Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Puriani, examiner
"Anak dengan penyakit ginjal kronis memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pengasuhnya (caregiver). Caregiver pada anak yang menjalani hemodialisis rentan mengalami kelelahan fisik, psikologi, sosial serta finansial. Kebutuhan keterampilan tambahan dalam perawatan dibutuhkan untuk membangun adaptasi yang positif serta kemampuan koping caregiver. Teori model adaptasi Roy memberikan arahan dalam intervensi keperawatan pada caregiver melalui edukasi suportif. Karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan model adaptasi Roy pada 5 kasus kelolaan sebagai upaya optimalisasi pemberian asuhan keperawatan pada anak yang menjalani hemodialisis rutin. Asuhan keperawatan dilakukan berdasarkan tahapan pengkajian (perilaku dan stimulus), merumuskan diagnosis keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi. Model adaptasi Roy dapat diterapkan pada perawatan anak yang menjalani hemodialisis rutin. Proyek inovasi edukasi suportif yang diberikan kepada 19 caregiver anak yang menjalani hemodialisis signifikan menurunkan caregiver burden dan dapat diaplikasikan sebagai intervensi keperawatan non-invasif, non-farmakologi dalam mengurangi beban perawatan dan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien terhadap penyakitnya.

Children with chronic kidney disease have a high dependence on their caregivers. Caregivers in children undergoing hemodialysis are vulnerable to physical, psychological, social and financial exhaustion. The need for additional skills in care is needed to build positive adaptation and coping abilities of caregivers. Roy's adaptation model theory provides direction in nursing interventions to caregivers through supportive educative program. This scientific work aims to analyze the application of Roy's adaptation model in 5 managed cases as an effort to optimize the provision of nursing care to children undergoing routine hemodialysis. Nursing care is carried out based on the stages of assessment (behavior and stimulus), formulating nursing diagnoses, setting goals, interventions and evaluations. Roy's adaptation model can be applied to the care of children undergoing routine hemodialysis. The supportive educative program given to 19 caregivers of children undergoing hemodialysis significantly reduces the caregiver burden and can be applied as a non-invasive, non-pharmacological nursing intervention in reducing the burden of care and increasing the patient's ability to adapt to his illness."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Febriyeni
"Anak yang mengalami penyakit ginjal kronis (PGK) dapat mengalami gangguan ketidakseimbangan cairan. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran aplikasi Model Adaptasi Roy (MAR) dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak penyakit ginjal kronis yang mengalami ketidakseimbangan cairan. Teori Roy mengkonseptualisasikan proses keperawatan menjadi enam langkah yaitu pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, diagnosis keperawatan, penetapan tujuan, intervensi, dan evaluasi. Metode karya ilmiah ini adalah studi kasus yang terdiri atas lima kasus anak PGK yang menjalani hemodialisis yang diberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Berdasarkan hasil pengkajian pala lima anak masalah yang muncul yaitu ketidakseimbangan cairan, selain itu masalah lainya seperti gangguan tumbuh kembang, penampilan peran tidak efektif, risiko penurunan curah jantung, risiko perdarahan, risiko infeksi, defisit pengetahuan. Intervensi keperawatan yang diberikan pada masalah ketidakseimbangan cairan yaitu menimbang berat badan pra HD, mengkaji berat badan kering, berat badan sebelumnya, melakukan perawatan akses kateter dan memberikan edukasi tentang edukasi kebutuhan gizi, cairan dan perawatan akses menggunakan video. Kesimpulan aplikasi teori Roy dapat diterapkan pada anak penyakit ginjal kronis dengan masalah ketidaseimbangan cairan.

