Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yovita Harmiatun
"Ureaplasma rarealyticum diklasifikasikan ke dalam kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales, familia Mycoplasmataceae (Koneman et al., 1992). Pada mulanya U. urealyticum lebih dikenal dengan sebutan T -mycoplasma, dan diketahui sebagai bakteri Gram-negatit nonmotil, berukuran 0.2 - 0.25 urn, tidak berdinding sel, dan berbentuk pleomorfik. U. urealyticum hanya diselubungi oleh membran plasma trilaminer, maka organisme ini tidak dihambat oleh antimikroba penghambat pembentukan dinding sel seperti golongan penisilin, basitrasin atau polimiksin-B (Marmion, 1989). U. urealyticum telah berhasil diisolasi dari tubuh binatang dan manusia. U. urealyticum dapat mengkolonisasi dan menginfeksi membran mukosa berbagai organ manusia (Phillips et al., 1986; Marmion, 1989; Koneman et al., 1992; Smith et al., 1994), meskipun demikkian U urealyticum juga dapat diisolasi dari orang-orang asimptomatik, sehingga organisme ini dapat digolongkan sebagai bakteri patogen oportunis (Quinn et al., 1985; Gibbs et al., 1986; Koneman et al., 1992).
Pada manusia U urealyticum sering ditemukan pada saluran urogenital wanita dan pria. Menurut Koneman et al. (1992), frekuensi kolonisasi U. wealyticum pada saluran urogenital wanita berkisar antara 35% - 80%. Sementara itu menurut McCormack et al. (1972), McCormack et al. (1973), dan McCormack et a!. (1975), frekuensi kolonisasi U. urealyticum pada saluran urogenital wanita berkisar antara 8.5% - 77.5% dan pada saluran urogenital pria berkisar antara 3% - 56%; frekuensi kolonisasi ini erat hubungannya dengan umur, ras, pengalaman seksual, dan tingkatan sosio-ekonomi individu yang bersangkutan. U. urealyticum telah diketahui sebagai penyebab penyakit uretritis, vaginitis, servisitis, salpingitis, infertilitas pada pria dan wanita, abortus, dan berat bayi lahir rendah (Cracea et al., 1985; Taylor Robinson, 1995; Cole et al., 1996; Abele-Horn et al., 1997; Clegg, et al., 1997; Kong et al., 1999). