Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Titi Muswati Putranti
"Dalam rangka merealisasi pertumbuhan ekonomi agar meningkatkan daya serap tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat, telah terjadi peningkatan kegiatan industri. Peningkatan kegiatan industri yang mengandalkan energi fosil dalam jangka panjang dapat memicu kontribusi emisi semakin tinggi yang tidak diperhitungan melalui pasar produsen dan konsumen. Perlu upaya pemerintah agar terjadi transformasi pergeseran dari industri tinggi karbon (high carbon industries) ke aktivitas industri ke arah resoruces efficiency dan mendorong penggunaan sumber energi baru terbarukan menuju industri rendah karbon (low carbon industries). Seperti yang terjadi di berbagai Negara, untuk mendorong investasi dan kegiatan di sektor industri rendah karbon, Pemerintah memberikan berbagai insentif pajak. Namun berbagai insentif yang secara fiscal juga merupakan subsidi pemerintah melalui pengorbanan penerimaan pajak tersebut, dirasakan belum cukup efektif. Disertasi ini bertujuan merekonstruksi kebijakan insentif pajak untuk mendorong industri rendah karbon. Analisa hasil penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan dan mengevaluasi kondisi kebijakan insentif pajak saat ini, menganalisa faktor-faktor penghambat dan kelemahan instrumen kebijakan insentif pajak serta mengusulkan desain rekonstruksi kebijakan insentif pajak yang dapat dibangun menuju industri rendah karbon di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan paradigma kronstruktivisme dan menggunakan qualitatif system dynamics. Hasil evaluasi menunjukan insentif pajak masih diberikan secara parsial, tersebar, serta belum terfokus pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor industri sehingga kebijakan insentif pajak dinilai masih belum efektif. Berdasarkan lima kriteria prinsip perpajakan yang ideal menunjukkan bahwa administrasi pelaksanaan pemberian insentif pajak tidak sederhana. Insentif pajak tidak bersifat netral dan tidak menarik industri karena tidak ekonomis.
Peraturan pajak yang tidak transparan dan birokrasi pemerintah telah menghambat sehingga implementasinya masih sulit. Hambatan dan kelemahan pemberian insentif pajak yaitu kurangnya koordinasi para implementor kebijakan, pengukuran insentif yang belum optimal, tidak adanya blueprint pengembangan industri, dan kebijakan yang tidak memihak industri dalam negeri dan industri kecil. Desain rekonstruksi kebijakan insentif pajak yang diusulkan harus mempertimbangkan empat aspek yaitu prinsip pemberian insentif pajak, bentuk insentif pajak, manfaat insentif pajak dan syarat pemberian insentif pajak. Desain rekonstruksi insentif pajak yang ditawarkan diyakini dapat menjadi kunci untuk mendorong perubahan perilaku industri ke arah efisiensi energi dan beralih ke energi baru terbarukan untuk mendorong industri rendah karbon dan menghasilkan keunggulan kompetitif.

To realize the economic growth that absorpt of labor and improve the welfare society there has been an increase in industrial activities.The increase of industrial activities which still rely on fossil fuels in the long term can lead to higher emission contribution. This emission is not calculated in producer and consumer markets. It should be the government's efforts to transform high-carbon industries to resources efficiency of industrial activity. The government also should encourage the use of renewable energy sources towards low carbon industries. In many countries, to encourage investment and activities at low carbon industries, the goverment provide the tax incentives. However various fiscal incentives which are also a government subsidy through the sacrifice of the tax revenue, is not effective. This research is aimed to analize why the reconstruction design of tax incentives policies is needed that would lead to lowcarbon industries.
This research applies qualitative system dynamics and Nvivo. The evaluation result show that the tax incentives schemes are granted partial, scattered, and have not focused on efforts to reduce green house gases (GHG) emissions in the industrial sectors thus tax incentive policies have not been effective.The evaluation results based on five ideal principles of taxation show that the tax administration implementation are not simple. In addition, tax incentives are not neutral and not efficient. Further, tax rules are not transparent and the government bureaucracy implementation is still complicated.
