Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Leirissa, Richard Zakarias
"Wilayah Maluku Utara dalam abad 18 secara politis terbagi dalam tiga kerajaan. Ketiga kerajaan itu mempunyai hubungan formal dan tertulis dengan VOC yang berkepentingan mengamankan monopoli rempah-rempahnya, Ketika kerajaan itu adalah Ternate, Tidore, yang masing-masing berpusat di pulau-pulau kecil dengan Hama yang sama, dan dengan jangkauan kekuasaan formal yang mencakup seluruh Maluku Utara sampai ke Irian Barat dan bagian-bagian tertentu dari pesisir Sulawesi Timur; hanya kerajaan ketiga, Sacan, terbatas pada pulau yang senama ditambah dengan beberapa pulau kecil sekitarnya yang dalam kurun waktu ini kebanyakan tidak berpenghuni.
Namun sebelum abad 17 ada pula satu kerajaan lain, kerajaan Jailolo, yang berpusat di pulau Halmahera, pulau yang terbesar di Maluku Utara. Malah menurut legenda-legenda yang sempat dicatat paling kurang sampai abad 14 baru abad 19 itu, kerajaan Jailolo adalah kerajaan yang tertua dan yang utama sebelum hilang dalam awal abad 17 karena dianeksasi oleh Ternate dengan bantuan VOC.
Sejak awal abad 17 seluruh pulau Halmahera telah dimasukkan dalam kekuasaan Ternate bagian (utara dan Selatan) dan Tidore (bagian Tengah). Sistem pemerintahan yang dibangun kerajaan itu di pulau yang jauh lebih besar itu, selain berkaitan dengan sistem monopoli VOC juga berkaitan erat dengan kepentingan kedaton-kedaton itu untuk tenaga kerja serta bahan makanan yang disalurkan, antara lain; melalui suatu sistem upeti.
Sejak dekade-dekade terakhir abad 18 sampai dekade-dekade pertama abad 19 ada usaha-usaha untuk menghidupkan kembali kerajaan Jailola yang telah lama lenyap itu. Selain iiu dalam pertengahan abad 19 muncul lagi suatu usaha serupa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan fakta mengapa peristiwa di akhir abad 18 dan awal abad 19 itu bisa bisa terjadi, hal bagaimana partisipasi masyarakat Halmahera dalam usaha itu, dan (c) mengapa sampai usaha itu tidak berkelanjutan.
Pergolakan di kalangan masyarakat Halmahera yang dibahas di sini terutama menyangkut berbagai kolektivitas yang lingkup teritorialnya mencakup dua wi1ayah di Halmahera. Pertama adalah kolektivitas-kolektivitas di Halmahera Timur, dan kedua, berbagai kolektivitas Tobela didistrik Kau (Halmahera Mara). Pertanyaan yang segera muncul adalah mengapa hanya wilayah-wilayah itu saja yang terkait dengan Raja Jailolo? Pertanyaan lainnya yang segera timbul pula adalah siapakah Raja Jailola, bagaimana status sosial Raja Jailaio serta asal-usulnya?
Dalam metodelogi sejarah di masa kini, rangkaian peristiwa dengan peristiwa secara berturut-turut saja tidak lagi menjadi tumpuan interpretasi sejarah. Permasalahan yang menjadi perhatian banyak sejarawan sekarang justru adalah menemukan suatu kerangka model eksplanasi yang memadai dan tahan uji. Sudah sejak awal abad ini berbagai usaha ditempuh ke arah itu. Kesadaran itu muncul selain karena ternyata metode konvensional mengabaihan banyak aspek kehidupan manusia juga karena dipengaruhi kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh berbagai cabang ilmu sosial yang diperlihatkan pada sejumlah sejarawan, bahwa kesamaan dalam model penelitian, yaitu manusia dan sistem sosialnya, memungkinkan pengembangan metodologi sejarah dengan memperhatikan berbagai konsep yang telah dirumuskan dalam berbagai cabang ilmu-ilmu social tersebut tanpa harus melepashan sama sekali jatidiri ilmu sejarah ?
