Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mugi Surono S.
"Personality assessment menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses seleksi karyawan ataupun penempatan pada jabatan tertentu, karena melalui serangkaian tes kepribadian tersebut dapat diketahui tentang segala aspek pribadi dad talon tersebut yang dibutuhkan. Apakah calon memiliki aspek-aspek kepribadian yang dibutuhkan, apakah calon berkepribadian tepat dengan posisi yang akan diisi, dan apakah ada kecenderungan menyimpang dari kepribadian tersebut. Calon karyawan yang memiliki kepribadian yang baik akan lebih mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan, orientasi berprestasi, sosiabilitas, dan stabilitas emosi. Sebaliknya seseorang yang berkepribadian buruk cenderung kinerjanya tidak baik, kurang dapat beradaptasi dan banyak menemui hambatan dalam pencapaian prestasi. Sebagaimana pendapat Shinar dalam Klaus-Martin Goeters (1991, p.1137):
"...certain aspects of personality nearly always have decisive effect on achievement."
Dapat dipahami bila di lingkungan dunia kerja penilaian kepribadian mutlak diperlukan untuk mendapatkan somber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan prestasi kerja. Kepribadian yang baik juga sebagai kekuatan yang mampu merubah sesuatu ke arah perubahan yang lebih baik. Dalam hal ini, tingkat kepribadian seseorang dapat dikembangkan hingga batas titik tertentu. Dengan mengetahui tingkat kepribadian seseorang, kita dapat mengarahkannya kepada kecenderungan-kecenderungan yang positif dan meminimalisasikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Sehingga kemampuan proses penyesuaian diri orang tersebut dapat optimal.
Secara lebih luas kepribadian juga menentukan keberhasilan hidup karena dengan kniteria ini akan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerja, tempat tinggal, pergaulan serta lingkungan pengetahuan dan ketrampilan. Senada dengan ini adalah pendapat Daniel Goleman (1999, hal. 44) bahwa 80 % keberhasilan hidup ditentukan oleh faktor-faktor non IQ, seperti motivasi, hubungan social, kepribadian, dan lain-lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepribadian menjadi faktor penting dan menentukan dalam pencapaian prestasi, ketepatan dalam rekruitmen personil, penempatan jabatan, seleksi akademis, dan secara komprehensif akan menentukan keberhasilan hidup, sehingga aspek kepribadian menjadi persyaratan mutlak yang tidak dapat ditinggalkan dalam segala proses seleksi di berbagai kebutuhan.
Di lingkungan Tentara Nasional Indonesia kepribadian juga menjadi kriteria mutlak sebagai salah satu aspek dalam proses seleksi, baik untuk perekrutan prajurit baru, pengembangan pendidikan, maupun untuk kepentingan promosi atau penempatan jabatan. Aspek kepribadian juga menjadi pertimbangan dalam kenaikan pangkat dalam strata tertentu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17804
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Salim
"lnteligensi adalah konsep penting dari atribut psikologis dalam diri manusia. Berbagai penelitian inteligensi menunjukkan bahwa faktor bawaan dan faktor lingkungan memberikan pengaruh terhadap perkembangan inteligensi seseorang. Dan Salah satu proses yang sangat berpengaruh dari faktor lingkungan adalah melalui proses belajar.
Sekolah Sebagai tempat berlangsungnya proses belajar formal diharapkan dapat membantu siswa/i untuk lebih mengenali kemampuan yang dimilikinya. Dengan berdasarkan model struktur intelek dari J.P Guilford (1959), Meeker & Meeker (1963-1979) menghadirkan tes SOI-LA (Structure of Intellect- Learning Abilities). Tes inteligensi ini akan memberikan informasi peta kemampuan yang telah dimiliki siswanya dan tehnik serta metode pengajaran yang sebaiknya dilakukan oleh sekolah untuk membantu siswa/i dalam mengembangkan kemampuannya.