Barriers and weaknesses of the tax incentives are caused by firstly, lack of coordination among the policy implementor, secondly, insentives measurements are not optimal, thirdly, lack of industrial development blueprint and lastly, policies tend to be pro-capitalist. The reconstruction of proposed tax incentive policies have to consider four aspects which consists of the principle of grant, the type, the benefit and the terms of tax incentives. Reconstruction design of tax incentives offered is believed to be the key driving to change industry behavior towards energy efficiency, switching the use of conventional energy toward renewable energy, encouraging low-carbon industries and generating competitive advantage.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1940
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Maria Rud
"Perusahaan manufaktur multinasional sektor otomotif di Indonesia umumnya beroperasi sebagai contract manufacturer dengan fungsi dan risiko terbatas serta sepenuhnya bergantung pada principal di luar Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengkonstruksikan skema transfer pricing (TP) berdasarkan putusan pengadilan pajak tahun 2015-2019 (tahun pajak sengketa 2006-2013 atau sebelum BEPS Action Plan 13), (b) menganalisis bagaimana kebijakan pajak saat tahun sengketa diterapkan dan (c) menjelaskan mengapa kebijakan saat ini (pasca BEPS Action Plan 13) harus diubah untuk mengurangi sengketa TP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi kepustakaan. Penelitian ini mengkonstruksikan bahwa skema umum TP meliputi (i) pembayaran eksesif atas pembayaran penggunaan intangibles kepada afiliasi sehubungan pembuktian eksistensi, manfaat ekonomi/komersial dan kewajaran volume transaksi (ii) pembayaran eksesif atas bunga pembiayaan intra-grup termasuk akibat kerugian yang berkepanjangan. Pendanaan diperoleh dari afiliasi dalam bentuk hutang yang seharusnya direkarakterisasi sebagai modal (iii) pembayaran tidak wajar atas penyediaan jasa intra-grup mengenai transaksi tersebut merupakan bentuk pengaburan transaksi lain (iv) pembelian/penjualan barang intra-group terkait perhitungan kewajaran, komponen dan teknis perhitungan HPP merupakan jenis transaksi yang dapat digunakan menggeser laba. Ketentuan TP sudah ada sejak 1983, namun pedoman teknis penilaian arm's length dirumuskan pada 2010, efektif pada 2011. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerapan ketentuan transfer pricing saat itu (sebelum BEPS Action Plan 13) dan masih perlu menjadi perhatian hingga saat ini (setelah BEPS Action Plan 13) meliputi hal berikut. Pertama, pengujian manfaat ekonomi atas pembayaran penggunaan intangible belum solid, masih menitikberatkan pada legal document. Besar pembayaran untuk intangible seharusnya sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan di Indonesia. Kedua, pemerintah telah menerbitkan ketentuan debt-to-equity ratio untuk mengatur pembatasan bunga, namun diperlukan upaya lebih lanjut terkait hal tersebut. Ketiga, ketentuan terkait pembayaran jasa intra-grup pada dasarnya sudah diatur dalam ketentuan teknis TP. Keempat, pemeriksaan terkait harga jual/harga beli atas pembelian/penjualan telah diatur dalam ketentuan domestik Indonesia. Selain itu, dalam pengujian TP, banyak sengketa yang diakibatkan oleh permasalahan teknis yaitu; (i) pemilihan metode pengujian TP (ii) pemilihan data pembanding (iii) proses audit yang tidak tepat. Untuk meningkatkan sistem administrasi, beberapa hal dapat dipertimbangkan. Terkait regulasi (i) atas pembayaran penggunaan intangibles, adanya penekanan terkait pemeriksaan atas kontribusi berdasarkan konsep DEMPE (development, enhancement, maintenance, protection dan exploitation of intangibles, (ii) Selain adanya ketentuan DER, mengadopsi konsep pembatasan pembayaran bunga berbasis penghasilan atau berbasis aktiva dengan suatu penyesuaian (iii) Diperlukan petunjuk terkait ruang lingkup informasi yang harus diungkapkan mengenai pemberian jasa intra-grup. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan safe harbor atau predetermined margin method untuk mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak dan otoritas pajak serta mengoptimalkan Advance Pricing Agreement untuk mengurangi sengketa pajak dan meningkatkan kepastian bagi wajib pajak melalui adanyakesepakatan diawal. Terkait optimasi kinerja organisasi, otoritas pajak Indonesia sebaiknya (a) mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk memperluas jangkatau pengawasan wajib pajak, (b) mengoptimalkan kompetensi dan pengetahuan pemeriksa, (c) membuat pola manajemen risiko transfer pricing yang terinstitusionalisasi/terorganisasi serta (d) adanya pola mutasi/promosi yang menekankan pada aspek spesialisasi.