Children with chronic kidney disease (CKD) can experience imbalance disorders. Fluid restriction is one of the nursing interventions to overcome fluid balance disorders. This final scientific work aims to provide an overview of the application of the Roy Adaptation Model (MAR) in providing nursing care to children with chronic kidney disease who experience fluid imbalance. Roy's theory conceptualizes the nursing process into six steps, namely behavioral assessment, stimulus assessment, nursing diagnosis, goal setting, intervention, evaluation. Provides an overview of the application of nursing care to children with chronic kidney disease who experience fluid imbalance in the dialysis unit using the Roy Adaptation Model approach. The method of this scientific work is a case study consisting of five cases of CKD children undergoing hemodialysis who were given nursing care using the Roy Adaptation Model approach. The nursing intervention provided based on evidence-based practice is providing education about nutritional needs, fluids and access care using videos. Implementing a quality improvement project by providing effective education increases the knowledge of caregivers of children with chronic kidney disease undergoing hemolysis. The conclusion is that the application of Roy's theory can be applied to children with chronic kidney disease who have fluid imbalance problems."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Santy Ercelina
"Anak dengan penyakit ginjal kronik (PGK) akan dilakukan prosedur pengambilan darah dan pemberian agen stimulasi eritropoietin secara rutin dan berkala untuk meminimalkan risiko gagal ginjal secara progresif. Segala rasa sakit dan ketidaknyamanan yang terkait dengan suntikan dapat berdampak negatif terhadap kepatuhan pengobatan dan pengalaman anak secara keseluruhan. Gejala nyeri berpotensi membatasi kondisi fisik dan fungsional anak, sehingga memerlukan penanganan dengan prinsip konservasi energi. Nyeri merupakan suatu bentuk ancaman dari konservasi integritas struktural pada Model Konservasi Levine yang dapat memengaruhi integritas keutuhan dari pasien. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dijadikan sebagai konservator energi adalah dengan penerapan virtual reality yang dapat mengelola nyeri pasien. Tujuan karya ilmiah ini adalah memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan dengan masalah nyeri akut melalui pendekatan Teori Konservasi Levine dan menganalisis efektivitas virtual reality untuk mengurangi nyeri akut selama prosedur penusukan pembuluh darah vena dan pemebrian eritropoietin di Unit Dialisis Anak. Asuhan keperawatan diberikan kepada lima kasus kelolaan pada anak PGK dengan menggunakan Model Konservasi Levine. Asuhan keperawatan diberikan selama tiga hari dengan hasil evaluasi keperawatan yang menunjukkan respons organisme yang baik. Demikian halnya dengan penggunaan virtual reality yang terbukti efektif menurunkan nyeri pada anak PGK. Model Konservasi Levine dapat direkomendasikan dalam asuhan keperawatan pada anak dengan nyeri akut di Unit Dialisis Anak. selain itu, inovator merekomendasikan penggunaan virtual reality dapat diaplikasikan dan diuji klinik lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar sehingga dapat dijadikan dasar penyusunan standar operasional prosedur.

Children with chronic kidney disease (CKD) will undergo blood collection procedures and administer erythropoietin stimulation agents regularly and periodically to minimize the risk of progressive kidney failure. Any pain and discomfort associated with the injection may negatively impact the course of treatment and the child's overall experience. Pain symptoms have the potential to limit a child's physical and functional condition, so they require treatment using energy conservation principles. Pain is a form of threat to the conservation of structural integrity in Levine's Conservation Model which can affect the patient's integrity. One surgical intervention that can be used as an energy conservator is the application of virtual reality which can manage patient pain. The aim of this scientific work is to provide an overview of the implementation of treatment for acute pain problems using Levine's Conservation Theory approach and the effectiveness of virtual reality to reduce acute pain during vein puncture procedures and erythropoietin administration in the Children's Dialysis Unit. Mortality care was provided to five cases of treatment for CKD children using the Levine Conservation Model. Sanitary napkin care was given for three days with evaluation results showing a good organism response. Likewise, the use of virtual reality has been proven to be effective in reducing pain in CKD children. Levine's Conservation Model can be recommended in caring for children with acute pain in the Pediatric Dialysis Unit. Apart from that, the innovator recommends that the use of virtual reality can be applied and tested further in clinical trials with larger samples so that it can be used as a basis for developing standard operational procedures."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hazrina Adelia
"Gangguan tidur merupakan masalah yang umum terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Anak yang memiliki kualitas tidur yang buruk memiliki potensi masalah kesehatan mental dan fisiologis. Resiliensi dan tidur diketahui memiliki hubungan satu sama lain. Teori Resiliensi Polk digunakan untuk mengidentifikasi atribut resiliensi dan memberikan arahan intervensi keperawatan untuk meningkatkan kualitas tidur melalui edukasi sleep hygiene. Karya ilmah ini bertujuan untuk menganalisis lima kasus kelolaan anak yang menjalani hemodialisis dengan masalah tidur. Upaya peningkatan asuhan keperawatan dilakukan melalui proyek inovasi edukasi sleep hygiene diberikan kepada 15 orang anak yang menjalani hemodialisis untuk meningkatkan kualitas tidur anak. Hasil analisi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan kualitas tidur anak antara sebelum dan setelah dilakukan edukasi sleep hygiene. Edukasi sleep hygiene dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan untuk meningkatkan kualitas tidur anak.