Halmahera, atau bagian-bagiannya, telah banyak mendapat perhatian banyak ahli ilmu-ilmu sosial dalam dekade-dekade terakhir ini, sehingga gambaran mengenai struktur masyarakatnya kini sudah menjadi makin jelas, Terutama para ahli antropologi banyak menaruh minat pada komunitas-komunitas ini dan interaksi sosial, serta alam pikiran yang mendasarinya?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
D190
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Notosusanto
"ABSTRACT
Writing the contemporary history of one's own country is hazardous in two respects, firstly, in the academic field there are still plenty of people who think that the events experienced by one's own generation do not properly belong to the realm of history. They cite the oft repeated dictum that historians should have sufficient distance from the occurrences they sought to describe and not infrequently accuse the contemporary historian of engaging himself in political pamphleteering or journalism rather than performing scholarly pursuits. Secondly, it is indeed, true that too many people who were involved in the events treated are still around, and it is unfortunately so that many of them would attack a piece of contemporary historical writing if they think that their role has been described less favorably or less expansively than they would have wished. Or again, they would criticize the historical treatise because personages, whom they like or adulate, are put in a less than bright spotlight. Or, because they are disappointed for the historian's failure to adhere to their point of view about various things, or because of what they perceive as the historian's scorn for their favorite cause.
Although aware of the difficulties involved in the writing of contemporary history of Indonesia, I do belief that the study and writing of contemporary history, including Indonesian contemporary history, is not only justified but also necessary. In Indonesia, as in most new nations, the story of the processes leading towards independence is foremost in the minds of those generations who have witnessed the transition from colonial domination towards national self-determination. In Indonesia, these are the periods covering the National A wakening it the period of the Nationalist Movement from 1908 (which was the year of the founding of the Budi Utomo as the first modern Indonesian association) down till the Japanese occupation of 1942-1945, as well as the period of the Revolution or War of Independence of 1945-1949.
For the latest generations, even the periods following the end of the War of Independence are important to satisfy their thirst for an answer on the why of the present situation. To present-day Indonesians the questions asked about the latest periods in their nation's history are looming very large indeed, larger than the questions asked about long bygone periods like that of the 18 or 19 centuries and further back. Social change during those mere decades has been both sweeping and swift leaving in its wake bewilderment and confusion. The urge towards achieving understanding about the happenings speeding past is not generated solely by curiosity but also by the necessity of charting a course in the turbulent waters of the ocean of the future.
Under these circumstances the study of history has a strongly pragmatic character. There is a powerful urge to conceive what I propose to call by lack of a better term, the "visionary" use of history. With this I wish to denote the quality to give its students the meaning of the series of events it presents, giving them a vision, or outlook, or point of view, about the process, starting somewhere in the past, extending through the present and on towards the future. Without this quality, in the context of a new nation like Indonesia, history would be, I think, "meaningless" with the connotation of being "useless".
History has also, what might be called, a "technical" use. It provides for the empirical data as the product of its research to be employed both in other branches of learning -- particularly the social sciences -- and in more practical endeavors such as the instruction in tactics or arms development at military institutions. And finally, history has an "inspirational" use, needed particularly in the socialization process of succeeding generations to provide them with an image of their society, which, after all, will be theirs to develop further. ;The Peta Army During The Japanese Occupation Of Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D250
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Surajaya
"ABSTRAK
Penelitian mengenai perkembangan demokrasi di Jepang menarik perhatian banyak peneliti, baik dari kalangan profesional maupun amatir, sejak Jepang tumbuh sebagai negara modern, setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868. Kecenderungan ini muncul terutama sejak tahun 1950-an, dimana hal ini mungkin disebabkan sebagai usaha untuk menilai serta menggali kembali. "tradisi demokrasi" Jepang sejak Jiya Yinken Undo, di dalam rangka menegakkan nilai-nilai 'demokrasi. Baru" setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia IX. Juga mungkin tidak mustahil dimana adanya anggapan umum bahwa, Jepang yang bangkit kembali dari kehancurannya sebagai negara modern, makmur dan "super-power" dalam bidang ekonomi, adalah berkat masyarakat Jepang hidup di bawah "sistem demokrasi". Bertitik tolak dari. argumentasi ini kemudian ada pendapat umum yang didukung oleh banyak kalangan bahwa, demokrasi Jepang pada dewasa ini adalah demokrasi yang "dipaksakan" dan merupakan "hadiah" Amerika Serikat.
