Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rossy Dame Lasria
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan kurator di Indonesia dan trustee di Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan oleh skripsi ini adalah yuridis normatif, yang bersifat eksplanatoris deskriptif. Skripsi ini mengangkat tema perbandingan antara kurator kepailitan di Indonesia dan trustee di Amerika Serikat untuk melihat adanya persamaan serta perbedaan antara eksekutor kepailitan di dua negara tersebut. Pembahasan akan lebih mengarah pada tugas dan weweanang, kelembagaan, serta tanggung jawab dari kurator kepailitan serta bankruptcy trustee. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat banyak persamaan dari kurator kepailitan di Indonesia dan di Amerika Serikat. Namun, selain dari persamaan tersebut, terdapat pula perbedaan antara kurator Indonesia dengan Amerika Serikat.

This thesis discusses the comparative studies between trustee in Indonesia and the trustee in the United States. The method used by this thesis is juridical normative, descriptive explanatory nature. This thesis theme is a comparison between the bankruptcy trustee in Indonesia and in the United States to see the similarities and differences between the executor of bankruptcy in the two countries. The discussion will be led to the duty and authority, institutional, as well as the responsibility of the bankruptcy trustee in Indonesia and in United States. The results from this study is that there are lots of similarities from bankruptcy trustee in Indonesia and in the United States. However, apart from the equation, there are also differences between the truste in Indonesia with in the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60854
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daffa Zidan Alfrianza Sukarni
"Skripsi ini membahas mengenai bentuk hukum untuk Badan Usaha Milik Negara yang cabang produksinya menguasai hajat hidup orang banyak. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini berusaha menganalisis bentuk hukum yang digunakan dalam penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan sebagai salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak serta mencari bentuk hukum yang paling ideal dalam penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan ditinjau dari segi hukum maupun segi ekonomi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan meneliti berbagai gejala serta fakta hukum yang ada. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data yang ada dan dikaitkan pada teori-teori hukum. Hasil dari penilitian ini adalah dalam penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan oleh Negara, bentuk hukum yang digunakan adalah Badan Usaha Milik Negara berbentuk Perusahaan Perseroan yakni PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (“PT PLN (Persero)”). PT PLN (Persero) didirikan dengan tujuan menyediakan listrik bagi kepentingan umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata serta mengupayakan keuntungan agar dapat membiayai penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Dari segi hukum, bentuk Perusahaan Perseroan dalam penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan kurang tepat karena tujuan pencarian keuntungan didahulukan dibandingkan dengan tujuan kemanfaatan umumnya. Dalam konteks PT PLN (Persero), penyediaan tenaga listrik diutamakan untuk kemanfaatan umum sehingga bentuk Perusahaan Umum lebih ideal secara hukum. Dari segi ekonomi, PT PLN (Persero) tidak dapat memaksimalkan fungsinya dalam pencarian keuntungan karena secara praktik ada pertentangan antara tujuan kemanfaatan umum yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dan tujuan pencarian keuntungan sebagai Perusahaan Perseroan. Oleh sebab itu, saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah perlu adanya pemisahan dari bidang usaha dan tujuan yang ingin dicapai oleh bentuk-bentuk hukum Badan Usaha Milik Negara sehingga peran yang diemban oleh masing-masing penyelenggaraan usaha dapat terwujud dengan maksimal. Selain itu, bentuk hukum PT PLN (Persero) juga perlu dikembalikan kepada Perusahaan Umum agar tujuan dan perannya dapat diwujudkan secara maksimal.

