Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adriana Mayra
"Studi ini menganalisis 22 literatur dari SCOPUS menggunakan metode taksonomi data untuk menangkap studi yang komprehensif terkait perdagangan limbah global and kompleksitasnya. Tulisan ini dibagi menjadi tiga tema utama yakni; 1) perkembangan perdagangan limbah global, 2) jaringan perdagangan limbah global dan 3) pandangan kritis terhadap perdagangan limbah global. Tulisan ini menunjukkan bahwa kajian mengenai perdagangan limbah global masih belum banyak berkembang. Diskursus mengenai perdagangan limbah global itu sendiri juga sebagian besar terfokus pada kajian dinamika negara maju dan berkembang serta perspektif ilmu lingkungan. Selain itu, tulisan ini menunjukkan bahwa afiliasi negara yang terdapat dalam literatur terpilih kebanyakan berasal dari negara-negara maju yang berdampak pada sempitnya cakupan perdagangan limbah global. Oleh karena itu, kajiannya mendapatkan perhatian yang kurang dari akademisi hubungan internasional. Studi ini menyarankan penguatan suara dari negara-negara berkembang mengenai topik ini, analisis menggunakan bidang studi yang bervariatif, dan perhatian terhadap peran aktor non-negara.

This study analyses 22 literatures from SCOPUS using the data taxonomy method to capture a comprehensive study on the current discourse of the global waste trade and the complexity of it all. These literatures are divided into three main themes which consists of; 1) the development of the global waste trade, 2) global waste trade networks and 3) critical approaches to the global waste trade. Results of this study showed that the study on the global waste trade has not been advancing. The global waste trade discourse also mainly focused on the study of developed and developing country dynamics as well as environmental studies. Moreover, this study reveals that the literatures’ country affiliations are mostly from developed countries which results in a narrow scope of the global waste trade. Therefore, the study of the global waste trade receives little attention from international relations scholars. This study recommends amplifying developing countries' voices, analysis using other fields of study, and awareness of non-state actors’ role. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahira Shanin Nadifa
"Fenomena kabut asap lintas batas di Asia Tenggara telah menjadi isu lingkungan persisten dan kompleks. Tinjauan literatur ini mengkaji kompleksitas permasalahan tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara, dengan fokus pada peran dan kapasitas aktor negara maupun non-negara, kerangka kerja sama regional ASEAN serta strategi kebijakan nasional. Literatur saat ini masih belum memadai dalam membandingkan pendekatan dan respons terkait isu kabut asap lintas batas di Asia Tenggara di luar dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Fokus utama masih tertuju pada inisiatif regional ASEAN, dengan sedikit perhatian pada analisis yang mendalam terhadap upaya negara-negara lainnya serta diskusi publik dan wacana masyarakat sipil. Dengan meninjau 42 literatur yang bersumber pada Scopus dan non-Scopus, paparan ini mengelompokkan tiga tema inti yang ditemukan dalam perkembangan kajian Tata Kelola Kabut Asap Lintas Batas di Asia Tenggara menggunakan taksonomi. Tema-tema inti tersebut adalah (1) eksistensi rezim kabut asap lintas batas di Asia Tenggara; (2) implementasi mekanisme tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara; (3) evaluasi mekanisme tata kelola kabut asap lintas batas di Asia Tenggara. Sintesis dari literatur yang disajikan mengindikasikan bahwa meskipun ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) memiliki peran penting dalam pengelolaan kabut asap lintas batas, namun pelaksanaannya terkendala oleh norma non-intervensi ASEAN dan prinsip kedaulatan negara. Kendala lain meliputi mekanisme penegakan hukum yang lemah, kapasitas institusi yang terbatas, serta perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota ASEAN. Partisipasi publik dan peran media diidentifikasi sebagai kunci dalam memobilisasi dukungan untuk perlindungan lingkungan. Refleksi dalam tinjauan literatur ini dibuat berdasarkan pemetaan latar belakang ilmu, tren kutipan dari literatur akademis terpilih, sebaran tahun publikasi, dan kata kunci. Berdasarkan refleksi, hasil tinjauan menunjukkan bahwa terdapat beberapa poin penting. Pertama, pemetaan latar belakang ilmu dalam studi kabut asap lintas batas di Asia Tenggara didominasi oleh bidang hubungan internasional dan ilmu lingkungan. Kedua, tren kutipan dari literatur akademis terpilih menunjukkan peningkatan perhatian pada peran media dan kerjasama multilateral. Ketiga, sebaran tahun publikasi memperlihatkan lonjakan signifikan pada dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya insiden kabut asap. Terakhir, kata kunci yang paling sering digunakan mencerminkan fokus pada tata kelola kabut asap, kerjasama ASEAN, dan kebijakan lingkungan.

