Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
DIANA ASHILAH RIFAI
"Menurut WHO, tingkatan unmet need terhadap kontrasepsi pada wanita sangatlah tinggi, terutama pada daerah kelompok pendatang, wanita muda, daerah kumuh perkotaan, daerah pengungsian, dan wanita pasca kehamilan. Untuk itu, sebuah studi cross-sectional dilakukan pada Rumah Susun Jatinegara Barat untuk membuktikan keabsahan pernyataan tersebut.
Sejumlah 100 wanita yang baru pindah ke tempat tersebut setelah relokasi yang dilakukan oleh pemerintah, telah diteliti untuk mengetahui nilai prevalansi dari unmet need terhadap kontrasepsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidak inginan perempuan terhadap pemakaian kontrasepsi juga diteliti dalam studi ini.
Dalam studi ini, dapat diketahui nilai ketidak-pemakaian kontrasepsi di Rumah Susun Jatinegara Barat sebesar 49%. Sedangkan dalam kelurahan dimana Rumah Susun itu berada (Kampung Melayu), tingkatan unmet need pada wanita menikah di usia subur sebesar 30%. Beberapa faktor seperti sosioekonomi, sosiobudaya, lingkungan, dan lainnya telah diteliti, namun tidak menunjukkan asosiasi yang bermakna secara statistik (tidak mencapai p < 0.05).
Kesimpulan: prevalansi unmet need pada Rumah Susun Jatinegara Barat tidak menemui angka pencapaian yang ditetapkan oleh BKKBN. Status sosioekonomi, faktor sosiobudaya, faktor lingkungan, dan faktor terkait host lainnya tidak menunjukan asosiasi statistik yang bermakna dengan tingkatan unmet need pada kontrasepsi oleh wanita menikah usia subur di Rumah Susun Jatinegara Barat, Jakarta.

According to WHO, the unmet need for contraception among the women are considerably high especially among the groups such as migrants, adolescents, urban slum dwellers, refugees, and the women in postpartum period. Therefore, a cross-sectional  study was conducted in the Rumah Susun Jatinegara Barat to prove the statement.
A number of women (100 people) who newly resided the area after the mass relocation by the government, were studied in order to identify the prevalence of the unmet need for contraception. The specific investigation regarding the factors associating with the prevalence of  the unmet need for the contraception among married women, was also conducted.
From this study, the number of the prevalence of the unmet need for the contraception in Rumah Susun Jatinegara Barat reached 49%, while in Kelurahan Kampung Melayu, the proportion was about 30%. Socioeconomical, sociocultural, envirornental, and other factors were observed in this study but resulting in weak association to the unmet need for contraception (p value was not < 0.05).
In conclusion, the prevalence of the unmet need for contraception was considerably high and did not meet the goal set by the National population and family planning board. Socioeconomical status, sociocultural, environmental, and other host-related factor did not show a statistically significant association with the unmet need for contraception among married women in Rumah Susun Jatinegara Barat, Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70448
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Achmad Saputra Hartono
"Latar Belakang: Amenorea primer adalah kondisi di mana seorang perempuan belum mengalami haid pada usia 14 tahun, yang disertai dengan tidak tampaknya pertumbuhan serta perkembangan tanda-tanda seks sekunder, atau kondisi di mana seorang perempuan yang belum mengalami haid pada usia 16 tahun meski telah didapatkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal dari tanda-tanda seks sekunder. Pada penderita Amenorea primer seringkali berakibat munculnya masalah kejiwaan seperti depresi, gangguan mood, sulit tidur, dan kegelisahan. Saat ini, belum terdapat program tatalaksana yang bersifat komperhensif untuk penderita amenorea primer yang melibatkan harapan dan perasaan penderita amenorea primer. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam pengalaman penderita amenorea primer, memahami pandangan penderita amenorea primer terhadap keadaan yang dialaminya, memahami kebutuhan penderita amenorea primer dan memahami pandangan penderita amenorea primer terhadap tatalaksana yang saat ini dilakukan sehingga pendekatan tatalaksana terhadap penderita amenorea primer dapat optimal. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi interpretatif, dengan wawancara mendalam, observasi langsung, dan catatan lapangan terhadap penderita amenorea primer di Poliklinik Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Mei 2018-Mei 2019. Hasil: Terdapat lima partisipan, usia bervariasi dari 21-28, dengan rerata 24 tahun. Tiga partisipan (60%) terdiagnosis dengan sindroma Turner, satu partisipan (20%) dengan DSD, dan satu partisipan (20%) dengan MRKH. Penderita amenorea primer cenderung merasakan perbedaan dengan perempuan lainnya, tidak menutup diri dengan lingkungan sekitar, tidak puas dengan perkembangan organ seks sekunder, mengalami masalah dengan partner, dan harapan terhadap pengobatan yang dilakukan, yaitu; ingin mendapatkan haid, terbebas dari obat, pertumbuhan organ seks yang normal, dan keinginan memiliki keturunan. Kesimpulan: Amenorea primer cenderung memiliki dampak negatif bagi penderitanya, terutama dalam segi kepercayaan diri. Penderita amenorea primer usia reproduktif cenderung tidak memiliki masalah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Dengan mengetahui pandangan dan harapan penderita amenorea primer, tentunya tenaga medis dapat melakukan penatalaksanaan dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Dibutuhkan tambahan variasi kasus atau sampel untruk dapat memenuhi aspek transferabilitas data.