The general schemes of TP occurred is the following (i) excessive payments for intangibles transferred to affiliates with issues related to proving the existence, economic/commercial benefits, and the fairness of the payments (ii) excessive interest payments due to an intra-group financing scheme related prolonged losses. Debt from affiliates should be characterized as capital. (iii) unreasonable payments for intra-group services, whether it has been properly carried out and whether the transaction is an obscuring other transactions (iv) unfairness of purchasing and selling of intragroup goods, i.e., price fairness, the components, and the calculation of COGS. Basically, TP rule has been formulated since 1983, however, the technical guidelines on arm's length were formulated in 2010, effective since 2011. The research shows that the challenges in performing TP provisions since that era (before BEPS Action Plan 13) until recently (after BEPS Action Plan 13) are the following. First, the examination on payment for intangible has not been solid that audit still focuses on legal documents. The payment should follow the value creation/contribution generated in Indonesia. Second, Indonesia has issued the debt-to-equity ratio rule for the limitation on interest payment, further improvement is needed. Third, the provisions on intragroup services have basically been regulated. Fourth, the examination related to the selling/buying price for intra-group trading has basically been regulated. In addition, there were disputes on TP examination caused by technical problems such as (i) selection the transfer pricing test method (ii) selection comparative data (iii) improper audit process. To improve the current TP policy, several inputs delivered as followed. Related to regulation (i) on payment for the use of intangibles, an emphasizing on examining value creation based on the DEMPE concept (development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation of intangibles) (ii) adopting earning based or asset based to the current DER, (iii) creating a guideline on the scope of information disclosure related to intra-group services. The authority may consider safe harbors provision or predetermined margin methods to reduce administrative burdens and optimizing Advance Pricing Agreement to reduce disputes and increase certainty through pre-existing agreement. Furthermore, related to the optimization of organizational performance, the DGT should (a) optimize the use of technology to expand the scope of taxpayers monitoring, (b) improve the competence of examiners with increased knowledge following the dynamic issues in transfer pricing issues, (d) create an institutionalized/organized TP risk management patterns as well as (d) re-manage the transfer/promotion patterns that emphasize specialization."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dudi Hidayat
"Penelitian ini bermula dari pengamatan bahwa dalam konteks Indonesia, banyak kebijakan regulasi dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah atau keputusan presiden sebagian atau seluruhnya tidak terimplementasikan. Untuk memahami realitas implementasi kebijakan, penelitian dimulai dengan mengkaji landasan paradigmatis dari literatur penelitian implementasi kebijakan. Analisis dalam kajian menyoroti masalah paradigma positivisme yang menyebabkan rendahnya daya penjelasan penelitian implementasi.
Peneliti mengalihkan perhatiannya ke paradigma baru yang potensial: realisme kritis. Paradigma ini menekankan perbedaan penting antara penelitian dasar dan penelitian terapan dengan retroduksi dan retrodiksi sebagai metode inferensi masing-masing. Analisis juga menyimpulkan bahwa jarak teori-praktik yang relatif besar dalam konteks negara-negara berkembang membuat peluang penelitian empirik di negara berkembang berkontribusi teoretik menjadi lebih kecil.
Penelitian studi kasus berdasarkan paradigma realisme kritis kemudian dilakukan terutama menggunakan pendekatan kualitatif pada implementasi kebijakan teknologi industri sebagaimana diundangkan dalam UU No 3/2014 tentang Perindustrian. Mengikuti pendekatan retrodiktif dari realisme kritis, penelitian kemudian menggunakan kerangka kerja konseptual berdasarkan literatur yang ada. Kerangka kerja pada dasarnya menyatakan bahwa implementasi kebijakan yang berhasil akan tergantung pada 5K: Klien dan Koalisi, Konten, Konteks, Komitmen dan Kapasitas.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam upaya implementasi Perindustrian, memang ada sejumlah masalah di masing-masing 5K. Khususnya, komitmen pembuat kebijakan tingkat tinggi dan kapasitas kebijakan yang diperlukan masih kurang.