Salah satu kemampuan yang diuji dalam penelitian ini adalah kemampuan matematika, yang terdiri dari sebelas subtes - dengan total item tes sebanyak 198 buah. Dengan tehnik sampling simple random sampling without replacement terpilih 400 siswali kelas X dari dua sekolah menengah atas di kota Malang sebagai sampel pada uji validasi tes SOI-LA. Pada pengujian dengan bantuan program komputer Quest version 2.1 diketahui bahwa seluruh subtes SOI-LA memiliki kesesuaian antara skor item tes dengan model, dimana nilai infit means square untuk masing-masing subtes berada pada batas penerimaannya. Berdasarkan perbandingan antara tingkat kemarnpuan siswa/i peserta tes dengan tingkat kesukaran item diketahui bahwa subtes CFS adalah subtes yang paling sulit, sedangkan subtes ESS adalah subtes yang paling mudah. Analisis item juga menunjukkan bahwa dari kesebelas subtes SOI-LA yang diujikan terdapat dua puluh item tes yang memiliki nilai infit means square yang berada diluar batas penerimaannya, sehingga item-item tes tersebut yang dinyatakan tidak fit. Tetapi pada pengujian lebih lanjut - dengan menggunakan bantuan program Prelis version 2.27 dan Lisrel version 8.7 - memperlihatkan bahwa pada uji kesesuaian model, basil pengujian yang diberikan oleh seluruh item tes tidak menunjukkan adanya perubahan yang signiftkan jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang diberikan oleh item yang dinilai fit. Ini berarti bahwa seluruh item tes yang ada pada kesebelas subtes dapat diterima sebagai item tes yang fit.
Nilai reliabilitas yang diperoleh berdasarkan estimasi item dan konsistensi internal dari kesebelas subtes ini juga menunjukkan hasil yang baik. Berdasarkan kedua pengujian nilai reliabilitas, subtes CFS adalah subtes yang paling reliabel (r1 = 0,99 ; r2 = 0,91). Sedangkan subtes ESS adalah subtes dengan nilai reliabilitas yang terendah berdasarkan pengujian reliabilitas dengan estimasi item (r1 = 0,72) dan subtes CSS subtes dengan nilai reliabilitas yang terendah berdasarkan pengujian konsistensi internal (r2 = 0,29).
Uji validitas konstruk untuk tes SOI-LA mennnjukkan bahwa kesebelas subtes memiliki validitas konstruk yang baik, yang berarti bahwa kesebelas indikator tersebut terbukti mengukur variabel latennya - yaitu kemampuan matematika. Dengan melihat nilai koefisien muatan faktor (factor loading/lambda) dan nilai t, subtes ESC adalah subtes yang memberikan peranan yang paling besar dalam mengukur kemampuan matematika ( lambda 1, = 0,51 , t1, = 8,60 ; lambda 2 = 0,52 , t2 = 8,64) sedangkan subtes ESS adalah subtes yang mernberikan peranan paling kecil(lambda 1, = 0,17, t1 = 2,82 ; lambda 2 = 0,17 , t2 = 2, 74) .
Untuk mendapatkan model yang lebih baik dilakukan modifikasi terhadap model, yaitu dengan mengeliminasi subtes ESS. Hasil uji kesesuaian model dan validitas konstruk terhadap model yang dimodifikasi ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik. Tidak ada perubahan yang signifikan untuk uji kesesuaian model maupun uji validitas konstruk dari model yang dimodifikasi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Ratnasari Setyaningsih
"Penelitian ini merupakan upaya untuk menganalisis reliabilitas dan validitas alat ukur penilaian kinerja karyawan (PK2) yang digunakan oleh organisasi "UT'. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kasus, karena bertujuan mendeskripsikan karakteristik suatu alat ukur PK2 yang telah dilakukan pada suatu organisasi, yang hasilnya dapat digeneralisasikan sebatas populasi di organisasi "U3".