Background: Primary amenorrhea is a condition in which a woman has not experienced menstruation at the age of 14 years, accompanied by no apparent growth and development of secondary sex signs, or a condition in which a woman has not experienced menstruation at the age of 16 despite growth and development normal from secondary sex signs. Primary amenorrhea often results in psychiatric disorders such as depression, mood disorders, insomnia, and anxiety. To date, there is no comprehensive treatment program that involves the hope and feelings of those with primary amenorrhea Objective: This study aims to explore more in the experience of primary amenorrhoea sufferers, understand the views of primary amenorrhoea sufferers on their condition, understand the needs of primary amenorrhoea sufferers and understand the views of primary amenorrhoea sufferers on the current management so that the management approach for patients with primary amenorrhea can be optimal. Methods: This study uses an interpretative phenomenology approach, with in-depth interviews, direct observation, and field notes on primary amenorrhoea sufferers at the Polyclinic of the Department of Midwifery and Gynecology at the Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital in MAy 2018-May 2019. Results: There were five participants, ages varied from 21-28, with a mean of 24 years. Three participants (60%) were diagnosed with Turner syndrome, one participant (20%) with DSD, and one participant (20%) with MRKH. Primary amenorrhoea sufferers tend to feel the difference with other women, were not satisfied with the development of secondary sex organs, experienced problems with their partners. Their hope for the treatment included wanting to have menstruation, be free from medical therapy, develop secondary sex organs, and desire to have children. Conclusions: Primary amenorrhea tends to have a negative impact on sufferers, especially in terms of self-confidence. Primary amenorrhea sufferers of reproductive age tend not to have problems in doing daily work. By knowing the views and expectations of primary amenorrhoea sufferers, of course medical personnel can carry out management with a more comprehensive approach. Additional variations of cases or samples are needed to meet the aspects of data transferability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yassin Yanuar Mohammad
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kadar Anti Mullerian Hormone (AMH) sebagai salah satu prediktor cadangan ovarium dalam infertilitas. Tujuan penelitian adalah membandingkan kadar AMH perempuan berusia 40 tahun ke atas yang dapat hamil dengan perempuan berusia 40 taun ke atas yang mengalami infertilitas. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan juga diperoleh suatu nilai kadar AMH yang dapat digunakan untuk prediktor terjadinya kehamilan pada perempuan 40 tahun ke atas. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang. Dari hasil studi ini, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan kadar AMH pada perempuan usia 40 tahun ke atas yang mengalami kehamilan spontan dan dengan infertilitas. Di samping itu, penelitian ini belum bisa membuktikan peran kadar AMH untuk memprediksi terjadinya kehamilan pada perempuan usia 40 tahun ke atas.

