Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hastomo Agung Wibowo
"Latar Belakang. Robekan rotator cuff menjadi salah satu penyebab tersering ketika pasien datang dengan keluhan nyeri bahu. Jika penanganan tidak optimal maka akan mengakibatkan bertambahnya nyeri hingga kekakuan sendi yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien. Insiden tindakan arthroscopic rotator cuff repair meningkat dari tahun ke tahun di banyak negara termasuk Indonesia. Teknik single row masih menjadi pilihan yang sering dilakukan pada penanganan kasus ini. Namun belum didapatkan adanya data yang terpublikasi mengenai hasil luaran fungsional pasca tindakan tersebut di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis pada pasien yang dilakukan arthroscopic rotator cuff repair dengan teknik single row, dibandingkan sebelum dan sesudah operasi.
Metode. Data diambil di RSUP Fatmawati Jakarta baik sebelum dan sesudah operasi pada 38 pasien pasca tindakan arthroscopic rotator cuff repair yang masuk kriteria inklusi dari tahun 2015 hingga 2020. Seluruh tindakan menggunakan teknik single row dengan melakukan medialisasi pada batas lateral dari permukaan sendi dan dilakukan prosedur bone tunnelling pada foot print (Crismson Duvet). Kemudian dilakukan pengambilan data demografis dan luaran klinis berdasarkan pada skor VAS, kekuatan bahu, range of motion, Constant Murley Score dan skor ASES yang didapatkan dari rekam medis (sebelum operasi) dan pemeriksaan langsung di poliklinik (sesudah operasi). Lalu hasil dari luaran klinis dilakukan perbandingan antara sebelum dan pasca operasi.
Hasil. Median usia seluruh sampel adalah 60 tahun (40-77) dengan seluruh robekan terjadi pada supraspinatus dengan ukuran medium dan large. Pada 68% sampel adalah lengan dominan dan 79% kasus tidak didapatkan riwayat trauma. Terdapat beberapa prosedur tambahan seperti acromioplasty (26%), biceps tenodesis (8%) dan biceps tenotomy (18%). Dari hasil statistik pemeriksaan obkejtif didapatkan penurunan yang bermakna pada skor VAS dan peningkatan bermakna pada kekuatan bahu dan range of motion. Skoring luaran fungsional juga didapatkan peningkatan yang signifikan baik pada CMS dan skor ASES dimana p<0.05.
Kesimpulan. Arthroscopic rotator cuff repair dengan teknik single row memiliki hasil luaran fungsional yang baik pada penanganan kasus robekan ukuran medium dan large dengan minimal waktu follow up lebih dari 3 tahun. Terdapat perbaikan yang bermakna dari skor VAS, kekuatan otot bahu, range of motion, CMS dan skor ASES jika dibandingkan sebelum dan pasca operasi.

Background. Rotator cuff tear is one of most common source in patient with chief complain pain around the shoulder. Failed treatment can cause increasing pain and joint stiffness which can compromised patient quality of life. Nowadays, arthroscopic rotator cuff repair become more popular around the world including Indonesia in treating that condition. Single row repair still used and become good choices for the treatment. However, until today there is no publication in Indonesia about this procedures outcome. So, this study aims is to investigate functional outcome in patient after single row arthroscopic rotator cuff repair by comparing before and after surgery.
Methods. Data were collected from Fatmawati Hospital Jakarta at pre and post operative follow up (minimum 3 years) of 38 patients submitted to single row (SR) arthroscopic RC repair from 2015 to 2020. In all procedures the repair was medialized just lateral to articular cartilage with bone tunnelling on the foot print procedure (Crimson Duvet). The clinical functional variabels were collected from demographic data, visual Analog Scale (VAS) score, muscle strength, range of motion (ROM), Constant Murley Score (CMS) and American Shoulder and Elbow Surgeons (ASES) score were collected from medical records and direct examination. The results were compared between pre and post operative groups.
Results. We found median age is 60 years old (40-77) with all tears were medium and large size supraspinatus tear. 68% samples were dominant hand with majority (79%) without history of trauma. There was additional procedures such as acromioplasty (26%), biceps tenodesis (8%) and biceps tenotomy (18%) and woman were dominant (58%) in all cases. There was significantly improvement in VAS score (8 to 1), muscles power and ROM compared before and after surgery. Functional ASES scores and CMS also significantly improved (p<0.05).
Conclussion. Single row arthroscopic rotator cuff repair with concomitant procedures still provides good results for medium and large tear in minimum 3 years follow up. Pain, muscle strength, range of motion with ASES and CMS scores were significantly improved comparing before and after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jansen
"Pendekatan diagnostik untuk gangguan tendon supraspinatus melalui tes klinis sering kali gagal mengidentifikasi penyebab patologis spesifik dari nyeri bahu. Tes klinis saja tidak dapat memberikan diagnosis patoanatomi yang akurat, dan mengandalkan pencitraan juga terbatas karena tingginya kejadian patologi tanpa gejala. Penelitian ini mengevaluasi efektivitas pemeriksaan fisik yang dikombinasikan dengan injeksi lidokain untuk mendeteksi robekan penuh pada tendon supraspinatus, dengan MRI sebagai pembanding. Pasien dengan dugaan nyeri bahu yang terkait dengan tendon supraspinatus ikut serta dalam penelitian ini. Data dikumpulkan melalui tes klinis, diikuti dengan injeksi lidokain subakromial dan evaluasi ulang, yang hasilnya dikonfirmasi melalui MRI. Dari 78 pasien, dengan usia rata-rata 58 tahun, sebagian besar adalah wanita normoweight (76,9%) yang melaporkan nyeri sedang, terutama di sisi kanan yang dominan. Tes Hawkins-Kennedy dan empty can memiliki sensitivitas terbaik (0,76), sementara tes drop arm menunjukkan spesifisitas tertinggi (0,82) untuk mendeteksi robekan. Injeksi lidokain menurunkan sensitivitas namun meningkatkan spesifisitas pada semua tes fisik. Injeksi lidokain yang dipandu ultrasound meningkatkan akurasi pemeriksaan fisik dibandingkan dengan MRI dalam mengevaluasi robekan penuh tendon supraspinatus, sehingga meningkatkan ketepatan diagnostik untuk gangguan bahu yang umum ini.

