Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A.M. Hermina Sutami
"Bahasa Mandarin Baku adalah bahasa yang tidak menunjukkan perubahan morfologis pada verbanya untuk menunjukkan waktu terjadinya perbuatan yang digambarkan oleh verba. Tetapi bahasa Mandarin Baku mempunyai alat sintaktis untuk menunjukkan apakah suatu situasi sedang berlangsung atau sudah selesai. Bahasa-bahasa yang menunjukkan gejala demikian digolongkan sebagai bahasa yang mempunyai sistem aspek. Sebaliknya bahasa yang menunjukkan perubahan morfologis pada verbanya untuk menunjukkan waktu terjadinya perbuatan seperti pada bahasa Inggris, digolongkan sebagai bahasa yang mempunyai sistem kala.
Tesis ini akan membahas aspek perfektif dalam linguistik Cina. Topik ini tetap hangat diperdebatkan karena adanya unsur sintaktis lain yang berhomofoni dengan le penanda aspek perfektif ini.
Sebelum sampai pada pembahasan, di bawah ini akan disajikan situasi kebahasaan di negara Cina secara singkat dan apa yang dimaksud dengan bahasa Mandarin Baku.
1.2 Bahasa Mandarin Baku
"Bahasa Mandarin Baku", istilah yang digunakan dalam tesis ini merupakan istilah yang sejajar dengan Putonghua 'Bahasa Umum'. Putonghua adalah istilah yang penggunaannya diresmikan di ARC pada waktu Konperensi Standardisasi Bahasa Nasional pada bulan Oktober 1955. "Mandarin" masih tetap dipertahankan dalam tesis ini mengingat istilah itu lebih banyak dikenal oleh kalangan umum. Di samping itu juga dimaksudkan untuk menghindari pemakaian istilah yang beraneka ragam, seperti Huayu yang digunakan di Singapura, Guoyu di Taiwan atau Hanyu, padahal semuanya mengacu kepada apa yang disebut "Bahasa Mandarin". Selain itu, ditambahkan Baku karena Bahasa Mandarin yang dimaksud adalah yang sudah dibakukan oleh pemerintah RRC pada konperensi bahasa tahun 1955 di atas.
"Mandarin", istilah yang lazim di dunia Barat, tetapi banyak digunakan di Indonesia, berasal dari mandarin dalam bahasa Portugis. Istilah ini berasal dari mantri dalam bahasa Melayu yang berarti 'menteri'. Kata mantri ini berasal dari bahasa Sansekerta mantrin yang berarti 'penasehat' (Americana 1964, vol xviii:210; Webster 1951:1493). Kata ini merupakan terjemahan dari Guanhua` 'bahasa pejabat'. Pada mulanya istilah itu digunakan untuk menunjuk kepada bahasa yang digunakan di kalangan pemerintahan di ibukota Beijing.
Menurut Li dan Thompson (1981:2-3) bahasa Mandarin yang digunakan di Beijing merupakan salah satu dialek dari bahasa Mandarin. Bahasa Mandarin adalah salah satu cabang dari keluarga bahasa Cina yang termasuk rumpun bahasa Sino-Tibet. Selain Mandarin, bahasa-bahasa lainnya dari keluarga bahasa Cina adalah Wu (dikenal dengan nama bahasa Shanghai), Xiang (dikenal dengan nama bahasa Hunan), Gan (dikenal dengan nama bahasa Jiangxi), Hakka (dikenal dengan nama bahasa Ke), Min (dikenal dengan nama bahasa Hokian) dan Yue (dikenal dengan nama bahasa Kanton)l). Bahasa Mandarin merupakan bahasa yang daerah pemakaiannya paling luas, yaitu di negara Cina sebelah utara, barat laut , barat daya dan muara sungai Yangzi. Dengan demikian jumlah pemakainya juga menempati urutan teratas, yaitu 70% dari jumlah keseluruhan penduduk RRC. Di samping ini masih terdapat bahasa-bahasa yang digunakan oleh suku-suku minoritas yang tidak termasuk di dalam keluarga bahasa Cina.