This thesis discusses the legal form for a State-Owned Enterprise whom which controls people's lives. The problems raised in this thesis attempt to analyze the legal form used in the implementation of the electricity business as one of the branches of production which affects the lives of many people and seeks the most ideal legal form in the implementation of the electricity business from a legal and economic point of view. The research was conducted using normative juridical methods by examining various phenomena and existing legal facts. The typology of this research is analytical descriptive using existing data and linked to legal theories. The result of this research is that in the implementation of the electricity business by the State, the legal form used is a State-Owned Enterprise in the form of Perusahaan Perseroan, namely PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (“PT PLN (Persero)”). PT PLN (Persero) was established with the aim of providing electricity for the public interest to improve people's welfare in a fair and equitable manner and seek profits in order to be able to finance the supply of electricity itself. From a legal point of view, the form of Perusahaan Perseroan in the conduct of electricity business is not appropriate because the objective of seeking profit takes precedence over the objective of general benefit. In the context of PT PLN (Persero), the provision of electric power is prioritized for public benefit so that the form of Perusahaan Umum is more ideal legally. From an economic point of view, PT PLN (Persero) cannot maximize its function in seeking profits because in practice there is a conflict between the goals of public benefit carried out by PT PLN (Persero) and the objectives of seeking profits as Perusahaan Perseroan. Therefore, the advice that can be given by the author is that there is a need for a separation of business fields and objectives to be achieved by the legal forms of State-Owned Enterprises so that the role assumed by each business operator can be maximally realized. In addition, the legal form of PT PLN (Persero) also needs to be returned to the Perusahaan Umum so that its goals and roles can be realized to the fullest."
Depok: 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahira Ridma Adani
"Impor dan ekspor merupakan kegiatan memasukkan dan mengeluarkan barang melalui daerah pabean dengan melintasi batas-batas antar negara. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah instansi yang bertanggungjawab untuk melakukan fungsi pelayanan dan pengawasan atas kegiatan ekspor dan impor tersebut, atau biasa disebut dengan kegiatan lalu lintas barang, atau kegiatan kepabeanan. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. Dalam rangka melindungi kepentingan dan keamanan nasional negara, Pemerintah menetapkan beberapa peraturan terkait kegiatan ini, salah satunya peraturan mengenai pembatasan impor. Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut, yang mana dalam salah satu ketentuannya mengatur mengenai pembatasan impor barang yang dilakukan oleh Penumpang Sarana Pengangkut. Meskipun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 telah spesifik menjabarkan mengenai pembatasan barang yang dibawa Penumpang dan kewajiban Penumpang untuk memenuhi kewajiban pabeannya, namun dalam penerapannya masih ditemukan beberapa penyimpangan. Atas timbulnya penyimpangan-penyimpangan tersebut, efektivitas penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 dipertanyakan. Terkait dengan efektivitas penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 dan pencegahan serta penindakan penyulundupan, Pejabat Bea dan Cukai harus memastikan kegiatan kepabeanan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Imports and exports are activities to bring goods into and out of the customs territory by crossing the borders between countries. The Directorate General of Customs and Excise is the authorized party responsible for carrying out the service and supervision for the export and import activities, or commonly referred to as Customs Activities. Customs means all activities pertaining to the supervision of incoming and outgoing traffic goods into or from the customs territory, also the collection of import and export duties. In order to establish a firm national legal system that serves the the national interests and security of the country, the Government establish several regulations related to this activity, which one of the regulation is regarding restrictions on imports. The Minister of Finance has issued Regulation Number 203/PMK.04/2017 concerning Provisions on Export and Import of Goods Carried by Passengers and Crew of Transport Facilities, which in one of the provisions regulates the limitation on the import goods carried by Passengers of Transport Facilities. Although the Minister of Finance Regulation Number 203/PMK.04/2017 has specifically outlined the restrictions on imported goods carried by Passengers and the obligations for Passengers to fulfill their customs duties, there are still some deviations on the implementation. For the emergence of these deviations, the effectiveness and the application of the Regulation Number 203/PMK.04/2017 is questionable. Regarding to this concern and to prevent smuggling, Customs and Excise Officers must ensure that customs activities are carried out in accordance to regulations by performing out their service and supervision functions as regulated.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anata Lapae
"Salah satu kebijakan yang lahir dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah kebijakan earmarking taxatas beberapa pajak daerah. Kebijakan earmarking tax merupakan pengalokasian khusus dari penerimaan pajak tertentu yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Penerapan Konsep earmarking tax di Indonesia dapat diterapkan pada penggunaan pererimaan negara dari sektor pajak. Penerapan Kebijakan earmarking tax di provinsi DKI Jakarta terkait Pajak Kendaraan Bermotor diatur didalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pajak Kendaraan Bermotor. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis-normatif atau penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan menekankan pada penggunaan norma-norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan serta bentuk penerapannya. Berdasarkan Pasal 11 Perda PKB dijelaskan bahwa hasil dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 20% (dua puluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Kebijakan earmarking tax telah secara efektif dikelola oleh pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta yang mana dalam hal ini pemerintah daerah telah memenuhi standar minimum pengalokasian sebesar 20%.