The diagnostic approach for supraspinatus tendon disorders through clinical tests often fails to pinpoint specific pathological causes of shoulder pain. Clinical tests alone cannot provide an accurate pathoanatomic diagnosis, and relying solely on imaging is limited by the high occurrence of asymptomatic pathology. This study evaluates the effectiveness of physical examination combined with lidocaine injection for detecting full-thickness tears in the supraspinatus tendon, using MRI as a comparison. Patients with suspected supraspinatus tendon-related shoulder pain participated. Data was gathered via clinical tests, followed by a subacromial lidocaine injection and subsequent reevaluation, with findings confirmed through MRI. Among the 78 patients, with an average age of 58, most were normoweight women (76.9%) reporting moderate pain, mainly on the right, dominant side. The Hawkins-Kennedy and empty can tests had the best sensitivity (0.76), while the drop arm test showed the highest specificity (0.82) for detecting tears. Lidocaine injection lowered sensitivity but raised specificity in all physical tests. Ultrasound-guided lidocaine injection improved the accuracy of physical examinations compared to MRI in evaluating full-thickness supraspinatus tendon tears, enhancing diagnostic precision for this common shoulder disorder."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bertha Kurniantoro Saputro
"Penggantian kepala radius dengan prostesis logam umum digunakan untuk fraktur kepala radius yang tidak dapat diperbaiki, namun sebagian besar prostesis dirancang berdasarkan karakteristik anatomi populasi Barat. Studi ini mengevaluasi rerata parameter antropometri tulang kepala radius pada populasi Indonesia dengan tinggi badan di bawah rata-rata dan menganalisis kesesuaiannya dengan prostesis komersial di Indonesia. Penelitian melibatkan 120 partisipan berusia 20–60 tahun dengan tinggi badan di bawah rata-rata (pria ≤166 cm, wanita ≤154 cm). Pengukuran meliputi diameter kepala radius, ketebalan, serta diameter leher radius yang dievaluasi melalui gambaran radiografi. Rata-rata diameter kepala minimal dan maksimal adalah 20,49 ± 1,90 mm dan 21,20 ± 1,99 mm, dengan ketebalan rata-rata 10,88 ± 1,37 mm. Korelasi sedang ditemukan antara tinggi badan dan beberapa parameter seperti ketebalan kepala dan diameter leher radius. Rata-rata parameter pada wanita lebih kecil dari pria secara signifikan (p<0,05). Tinggi badan memiliki hubungan erat dengan parameter antropometri kepala radius, khususnya pada dimensi sumbu longitudinal tulang. Perbedaan signifikan antara pria dan wanita menunjukkan kebutuhan desain prostesis yang spesifik untuk populasi ini. Penggunaan prostesis impor yang dirancang berdasarkan populasi Barat pada masyarakat Indonesia dengan tinggi badan di bawah rata-rata cenderung kurang sesuai, sehingga modifikasi desain yang sesuai dengan karakteristik anatomi populasi Indonesia diperlukan.

Radial head replacement with metal prostheses is commonly used for irreparable radial head fractures; however, most prostheses are designed based on Western anatomical characteristics. This study evaluates the average anthropometric parameters of the radial head in Indonesians with below-average height and examines their compatibility with available prostheses in Indonesia. The study involved 120 participants aged 20–60 years with below-average height (≤166 cm for men, ≤154 cm for women). Measurements included radial head diameter, thickness, and neck diameter, obtained through radiographic imaging. The average minimum and maximum radial head diameters were 20.49 ± 1.90 mm and 21.20 ± 1.99 mm, with an average thickness of 10.88 ± 1.37 mm. Moderate correlations were found between height and parameters like radial head thickness and neck diameter. Measurements for women were significantly smaller than those for men (p<0.05). Height had a close relationship with anthropometric parameters of the radial head, particularly along the longitudinal axis. The significant male-female differences emphasize the need for prosthetic designs suited to this population. Prostheses designed for Western populations are likely incompatible with Indonesians of below-average height, underscoring the need for modifications that align with the anatomical characteristics of the Indonesian population."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library