Bahasa Mandarin terdiri dari empat dialek: Utara, Barat Laut, Barat Daya dan Muara Sungai Yangzi. Bahasa Mandarin yang digunakan di kota Beijing termasuk dialek Utara.
Keluarga bahasa Cina masih belum didapat kesepakatan penuh. Seperti telah disebutkan di atas, Li dan Thompson (1981:2-3) menyarankan tujuh bahasa. Sarjana lain, Li Fang Kuei (1973:1-13) mengusulkan delapan bahasa: Mandarin Utara, Mandarin Timur, Mandarin Barat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irzanti Sutanto
"Berdasarkan penelitiannya dalam berbagai bahasa, (termasuk bahasa Perancis), Cowrie (1976:51) berpendapat bahwa bila sebuah verba yang bercorak peristiwa telis mendapat keaspekan imperfektif maka makna keseluruhan verba tersebut tidak mengimplikasikan tercapainya titik akhir alamiah yang merupakan syarat corak peristiwa telis. Carl Bache (1982:68) sependapat dengan Comrie Maingueneau (1981:48) mempunyai pandangan yang lebih tegas daripada kedua linguis di atas: Dengan mengambil contoh dari bahasa Perancis, ia menyatakan bahwa sebuah verba hanya dapat dikatakan bercorak peristiwa telis apabila berkeaspekan Pfk. Pemikiran-pemikiran tersebut patut dikaji kembali kebenarannya secara empiris.
Dengan demikian dapat dipertanyakan, khususnya dalam bahasa Perancis, apa yang terjadi secara semantis pada sebuah verba dengan corak peristiwa telis bila verba itu berkeaspekan imperfektif. Apakah keaspekan imperfektif lebih dominan daripada corak peristiwa telis? Apa sebabnya?
Penelitian ini bertujuan memerikan ada tidaknya pengaruh imperfektif terhadap corak peristiwa telis dalam bahasa Perancis dan peranti pengungkap corak peristiwa telis dalam bahasa tersebut.
Penelitian dilakukan dengan mengubah keaspekan Pfk menjadi Ipf untuk menguji ketelisan yang dikandung verba (dan konstituen lain), serta menggunakan kuesioner mengenai 114 buah data tulis dan penutur asli sebagai informan yang menjawab kuesioner tersebut. Unit analisis adalah kalimat yang mengandung verba bercorak peristiwa telis dan berkeaspekan imperfektif dan perfektif. Pertanyaan didasarkan pada tes yang dibuat oleh Howard Garey (Brinton 198B: 26). Tes Garey adalah tes yang bertujuan menguji ketelisan peristiwa yang terkandung dalam makna sebuah verba. Caranya.secara garis besar adalah dengan mengajukan pertanyaan berikut: Apakah berlangsungnya suatu peristiwa dapat dikatakan telah selesai apabila terjadi penyelaan? Apabila jawaban adalah ya, verba yang bersangkutan bercorak peristiwa atelis; apabila jawaban adalah tidak, verba yang bersangkutan bercorak peristiwa telis.
Jawaban informan atas kuesioner memperlihatkan bahwa keaspekan imperfektif tidak mempengaruhi corak peristiwa telis. Peristiwa tetap dianggap bercorak telis oleh informan meskipun verba berkeaspekan imperfektif.