One of the policies contemplated in the Law No. 28 of 2009 on the Local Taxes and Charges is the earmarking tax policy on some regional taxes. The earmarking tax policy is a special allocation of particular tax revenues that are used for certain purposes. The earmarking tax concept in Indonesia can be applied on the use of the state revenues from the tax sector. The application of the earmarking tax policy in DKI Jakarta regarding the Vehicle Tax is set out in the Regional Regulation No. 8 of 2010 as amended by the Regional Regulation No. 2 of 2015 on Vehicle Tax. The research method that will be used in this research is juridical-normative or with a qualitative approach by emphasizing the use of legal norms in the legislation and the form of its application. Based on Article 11 of the Vehicle Tax Regulation, it is mentioned that total amount generated from the receipt of Vehicle Tax at least 20% (twenty percent) are allocated for the construction and/or maintenance of roads and the improvement of modes and facilities of public transportation. The earmarking tax policy has been effectively managed by the Government of DKI Jakarta, where in this case the Government has complied the minimum allocation standard of 20%.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasser Mandela
"ABSTRAK
Praktik pengelakan pajak telah membuat negara kekurangan penerimaan yang cukup besar. Dimana penerimaan negara yang rendah dapat mengakibatkan penurunan target pembangunan dalam APBN karena penerimaan negara berupa pajak merupakan pendapatan terbesar negara. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengelakan pajak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara ditinjau dari peraturan di bidang perpajakan dan peraturan mengenai keuangan negara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data-data sekunder, antara lain peraturan perundang-undangan dan buku-buku. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengelakan pajak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara.

ABSTRACT
Practice of Tax Evasion have made a significant loss of state income. This issue could affect Indonesia?s Development target in State Budget, because taxation is the biggest income in the State Budget. This thesis aims to determine whether tax evasion can be categorized as an act that resulted in losses to the state in terms of the regulations in the field of taxation and regulation on state finances in Indonesia. The method used is a normative juridical research using secondary data, such as regulations and literatures. Based on the result of this study concluded that tax evasion can be categorized as an act that resulted in losses to the state."
2015
S60009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnul Asa Tirta Palupy
"ABSTRAK
Dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai perbedaan Property Tax dengan Pajak Bumi dan Bangunan, serta Kepastian Hukum perihal Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan data sekunder, dan menggunakan tipologi penilitian yang bersifat eksplanatoris .Kesimpulan atas permasalahan tersebut, bahwa Property Tax dan Pajak Bumi dan Bangunan memang berbeda.Karena Property Tax ruang lingkupnya lebih luas dibandingkan dengan Pajak Bumi dan Bangunan.Property Tax mencangkup benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud berbeda dengan Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur pada UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 bahwa hanya terdiri dari bumi dan bangunan sehingga hanya benda tidak bergerak dan berwujud. Asas Kepastian dalam pemungutan pajak seringkali menjadi pemicu dispute, suatu objek pajak akan lebih baik dihitung sesuai dengan peruntukkannya yangmana telah dibuat dalam SIPPT. Karena objek pajak terdiri dua jenis yakni umum dan khusus.Jadi, saran dari hal-hal diatas, seharusnya Property Tax perihal makna dan peruntukkannya lebih diperjelas lagi oleh Direktorat Jenderal Pajak.Karena masih terdapat kerancuan dalam menfasirkan dan menempatkan Property Tax dan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan lebih diperjelas lagi atau disebutkan dalam surat perjanjian atau akta perjanjian dan, perlunya diperhatikan suatu SIPPT objek pajak untuk menentukan besaran NJOPnya karena agar terlaksananya suatu asas pemungutan pajak yakni asas kepastian hukum.Kata kunci :Property Tax, Pajak Bumi dan Bangunan, Objek Pajak, Asas Kepastian.

