliki perbedaan yang signifikan pada kelompok jenis kelamin (p = 0,026), C7 plumb line (p = 0,018) dan jumlah operasi (p =0,009). Skor total SF-36 memiliki perbedaan yang signifikan pada kelompok jenis kelamin (p = 0,019) dan C7 plumb line (p = 0,026). Selain itu, citra diri dan kepuasan yang merupakan sub-domain dari SRS 22 berkorelasi positif dengan C7 plumb line dan jumlah operasi.
Pembahasan: Kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien skoliosis idiopatik remaja yang dilakukan tindakan operasi menunjukan hasil yang baik. Pada studi ini, jenis kelamin, C7 plumb line, dan jumlah operasi berkaitan dengan kualitas hidup terkait kesehatan.Kualitas hidup terkait kesehatan pada skoliosis idiopatik remaja dipengaruhi oleh berbagai factor sehingga perlu dijadikan pertimbangan dalam target pengobatan setiap individu.

Introduction: Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) is a spinal deformity which may lead to physical and mental problems and can adversely affect patient satisfaction and the quality of life. The aim of this study is to evaluate the health related quality of life in scoliosis patients who had undergone surgical therapy.
Methods: A cross sectional study was conducted in two tertiary hospital, Jakarta, Indonesia using Scoliosis Research Society-22 (SRS-22) and Short Form (SF)-36questionnaire. This study evaluated 80 AIS patients operated in our center over the past five years with a minimum follow up of one year. In addition, participant medical records were reviewed to collect data on gender, age, curve type, severity of scoliosis curve (Cobb Angle), the percentage of curve correction, C7 plumb line, number of operations, blood loss, and operative time.
Results: The overall score of SF-36 is 94,5 (46,3-100) and SRS-22 is 4.45 (3.58-4.84). The median age of the participants was 15 (10-26) years. There were 10% (n=8) male and 90% (n=72) female. Nineteen participants (23.8%) had mild (40°-60°), 41.3 % moderate (60°-80°), and 35 % severe (>80°) scoliosis. The rates of curve correction<50% were found in 30 (37,5%), 50-70% in 39(48,8%), and>70% in 11 (13,8%) participants. More than half the participants (57,5 %, n=46) were in neutral balance and 34 ( 42,5 %) positive balance. The total score of the SRS-22r differed significantly between the groups of gender (p=0.026), C7 plumb line (p = 0.018) and number of operations(p = 0.009). The total score of the SF-36 differed significantly between gender (p=0.019) and C7 plumb line (p = 0.026). In addition, self-image and satisfaction, sub-domains of the SRS 22r, were positively correlated with C7 plumb line and number of operations.
Discussion: The overall HRQoLof AIS patients who had undergone surgical therapy in scores in our population shows a good results. Gender, C7 plumb line, and number of operation were related to HRQoL scores of Indonesian adolescents with scoliosis. In addition, HRQoL in AIS patients can be affected by many factors which medical staff needs to consider in order to produce the best and most effective treatment outcomes."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Anggawiyatna
"Pendahuluan: Berkurangnya kekuatan otot seiring usia sudah dianggap sebagai suatu penyakit degeneratif. Penyebab tersering adalah defisiensi vitamin D. Sebagian besar studi yang ada menunjukkan efek menguntungkan dari supplementasi vitamin D. Namun masih terdapat kontroversi. Tujuan studi ini adalah untuk meninjau secara sistematis tentang efek supplementasi vitamin D terhadap kekuatan otot, berdasarkan hasil dari studi terdahulu.Metode: Penelitian ini merupakan metaanalisis. Dilakukan penelusuran literatur melalui Pubmed, ScienceDirect, dan CENTRAL pada Desember 2017. Studi yang diambil adalah studi RCT, meneliti pengaruh pemberian suplementasi vitamin D dengan luaran klinis kekuatan otot, subjek usia di atas 65 tahun. Qualitas tiap studi dihitung dengan Jadad scale, risiko bias dihitung sesuai Cochrane guideline. Parameter HG, KE, CRT, TUG, dan SPPB diekstraksi dan dilakukan metaanalisis dengan menghitung beda rerata untuk menghitung besar efek.Hasil: 17 studi RCT diikutsertakan dalam penelitian. Qualitas tiap studi berkisar antara sedang-baik. Rentang usia 68,8-86,6 tahun. Lama follow up 3-12 bulan. Dosis vitamin D yang diberikan bervariasi 400-2000 IU/hari, atau 150.000 IU/3 bulan. Didapatkan hasil beda rerata 6.96 1.33, 12.60 untuk parameter KE p 0.02 , beda rerata -5.03 -25.04, 14.98 untuk parameter CRT p 0.62 , beda rerata -2.72 -6.90, 1.45 untuk parameter TUG 0.20 , beda rerata 0.11 -7.94, 8.17 untuk parameter SPPB p 0.98 , dan beda rerata 3.24 0.81, 5.66 untuk parameter HG p 0.009 .Pembahasan: Pemberian suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kekuatan otot yang diukur dengan parameter KE dan parameter HG. Namun tidak ditemukan perbedaan bermakna pada penghitungan parameter CRT, TUG, dan SPPB.