This Research starts from the observation that in the Indonesian context, many of regulative policies in the forms of law, government regulation or presidential decree are partially or totally not implemented. To understand the reality of policy implementation, the research starts with investigating the paradigmatic foundation of existing policy implementation research literature. It highlights paradigmatic problems of positivism that led to the low explanation power of implementation research.
The reserach turns its attention to a new potential paradigm: critical realism. It emphasizes the important distinction between basic research and applied research with retroduction and retrodiction as its major inference method respectively. Critical realism also concludes that the relatively large distance of theory-practice in the context of developing countries makes the chances of empirical research in developing countries to contribute theoretically to the body of knowledge realtively small.
Empirical case study research, based on critical realism, is then carried out mainly using a qualitative approach on the implementation of industrial technology policy as promulgated in the Law of Industry No 3/2014. Following the retrodictive approach of critical realism, the research then utilized a conceptual framework based on the existing literature. The framework basically maintains that the successful policy implementation will be depended on the 5C: Client and Coalition, Content, Context, Commitment and Capacity.
The research found that in the implementation attempts of the Law No 3/2014, there are indeed a number of problems in each of the 5C. Particularly, commitments of high-rank policy makers and necessary capacities are lacking."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2771
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dodik Siswantoro
"Tujuan penelitian ini adalah merekonstruksi akuntabilitas lembaga wakaf tunai di Indonesia, pengukuran akuntabilitasnya dan analisis keberlangsungan lembaga wakaf tunai menggunakan N-helix. Logika akuntabilitas organisasi nirlaba yang ada bersifat umum sedangkan lembaga wakaf tunai berbasis pada syariah Islam. Oleh karena itu kajian logika akuntabilitasnya menjadi hal yang menarik karena mempunyai karakteristik tersendiri. Di samping itu pengukuran akuntabilitas lembaga wakaf tunai di Indonesia perlu dilakukan karena untuk melihat sejauhmana akuntabilitas sudah dipenuhi. Ini menjadi hal pembelajaran bagi lembaga wakaf tunai sendiri agar lebih akuntabel. Keberlangsungan lembaga wakaf tunai sendiri menjadi isu penting karena wakaf perlu dijaga dan dikembangkan agar dapat bertahan. Analisis yang digunakan menggunakan pendekatan N-helix. Metode yang digunakan kualitatif berbasis studi kasus dengan paradigma konstruktivis. Untuk mendapatkan data dilakukan dengan interviu mendalam, data pendukung lainnya berupa dokumen dan informasi lainnya. Hasil penelitian ini adalah logika akuntabilitas lembaga wakaf tunai di Indonesia mempunyai karakteristik berbeda dengan penelitian sebelumnya. Kepatuhan pada syariah Islam merupakan hal yang perlu diperhatikan dan peran Pemerintah dianggap cukup besar. Untuk pengukuran akuntabilitas, kepatuhan pada syariah juga merupakan hal yang perlu diperhatikan di samping komponen lainnya seperti keuangan, kinerja, publik dan keterlibatan. Penelitian atas keberlangsungan sendiri menunjukkan bahwa masing-masing aspek mempunyai peran yang besar atas keberlangsungan lembaga wakaf tunai itu sendiri.