ABSTRACT
This paper will discuss about the difference between Property Tax with Land and Building Tax, and also about the Legal Certainty regarding the objects of Land and Building Tax. This research uses the secondary data method and explanatory research typology method. The conclusion of this paper is that there is a distinction between Property Tax with Land and Building Tax. Since the scope of Property Tax is wider than the Land and Building Tax scope, Property Tax covers the movable and immovable objects, tangible and intangible objects different with the Land and Building Tax which regulated in Law no. 12 Year 1985 jo. Law No.12 of 1994 that consist only the land and buildings, so that it is only includes the immovable and tangible objects. The Principle of Certainty in tax collection is often triggered a dispute , a tax object will be better calculated in accordance with the designation that has been made in SIPPT. Tax object consists of two types, general and specific. So, the suggestion for the problem above is that the Property tax regarding the meaning and the designation has to be more clarified by the Directorate General of Taxes because there are still confusions in defining and placing the Property Tax and Land and Building Tax. Perhaps it can be mentioned in the deed of agreement. Also, the need to consider a SIPPT tax object to determine the scale of NJOP as the implementation of the Principle of Tax Collection which is the Principle of legal certainty.Keywords Property Tax, Land and Building Tax, Objects of Tax, The Legal Certainty"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Radityo
"Kendaraan listrik merupakan salah satu inovasi penting dalam dunia transportasi yang digadang-gadang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil, terutama pandangan bahwa kendaraan listrik lebih ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan emisi berupa gas yang berbahaya dan tidak menimbulkan polusi suara. Untuk mempercepat peralihan dari moda transportasi berbahan bakar fosil ke moda transportasi berdaya listrik, beberapa negara menawarkan sejumlah insentif di bidang fiskal seperti pembebasan dari pajak tertentu, di samping insentif-insentif lain yang diharapkan dapat memancing masyarakat untuk beralih. Skripsi ini mengulas bagaimana posisi kendaraan listrik dalam perpajakan di Indonesia, terutama kaitannya dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, mengingat kendaraan bermotor merupakan salah satu objek dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta perbandingan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pajak tambahan lain yang dikenakan atas kendaraan bermotor di luar negeri. Skripsi ini ditulis dengan menggabungkan pengumpulan data sekunder berupa wawancara, studi perbandingan, serta studi yuridis normatif. Hasil yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah bahwa upaya peralihan ke moda transportasi berdaya listrik perlu didukung pemerintah dan bahwa perlu ada perubahan peraturan mengenai pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang didasarkan pada fenomena terkini, seperti wacana tujuan pembangunan berkelanjutan yang dapat menjadi bentuk konsistensi pemerintah dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Electric vehicles are an important innovation in the transportation sector which are heralded for its eminence when compared to fossil-fueled vehicles, such as lack of tailpipe emissions and not causing any form of sound pollution. In order to accelerate the transition from fossil-fueled modes of transporatation to electric-powered ones, various countries offer fiscal incentives such as tax exemption, as well as other kinds of incentives which may make people to switch to electric vehicles. This thesis reviews the position of electric vehicles in Indonesian taxation systems, specifically in the Luxury Goods Tax section, due to the fact that motor vehicles are one of the objects of Indonesia’s Luxury Goods Tax, as well as how it compares with the imposition of similar excise taxes for motor vehicles in some countries. This thesis is written by combining secondary data collection in the form of interview, comparative studies, as well as normative judicial research. The result of this research is that Indonesia needs to change its rule regarding the imposition of Luxury Goods Sales Tax by considering the current situations like the Sustainable Development Goals, which could be a sign of the Government’s consistency in supporting SDGs."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Theresia G.