Introduction Decreased muscle strength with age is considered a degenerative disease. The most common causes is vitamin D deficiency. Most studies have shown beneficial effects of vitamin D supplementation. However, there are still controversies. This study was aimed to systematically review the effects of vitamin D on muscle strength, based on results from previous studies.Methods This is a metaanalysis study. Literature searches performed through Pubmed, ScienceDirect and CENTRAL in December 2017. Included in the studies were RCTs, which measured the effect of vitamin D supplementation with clinical outcomes of muscle strength, in subjects over 65 years of age. The quality of each study was calculated with Jadad scale, the risk of bias calculated according to Cochrane guideline. Parameters HG, KE, CRT, TUG, and SPPB were extracted and calculating the mean difference to analyse the effect.Result Seventeen RCTs were included. The quality ranged from moderate good. Age range 68.8 86.6 years. Length of follow up 3 12 months. The vitamin D dose varies from 400 2000 IU day, or 150,000 IU 3months. The mean difference was 6.96 1.33, 12.60 for KE p 0.02 5.03 25.04, 14.98 for CRT p 0.62 2.72 6.90, 1.45 for the TUG 0.20 0.11 7.94, 8.17 for the SPPB p 0.98 and 3.24 0.81, 5.66 for HG p 0.009 .Discussion Vitamin D supplementation can increase muscle strength measured by measuring KE and HG. However, there were no significant difference was found in CRT, TUG, and SPPB. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Rifki
"Latar belakang: Penentuan derajat degenerasi diskus intervertebralis (DDI) dan pemantauan progresivitasnya sangat penting untuk menentukan tatalaksana dan memantau efektivitas terapi. Penilaian T2 map menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengevaluasi derajat DDI secara kuantitatif namun dengan hasil yang bervariasi, tergantung pada mesin, coil, protokol, dan perangkat lunak MRI yang digunakan.
Metode: MRI sekuens T2 – weighted image potongan sagital digunakan untuk menilai dan mengelompokkan derajat DDI lumbal berdasarkan skala Modifikasi Pfirrmann. Derajat DDI lumbal yang termasuk dalam kriteria penelitian adalah derajat 2 – 4. Pasien yang tidak memiliki diskus normal (derajat 1) dieksklusi. MRI sekuens T2 mapping potongan mid – sagital digunakan untuk memperoleh rerata nilai T2 map dengan meletakkan Regio of Interest (ROI) di seluruh penampang diskus normal dan diskus yang berdegenerasi. Rerata nilai T2 map diskus yang berdegenerasi dibandingkan dengan diskus normal pada pasien yang sama, sehingga didapatkan nilai rasio (T2 map index).
Hasil: Didapatkan perbedaan signifikan rerata nilai T2 map index pada tiap derajat skala Modifikasi Pfirrmann (p < 0,001), dimana semakin berat derajat DDI lumbal, maka rerata nilai T2 map index semakin rendah (derajat 1: 0,97 ± 0,05 ms; derajat 2: 0,93 ± 0,07 ms; derajat 3: 0,60 ± 0,11 ms; derajat 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Kesimpulan: Penghitungan nilai T2 map index dapat digunakan untuk mengevaluasi progresivitas DDI lumbal secara kuantitatif dan dapat mengeliminasi variabilitas nilai T2 map.

Background: Severity and progression of intervertebral disc degeneration in early stages should be evaluated not only for an adequate treatment planning, but also for monitoring the effectiveness of therapies. Obtaining T2 map value using MR T2 mapping was beneficial for the assessment of disc degeneration albeit different MR machine, coil, software, and protocol used could affect its value.
Methods: Sagittal T2 – weighted image were used to evaluate lumbal disc degeneration by Modified Pfirrmann grading system. Grade 2 – 4 were included, while patients without grade 1 disc (normal disc) were excluded. Using mid – sagittal MR T2 mapping, range of interest (ROI) were placed in whole disc. Mean T2 map value in degenerated disc was compared to mean T2 map value in normal disc with resultant of a ratio (T2 map index).
Results: Mean T2 map index value between each Modified Pfirrmann grading differed significantly (p < 0,001). Higher Modified Pfirrmann grade correlates with lower mean T2 map index value (grade 1: 0,97 ± 0,05 ms; grade 2: 0,93 ± 0,07 ms; grade 3: 0,60 ± 0,11 ms; grade 4: 0,48 ± 0,04 ms).
Conclusion: T2 map index is reliable in evaluating the progressivity of lumbal disc degeneration quantitatively and in eliminating T2 map value variabilities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>