Corak peristiwa telis terdapat inheren di dalam verba-verba tertentu atau ditentukan oleh konstituen lain, yaitu artikula takrif untuk frasa nominal berfungsi objek, keterangan ukuran takrif, ciri semantic 'insan' atau acuan insan dari frasa nominal berfungsi subjek, dan ciri semantic 'konkret' dari nomina yang berfungsi objek. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebutan makna inheren verba yang mengenai corak peristiwa telis tidak tepat.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa dalam bahasa Perancis penggunaan keaspekan imperfektif ditentukan oleh konstituen lain, yaitu konstituen yang tidak mengandung makna 'besaran waktu skalar atau limitatif. Padahal, konstituen tersebut adalah salah satu unsur pembentuk corak peristiwa telis."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki Urip
"Bahasa ergatif adalah bahasa yang memperlakukan secara sama subjek intransitif dengan objek transitif dan memperlakukan secara berbeda subjek transitif (Dixon 1972: 30; Plank 1979: 4; Bechert 1987: 45-46). Martinet: (1985: 200-201) mengatakan bahwa yang menjadi ciri bahasa ergatif adalah bahwa pasien, atau mungkin lebih tepat disebut bukan pelaku, mempunyai bentuk yang sama dengan partisipan tunggal dari verba intransitif. Secara tradisional , penelitian keergatifan dilakukan pada bahasa yang secara morfologis mempunyai pemarkah kasus, misalnya bahasa Baska dan bahasa Dyirhal. Kemudian, konsep keergatifan diterapkan pada bahasa-bahasa yang secara morfologis tidak mempunyai ciri-ciri keergatifan. Penelitian pada bahasa yang tidak mempunyai pemarkah kasus telah menghasilkan berhagai kajian, antara lain kajian keergatifan bahasa inggris Ozark. Kajian ini rnenyimpul kan bahwa keergatifan pada bahasa Inggris Ozark ditandai dengan adanva keinginan penutur untuk menempatkan pasien pada subjek karena pelaku dianggap tidak bertanggung jawab penuh terhadap terjadinya peristiwa ( Foster 1979:496). Pada kajian yang lain disimpulkan bahwa hubungan pasien dengan verba lebih sentral daripada hubungan antara pelaku dengan verba (Plank 1977: 13; Woodburry 1977: 344;). Penelitian tentang keergatifan dalam bahasa Prancis ini membahas masalah urnum, yakni konstruksi dalam bahasa Prancis yang bagaimanakah dapat; dimaknai , sehagai ergatif? secara lebih rinci, masalah tersebut diuraikan sebagai berikut: (I) apa ciri donlinan keergatifan dalam bahasa Prancis, secara semanlti s atau gramati kal? (2) apakah konteks berpengaruh dalam pengkausatifan sehi ngga suatu konstruksi bisa dimakna eorgatif? (3) apakah dalam bahasa Prancis konstruksi yang bermakna ergatif sama dengan konstruksi pasif?, dan (4) apakah benar konstruksi ergatif dalam bahasa Prancis tidak prodilktif? Kalau benar, penelitian ini akan menghasilkan inventarisasi verba yang dapat digunakan dalam konstruksi ergatif yang junllahnya terbatas. Dengan hasil inventanisasi yang terbatas ini, verba-verba tersebut merupakan daftar yang terbatas jumlahnya atau daftar tertutup. Verba apa saIakah itu? Pemecahan masalah penelitlan di atas merupakan tujuan dari penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sumber data. Berbagai terbitan bahasa Prancis. Data yang dicatat adalah data yang berkonstruksi intransitif (Lyons 1968: 352). Ditemukan 315 data yang dicurigai bermakna ergatif. Data diubah ke dalam konstruksi