Sleep disorders are a common problem in patients undergoing hemodialysis. Children who have poor sleep quality have the potential for mental and physiological health problems. Resilience and sleep are known to be related to each other. Polk's Resilience Theory is used to identify resilience attributes and provide direction for nursing interventions to improve sleep quality through sleep hygiene education. This scientific work aims to analyze five cases of management of children undergoing hemodialysis with sleep problems. Efforts to improve nursing care were carried out through a sleep hygiene education innovation project given to 15 children undergoing hemodialysis to improve the quality of children's sleep. The results of the analysis showed that there was a significant difference in children's sleep quality between before and after sleep hygiene education was carried out. Sleep hygiene education can be used as a nursing intervention to improve children's sleep quality."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Aini T.
"Penyakit Ginjal Kronis (PGK) pada anak adalah kondisi medis serius yang membutuhkan perhatian khusus dan perawatan berkelanjutan. Salah satu metode perawatan yang sering digunakan untuk anak dengan PGK stadium lanjut adalah hemodialisis. Hemodialisis sangat penting untuk kelangsungan hidup pasien, namun prosedur ini dapat membawa sejumlah tantangan dan risiko, termasuk masalah psikososial. Asuhan keperawatan yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan integritas pada berbagai aspek kehidupan pasien untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan dilakukan dengan menerapkan Model Konservasi Levine. Tujuan karya tulis ini adalah untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan dengan Model Konservasi Levine terhadap anak dengan PGK yang menjalani hemodialisis. Levine memulai asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, penetapan trophicognosis, perencanaan hipotesis, pemberian intervensi dan evaluasi dengan melihat respon organismik. Empat prinsip konservasi telah diterapkan pada kelima kasus terkait dan menunjukkan respons organismik yang baik, sehingga adaptasi dapat tercapai dan keutuhan kesehatan terpenuhi. Model Konservasi Levine dapat direkomendasikan dalam penerapan kasus penyakit ginjal kronis pada anak yang menjalani hemodialisis.

Chronic Kidney Disease (CKD) in children is a serious medical condition that requires special attention and ongoing care. One treatment method that is often used for children with advanced stages of CKD is hemodialysis. Hemodialysis is essential for patient survival, but the procedure can carry a number of challenges and risks, including psychosocial problems. Nursing care that emphasizes the importance of maintaining balance and integrity in various aspects of a patient's life to improve overall health and well-being is carried out by applying the Levine Conservation Model. The purpose of this paper is to provide an overview of nursing care using the Levine Conservation Model for children with chronic kidney disease who are undergoing hemodialysis. Levine begins nursing care by conducting assessments, determining trophicognosis, planning hypotheses, providing interventions and evaluating by looking at organismic responses. The four conservation principles have been applied to the five related cases and show a good organismic response so that adaptation can be achieved and health integrity is fulfilled. Levine's Conservation Model can be recommended in cases of chronic kidney disease in children undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Purkon Patoni
"Perkembangan teknologi kesehatan mampu meningkatkan derajat kesehatan anak, termasuk perbaikan kondisi kesehatan pada anak penderita penyakit kronis seperti gagal ginjal. Hemodialisis menjadi salah satu terapi pengganti ginjal yang dilakukan pada anak penderita penyakit ginjal kronis (PGK), sehingga mereka memiliki harapan hidup yang lebih panjang. Namun, anak penderita PGK yang menjalani hemodialisis tetap memiliki keluhan terkait kesehatannya yang memerlukan penanganan keperawatan. Tujuan dari karya ilmiah akhir ini adalah untuk memberikan gambaran aplikasi Theory of Unpleasant Symptoms (TOUS) pada asuhan keperawatan pada pasien anak penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. TOUS memiliki tiga komponen utama: gejala yang dirasakan, faktor yang memengaruhi, dan performa yang dihasilkan. Teori TOUS meskipun memiliki kekurangan, mampu membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang holistik, khususnya pada anak penderita GGK yang menjalani hemodialisis, jika diterapkan pada populasi anak yang tepat. Masalah yang sering ditemui pada anak PGK adalah rasa haus. Aplikasi Evidence-Based Nursing Practice (EBNP) menggunakan desain quasi experimental pre-post test in one group menunjukkan bahwa mengunyah permen karet rendah gula (Xylitol) efektif dalam menurunkan tingkat rasa haus pada anak penderita GGK yang menjalani hemodialisis.