The phenomenon of transboundary haze in Southeast Asia has become a persistent and complex environmental issue. This literature review examines the complexities of transboundary haze governance in Southeast Asia, focusing on the roles and capacities of state and non-state actors, the ASEAN regional cooperation framework, and national policy strategies. Current literature remains inadequate in comparing approaches and responses to transboundary haze issues in Southeast Asia beyond Indonesia, Singapore, and Malaysia. The primary focus remains on ASEAN regional initiatives, with limited attention to detailed analyses of other countries' efforts and public discourse and civil society engagement. By reviewing 42 sources from Scopus and non-Scopus databases, this review categorizes three core themes found in the development of Transboundary Haze Governance in Southeast Asia using taxonomy. These core themes are: (1) the existence of the transboundary haze regime in Southeast Asia; (2) the implementation of transboundary haze governance mechanisms in Southeast Asia; and (3) the evaluation of transboundary haze governance mechanisms in Southeast Asia. The synthesis of the literature presented indicates that, although the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) plays a significant role in managing transboundary haze, its implementation is hindered by ASEAN's non-intervention norms and national sovereignty principles. Other obstacles include weak enforcement mechanisms, limited institutional capacities, and differing interests among ASEAN member states. Public participation and the role of the media are identified as crucial in mobilizing support for environmental protection. Reflections in this literature review are based on mapping the background of the field, citation trends from selected academic literature, publication year distribution, and keywords. Based on these reflections, the review findings highlight several key points. First, the background mapping of studies on transboundary haze in Southeast Asia is dominated by international relations and environmental science fields. Second, citation trends from selected academic literature show increased attention to the role of the media and multilateral cooperation. Third, the publication year distribution shows a significant increase over the past decade, coinciding with the rise in haze incidents. Finally, the most frequently used keywords reflect a focus on haze governance, ASEAN cooperation, and environmental policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anya Paramita Mayaputri
"Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem lingkungan namun juga ketidakadilan sosial dan ekonomi. Warga yang hidup di pulau-pulau di Dunia Selatan merupakan komunitas yang terdampak dari fenomena ini padahal mereka bukanlah pelaku utama dalam memroduksi emisi gas rumah kaca. Saat ini warga Pulau Pari di Kawasan Pulau Seribu, Provinsi DKI Jakarta sedang menggugat Holcim, perusahaan semen multinasional yang berbasis di Swiss, dalam litigasi iklim transnasional. Proses litigasi iklim ini diadvokasi oleh tiga organisasi non-pemerintah (NGO) dari Global Utara dan Global Selatan yang saling berjeraring, yaitu Hilfswerk der Evangelischen Kirchen Schweiz (HEKS) dari Swiss, European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) dari Jerman dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dari Indonesia. Beberapa kali litigasi iklim transnasional belum pernah berhasil untuk dimenangkan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengapa ketiga NGO ini mengadvokasi litigasi iklim Pulau Pari melawan Holcim? Melalui pendekatan jejaring advokasi transnasional atau transnational advocacy network (TAN), penelitian ini menganalisa secara kualitatif strategi NGO Utara dan NGO Selatan dalam mengadvokasi warga Pulau Pari melalui proses kampanye seputar litigasi iklim. Dengan proses wawancara terhadap representasi setiap NGO dan penggugat serta ditunjang oleh studi literatur, ditemukan bahwa pola bumerang yang dipopulerkan oleh Keck dan Sikkink (1998) belum berhasil digunakan untuk menekan Pemerintah Indonesia bertindak dalam kasus litigasi iklim ini. Sedangkan strategi pola bumerang terbalik yang dipopulerkan oleh Pallas (2016) cenderung memberikan hasil untuk menekan Pemerintah Swiss untuk merespon pentingnya perusahaan penghasil emisi tinggi (carbon majors) bertanggung jawab atas dampak perubahan iklim. Dengan begitu dapat dilihat bahwa strategi jejaring advokasi transnasional dengan pola bumerang tidak selalu berhasil dalam mengupayakan penyelesaian kasus-kasus transnasional.