Tetapi, kalau diadakan penelitian dan pengusutan yang lebih mendalam, ' ternyata argumentasi ini mempunyai keabsahan lemah. Sebab, nampaknya argumentasi ini cenderung bersifat poitik dan didasarkan atas pengamatan sepihak bertolok Ukur hanya memandang momentum sejarah, dibandingkan proses sejarah, Memang dari segi pranata dan sistem, adalah Deklarasi Postdam pasal 10, yang diterima Jepang dalam bulan Agustus 1945, yang menyatakan bahwa, uUntuk melaksanakan demokrasi di Jepang, pemerintah Jepang hendaknya menghormati hak-hak dasar manusia seperti kebebasan berbicara, memeluk agama dan berfikir", yang pelaksanaannya berada di bawah pengawasan Markas Besar Tentara Sekutu dianggap merupakan sendi-sendi demokrasi Jepang setelah perang. Kemudian sebagai kelanjutan Deklarasi Postdam, disusul dengan revolusi lima besar" (godai kakumei)dalam bulan Oktober 1945, yang meliputi : persamaan hak laki-laki dan wanita, perlindungan terhadap hak berserikat daripada kaum buruh, pendemokrasian pendidikan sekolah, sistem administrai hukum dan pendemokrasian struktur ekonomi. Selanjutnya sebagai puncak daripada sistem pendemokrasian ini adalah ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Jepang dalam bulan November 1945.1) Inilah antara lain momentum sejarah, atau pergantian sistem yang mengantarkan Jepang ke dalam kehidupan demokrasi seperti sekarang ini, di bawah sistem Undang-Undang Dasar Negaranya."
1982
D350
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sapardi Djoko Damono, 1940-2020
"ABSTRAK
Sampai dengan tahun 1950-an, perhatian para peneliti terhadap sastra Jawa baru tampaknya belum menghasilkan kegiatan yang khusus dan berkesinambungan. Sejumlah karangan ringkas yang muncul di berbagai majalah, koran, dan sarasehan -- baik yang berbahasa Indonesia maupun Jawa -- memang menunjukkan adanya perhatian tersebut, setidaknya sejak tahun 1950-an, tetapi karangan-karangan semacam itu tidak bisa memberikan gambaran menyeluruh mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi dalam sastra Jawa modern sejak pertumbuhannya di sekitar awal abad ini. Ada kesan yang kuat bahwa sejak pertumbuhannya, sastra Jawa baru berada di bawah bayang-bayang sastra Jawa klasik, yang terutama berakar di kraton dan kemudian menyebar ke kalangan yang lebih luas; di samping itu ia tampaknya juga berada di bawah bayangan sastra Indonesia modern yang tumbuh pada waktu yang bersamaan. Dalam perkembangannya, perhatian terhadap sastra Indonesia modern datang dari berbagai kalangan dan suku bangsa, ,termasuk suku Jawa, sedangkan perhatian terhadap sastra Jawa tentunya terbatas terutama di kalangan suku Jawa saja. Perlu dicatat juga bahwa perhatian pemerintah, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, terhadap bahasa dan sastra Indonesia -- terutama berdasarkan alasan politis -- menjadi semakin besar; kenyataan ini mau tidak mau menyiratkan berkurangnya perhatian terhadap bahasa dan sastra Jawa. Bagi kebanyakan orang Jawa, sastra Jawa berarti karya para pujangga di kraton-kraton Surakarta dan Yogyakarta yang menulis terutama dalam abad ke-18 dan -19; pengertian itu tercermin dalam kebanyakan karangan mengenai sastra dan kebudayaan-Jawa yang ada dalam berbagai penerbitan, dan baru pada tahun 1970-an terbit karangan yang memberi gambaran menyeluruh mengenai perkembangan itu. Buku Telaah Kesusastraan Jawa Modern karangan Suripan Sadi Hutomo adalah buku yang boleh dikatakan mengawali serangkaian penelitian tentang sastra Jawa baru. Buku yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan perkembangan Bahasa pada tahun 1975 ini memberikan gambaran sepintas mengenai apa yang telah terjadi pada sastra Jawa baru sejak awal pertumbuhannya. Buku ini dibagi menjadi 6 bab, masing-masing diberi judul "Tinjauan Umum", "Puisi", "Cerita Pendek", "Novel", "Roman Panglipur Wuyung", dan "Sastra Keagamaan"; judul-judul itu menunjukan jenis-jenis yang menurut penulis ada dalam sastra Indonesia baru."