"Perselisihan pajak yang terjadi antara PT XYZ dan Direktur Jenderal Pajak berasal dari penerbitan surat ketetapan kurang bayar oleh Kantor Pajak Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa PT XYZ tidak melaksanakan kewajibannya untuk memungut PPN untuk transaksi pengiriman layanan kena pajak yang dilakukan oleh mitra PT XYZ ke PT XYZ. PT XYZ keberatan dengan ketentuan tersebut dengan alasan bahwa mitra adalah penghasilan tidak kena pajak sehingga PT XYZ tidak dapat memungut PPN sebagaimana diamanatkan dalam PMK 73 / PMK.03 / 2010 yang menyatakan bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas bumi kegiatan bisnis wajib mengumpulkan harus memungut PPN kepada mitra yang dikenakan pajak seperti yang ditunjukkan dengan penerbitan faktur pajak oleh mitra sebagai bukti pengumpulan PPN. Namun, Pajak Migas Office menemukan data bahwa mitra PT XYZ telah memenuhi kriteria sebagai pengusaha kena pajak sehingga PPN pungutan bisa dilaksanakan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanismenya penarikan PPN dalam kegiatan bisnis hulu migas; dan juga apakah penerbitan Surat ketetapan kurang bayar pajak untuk PT XYZ sesuai dengan ketentuan PT hukum pajak. Untuk menjawab masalah ini, metode penelitian hukum yuridis-normatif digunakan dan data analisis bersifat deskriptif-analitis. Berdasarkan Pasal 2 PMK No. 73/PMK.03/2010, Wajib Retribusi wajib memungut PPN terutang dari mitra yang merupakan pengusaha kena pajak, ditandai dengan penerbitan faktur pajak oleh mitra, maka Pungutan Wajib menyetor dan melaporkan hasilnya dari retribusi ke negara. Mitra yang dapat menerbitkan faktur pajak adalah mereka yang telah dikonfirmasi sebagai pengusaha kena pajak, baik secara sukarela maupun di kantor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pajak Surat ketetapan kurang bayar yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak Migas melanggar Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang Ketentuan Umum dan Prosedur Pajak karena mitra adalah pengusaha yang belum dikonfirmasi sebagai pengusaha kena pajak sehingga kewajiban pajak tidak dapat dikenakan dinyatakan oleh Kantor Pajak Minyak dan Gas dalam argumen mereka untuk mengeluarkan penilaian pajak kurang bayar surat.