ABSTRACT
This thesis discusses the levels of Anti Mullerian Hormone (AMH) as a predictor of ovarian reserve in infertility. The research objective was to compare the levels of AMH women aged 40 years and over who can get pregnant naturally and in women aged 40 and over who are experiencing infertility. In addition, through this study is expected to also expect to have a value of AMH levels to be used for predictors of pregnancy in women 40 years and over. This study is a cross-sectional study. From the results of this study. From the results of this study, it was found that there was no significant difference in the levels of AMH in women aged 40 years and over who experienced spontaneous pregnancy and infertility. In addition, this study can’t prove a role for AMH levels predict the occurrence of pregnancy in women aged 40 years and over."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Lestari Avriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hubungan antara endometriosis dan nyeri pelvik telah banyak diketahui, namun penjelasan tentang mengapa hal ini bisa terjadi masih belum jelas diketahui. Dapat ditemukan keluhan nyeri hebat pada penderita endometriosis ringan, namun sebaliknya, dijumpai pula penderita endometriosis derajat berat tanpa keluhan nyeri berarti.Tujuan : Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara tampilan susukan endometriosis dan karakteristik nyeri pelvik.Metode : Rancangan penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif dengan metode analisis korelasi antara dua variabel numerik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data retrospektif rekam medis dari 131 pasien yang dilakukan laparoskopi atas indikasi endometriosis dari tahun 2012-2016.Hasil: Endometriosis minimal terdapat pada 2 pasien, endometriosis ringan pada 3 pasien, endometriosis sedang di 26 pasien, dan endometriosis berat pada 104 pasien. Berdasarkan tampilan makroskopik, endometriosis ovarium terdapat pada 92,4 , endometriosis peritoneal 82,4 , ESD 40,5 , dan adenomiosis pada 19,1 . Terdapat korelasi positif bermakna antara skor ASRM total, subskor kista endometriosis, endometriosis superfisial, obliterasi kavum douglas, dan adhesi adneksa dengan VAS dismenorea r=0,303; 0,187; 0,203; 0,278; 0,266, p

ABSTRACT
Background Controversies on relationship between endometriosis stage, adhesion, lesion type, and severity of pelvic pain remains for years, eventhough clinical experience have connected those with severity of pelvic pain.Objective To evaluate the association between ASRM score in endometriosis and pelvic pain in a group of women with endometriosis.Methods A total of 131 patients with pelvic pain who conduct laparoscopy for diagnosis and therapy of endometriosis, have pain symptoms 3 months, and absense of pelvic anomalies. Dysmenorrhea, deep dyspareunia, dyschezia, dysuria, and chronic pelvic pain were evaluated using 10 point visual analogue scale. The data was collected by assessing the medical record and retrospective analysis was performed. Disease stage according to American Society of Reproductive Medicine, presence of adhesion, lesion type Deep Infiltrating Endometriosis DIE or without DIE , and severity of pain symptoms were analyzed by Spearman analysis. Different VAS between DIE vs non DIE group was analyzed by Mann Whitney analysis.Results Minimal endometriosis was present in 2 patients, mild in 3, moderate in 26, and severe in 104. Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92,4 , peritoneal endometriosis 82,4 , DIE was 40,5 , and adenomyosis was 19,1 . Stage IV endometriosis accounts for 79.4 . Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92.4 , peritoneal endometriosis 82.4 , DIE was 40.5 , and adenomyosis was 19.1 . There was significant correlation between total ASRM, ovarian endometriosis, peritoneal lesion, Douglas pouch obliteration, adnexal adhesion score and VAS dysmenorrhea r 0.303 0,187 0,203 0,278 0,266, p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Melissa Puteri Iskandar
"Latar belakang: Kematian ibu masih menjadi permasalahan besar di Indonesia, dimana perdarahan, infeksi, dan preeklampsia/eklampsia sebagai penyebab tersering. Sistem rujukan yang baik merupakan salah satu pendukung dalam penatalaksanaan kasus-kasus obstetri sehingga kasus komplikasi dapat terhindar. Saat ini sudah terdapat BPJS, dimana rujukan dilakukan secara berjenjang. Bidan yang berpraktik mandiri tidak termasuk dalam sistem BPJS, hanya menjadi jejaring BPJS bila tidak terdapat fasilitas persalinan pada pelayanan primer. Namun masih belum dijabarkan secara jelas kedudukan bidan pada sistem rujukan untuk kasus gawat darurat. Sehingga masih banyak yang merujuk langsung kasus obstetri dan kasus yang bermanifestasi menjadi komplikatif ke pelayanan tersier, yaitu RSCM. Karakteristik bidan ternyata dapat memberikan pengaruh terhadap keputusan seorang bidan dalam merujuk. Penelitian ini mengumpulkan informasi mengenai alasan rujuk melalui gambaran karakteristik bidan yang merujuk langsung kasus-kasus komplikatif ke RSCM.