Dalam penelitian ini digunakan tiga perangkat program, yaitu ITEMAN, SPSS 11.5 for Windows, dan Lisrel 8.54. Berdasarkan uji statistik, ketiga perangkat program ini menghasilkan nilai reliabilitas yang sama besarnya dan sama baiknya untuk ketiga kategori pada PK2. Nilai reliabilitas masing-masing kategori - Akademik, Non-Akademik, dan Struktural - adalah 0.874, 0.897, dan 0.861. Hasil perhitungan ini didukung oleh Standard Error of Measurement yang bernilai baik, yaitu 0.127, 0.122, dan 0.119. Lebih lanjut, berdasarkan T-value pada ketiga kategori PK2, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat validitas yang baik pada ketiga kategori PK2: T -value seluruhnya > 2.
Melalui uji kecocokan model ditemukan bahwa PK2 Akademik merupakan alat ukur yang baik karena setiap indikator pada PK2 Akademik memberikan bobot sumbangan yang relatif sama bagi pengukuran konstruk PK2 kategori ini. Namun, karena P-value-nya 0.00 dan nilai RMSEA-nya 0.138, PK2 Akademik, sebagai alat ukur, dapat dikatakan tidak sesuai dengan data atau menunjukkan kecocokan yang kurang mencukupi. Oleh karena itu, sebenarnya item-item pada kategori ini perlu diteliti lebih lanjut.
Sebaliknya, uji kecocokan model pada PK2 Non-Akademik dan Struktural memperlihatkan bahwa seluruh nilai pada umurnnya masuk kategori sesuai dengan data; tingkat kecocokannya dapat diterima. Diagram path pada kedua kategori ini juga memperlihatkan factor loading yang seluruhnya signifikan. Dengan demikian, seluruh indikator pada kedua kategori ini memberikan bobot sumbangan yang relatif seimbang bagi pengukuran kedua konstruk PK2 ini.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa ketiga kategori PK2 tersebut secara statistik telah terbukti relibel dan valid. Namun, karena tingkat kecocokannya, khususnya pada kategori Akademik, tidak sesuai dengan data (GOF rata-rata tidak berada pada good-fit), definisi operasional dan indikator kisi-kisi pada item-item yang nilai standardized-nya s 0.50 perlu ditinjau dan diperbaiki agar Iebih terfokus."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koko Irwanto
"Proses belajar-mengajar konvensional yang terjadi sekarang ini mengharuskan siswa untuk mendengarkan, mencatat dan menghafal begitu banyak materi pelajaran yang diberikan oleh guru, tanpa dibekali pelajaran yang dapat membangun rasa percaya diri, merasa berhasil dalam hidup mereka dan bergembira pada waktu yang bersamaan. Proses belajar yang memperkuat tubuh dam memperkaya jiwa serta mendidik pikiran sehingga siswa menjadikan pengalaman belajar ini dapat diterapkan pada kehidupan nyata, bukan semata-mata bersifat akademis atau teoritis. Metode Quantum Learning menawarkan suatu metode yang efektif di dalam proses, sehingga metode ini dapat diterapkan sebagai perubahan cara belajar siswa. Namun demikian, tidak semua siswa mudah menerima suatu perubahan.
Siswa yang memiliki orientasi goal task-involved menunjukkan bahwa keterlibatannya didasari oleh komitmen terhadap tugas. Siswa yang memiliki orientasi ini memperhatikan penguasaan tugas dan tidak peduli kinerjanya lebih balk atau tidak dibandingkan dengan orang lain dalam kelas. Mereka lebih memikirkan cara-cara menyelesaikan tugas, menggunakan strategi belajar, juga tidal segan-segan bertanya dan meminta bantuan bila membutuhkannya. Sementara itu siswa yang memiliki orieantasi goal ego-involved memfokuskan pada hal-hal seperti penilaian dari orang lain dan bangga dengan kemampuannya untuk menunjukkan dan mendapatkan kesuksesan. Siswa yang merniliki orientasi jenis ini menganggap nilai sebagai tujuan akhir dan lebih didasari oleh kornitmen pada diri sendiri, terutama kebanggaan dui. Mereka ingin terlihat pintar, menghindari tampak tidak kompeten, menonjolkan kemarnpuan melalui keberhasilannya, mengungguli performansi orang lain atau menunjukkan kemampuan dengan sukses tanpa usaha.