Pajak Penghasilan yang dikeluarkan oleh PT XYZ dan Direktur Jenderal Pajak Pengembalian Pajak dari ketetapan kurang dibayar oleh Kantor Pajak Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa PT XYZ tidak perlu membayarnya untuk memungut PPN untuk pengantaran dan pengiriman pajak XYZ. PT XYZ setuju dengan ketentuan tersebut dengan alasan bahwa mitra tidak mengizinkan pajak PT XYZ tidak dapat memungut PMK.03/2010 yang menyatakan bahwa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas bumi kegiatan wajib wajib memungut PPN bagi mitra yang membayar pajak sesuai yang diminta dengan mengajukan faktur pajak oleh mitra sebagai pengganti PPN. Namun, Kantor Pajak Migas menemukan data yang menjadi mitra PT XYZ telah memenuhi kriteria sebagai pengusaha kena pajak agar PPN bisa dilaksanakan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanismeismenya melibatkan PPN dalam kegiatan bisnis hulu migas; dan juga apakah persetujuan Surat ketetapan kurang bayar pajak untuk PT XYZ sesuai dengan ketentuan PT hukum pajak. Untuk menjawab masalah ini, metode penelitian hukum yuridis-normatif digunakan dan analisis data deskriptif analitis. Berdasarkan Pasal 2 PMK No. 73/PMK.03/2010, Wajib Retribusi wajib memungut PPN terutang dari mitra yang merupakan pengusaha kena pajak, ditandai dengan mengenakan faktur pajak oleh mitra, maka Pungutan Wajib menyetor dan dilaporkan menimbulkan dari retribusi ke negara. Mitra yang dapat menerbitkan faktur pajak adalah yang telah diundang sebagai pengusaha kena pajak, baik secara sukarela maupun di kantor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pajak Surat ketetapan kurang dibayar yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak Migas Pasal 13 ayat (1) huruf e Undang-undang Ketentuan Umum dan Prosedur Pajak karena mitra adalah pengusaha yang tidak memerlukan sebagai pengusaha kena pajak oleh Kantor Pajak Minyak dan Gas dalam perdebatan mereka untuk mengeluarkan pajak kurang membayar surat.

The tax dispute that occurred between PT XYZ and the Director General of Taxes originated from the issuance of tax underpayment assesment letter by Oil and Gas Tax Office stating that PT XYZ did not carry out its obligations to collect VAT for the taxable service delivery transaction carried out by PT XYZ partners to PT XYZ. PT XYZ objected to the provision on the grounds that the partner was a non-taxable incomeso PT XYZ could not collect VATas mandated in PMK 73/PMK.03/2010 which states that the Cooperation Contract Contractor (KKKS) of oil and gas business activities is obligatory to collect must levy VAT to partners who are taxable as indicated by the issuance of tax invoices by partners as proof of VAT collection. However, Oil and Gas Tax Officefound data that PT XYZ partners have met the criteria as taxable entrepreneurs so that VAT levies can be implemented. The problems raised in this research are how is the mechanism for withdrawal of VAT in upstream oil and gas business activities; and also whether the issuance of tax underpayment assessment letterin the case of PT XYZ is in accordance with the provisions of tax law.To answer these problems, juridical-normative legal research methods are used and data analysis is descriptive-analytical. Under Article 2 PMK No. 73/PMK.03/2010, Obligatory Leviesis obliged to collect the payable VAT from partners who are taxable entrepreneurs, marked by the issuance of tax invoices by partners, then Obligatory Leviesdeposits and reports the results of the levies to the state. Partnerswho can issue tax invoices are those who have been confirmed as taxable entrepreneur, both voluntarily and in office. The results showed that the tax underpayment assessment letterissued by Oil and Gas Tax Officeviolated Article 13 paragraph (1) letter e General Tax Provisions and Procedures Lawbecause partners are entrepreneurs who have not been confirmed as taxable entrepreneurso that tax obligations cannot be imposed as stated by Oil and Gas Tax Officein their arguments for issuing tax underpayment assessment letter."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansto Ruben Gusti Oscar
"Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara oleh orang atau badan yang dipungut berdasarkan Undang-Undang dan digunakan untuk menjalankan kegiatan negara untuk mencapai tujuan negara. Terdapat salah satu jenis pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam masyarakat, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. di dalam Pajak Pertambahan Nilai pajak yang diterima menjadi pajak masukan yang kemudian dikreditkan dengan pajak keluaran untuk suatu masa yang sama. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipungut dalam transaksi online marketplace. oleh karena itu, setiap pengusaha dalam transaksi online marketplace yang telah memiliki peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sesuai dengan batasan minimal yang ditetapkan undang-undang wajib mengukuhkan diri sebagai PKP. Selama Pengusaha tersebut masih belum memenuhi batasan minimal untuk dikukuhkan sebagai PKP maka ia disebut sebagai pengusaha kecil. Untuk membuktikan bahwa PKP telah memungut Pajak Pertambahan Nilai, PKP diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak dan diberikan kepada pembeli. dalam pembuatan faktur pajak, PKP wajib untuk mengikuti tata cara dan bentuk faktur pajak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun dalam prakteknya, masih banyak PKP yang belum melaksanakan kewajibannya untuk membuat faktur pajak yang sesuai dengan ketentuan undang- undang. Apabila dilihat dari faktur penjualan yang diberikan oleh situs online marketplace, faktur tersebut masih belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dalam pihak yang memberikan faktur pajak dan bentuk faktur penjualan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tax is a compulsory contribution to the state by a person or body collected under the Act and used to carry out state activities to achieve state goals. There is one type of tax imposed on consumption in society, namely Value Added Tax. Value Added Tax is imposed on the delivery of taxable goods and/or taxable services carried out by Taxable Entrepreneurs. in Value Added Tax the tax received becomes input tax which is then credited with the output tax for the same period. Value Added Tax can be collected in online marketplace transactions. Therefore, every entrepreneur in an online marketplace transaction that has gross circulation and/or gross receipts in accordance with the minimum limit stipulated by the law must establish itself as a PKP. As long as the Entrepreneur still does not meet the minimum limit to be confirmed as PKP, he is referred to as a small businessman. To prove that the PKP has collected Value Added Tax, PKP is required to make a Tax Invoice and is given to the buyer. in making tax invoices, PKP is obliged to follow the procedures and forms of tax invoices regulated in legislation. But in practice, there are still many PKPs that have not carried out their obligations to make tax invoices in accordance with the provisions of the law. When viewed from the sales invoice provided by the online marketplace site, the invoice still does not meet the statutory provisions. This can be seen in those who provide tax invoices and sales invoices that are not in accordance with the provisions of the Regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Zidan Satria
"Dalam melakukan pemungutan pajak, suatu negara hendaknya harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan dan asas-asas dalam pemungutan pajak. Hal tersebut harus diterapkan kepada setiap wajib pajak, termasuk kepada para perusahaan pertambangan. Dalam faktanya, banyak terjadi sengketa perpajakan antara pemungut pajak dengan para perusahaan pertambangan, contohnya adalah sengketa antara PT Freeport Indonesia dengan Direktorat Jenderal Pajak pada Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-114507.16/2014/PP/M.IIIB Tahun 2018. Penelitian ini membahas mengenai bagaimanakah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai PT Freeport Indonesia pada saat menggunakan mekanisme kontrak dan mekanisme perizinan. Serta dibahas pula mengenai analisis putusan tersebut ditinjau dari keberlakuan Kontrak Karya II pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, penerapan asas equality, dan penerapan asas certainty. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-114507.16/2014/PP/M.IIIB Tahun 2018 tidak mempertimbangkan mengenai keberlakuan dari Kontrak Karya II pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, serta tidak melaksanakan pemenuhan dari asas-asas pemenuhan pajak yaitu asas equality dan asas certainty.

In carrying out tax collection, a country should be based on statutory regulations and principles in tax collection. This must be applied to every taxpayer, including mining companies. In fact, there are many tax disputes between tax collectors and mining companies, for example the dispute between PT Freeport Indonesia and the Directorate General of Taxes in the Tax Court Decision Number PUT-114507.16/2014/PP/M.IIIB 2018. This research discusses how the imposition of Value Added Tax of PT Freeport Indonesia when using the contract mechanism and the licensing mechanism. The analysis of the decision was also discussed in terms of the validity of the Contract of Work II after the enactment of Law Number 42 of 2009, application of the principle of equality, and application of the principle of certainty. The results of this study state that the Tax Court Decision Number PUT- 114507.16/2014/PP/M.IIIB of 2018 does not consider the validity of the Contract of Work II after the enactment of Law Number 42 of 2009, and does not fulfill the principles of tax compliance. namely the principle of equality and the principle of certainty.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>