Tujuan: Mengetahui karakteristik bidan yang berpraktik di praktik mandiri bidan serta hubungannya dengan kasus komplikatif yang dirujuk langsung ke RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik kasus kontrol pada bidan yang berpraktik mandiri yang merujuk langsung kasus-kasus obstetri dan/atau kasus komplikatif pada bulan Januari 2016 hingga Juli 2017. Dilakukan pencatatan data bidan yang berpraktik mandiri, kasus obstetri, dan kasus yang bermanifestasi menjadi kasus komplikasi yang memenuhi kriteria inklusi. Kemudian dilakukan analisis terhadap enam karakteristik bidan yang merujuk, yaitu: usia, pendidikan, pelatihan yang pernah diikuti selama masa praktik, lama waktu berpraktik, jumlah pasien yang pernah ditangani selama masa kerja, serta jarak dan waktu tempuh proses merujuk.
Hasil: Didapati 82 bidan yang berpraktik mandiri yang merujuk 29 kasus preeklampsia (35.3%), 40 kasus ketuban pecah dini (48.8%), dan 13 kasus perdarahan (15.9%). 28 kasus bermanifestasi menjadi kasus komplikatif (34.1%). Keseluruhan bidan merujuk karena fasilitas yang tidak memadai. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara lama waktu praktik dengan jumlah kasus komplikatif yang dirujuk langsung ke RSCM dengan p=0.001 (OR 7.036 CI95% 2.543-19.472). Terdapat pula hubungan yang bermakna antara jumlah pasien dengan perujukan langsung kasus komplikatif ke RSCM dengan p=0.001 (OR 6.032 CI95% 2.220-16.391). Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara usia, pendidikan, pelatihan yang sudah pernah diikuti selama masa praktik, serta jarak dan waktu tempuh fasilitas pelayanan kesehatan perujuk, dengan kasus-kasus komplikatif yang dirujuk langsung ke RSCM.
Kesimpulan: Keseluruhan bidan merujuk langsung kasus obstetri karena fasilitas yang tidak memadai dan mereka merujuk langsung ke RSCM agar pasien dapat langsung ditangani. Karakteristik bidan yang mempengaruhi bidan yang berpraktik mandiri dalam mengirim langsung kasus-kasus komplikatif yaitu lama waktu praktik dan jumlah pasien yang pernah ditangani selama masa kerjanya. Sehingga perlu dilakukan evaluasi ulang mengenai kedudukan bidan yang berpraktik mandiri di sistem BPJS. Selain itu diperlukan program penyegaran untuk praktik mandiri bidan setiap tahun dan pemantauan serta evaluasi yang dilakukan oleh instansi terkait. Diperlukan pula penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, dimana penelitian ini menggabungkan karakteristik bidan serta karakteristik pasien pada kasus-kasus rujukan. Namun faktor perancu dan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi proses analisis perlu diidentifikasi terlebih dahulu, agar dapat dilakukan analisis yang menyeluruh.

Background: Maternal mortality is still a major problem in Indonesia, where bleeding, infection, and preeclampsia/eclampsia are the commonest causes. A good referral system is one of the supporters in the management of obstetric cases so the complications can be avoided. Currently there is BPJS, where referrals start from primary to tertiary care. Self-employed midwives are not included in the BPJS system, only as a BPJS network if there is no delivery facility in primary care. It is still not clearly defined the position of midwife at the referral system for emergency cases. So there are still many self-employed midwives that directly refer the obstetric cases and cases that manifest into complication to tertiary care, which is RSCM. Characteristics of the midwife turned out to have an effect on the decision of a midwife in referring. This research collects information about the reasons for referring a case through a description of the characteristics of midwives who directly refer the complicated cases to RSCM.
Objective: To identify characteristics of self-employed midwives and its relation to complicative cases referred directly to RSCM.
Method: This study used descriptive design with analytic case control on self-employed midwife who referred directly the obstetric cases and/or cases that have manifested into further complication in January 2016 until July 2017. Data of self-employed midwife, obstetric cases, and cases manifested into complications that meet inclusion criteria, were recorded. Then characteristic of referral midwife namely: age, education, training that had been performed during their practice, duration of practice, number of patients that had been handled during the work period, as well as distance and travel time of referring process, were analyzed.