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksplorasi atau penjajagan yaitu untuk mengungkapkan atau mengetahui hubungan antara Orientasi Goal dan Kebiasaan Belajar Menggunakan Quantum Learning terhadap Prestasi Belajar siswa SMAN di Kecamatan X Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini, sampel yang dipergunakan sebanyak 125 orang dan 70 item. Narnun setelah dilakukan uji realibilitas dengan menggunakan program ITEMAN dan SPSS ternyata terdapat 13 item yang tidak dipergunakan atau dihilangkan karena memiliki nilai yang rendah, sehingga dalam penelitian ini hanya tersisa 70 item yang valid dan reliabel dan kemudian dipergunakan untuk analisis selanjutnya.
Dan hasil analisis perhitungan korelasi terlihat bahwa korelasi antara orientasi goal dengan prestasi belajar diperoleh hasil r sebesar 0,005 dengan nilai signifikansi sebesar 0,957, sedangkan korelasi antara kebiasaan belajar menggunakan Quantum Learning dengan prestasi belajar diperoleh hasil r sebesar 0,010 dengan nilai signifikansi sebesar 0,915.
Dari hasil analisis regresi antara orientasi goal dan kebiasaan belajar menggunakan Quantum Learning dengan prestasi belajar menghasilkan R sebesar 0,025 dengan R Square sebesar 0,001."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idwin Irma Krisna
"Tes Akademik Umum (TAU) merupakan tes yang mengukur penguasaan siswa lulusan Sekolah Dasar dalam bidang studi Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS. Tes ini digunakan sebagai tes seleksi atau tes penempatan lulusan Sekolah Dasar ke Sekolah Lanjutan Pertama. Sebagai alat seleksi, diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih banyak dan sistem pelaporan yang lebih bermakna dengan memberikan gambaran kompetensi yang dimiliki oleh peserta tes. Gambaran kompetensi seseorang pada suatu skala kontinum dapat diperoleh dengan proses benchmark. Yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah bagaimana pengembangan benchmarknya dan bentuk dari laporan hasil tes yang lebih komunikatif. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis butir soal Tes Akademik Umum sehingga dapat menyeleksi soal-soal yang memenuhi Kriteria sebagai soal yang baik. Mengembangkan benchmark Tes Akademik umum. Mengidentifikasi karakteristik populasi peserta tes untuk menentukan design TAU yang optimal (membandingkan data empirik dengan data simulasi).
Subjek penelitian ini adalah peserta seleksi Tes Akademik Umum di kabupaten serang (15108 orang) dan Tangerang (25245 orang). Seleksi dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2004. Untuk menganalisis data tersebut digunakan beberapa program yaitu: ITEMAN, SPSS, BILOG ,DGEN dan BIGSTEPS.
Analisis ITEMAN dan SPSS menunjukkan bahwa ada 7 soal yang dibuang pada TAU yang digunakan. Pada model 1 parameter dari 95 soal yang ada hanya ada 12 soal yang sesuai dengan kriteria bench dan sisanya masuk dalam kategori mendekati kriteria bench, kriteria 60%-65% dan sama sekali tidak sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada. Sedangkan untuk model 2 parameter ada 18 soal yang masuk bench. Dari simulasi data diperoleh soal yang masuk bench sebanyak 28 soal (model 1 PL) dan 30 soal (model 2 PL). Simulasi data dirancang antara tingkat kesukaran dan ability orang mempunyai ukuran yang sama dan dilakukan 5 kali replikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TAU belum mencapai tes yang optimal karena masih belum sesuai dengan obyek yang akan diukur. Proses benchmarking TAU juga belum maksimal karena soal yang bisa terjaring hanya sedikit sehingga informasi kompetensi yang dimiliki siswa sangat terbatas. Dari hasil simulasi data menunjukkan bahwa tes yang dirancang dengan tingkat kesukaran dan ability orang sama (sesuai dengan target yang akan diukur) maka soal-soal yang masuk dalam bench (menganchor dalam bench) akan lebih banyak. Hai ini menunjukkan benchmarking tersebut tergantung pada karakteristik populasi dan design tes. Untuk pengembangan benchmark TAU selanjutnya perlu diperhatikan langkah dalam design tes yang baik sehingga hasil yang akan diperoleh akan lebih maksimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andin Andiyasari