kausatif. Alternasi kausatif merupakan alat yang digunakan untuk mengetes keergatifan suatu konstruksi (Levin Dan Hovav 1995: 80). Data ubahan dikonfirmasi ke penutur asli yang menjadi inforrnan dalam penelitian ini. Setelahl melalui pengetesan, didapatkan 72 data. Hasil analisis data mengungkapkan bahwa yang disebut konstruksi bermakna ergatif dalam bahasa Prancis adalah konstruksi yang menonjolkan peran pasien. Konstruksi ini berverba intransitif. Konstruksi dapat dikausatifkan. Pasangan yang terbentuk tetap mempertahankan makna verba yang dimiliki. konstruksi tidak dapat dikausatifkan karena: (1) penyebab perubahan pada konstruksi bersifat internal; (2) bermakna metaforis; (3) hasil pengkausatifan berupa pasangan kausatif palsu; (4) hasil pengkausatifan dipahami secara berbeda atas terjadinya peristiwa; (5) mempunyai makna yang berbeda dengan konstruksi berverba sama yang dapat dikausatifkan. Hasil analisis data mengungkapkan pula tidak semua konstruksi yang menggunakan verba ini dapat membentuk konstruksi bermakna ergatif. Dari 72 adta, 50 di antaranya menyiratkan adanya pelaku yang bertanggung jawab atas peristiwa yang diungkapkan oleh konstruksi tersebut. ditemukan 22 knstruksi yang menyiratkan dua kemungkinan terjadinya peristiwa, yaitu sebagai peristiwa yang dikontrol oleh pelaku atau peristiwa yang tidak dikontrol oleh pelaku (Lyons 1977: 486). Konteks dari 22 ini dipertimbangkan untuk diteliti ada tidaknya pelaku yang mengontrol peristiwa tersebut. sembilan data mengungkapkan dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa. tiga data mengungkapkan tidak adanya pelaku yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa. dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konteks tidak banyak berpengaruh dalampengkausatifan. Tidak semua data yangdiubah dalam konstruksi pasif berterima. beberapa konstruksi yang dapat muncul dalam konstruksi pasif, mungkin masih dipahami sebagai konstrusi yang lain, yakni (1) kontruksi pasif tetapi mengalami perubahan makna, (2) konstruksi beratribut, dengan adjektiva lampau, (3) konstruksi dalam kala passe-copose, (4) konstruksi yang jarang digunakan. Jadi, dalam bahasa Prancis, konstruksi bermakna ergatif tidak sama dengan konstruksi pasif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa verba yang dapat digunakan untuk membentuk konstruksi bermakna ergatif tidak banyak. hal ini sesuai dengan pendapat Siewierska (1984: 22) yang menyatakan bahwa pada bahasa akusatif, jumlah verba ergatif tidak banyak. Namun, verba tersebut tidak dimasukkan ke dalam daftar tertutup dengan pertimbangan bahwa daftar tersebut masih bisa bertambah seiring dengan bannyaknya sumber data yang diteliti. Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa verba ergatif dapat dimasukkan ke dalam daftar terbuka. Verba ergatif adalah verba yang digunakan secara instransitif dan transitif. Hal ini merupakan pertimbanagn untuk tidak memasukkannya ke dalam daftar terbuka. Ditemukan beberapa data yang mengungkapkan bahwa konstruksi bermakna ergatif dapat hadir bersama: (1) konstruksi pasif, (2) konstruksi berverba promominal yang bermakna pasif (3) konstruksi pasif dalam bentuk infinitif yang didahului preposisi, dan (4) konstruksi berpreposisi pour + infinitif. Dengan demikian, da[at disimpulkan bahwa bahasa Prancis mengenal konsep keergatifan.