Results: There were 82 self-employed midwives referring 29 cases of preeclampsia (35.3%), 40 cases of premature rupture of membranes (48.8%), and 13 cases of bleeding (15.9%). 28 cases were manifest into complicated cases (34.1%). The entire midwife referred those cases due to inadequate facilities. There was statistically significant correlation between duration of practice and number of complicated cases referred directly to RSCM, with p=0.001 (OR 7.036 CI95% 2,543-19,472). There was also a significant correlation between the number of patients with direct referral of complicated cases to RSCM, where p=0.001 (OR 6,032 and CI95% 2,220-16,391). There were no statistically significant correlations between age, education, training that had been performed during practice, as well as the distance and travel time of referring process, with complicated cases that directly referred to RSCM.
Conclusions: All self-employed midwives were referring the obstetric cases due to inadequate facilities and they referred directly to RSCM so that patients can be handled immediately. Characteristics that affect self-employed midwife to directly send complicative cases including duration of practice and number of patients that ever handled during their work period. So it is necessary to reevaluate the position of self-employed midwife in BPJS system. In addition, a refresher course is required for them every year and the need of monitoring and evaluation conducted by the relevant agencies. Further research is needed, with a larger number of samples, which combine the characteristics of midwives and the characteristics of patients in referral cases. However, confounding factors and external factors that may affect the analysis process need to be identified first, in order to be able to do a thorough analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fernando, Darrel
"Latar belakang: Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi, yaitu 305 kematian per 100.000 persalinan hidup. Asuhan antenatal adalah salah satu upaya penting untuk mencegah kematian maternal, tetapi harus dilakukan asuhan yang berkualitas.
Tujuan: 1 Menentukan kualitas asuhan antenatal pada kasus dengan kematian maternal di RSCM. 2 Menentukan sebaran sebab kematian maternal di RSCM.
Metode: Dilakukan telaah retrospektif rekam medis pada kasus kematian maternal di RSCM tahun 2008-2016, untuk menentukan sebaran sebab kematian serta Fasyankes yang merujuk. Setelah diidentifikasi Fasyankes yang merujuk dan merupakan tempat pasien menjalani asuhan antenatal, dilakukan survei potong lintang pada Fasyankes tersebut. Pada kunjungan Fasyankes, dilakukan pengambilan data kuantitatif dengan daftar tilik kelengkapan komponen asuhan antenatal, serta pengambilan data kualitatif dengan panduan wawancara.
Hasil: Kelengkapan komponen asuhan antenatal di Fasyankes asal kasus dengan kasus kematian maternal di RSCM baik, yaitu 84-100. Akan tetapi, pelaksanaan asuhan antenatal di Fasyankes masih kurang baik untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari pre-existing conditions dan mendeteksi dini komplikasi pada kehamilan karena tidak rutin dilakukan pemeriksaan fisik umum pada pasien. Sebab kematian tersering di RSCM adalah sebab obstetri langsung 59.8, dengan preeklamsia-eklamsia sebagai kelompok penyebab tersering 38.9.
Kesimpulan: Secara kuantitatif, kelengkapan komponen asuhan antenatal di Fasyankes asal kasus dengan kasus kematian maternal di RSCM baik, tetapi kualitasnya kurang baik untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari pre-existing conditions dan mendeteksi dini komplikasi pada kehamilan.

Background: Maternal mortality rate in Indonesia is still high 305/100.000 live births despite efforts to decrease maternal deaths. Antenatal care is one of the key components to prevent maternal mortality. While quantity of antenatal care is important, it is also crucial to provide good quality health care.
Aim: 1 To determine quality of antenatal care in maternal death cases in RSCM. 2 To determine causes of maternal death in RSCM.
Methods: We conducted a retrospective medical record review on maternal death cases in RSCM from 2008 to 2016, to identify causes of maternal death and the referring healthcare facility. We then conducted a cross-sectional survey to the healthcare facility where the patient performed routine antenatal care. We obtained quantitative data using checklists and qualitative data using interview guides.
Results: The adequacy of antenatal care components in healthcare facilities that referred maternal death cases in RSCM is good, ranging from 84-100. However, the quality is still lacking to identify pre-existing conditions and to predict pregnancy complications, as general physical examination is not routinely conducted. Direct obstetric deaths are still the leading cause of maternal deaths in RSCM 59.8, with preeclampsia-eclampsia as the most frequent group 38.9.