"Pengalaman tertekan dengan perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses akulturasi didefinisikan sebagai acculturative stress (Berry dalam Organista, Chun, & Marin, 1998). Acculturative stress tergantung pada sejumlah faktor-faktor perantara, termasuk diantaranya adalah karakter kelompok dominan, strategi akulturasi yang dilakukan kelompok minoritas, bentuk-bentuk akulturasi yang dialami, kondisi demografi, sosial, serta karakteristik psikologis dari kelompok maupun anggota kelompok. Masing-masing faktor ini dapat mempengaruhi level acculturative stress (Berry dalam Organista, Chun & Maria, 1998). Faktor-faktor perantara yang lain adalah bagaimana kelompok dominan menggunakan pengaruh-pengaruhnya pada proses akulturasi dan tingkat pluralisme dalam masyarakat (Murphy, 1965 dalam Berry, 1989). Acculturative stress merupakan konsekuensi dari proses akulturasi, tetapi kemungkinan terjadinya dapat berkurang secara signifikan jika partisipasi dalam masyarakat dan pertahanan kultur yang diwariskan didukung oleh kebijakan dan praktek di dalam masyarakat. Acculturative stress juga diketahui berdampak pada tingkat personal, beberapa diantaranya adalah menurunnya kesehatan (fisik, sosial, dan psikologis), menurunnya tingkat motivasi, perasaan terasing, dan meningkatnya penyimpangan sosial.
Etnis Cina di Jakarta sebagai etnis minoritas tennasuk salah satu etnis yang mengalami proses akulturasi. Bagaimana accullurative stress terjadi pada etnis Cina di Jakarta merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Model konseptual yang diuji didasarkan pada model Liebkind (1996), yaitu `Migration Contigencies and Acculturative Stress'. Model ini merupakan modifikasi dari teori acculturative stress Berry (1992) dan Beyser (1991). Pengujian model konseptual menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan program LISREL.
Model ini terdiri dari satu variabel exogeneous (diskriminasi) dan tiga variabel endogeneous (tingkat akulturasi, identitas etnis, dan acculturative stress). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner self-report yang terdiri dari tujuh instrumen (perceived discrimination, reaksi emosional alas racial discrimination, tingkat akulturasi, identitas etnis, perceived stress, dan Chinese Depressive Symptom). Sebanyak 313 kuesioner yang dapat dianalisis dari 360 kuesioner yang disebar secara proporsional berdasarkan penyebaran populasi etnis Cina di lima wilayah di DKI Jakarta.
Dari pengujian diketahui bahwa model konseptual yang diadaptasi dari "Migration Contigencies and Acculturative Stress" Liebkind yang meramalkan acculturative stress pada kelompok etnis minoritas, dalam hal ini kelompok etnis Cina di Jakarta, ternyata terbukti signifikan secara statistik. Goodness of Fit yang diperoleh adalah Chi square (x') =6.62, DF=5, pada p-value=0.23, RMSEA=0.032, GPI=0.99, CF1=1.00, dan NFI=0.99 menunjukkan bahwa data fit dengan model. Dengan demikian acculturative stress dapat diramalkan melalui variabel diskriminasi, akulturasi, dan identitas etnis.
Dari pengujian model, didapat hubungan langsung yang positif antara diskriminasi dan acculturative stress. Hal ini berarti semakin individu merasakan diskriminasi semakin tinggi acculturative stress-nya. identitas etnis menjadi variabel tidak langsung dari pengaruh diskriminasi terhadap acculturative stress. Dengan adanya perantara identitas etnis maka pengaruh diskriminasi terhadap acculturative stress menjadi lebih kecil. Terdapat hubungan tidak langsung antara diskriminasi dan acculturative stress melalui perantara akulturasi dan identitas etnis. Variabel identitas etnis memberikan pengaruh yang lebih besar bila dibandingkan variabel akulturasi_ Disamping itu, terbukti signifikan adanya hubungan langsung yang positif antara low self-esteem dengan acculturative stress.