1989
D91
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Pada tanggal 7 Agustus 1953 Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Mudzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan-pasukan dan daerah yang dikuasainya, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) yang berada di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan demikian jangkauan pengaruh Kartosuwirjo yang telah memproklamasikan berdirinya NIX pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat bertambah luas. Untuk menopang NXI yang didirikannya itu, Kartosuwirjo membentuk Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TXI), yang digunakan untuk menentang pemerintah negara Republik Indonesia (RI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Perlawanan pemberontakan gerakan DI/TII mampu berlangsung dalam waktu kurang lebih 15 tahun; perlawanan bersenjatanya baru dapat diakhiri pada tahun 1965. Gerakan DI/TXI yang digerakkan oleh Kartosuwirjo yang bertujuan mendirikan NII itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam periode yang sama. Sekadar sebagai contoh, telah terjadi peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dari pelakunya jelas kelihatan latar belakang ideologi komunis. Ada juga pemberontakan yang bersifat kesukuan, yaitu gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang berkehendak mendirikan negara kesatuan di daerah Maluku Selatan. Krisis tampaknya masih tetap berlanjut dan salah satu puncak dari krisis itu ialah lahirnya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Gerakan ini kemudian bersekutu dengan gerakan Pembangunan Semesta (Perznesta), sehingga gerakan yang mereka ciptakan dikenal dengan gabungan nama : Gerakan PRRI/PERMESTA. Gerakan RMS berlangsung pada 1950-1962, sedang gerakan PRRI/PERMESTA berlangsung pada tahun 1958-1962.
Ketika peristiwa-peristiwa yang disebut di atas berlangsung, sistem pemerintahan dan atau kabinet serta sistem demokrasi yang dipergunakan untuk menata kehidupan bernegara sebagai bangsa merdeka, memang tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk mendukung jalannya pemerintahan negara. Dalam periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) sistem pemerintahan dan bentuk negara telah mengalami perubahan-perubahan, dari sistem presidensil ke sistem Kabinet Parlementer untuk kemudian kernbali lagi ke sistem Kabinet Presidentil yang kemudian berubah lagi menjadi sistem Kabinet Parlementer. Demikian pula bentuk negara kita; pada awal kemerdekaan, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara yang berlaku ketika itu, UUD 1945, bentuk negara kita adalah negara kesatuan. Tetapi kemudian, sesuai dengan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) bentuk negara itu berubah menjadi bentuk negara federasi. Walaupun usianya sangat singkat, December 1949-16 Agustus 1950, namun di dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia, kita pernah memberlakukan bentuk negara federasi dengan nama : Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sistem demokrasi yang berlaku di dalam periode 20 tahun pertama {1945-1965) dari kemerdekaan itu juga telah berubahubah, dari sistem demokrasi liberal yang berlangsung pada tahun 1950-1959 untuk kemudian berubah menjadi sistem demokrasi terpimpin. Berlakunya sistem demokrasi liberal ditopang oleh UUD. Sementara 1950 dengan ciri pemerintahan sistem Kabinet Parlementer dan kekuasaan partai-partai politik amat menentukan jalan pemerintahan waktu itu, di samping juga keliberalan yang dilaksanlah persaingan antara partai-partai untuk menjadi pemegang pemerintahan negara. Salah satu hal yang nampak dalam persaingan partai-partai itu ialah tiadanya Kabinet yang berusia panjang dan mampu menjalankan programnya secara teratur, sebagaimana yang mereka rencanakan. Program partai dari formatur Kabinet yang menjadi Perdana Menteri sering dianggap lebih penting, walaupun sudah ada program Kabinet yang disepakati. Di dalam situasi persaingan antara partai-partai itu berlangsung pula persaingan ideologi di antara partai-partai pendukung, yaitu antara golongan yang berideologi Pancasila dan Islam."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D133