The purpose of this research is to reconstruct the accountability of cash waqf institution in Indonesia, its measurement and analysis of sustainability of cash waqf institution using N helix. Existing accountability logic of nonprofit organization is for conventional while cash waqf is based on Islamic teaching. Therefore study on accountability in this case becomes an interesting issue as it has different characteristics. Besides accountability measurement is beneficial as it can see how accountable of the organization, thus this can be a lesson for the cash waqf institution. The sustainability of cash waqf institution is also important issue as waqf must be maintained and developed well. It is used N helix approach for this. Method is based on qualitative on study case with constructivist paradigm. In order to get data, depth interview is conducted, other supporting data such is document and other information. The result of this research shows that accountability logic of cash waqf institutions in Indonesia have different characteristic with previous research. Compliance to Islamic teaching must be concerned with and government has big role on accountability. For accountability measurement, compliance to Islamic teaching is important as well, besides other components such as finance, performance, public and involvement. Research result on sustainability shows that each aspect has important role on cash waqf institution sustainability."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D1711
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Achmad
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu, mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu, dan menciptakan model pengendalian korupsi yang sesuai dalam mencegah terjadinya korupsi di Kemenkeu. Penelitian ini menggunakan paradigma postpositivist dan constructivist dengan desain metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pencegahan dan penindakan korupsi di Kemenkeu belum efektif mengendalikan korupsi di Kemenkeu. Hasil evaluasi dengan menggunakan Model Implementasi Kebijakan Edward III menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pengendalian korupsi di Kemenkeu dipengaruhi oleh Faktor Komunikasi, Faktor Sumber daya, Faktor Disposisi sikap , Faktor Struktur Birokrasi, serta Faktor Lingkungan yang merupakan temuan penelitian ini. Inspektorat Jenderal sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah berperan penting dalam mengendalikan korupsi di Kemenkeu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Huther dan Shah 2000 . Meskipun Kemenkeu telah menerapkan model pengendalian internal Three Lines of Defense Model namun model dimaksud belum efektif dalam mengendalikan korupsi. Model dimaksud perlu ditambahkan dengan unsur pertahanan lainnya sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengendalian korupsi. Hal ini disebabkan masih adanya permasalahan dalam aspek kepemimpinan, integritas dan nilai-nilai anti-korupsi dari sisi manajemen dan pegawai dalam mencegah korupsi; aspek kelemahan implementasi unit kepatuhan internal yang tidak fokus dalam pencegahan korupsi; serta aspek audit internal oleh Itjen. Di samping itu perlu adanya sistem pengendalian korupsi yang terintegrasi di Kemenkeu yang mengorganisasikan pengelolaan kegiatan pencegahan dan penindakan korupsi secara terarah dan berkesinambungan. Berkaitan dengan hasil penelitian disarankan beberapa hal yaitu terkait gagasan model pengendalian intern yang efektif untuk mencegah korupsi, Peneliti mengusulkan pengembangan dari model Three Lines of Defense dengan menambahkan unsur keteladanan pemimpin, program pengendalian korupsi yang terintegrasi, pembentukan unit khusus yang menangani korupsi serta meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Aparat Penegak Hukum KPK, Polri, Jaksa.

Focus of this research is to evaluate the implementation of corruption control policy in the MoF, evaluate the factors that influence the corruption control policy in the MoF, and create an appropriate model of corruption control in preventing corruption in the MoF. This research uses post-positivist and constructivist paradigm with qualitative research method design. The results showed that corruption prevention and prevention policies in the MoF have not been effective in controlling corruption in MoF. The evaluation result using Edward III Policy Implementation Model shows that the implementation of corruption control policy in MoF is influenced by Communication Factor, Resource Factor, Disposition Factor, Bureaucracy Structure Factor, and Environmental Factor which is the findings of this research. The Inspectorate General IG as the Internal Controller of the Government plays an important role in controlling corruption in the MoF. This is in accordance with research conducted by Huther and Shah 2000 . Although MoF has implemented the Three Lines of Defense Model as a internal control model, the model has not been effective in controlling corruption. Such models need to be added with other defense elements so as to increase the effectiveness of corruption control. This is because there are still problems in aspects of leadership, integrity and anticorruption values from the management and employees in preventing corruption; weakness aspects of implementation of internal compliance units that are not focused on preventing corruption; as well as internal audit aspects by the IG. In addition, there needs to be an integrated corruption control system in the MoF which organizes the management of prevention and action against corruption in a directed and sustainable manner. In relation to the results of the research, it is suggested that there are several things related to the idea of an effective internal control model to prevent corruption. The researcher proposes the development of the Three Lines of Defense model by adding an example of leadership Tone at the Top , an integrated corruption control program, the establishment of special units dealing with corruption and improving coordination and cooperation with external parties, namely the Audit Board of the Republic of Indonesia BPK RI and Law Enforcement Apparatus KPK, Polri, Attorney General Office."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
D2519
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliek Sofitri
"Indonesia menghadapi risiko yang signifikan terhadap perubahan iklim, yang dampaknya dapat dikurangi dengan partisipasi aktor negara dan aktor bukan negara baik skala nasional, internasional, regional dan lokal. Upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan sumber daya yang signifikan yang perlu dipersiapkan dengan cermat.