Conclusion: Quantitatively, the components of antenatal care are conducted adequately, however the quality is still lacking to identify pre-existing conditions and to predict pregnancy complications. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Biancha Andardi
"Latar belakang: Angka kematian neonatal di Indonesia masih berada pada tingkat
yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2015, disebutkan terdapat 14 kematian neonatal per
1.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab kematian tertinggi kematian neonatal adalah
kelahiran preterm. Defisiensi vitamin D dipercaya sebagai salah satu penyebab
kelahiran preterm. Sayangnya, belum terdapat penelitian mengenai pengaruh vitamin D
pada wanita terhadap kehamilan preterm di Indonesia
Tujuan: Mengetahui perbedaan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3), enzim 1-
Hidroksilase (CYP27B1) dan 1,25 Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) serum dan
plasenta pada wanita hamil aterm dan preterm
Metode: Penelitian analitik observasional dengan metode potong lintang dilakukan
dengan subjek ibu hamil yang datang ke RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk
persalinan aterm dan preterm pada Januari 2017 hingga Agustus 2017. Pasien dengan
kehamilan multipel, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital, pecah ketuban
dini, preeklampsia atau memiliki penyulit lainnya dieksklusi dari penelitian. Kadar 25-
Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3), enzim 1-Hidroksilase (CYP27B1), dan 1,25
Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) pada plasenta dan serum maternal diambil pada
seluruh subjek.
Hasil: Didapatkan sebanyak 60 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dengan rincian 30 subjek preterm dan 30 subjek aterm. Tidak terdapat perbedaan status
25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) pada serum persalinan preterm dan serum
persalinan aterm (p>0,05). Didapatkan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) pada
plasenta yang lebih rendah pada persalinan preterm dibandingkan plasenta persalinan
aterm (p=0,001). Tidak terdapat perbedaan status 1,25 Dihidroksivitamin D3
(1,25(OH)2D3) pada serum dan plasenta persalinan preterm dengan plasenta persalinan
aterm, namun didapatkan kadar yang lebih rendah pada persalinan preterm. (pada serum
dengan median 62,9 pg/mL pada hamil preterm, sedangkan median hamil aterm 75,5
pg/mL; dan pada plasenta dengan median 4,57 pg/g pada preterm dan 5,15 pg/g pada
aterm, p>0,05) Tidak terdapat perbedaan status enzim 1-Hidroksilase (CYP27B1)
pada plasenta persalinan preterm dengan plasenta persalinan aterm (p>0,05).
Kesimpulan: Didapatkan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) plasenta yang
lebih rendah pada subjek dengan kelahiran preterm dibandingkan aterm. Tidak terdapat
perbedaan status 25-Hidroksivitamin D3 (25(OH)D3) serum, enzim 1-Hidroksilase
(CYP27B1) plasenta, dan 1,25 Dihidroksivitamin D3 (1,25(OH)2D3) plasenta dan serum
antara wanita dengan kehamilan preterm dengan aterm

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Susie Susilawati
"ABSTRAK
Latar belakang
Kematian akibat kanker serviks masih tinggi karena sekitar 90% terdiagnosis pada stadium lanjut. Kanker serviks merupakan penyakit yang dapat dicegah. Rumah sakit memiliki peran penting dalam pencegahan kanker serviks, baik dalam pencegahan primer (vaksinasi HPV) maupun pencegahan sekunder (skrining kanker serviks dan tatalaksana kasus dengan hasil skrining yang positif).
Tujuan
Mengetahui peran rumah sakit di DKI Jakarta dalam pencegahan primer dan sekunder kanker serviks.
Metode
Penelitian ini adalah survey yang dilakukan pada 25 rumah sakit yang dipilih secara simple random sampling dari 109 rumah sakit yang ada di DKI Jakarta. Dilakukan wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai aspek pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap 117 tenaga kesehatan serta identifikasi kesiapan fasilitas terkait pencegahan kanker serviks pada 25 rumah sakit tersebut.