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anhar Gonggong
"Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ada adalah nama yang digunakan Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menghimpun pasukan-pasuk_an bekas pejuang periode Perang Kemerdekaan (1945-1949) di Sulawesi Selatan dan menjadi pendukung daiam menuntut penggabungannya ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, sampai saat proklamasi penggabungannya dengan NII pimpinan Kartosuwirjo itu, kehendaknya tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah negara Republik Indonesia (RI). Istilah TKR sebenarnya pernah digunakan secara resmi untuk organisasi ketentaraan negara RI pada awal pembentukannya. Nama ini bermula dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pada 5 Oktober 1945 diubah menjadi Tentara Keamanan Rak yat (TKR) dan tanggal ini menjadi hari kelahiran ABRI yang chiperingati setiap tahun. Namun TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), yang kemudian pada 5 Mei 1947 diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di dalam proses pembentukan organisasi ketentaraan negara RI digunakan pula istilah Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) atau Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di dalamnya tercakup ke-tiga unsur Angkatan Perang, yaitu Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) tidak termasuk Angkatan Kepolisian (POLRI) digunakan pula nama ABRI yang di dalamnya tercakup, disamping ketiga angkatan, juga POLRI. Nama ABRI sampai se-karang tetap dipertahankan, sedang istilah APRI sudah tidak digunakan lagi. Untuk memperoleh keterangan lebih lanjut ten tang pertumbuhan organisasi ketentaraan negara RI ini, lihat A.H. Nasution, TNI Tentara Nasional Indonesia, 3 jilid, ter_bitan 1971. Lihat juga Ulf Sundhaussen, The Road to power:"
Depok: Universitas Indonesia, 1990
D1607
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Sedyawati, 1938-
"ABSTRAK
Bidang ilmu dari penelitian yang kini disajikan hasilnya ini adalah Sejarah Kesenian, khususnya sebagai pencabangan dari Arkeologi. Dalam hal ini Sejarah Kesenian dipandang sebagai satu bagian dari Sejarah Kebudayaan. Bahwa tujuan Arkeologi adalah antara lain menyusun sejarah kebudayaan dinyatakan misalnya oleh Binford (1972:80-89); sedang tujuan-tujuan lain yang dikemukakannya adalah merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu dan menggambarkan proses budaya. Sejarah Kesenian yang merupakan pencabangan dari Arkeologi ini dibina-ulang atas dasar data artefak yang ditunjang oleh data dari sumber tertulis, yang kesemuanya itu dihasilkan oleh manusia yang hidup di maaa lalu.
Ilmu Arkeologi di Indonesia telah pula dikenal dengan nama yang merupakan terjemahannya, yaitu Ilmu Purbakala dalam bahasa Indonesia dan Oudheidkunde dalam bahasa Belanda. Para sarjana yang memulai penelitian kepurbakalaan di Indonesia semula melakukan usaha-usaha berupa pendaftaran, pencatatan dan pemugaran, dan kemudian juga penelitian yang sesungguhnya dengan membahas masalah-masalah yang ada di balik artefak-artefak kuno. Perhatian mula-mula diberikan kepada sisa-sisa kebudayaan kuno yang sebagian besar berupa hasil-hasil karya seni, seperti candi-candi dan area-area.