An ergative language is a language which treats the intransitive subject and transitive object in the same way, and the transitive subject differently (Dixon 1972: 30; Plank 1979: 4; Bechert 1987: 45-46). Martinet (1985: 200-201) says that. an ergative language is characterized by a patient, or more appropriately called a nonagent, which has the same form as a single participant of an intransitive verb. Traditionally, research on ergativity was done concerning languages which morphologically have certain case markers, such as Baska and Dv.irba1. Afterwards, the concept of ergativity has been used to describe languages which morphologically do not have ergative features. Research on these languages has brought many fruitful discussions. One of them is the orgativity in Fnglish. This study concludes that ergat ivi tv in Ozark English is triggered by the desire of Orarkers to place the patient in the subject position, because the agent is not fully responsible for the situation (Foster 1979: 196). In another study, it is concluded that the rel at ion between the patient and the verb is more central than t hat between the agent and the verb (Plank 1977: 13; Woodburry 1977: 344) This research on ergat ivit:.y in French probes the general problem of what constructions types in French are called .ergative? This problem can be broken down as follows: (1.) Wh tt are the dominant features of ergat i vi ty in French, semantic or gramat ica l ? , (2) Does a context influence causat.ivizat.ion so that a construction can be called ergative?, (3) Is an ergative construction in French the same as a passive construction? (1) Is it true that an ergative construction in French is not prnclnctive? Tf it is true, this reseach will result in a inventory of limited verbs which can be used in ergative constructions. Because of the restricted inventory, these verbs belong to a restricted list or a closed list:. What verbs are they? The objectives of the research are to solve the problems of the investigations. Sources of data of the investigation used French publications. The collected data were intransitive constructions (Lyons 1968: 352). There were 315 data which were assumed as ergative. The data, then, were changed into causative constructions. Causative alternation has been claimed to he an ergative diagnostic (Levin and llovav 1995: 80). The changed data were confirmed by a native speaker who became the informant , in this study. 72 data were found by testing. The result of the data analysis shows that an ergative construction in French is a construction which emphasizes the role of patient. The construction ion has an intransitive verb. Also, it must be able to be changed into a causative construction. The formed pair must maintain their meaning."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Darma Laksana
"Kajian tabu dalam bahasa Bali ini bertolak dari masalah "Bagaimana tabu dalam kebudayaan Bali diwujudkan dalam tingkah laku verbal?. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian dalam bidang bahasa dan atau kebudayaan Bali. Kajian ini dilakukan dengan melibatkan kebudayaan untuk memahami makna di balik tabu bahasa. Dari kepustakaan tentang tabu yang berhasil dikumpulkan, pada umumnya penulisnya berorientasi pada kajian tabu nonverbal (ritual). Oleh karena itu, sumbangan lainnya yang dapat diberikan adalah bagaimana analisis tabu bahasa itu dilakukan.
Kerangka acuan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pandangan sejumlah pakar kebudayaan dan linguistik. Pembicaraan mengenai konsep tabu dalam penelitian ini bertumpu pada Douglas (1966/1992); pembicaraan mengenai penggolongan tabu penelitian ini bertumpu pada Frazer (1911/1955), dan pembicaraan mengenai sumpah serapah penelitian ini bersandar pada Montagu (1967/1973). Secara garis besamya tabu bahasa dibedakan atas dua macam, yaitu nama atau katakata tertentu yang ditabukan dan sumpah serapah yang ditabukan. Yang pertama dapat dielakkan dengan cara penyulihan. Untuk itu, penelitian ini menggunakan kobsep-konsep linguistik (dan juga antropologi) dari para ahli yang berikut: penyulihan dengan metafora, metonimia (bahasa majasi), dan eufemisme dari Moeliono (1989), Crystal (1973), dan Apte (1994); penyulihan dengan parafrase dari Kridalaksana (1988) dan Matthews (1997); penyulihan dengan alih kode dari Foley (1997) dan Salzmann (1998); penyulihan dengan diglosia dari Ferguson (1964), dan penyulihan dengan teknonim dari Geertz (1992). Khususnya pembicaraan mengenai pelanggaran sumpah serapah, yang pengumpulan dan analisis datanya menggunakan metode kuantitatif, penelitian ini bertolak dari pandangan Brown dan Gilman (1972), yang diadposi oleh Foley (1997), dan di dalam bahasa Indonesia diadopsi oleh Gunarwan (1997), yang berbicara tentang "kekuasaan? (power) dan "keakraban? (solidarity), dalam hal ini, yang mempengaruhi penggunaan sumpah serapah.