Pengujian model juga membuktikan adanya perbedaan model acculturative stress berdasarkan gender. Pada perempuan, acculturative stress dipengaruhi secara langsung oleh diskriminasi dan terdapat pengaruh tidak langsung diskriminasi terhadap acculturative stress melalui identitas etnis. Pada laki-Iaki diskriminasi berpengaruh langsung terhadap acculturative stress, namun tidak terdapat pengaruh tidak langsung dari identitas etnis. Demikian jugs pada pengujian model acculturative stress berdasarkan identifikasi etnis (Tionghoa keturunan, Tionghoa Indonesia, dan Orang Indonesia) terdapat hubungan langsung antara diskriminasi dengan acculturative stress, namun tidak terdapat pengaruh identitas etnis sebagai variabel perantara dari diskriminasi terhadap acculturative stress."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Wirasari
"Banyak upaya yang telah dilakukan oleh setiap organisasi atau perusahaan untuk meningkatkan kemampuan karyawannya melalui berbagai pelatihan (training). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada,. sehingga pada gilirannya mampu untuk meningkatkan kinerja sehingga dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan harapan dan tujuan organisasi atau perusahaan.
Saat ini yang menjadi perhatian dari setiap organisasi atau perusahaan adalah sejauh mana program pelatihan yang telah dilaksanakan berdampak terhadap kinerja karyawan atau perusahaan. Hal ini mengingat investasi dana dan waktu yang ditanamkan dalam program pelatihan ( training ) tidaklah sedikit, Bila dampaknya terhadap kinerja bisnis hanya tampak "samar - samar" saja maka kecenderungan manajemen adalah mengalihkan investasi di aktivitas lain, Mengingat adanya berbagai keterbatasan baik keterbatasan dana maupun keterbatasan lain, maka perlu ditempuh berbagai langkah untuk menetapkan prioritas apakah program pelatihan yang sedang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan membawa dampak positif bagi organisasi untuk itu maka dirasakan sangat diperlukan adanya suatu evaluasi terhadap program pelatihan yang telah berjalan tersebut untuk mengetahui apakah kriteria dari program pelatihan telah dipenuhi dan apakah program pelatihan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Irawan
"Alasan utama mengapa prakarsa manajemen mutu adalah akibat kurangnya fokus pada faktor-faktor sukses kritis (critical success factors) yang sangat penting untuk mencapai sasaran bisnis. Faktor sukses kritis ini merupakan hal pokok, dan proses kunci yang memberi dampak padanya harus merupakan fokus perhatian manajemen. Dimensi-dimensi penilaian yang diukur dalam kuesioner ini menggunakan konsep penilaian mutu yang dikembangkan oleh Malcolm Baldridge, tujuh dimensi mutu: kepemimpinan,informasi dan analisis, perencanaan strategis, pemanfaatan sumber daya manusia, jaminan mutu, hasil, dan kepuasan pelanggan.
Analisis Differential Item Functioning (DIF) digunakan untuk perbedaan secara konsisten diantara respons item-item pada survei diantara pegawai dengan lokasi berbeda, pegawai kantor pusat dan pegawai kantor wilayah PT PN. Dalam proses deteksi Differentia/ Item Functioning (DIF) menggunakan BLDG-MG, terdapat 12 item (1-PL=1O item;2-PL=10 item; dengan 8 item berada pada kedua PL tersebut) yang mengandung bias dan memberikan petunjuk bagi manajemen adanya perbedaan respons penilaian manajemen mutu antara pegawai kantor pusat dan pegawai kantor wilayah. DIF pada 12 item tersebut dapat menjadi arahan untuk melakukan penetapan prioritas program dalam rangka meniadakan perbadaan tersebut yang mungkin muncul karena perbedaan sosialisasi, akurasi pemahaman pertanyaan atau proses belajar, meskipun responden yang dipilih memiliki kualifikasi yang sama."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Salim
"Inteligensi adalah konsep penting dari atribut psikologis dalam diri manusia. Berbagai penelitian inteligensi menunjukkan bahwa faktor bawaan dan faktor lingkungan memberikan pengaruh terhadap perkembangan inteligensi seseorang. Dan salah satu proses yang sangat berpengaruh dari faktor lingkungan adalah melalui proses belajar. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses belajar formal diharapkan dapat membantu siswa/i untuk lebih mengenali kemampuan yang dimilikinya. Dengan berdasarkan model struktur intelek dari J.P Guilford (1959), Meeker & Meeker (1963-1979) menghadirkan tes 541-LA (Structure of Intellect - Learning Abilities). Tes inteligensi ini akan memberikan informasi peta kemampuan yang telah dimiliki siswali-nya dan tehnik Berta metode pengajaran yang sebaiknya dilakukan oleh sekolah untuk membantu siswa/i dalam mengembangkan kemampuannya. Salah satu kemampuan yang diuji dalam penelitian ini adalah kemampuan matematika, yang terdiri dari sebelas subtes -dengan total item tes sebanyak 198 buah. Dengan tehnik sampling simple random sampling without replacement terpilih 400 siswa/i kelas X dari dua sekolah menengah atas di kota Malang sebagai sampel pada uji validasi tes SOI LA.