The development of health technology has significantly improved the health status of children, including enhancing the condition of children with chronic diseases such as kidney failure. Hemodialysis is one of the renal replacement therapies administered to children with chronic kidney disease (CKD), providing them with a longer life expectancy. However, children with CKD undergoing hemodialysis still experience health-related complaints that require nursing care. The aim of this final scientific work is to describe the application of the Theory of Unpleasant Symptoms (TOUS) in the nursing care of pediatric patients with chronic kidney failure undergoing hemodialysis. TOUS has three main components: the symptoms experienced, the influencing factors, and the resulting performance. Although TOUS has its limitations, it can assist nurses in providing holistic nursing care, especially for children with CKD undergoing hemodialysis, when applied to the appropriate pediatric population. A common issue encountered in children with CKD is thirst. The application of Evidence-Based Nursing Practice (EBNP) using a quasi-experimental pre-post test design in one group showed that chewing sugar-free gum (Xylitol) is effective in reducing the level of thirst in children with CKD undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismatullah
"Latar belakang: Penggunaan media digital, termasuk gawai, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan anak. Paparan media digital pada anak dikaitkan dengan risiko keterlambatan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi hubungan antara penggunaan gawai dan keterlambatan perkembangan bahasa pada anak usia 2-3 tahun.

Metode: Penelitian kasus kontrol ini mengikutsertakan anak usia 2-3 tahun di Jakarta dan Bekasi yang diambil secara consecutive sampling. Kelompok kasus terdiri dari pasien rawat jalan dari klinik tumbuh kembang dengan diagnosis keterlambatan bahasa; tanpa adanya kelainan bawaan, keterlambatan global, gangguan neurologis, dan gangguan perilaku. Diagnosis ditegakkan oleh dokter anak konsultan tumbuh kembang yang dituliskan pada rekam medis. Kelompok kontrol adalah anak tanpa keterlambatan bahasa yang diambil di klinik vaksinasi. Berdasarkan wawancara orangtua, setiap kelompok diidentifikasi riwayat penggunaan gawai (onset penggunaan, durasi harian, dan pendampingan) dan dianalisis hubungannya dengan perkembangan bahasa anak dengan mempertimbangkan faktor perancu lainnya.

Hasil: Sebanyak 43 subjek kelompok kasus dan 104 subjek kelompok kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun (adjusted OR 6,899; IK 95% 1,655 – 28,757; p 0,008). Onset penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak, dengan atau tanpa mempertimbangkan pendidikan ibu dan pengasuh utama anak (OR 2,162; IK 95% 0,961 – 4,867; p 0,063). Pendampingan penggunaan gawai tidak meningkatkan risiko keterlambatan bahasa anak secara signifikan, dan terdapat peranan pengasuh utama dalam hubungan tersebut (adjusted OR 1,972; IK 95% 0,631 – 6,162; p 0,243). Pada variabel perancu, pengasuh utama anak memiliki peranan penting dalam hubungan antara durasi harian dan pendampingan penggunaan gawai terhadap keterlambatan bahasa anak, sedangkan pendidikan ibu tidak berperan dalam hubungan tersebut.

Kesimpulan: Durasi penggunaan gawai lebih dari 4 jam per hari disertai faktor pengasuhan utama meningkatkan risiko terjadinya keterlambatan bahasa anak usia 2-3 tahun.


Background: The use of digital media, including gadgets, has become an important part of children's daily lives. Exposure to digital media in children is associated with the risk of developmental delays. The aim of this research is to explore the relationship between gadget use and delayed language development in children aged 2-3 years.

Methods: This case control study included children aged 2-3 years in Jakarta and Bekasi using consecutive sampling. The case group consists of outpatients from growth and developmental clinic with diagnosis of language delay; in the absence of congenital abnormalities, global delays, neurological disorders, and behavioral disorders. The diagnosis was made by a growth and development consultant pediatrician and written in the medical record. The control group was children without language delays taken at vaccination clinic. Through parent interviews, each group's history of device use has been identified (onset of use, daily duration, and parental supervision) and its relationship with children's language development has been analyzed by considering other confounding factors.

Results: A total of 43 case group subjects and 104 control group subjects were included in this study. The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years (adjusted OR 6.899; 95% CI 1.655 – 28.757; p 0.008). The onset of gadget use does not increase the risk of child language delay, regardless of whether maternal education and primary caregiver are considered (OR 2.162; 95% CI 0.961 – 4.867; p 0.063). Parental supervision of gadget use does not significantly increase the risk of language delay in children, and the primary caregiver plays a role in this relationship (adjusted OR 1.972; 95% CI 0.631 – 6.162; p 0.243). In terms of confounding variables, the primary caregiver plays an important role in the relationship between duration of daily gadget use and parental supervision regarding child language delay, while maternal education does not influence this association.