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis bagaimana aliran pendanaan iklim menggunakan pendekatan Social Network Analysis (SNA); (ii) menjelaskan urgensi rekonstruksi kebijakan pendanaan perubahan iklim; (iii) mengembangkan desain model kebijakan pendanaan perubahan iklim. Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme dengan pendekatan multi metode, menggunakan tools SNA dan modelling System Dynamics (SD). SD digunakan untuk menentukan proporsi kebijakan fiskal pembiayaan dan kebijakan non fiskal hingga 2030. Informan  terdiri dari aktor, pejabat pemerintah, profesional, aktor perbankan, dan individu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban APBN sangat tinggi mencapai 92% hingga 2030 untuk membiayai kegiatan perubahan iklim, ada urgensi untuk mendesak share pendanaan dari negara maju, diperlukan layer pembagian peran dan tanggung. Fakta empiris menunjukan aliran dana iklim sejak 2007-2017 didominasi oleh sektor publik dan masih menjadi tantangan bagi keterlibatan sektor swasta. Pendapatan pajak mendominasi dan sebagai sumber pendanaan terbesar untuk membiayai kegiatan mitigasi dan adaptasi iklim selama periode penelitian. Model desain kebijakan pendanaan perubahan iklim terdiri dari kluster kebijakan pendanaan fiskal dan kluster kebijakan pendanaan non fiskal.
Penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa harus ada keseimbangan kebijakan pendanaan antara kebijakan pendanaan fiskal dan kebijakan pendanaan non fiskal, shifting burden dari APBN perlu dilakukan sehingga tidak membebani APBN terutama dari sektor swasta dan secara berkelanjutan memperjuangkan kontribusi pendanaan dari negara yang memberikan share kenaikan emisi tinggi. Penelitian juga mengusulkan desain model kebijakan pendanaan perubahan iklim meliputi mitigasi dan adaptasi, serta kerangka kerja Allocative Efficiency untuk perubahan iklim pada belanja publik.

Indonesia presents significant risks to the climate change by increased variability and intensity of rainfall and to sea level rise. The impact of climate change can be reduced by participating state actor and non state actor both national and international efforts to reduce GHG emissions and by investing in adaptation to climate change to protect against loss and damage to the country's natural resources. Reducing emissions and building resilience will require  significant financial resources which needs to be  prepared carefully. The research aims  to (i) analyse how is the climate finance flow using Social network Analysis (SNA) approach; (ii) analyse the urgency of climate finance policy reconstruction; (iii) develop design model of climate finance policy using System Dynamics approach. The research using constructivism paradigm with multi methode method using Social Network Analysis and System Dynamics Model to determine the  proportion of financing fiscal policy and non fiscal policy up to 2030 as well as construct the climate finance policy. Informan consist of actors, governemnt officials, professional, banking actor, and individual.
The result shows that there is urgent to reconstruct the climate finance policy in Indonesia due to high burdern of APBN reached 92% until 2030 for financing climate change activities in Indonesia. It is also proven that with empirical evidence that the flow of climate fund since 2007 until 2017 dominated by public sectors and still challenges for private sectors involvement. Tax revenue is found as the most funding resources to finance the climate activities of mitigation and adaptation during period of research. Design model of climate finance policy consist of cluster fiscal policy and non fiscal policy.
The research provide recommendation due to the externalites of climate change and as global public goods there should be balanced of climate finance policy between climate fiscal policy and non fiscal policy, shifting burden from APBN need to be conducted especially financing form private sector and fighting continously on the contribution from countries that share high emission increases. The research also propose the model of climate finance policy framework and  framework of climate allocative efficiency in public spending."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
D2716
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library