Pada pengujian dengan bantuan program komputer Quest version 21 diketahui bahwa seluruh subtes SOI-LA memiliki kesesuaian antara skor item tes dengan model, dimana nilai infit means square untuk masing-masing subtes berada pada batas penerimaannya. Berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan siswa/i peserta tes dengan tingkat kesukaran item diketahui bahwa subtes CFS adalah subtes yang paling sulit, sedangkan subtes ESS adalah subtes yang paling mudah. Analisis item juga menunjukkan bahwa dari kesebelas subtes S01 LA yang diujikan terdapat dua puluh item tes yang memiliki nilai infit means square yang berada diluar batas penerimaannya, sehingga item-item tes tersebut yang dinyatakan tidak fit. Tetapi pada pengujian lebih lanjut - dengan menggunakan bantuan program Prelis version 2.27 dan Lisrel version 8.7 - memperlihatkan bahwa pada uji kesesuaian model, hasil pengujian yang diberikan oleh seluruh item tes tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan hasil pengujian yang diberikan oleh item yang dinilai fit. Ini berarti bahwa seluruh item tes yang ada pads kesebelas subtes dapat diterima sebagai item tes yang fit.
Nilai reliabilitas yang diperoleh berdasarkan estimasi item dan konsistensi internal dari kesebelas subtes ini juga menunjukkan hasil yang baik. Berdasarkan kedua pengujian nilai reliabilitas, subtes CFS adalah subtes yang paling reliabel (r1 = 0,99 ; r2 = 0,91). Sedangkan subtes ESS adalah subtes dengan nilai reliabilitas yang terendah berdasarkan pengujian reliabilitas dengan estimasi item (r1 = 0,72) dan subtes CSS subtes dengan nilai reliabilitas yang terendah berdasarkan pengujian konsistensi internal (r2 = 0, 29).
Uji validitas konstruk untuk tes SOI-LA menunjukkan bahwa kesebelas subtes memiliki validitas konstruk yang baik, yang berarti bahwa kesebelas indikator tersebut terbukti mengukur variabel latennya - yaitu kemampuan matematika. Dengan melihat nilai koefisien muatan faktor (factor loading/.) dan nilai t, subtes ESC adalah subtes yang memberikan peranan yang paling besar dalam mengukur kemampuan matematika ( A1= 0,51 , t1 = 8,60 ; A2 = 0,52 , t2 = 8,64) sedangkan subtes ESS adalah subtes yang memberikan peranan paling kecil (A1 = 0,17, t1 = 2,82 ; .A2 = 0,17, t2 = 2,74) .
Untuk mendapatkan model yang lebih baik dilakukan modifikasi terhadap model, yaitu dengan mengeliminasi subtes ESS. Hasil uji kesesuaian model dan validitas konstruk terhadap model yang dimodifikasi ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik. Tidak ada perubahan yang signifikan untuk uji kesesuaian model maupun uji validitas konstruk dari model yang dimodifikasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warto
2008
T38360
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library