Hasil
Dari aspek pengetahuan penelitian ini menunjukkan bahwa semua tenaga kesehatan (100%) mengetahui bahwa vaksinasi HPV dilakukan sebagai pencegahan primer kanker serviks, 98,3% mengetahui bahwa vaksin HPV disuntikkan intra muskular, 91,5% mengetahui bahwa vaksinasi HPV diberikan 3x yaitu pada bulan ke 0, 1, 6 atau 0, 2, 6, dan 71,8% mengetahui bahwa vaksin HPV disuntikkan pada deltoid. Sebagian besar tenaga kesehatan (99,1%) mengetahui bahwa tes IVA (Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat) dapat digunakan untuk deteksi dini kanker serviks, 76,9% mengetahui cara menginterpretasi hasil tes IVA yang positif, dan 60,7% tahu bagaimana cara melakukan tes IVA. Sebanyak 93,2% tenaga kesehatan mengetahui tujuan tes pap dan 82,1% mengetahui bagaimana cara melakukan tes pap. Dari aspek sikap, sebagian besar tenaga kesehatan (96,6%) setuju untuk memberikan vaksinasi HPV, 94% setuju untuk melakukan tes IVA dan 98,3% setuju untuk melakukan tes pap. Dari aspek perilaku, sebagian besar tenaga kesehatan (76,9%) menawarkan pada klien/pasiennya vaksinasi HPV dan 62,4% pernah melakukan vaksinasi HPV, 52,1% menawarkan dan 30,8% pernah melakukan pemeriksaan IVA serta 86,3% menawarkan dan 71,8% melakukan tes pap. Sebagian besar tenaga kesehatan perempuan yang sesuai dengan persyaratan (75%) sudah melakukan tes pap bagi dirinya sendiri, tetapi hanya 32,5% yang sudah mendapatkan vaksinasi HPV.
Dari segi fasilitas, 20 rumah sakit (80%) di DKI Jakarta menyediakan vaksinasi HPV, dan semua (100%) rumah sakit menyediakan tes pap. Hanya 11 rumah sakit (44%) yang menyediakan tes IVA dan 10 rumah sakit (40%) yang menyediakan kolposkopi.
Kesimpulan
Sebagian besar rumah sakit di DKI Jakarta sudah mempunyai tenaga kesehatan dengan pengetahuan dan sikap yang baik dalam pencegahan kanker serviks, namun dari aspek perilaku sebagian besar belum menunjukkan perilaku yang baik dalam pencegahan primer kanker serviks. Sebagian besar rumah sakit di DKI Jakarta sudah menyediakan fasilitas pelayanan vaksinasi HPV dan tes pap, namun sebagian besar belum menyediakan fasilitas IVA dan kolposkopi.

ABSTRACT
Introduction
Mortality caused by cervical cancer remains high because 90% of cases are diagnosed at advanced stage. Cervical cancer is a preventable disease. Hospitals have an important role in cervical cancer prevention, including primary prevention (HPV vaccination) and secondary prevention (cervical cancer screening and treatment of positive screening results).
Objective
To evaluate the role of hospitals in DKI Jakarta on primary and secondary cervical cancer prevention
Method
This was a survey conducted to 25 hospitals, chosen with simple random sampling from 109 hospitals in DKI Jakarta. Questionnaire used for interview contained statements regarding knowledge, attitude and behavior of 117 health care professionals along with identification of facility preparedness for cervical cancer prevention within those 25 hospitals.
Result
The assessment of knowledge shows that all health care professionals (100%) knew that HPV vaccination is used as a primary prevention for cervical cancer. About 98.3% responden knew HPV vaccine injected intramuscularly. As much as 91.5% of the responden knew HPV vaccine is given three times either at month 0,1, 6 or at month 0,2,6. About 71.8% responden knew deltoid as site for vaccine injection.
Most of health care professionals (99.1%) knew VIA (visual inspection with acetic acid) can be used for early detection of cervical cancer. About 76.9% responden knew how to intepret positive VIA results and 60.7% responden knew how to do VIA test. As much as 93.2% health care professional knew the purpose of Pap test and about 82.1% knew how to do it. From attitude aspect, most of health care professionals (96.6%) agreed in giving HPV vaccination. About 94% of them agreed to do VIA test and about 98.3% agreed in conducting Pap test. From behavioral aspect, most of the responden (76.9%) offered HPV vaccination to their clients/patients and 62.4% responden did HPV vaccination. VIA test was offered and conducted by 52.1% and 30.8% of them, respectively. About 86.3% responden offered Pap test and 71.8% did the Pap test. As many as 75% of female health care professionals who meet the qualification already had a Pap test for themselves, but only 32.5% ever been vaccinated for HPV. From facility aspect, twenty hospitals (80%) in DKI Jakarta offered HPV vaccination with Pap test can be done in all of them. VIA test and colposcopy were only available in eleven (44%) and ten (40%) hospitals respectively.