Karena peninggalan-peninggalan kuna yang mula-mula menjadi perhatian itu adalah sisa-sisa kebudayaan dari masa pengaruh agama Hindu dan Buddha, maka pendekatan penelitianpun disesuaikan dengan itu. Penelitian yang dilakukan pada umumnya mempersyaratkan pengenalan akan kebudayaan India kuna, terutama yang didapat dari sumbersumber tertulisnya. Penafsiran atas artefak banyak disandarkan atas penjelasan-penjelasan dari dumber tertulis. Perwujudan kebudayaan, khususnya kesenian, di Indonesia banyak disoroti dalam hubungannya dengan India yang dianggap sebagai sumbernya.
Pembahasan masalah hubungan pengaruh antara kesenian India dan Indonesia ini memang belum terkuras habis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1985
D305
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emuch Hermansoemantri
"Sungguh berlimpah-limpah naskah lama warisan nenek moyang kita, baik yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan di dalam atau di luar negeri maupun yang tersebar dan tersimpan di daerah - daerah di wilayah Indonesia. Harta pusaka yang berwujud karya tulis sebagai hasil pemikiran bangsa kita itu di dalamnya terkandung gambaran, kendatipun mungkin tidak lengkap dan tidak pula menyeluruh, mengenai kebudayaan pada masa mereka hidup. Dalam cakupannya dengan pembangunan, pembangunan nonfisik, nasional kita sudah barang tentu tak mungkin karya-karya tulis tersebut kita kesampingkan begitu Baja. Kita menyadari sepenuhnya bahwa betapa pentingnya warisan budaya bangsa kita yang tersimpan dalam naskah lama sebab "naskah-naskah itu merupakan sumber pengetahuan yang dapat membantu kita dalam usaha mempelajari, mengetahui, mengerti, dan kemudian menyajikan sejarah perkembangan kebudayaan bangsa, kita". Namun, sumber-sumber yang tak ternilai harganya ini memerlukan penggarapan terlebih dahulu yang dilakukan oleh tangan-tangan yang cukup ahli, para ahli filologi, agar dapat dibaca dan dimengerti dengan mudah oleh generasi kita. Penggarapan naskah melalui berbagai proses, Sebagai langkah pertama ialah penulisan kembali atau pemindahan ke dalam huruf Latin, suatu proses yang disebut transkripsi atau transliterasi, sebab naskah-naskah itu, kecuali sebagian dari naskah-naskah lama yang lebih mudah ditulis dengan tulisan daerah, bukan ditulis dengan huruf Latin. Langkah selanjutnya, apabila naskah itu bukan naskah tunggal ialah proses komparasi, membandingkan berbagai salinan dari naskah yang sama. Hasil komparasi ini merupakan landasan pertimbangan bagi penyajian teks yang bersih dari kesalahan, baik kesalahan redaksional maupun kesalahan isinya. Merekonstruksikan atau menghasilkan sebuah teks yang paling mendekasi aslinya, 'constitutio textus', merupakan garapan utama karena pada umumnya naskah aslinya, autograf, sudah tidak ada lagi.
Naskah lama yang lebih muda usianya, yang ditulis pada dua kurun waktu, kurun Masehi XVIII-XIX, antara lain naskah-naskah yang berasal dari dan bertalian dengan Priangan (Jawa Barat) nampaknya belum pernah mendapat jamahan tangan-tangan peneliti profesional. Naskah "Sejarah SUkapura", misalnya termasuk salah satu naskah yang lahir pada kurun waktu tersebut, tepatnya lahir pada akhir abad ke XIX (1886) sebagai hasil karya seorang wedana pensiun, Raden Kartinagara alias Haji Abdullah Saleh."
Depok: Universitas Indonesia, 1979
D1050
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library