Data yang dianalisis adalah data bahasa Bali "lumrah?, yaitu bahasa Bali sebagaimana yang digunakan oleh orang Bali sehari-hari. Korpus penelitian ini dikumpulkan secara kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif digunakan dalam analisis nama dan kata-kata tertentu yang ditabukan dan sumpah serapah yang ditabukan (identifikasi dan klasifikasinya, serta fungsi dan sanksinya); sedangkan data kuantitatif digunakan dalam analisis langgaran sumpah serapah yang ditabukan.
Analisis kualitatif dilakukan secara emik (Pike, 1966), atau dapat juga disebut analisis secara sistemik (Douglas, 1966/1992), yaitu makna setiap unsur bahasa atau perilaku kebudayaan harus dikaji dengan mengacu kepada distribusinya, baik yang mengacu kepada perilaku verbal maupun yang nonverbal, perilaku kultural. Sementara itu, analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan statistik.
Temuan yang diperoleh dari penelitian ini: pertama, cara orang Bali mewujudkan perilaku verbalnya atas tabu dalam kebudayaannya dengan menggunakan metafora dan metonimia (bahasa majasi), eufemisme, parafrase, alih kode (dan diglosia), dan teknonim; kedua, penggunaan sumpah serapah, yang tidak dapat diwujudkan dengan cara lain, seperti makian, hujatan, kutukan, sumpahan, (ke)carutan, dan lontaran/seruan. Khususnya mengenai pelanggaran sumpah serapah pada umumnya variabel yang dominan mempengaruhi perbedaan penggunaan sumpah serapah adalah asal kabupaten dan jenis kelamin.

The study of taboo in Balinese language is an attempt to analyze 'How taboo in Balinese culture is represented in their verbal behavior'. This study is intended to enrich the inventory of research on Balinese language and culture which has been done before. This study is conducted by involving culture ;o discover the meaning behind use of language taboo. From a number of books about taboo that have been read and analyzed, in general, the writer gives their orientation to nonverbal taboo. Therefore, this research proposes a model about how taboo in language should be analyzed.
Theoretical frameworks used in this study is based on a number of ideas form scholars, such as Douglas (196611992), who discusses a critical analysis about the concept of taboo; Frazer (191111955) who presents the classification of taboo in general and categorization of taboo in language; and Montagu (196711973) who presents the classification of swearings which he calls a species of human behavior. Since name and certain words tabooed can be avoided by substitution, the study implies some linguistics concepts, such as metaphor, metonymy (figurative languages), euphemism which are taken from Moeliono (1989), Crystal (1993), and Apte (1994); paraphrases from Kridalaksana (1988) and Mathhews (1997); code-switching from Foley (1997) and Salzmann (1998), diglossia from Ferguson (1964); and technonymy from Geertz (1992). For the discussion of swearings which can not be avoided by respondents, in particular, this study needs the concept of "power" and "solidarity" proposed by Brown and Gilman (1972), which is adopted by Foley (1997) and Gunarwan (1997). in Indonesian version.
The Balinese language being analyzed is Bahasa Bali Lumrah (an ordinary Balinese language). The corpus is collected and analyzed by using qualitative and quantitative methods. The data which constitute names and words tabooed are collected and analyzed qualitatively, whereas some language taboo, such as abusive swearing, blasphemy, cursings, etc. are collected and analyzed quantitavely. The data analysis in this study uses an emic approach (Pike, 1966), or, it is also called by Douglas (196611992.) as systemic approach.
Some findings of this study are as follows. Firstly, Balinese people avoid taboo in language by using metaphor and metonymy (figurative languages), euphemism, paraphrases, code-switching, diglossia, and technonymy. Secondly, it is found out that there are some kinds of swearings, namely abusive swearings, blasphemy, cursings, swearings, obscenity, and expletives. Thirdly, the violation of swearings, in general, areSignificantly influenced by the regionsand the sexes of the respondents.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D530
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library