Conclusion
Most hospitals in DKI Jakarta have health care professionals with good knowledge and attitude in cervical cancer prevention. However, not many have shown expected behavior in the primary prevention. Most hospitals in DKI Jakarta provide facilities for HPV vaccination and Pap test, but only few have VIA facilities and colposcopy."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanto Kusnawara
"Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2019 belum mencapai 2 target yakni, peningkatan penggunaan kontrasepsi modern dan menurunkan tingkat unmet need. Hal ini menjadi dasar dari peneliti untuk mengambil sampel di Jakarta Utara. tingkat kemiskinan yang tinggi dan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta Utara yang tinggi 1.03% dibandingkan dengan target 0.75%. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang secara kuantitatif untuk mencari faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga yang tinggal di pemukiman kumuh Jakarta Utara tentang program keluarga berencana dan metode wawancara mendalam secara kualitatif untuk memperoleh penyebab perilaku keluarga. Jumlah sampel diteliti dalam penelitian ini
adalah 70 orang. Didapatkan hasil terdapat hubungan antara kegiatan sosial dengan perilaku keluarga tentang program KB di pemukiman kumuh Jakarta Utara (nilai P <0.05). Perilaku keluarga yang tinggal di pemukiman kumuh Jakarta Utara tentang program KB adalah rendah dan faktor yang berhubungan hanya kegiatan sosial. Hasil wawancara mendalam mendapatkan kegiatan sosial yang berpengaruh adalah interaksi warga membagikan pengalaman saat kegiatan.

Two indicators of Population and Family Planning Development Year 2019, have not reached the target, namely, increasing modern contraceptive use and reducing unmet need. This is the basis for researchers to take samples in North Jakarta. slums have high poverty rates and high rates of population growth. This study use a quantitative cross-sectional method to find the factors related to family behaviour in slum settlements in North Jakarta on family planning program in 2019 and in-depth interview method to find the cause of family behaviour. The number of samples examined in this study were 70 people. Results obtained are there is a relationship between social activities and family behavior on family planning program in North Jakarta slum settlements in 2019 (p value <0.05) It is known that the family behaviour in slum settlements in North Jakarta on family planning program in 2019 are low and the only factor related to it is social activities. From in-depth interview, communication among them by sharing their experience affected their social activities."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Mardhia
"Cervical cancer remains the second most common cancer in women worldwide, include Indonesia. HPV persistence is known as the main cause of cervical precancer and cancer, but it has been postulated that HPV persistence is implicated by sexually transmitted diseases as risk factor such as C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum. There is no data showing the prevalance of C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum infection in abnormal cervical cytology in Indonesia, therefor this study was conducted to determine whether there is association between C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum and U. parvum coinfection in abnormal cervical cytology. Liquid based cytology and duplex PCR was used to determined cytology abnormality and the infection. 59 specimens was collected and divided into 14 specimens with cervical cytology abnormality and 45 specimens with normal cervical cytology. Statistical analysis shown association between U. urealyticum infection and HPV p 0,017 and no association between C. trachomatis, M. hominis, and U. parvum infection with p value 0,203, 0,266 and 0,089 respectively. Furthermore, there were no association between C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum and U. parvum coinfection in abnormal cervical cytology by statistical analysis p 0,417, 0,682, 0,682 and 0,689.

Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan ke-dua dari keganasan pada wanita di dunia, termasuk di Indonesia. Kejadian lesi prakanker dan kanker serviks diketahui tidak hanya disebabkan oleh infeksi persisten HPV sebagai penyebab utama, namun melibatkan faktor risiko lain salah satunya adanya agen infeksi penyakit menular seksual selain HPV seperti C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum. Data mengenai infeksi bakteri terhadap wanita dengan lesi prakanker serviks di Indonesia belum ada. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dengan sitologi serviks abnormal pada wanita dengan HPV positif. Metode pemeriksaan sitologi serviks dengan menggunakan LBC dan deteksi bakteri menggunakan PCR dupleks. Dari total 59 spesimen didapatkan 14 dengan sitologi serviks abnormal dan 45 dengan sitologi serviks normal. Hasil analisa hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dan infeksi HPV adalah p 0,203, 0,266, 0,017 dan 0,089. Hubungan infeksi C. trachomatis, M. hominis, U. urealyticum dan U. parvum dengan HPV positif pada sitologi serviks abnormal adalah 0,417, 0,682, 0,682 dan 0,689. Berdasarkan uji statistik terdapat hubungan antara infeksi U. urealyticum dan HPV, serta tidak didapatkan hubungan bermakna antara infeksi bakteri dengan HPV positif pada sitologi serviks abnormal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>