Conclusion: The duration of daily gadget use exceeds 4 hours, combined with primary caregiver factors, increases the risk of language delay in children aged 2-3 years."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Ali Alamudi
"Latar Belakang: Hemofilia A adalah gangguan perdarahan herediter akibat defisiensi faktor VIII (FVIII). Scientific and Standardization Committee (SSC), pada tahun 2021, mengeluarkan nomenklatur baru yang membagi perempuan menjadi lima kategori: hemofilia ringan, sedang, berat, serta pembawa sifat simptomatik dan asimptomatik. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi proporsi pasien dan pembawa sifat hemofilia A perempuan di RSCM, serta manifestasi dan derajat keparahan menggunakan kuesioner International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT).
Metode: Penelitian cross-sectional analitik dilakukan di RSCM selama Agustus-September 2024. Subjek penelitian adalah kerabat perempuan dari pasien hemofilia A berusia ≤18 tahun. Pemeriksaan FVIII dilakukan. Kuesioner ISTH-BAT yang telah diterjemahkan digunakan sebagai alat skrining untuk mengevaluasi manifestasi perdarahan.
Hasil: Berdasarkan 74 subjek yang diteliti, 5 orang terdiagnosis hemofilia A, terdiri dari 4 hemofilia ringan dan 1 hemofilia berat. 69 subjek yang diidentifikasi sebagai pembawa sifat, 62 orang merupakan pembawa sifat asimptomatik, sementara 7 orang adalah pembawa sifat simptomatik. Manifestasi perdarahan pada pasien hemofilia A perempuan bervariasi antara kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak, manifestasi paling umum adalah memar pada kulit, sedangkan pada kelompok dewasa, menoragia menjadi manifestasi yang paling sering ditemukan. Pada pembawa sifat simptomatik, baik anak maupun dewasa, manifestasi perdarahan yang dominan adalah memar pada kulit dan menoragia. Skor ISTH-BAT pembawa sifat asimptomatik, simptomatik, dan pasien hemofilia berturut-turut adalah 0,83 ± 1,7; 6,2 ± 1,2 dan 3,25 ± 2,9.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi pasien hemofilia A perempuan di RSCM masih relatif rendah, dengan sebagian besar pembawa sifat bersifat asimptomatik. Manifestasi perdarahan tersering pada pasien dan pembawa sifat simptomatik hemofilia A perempuan adalah menoragia dan memar pada kulit.

Background: Hemophilia A is a hereditary bleeding disorder caused by factor VIII (FVIII) deficiency. In 2021, the Scientific and Standardization Committee (SSC) introduced a new nomenclature categorizing women into five groups: mild, moderate, and severe hemophilia, as well as symptomatic and asymptomatic carriers. This study aimed to identify the proportion of female patients and carriers of hemophilia A at RSCM, along with their manifestations and severity levels, using the International Society on Thrombosis and Haemostasis - Bleeding Assessment Tool (ISTH-BAT) questionnaire.
Methods: A cross-sectional analytical study was conducted at RSCM from August to September 2024. The study subjects were female relatives of hemophilia A patients aged ≤18 years. FVIII levels were measured, and the translated ISTH-BAT questionnaire was used as a screening tool to evaluate bleeding manifestations.
Results: Among the 74 subjects studied, 5 were diagnosed with hemophilia A, comprising 4 cases of mild hemophilia and 1 case of severe hemophilia. Of the 69 subjects identified as carriers, 62 were asymptomatic carriers, while 7 were symptomatic carriers. Bleeding manifestations in female hemophilia A patients varied between children and adults. In children, the most common manifestation was skin bruising, whereas in adults, menorrhagia was the most frequently observed manifestation. Among symptomatic carriers, both children and adults predominantly experienced skin bruising and menorrhagia. The ISTH-BAT scores for asymptomatic carriers, symptomatic carriers, and hemophilia patients were 0.83 ± 1.7, 6.2 ± 1.2, and 3.25 ± 2.9, respectively.
Conclusion: Results of this study indicate that the proportion of female hemophilia A patients at RSCM remains relatively low, with the majority of carriers being asymptomatic. The most common bleeding manifestations in symptomatic female hemophilia A patients and carriers are menorrhagia and skin bruising.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library