Climate change not only disrupts the balance of environmental ecosystems but also leads to social and economic injustices. People living on islands in the Global South are among the communities impacted by this phenomenon, despite not being the primary contributors to greenhouse gas emissions. Currently, residents of Pari Island in the Thousand Islands region, Jakarta Province, are suing Holcim, a multinational cement company based in Switzerland, in transnational climate litigation. This climate litigation is advocated by three non-governmental organizations (NGOs) from the Global North and South: Hilfswerk der Evangelischen Kirchen Schweiz (HEKS) from Switzerland, the European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) from Germany, and the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) from Indonesia. Transnational climate litigation has rarely been successful, raising the question of why these three NGOs are advocating for the climate litigation of Pari Island against Holcim. Using the transnational advocacy network (TAN) approach, this study qualitatively analyzes the strategies of Northern and Southern NGOs in advocating for Pari Island residents through climate litigation campaigns. Interviews with representatives from each NGO and the plaintiffs, supported by literature studies, reveal that the boomerang pattern popularized by Keck and Sikkink (1998) has not succeeded in pressuring the Indonesian government to act on this climate litigation case. In contrast, the inverse boomerang strategy popularized by Pallas (2016) has tended to yield results in pressuring the Swiss government to respond to the importance of holding high-emission companies (carbon majors) accountable for the impacts of climate change."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mudhia Evelyn Zuhdi
"Pada tahun 2017, Indonesia dan Denmark sepakat untuk melaksanakan kerja sama manajemen air dan lingkungan hidup antara kedua negara. Pada kerja sama ini, Denmark akan memberikan bantuan dalam bentuk pembangunan kapasitas bagi pemerintah Indonesia untuk dapat memperbaiki kualitas air sekaligus pengelolaan limbah sesuai dengan asas berkelanjutan. Akan tetapi, pada kenyataannya, kerja sama ini tidak berjalan secara efektif selama beberapa tahun. Skripsi ini akan membahas terkait dinamika antaraktor yang muncul dari Indonesia dan Denmark dalam menjalankan proyek kerja sama manajemen air dan limbah pada tahun 2017. Penelitian ini akan menggunakan teori rezim internasional sebagai model analisis dan metode eksplorasi deskriptif untuk mencari temuan dari pertanyaan penelitian. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa muncul perbedaan pandangan dari pemerintah Indonesia dan Denmark pada tengah-tengah jalannya kerja sama. Hal ini kemudian menjadi salah satu faktor penting pada akhirnya kerja sama ini tidak dapat berjalan secara maksimal. Tak hanya itu, kurangnya partisipasi badan non negara dalam kerja sama ini juga memperburuk proses jalannya proyek. Baik pemerintah Indonesia maupun Denmark pada awalnya kurang melibatkan badan non negara ke dalam partisipasi kerja sama ini. Hal ini kemudian membuat kurangnya kesadaran atas inisiatif perbaikan kualitas air dan manajemen lingkungan antara pemerintah Indonesia dengan Denmark. Rendahnya kesadaran ini pada akhirnya juga turut menghambat jalannya proyek manajemen air dan limbah karena kurangnya partisipasi dan harmoni dari seluruh lapisan masyarakat, dari pemerintah hingga masyarakat sebagai stakeholders terbesar dalam kerja sama ini.

In 2017, Indonesia and Denmark have agreed to cooperate for water and waste management between the two countries. In this cooperation, Denmark provides aids in form of capacity building for Indonesian government to fix the water quality along with the waste management based on the sustainability principle. However, in reality, this cooperation has not worked effectively for several years. This thesis aims to discuss on the rising dynamics between actors from Indonesia and Denmark when running the water and waste management cooperation project in 2017. The research uses international regime theory as the analysis model and exploratory descriptive method to seek findings from the research question. The result of this research finds that one of the main reasons behind the ineffectiveness is the difference of view between Indonesian government and Denmark government when the cooperation is currently running. Besides that, the lack of participation from non-governmental bodies in this cooperation is also contributing to the worsening of the cooperation process. Both Indonesian and Denmark government has not considered involving non-governmental bodies in this cooperation. Hence, this results that the lack of awareness of this environmental initiative between the two countries. The lack of awareness makes this cooperation slower due to the low number of participations from all the layer of society, especially the public as the biggest stakeholders in this cooperation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library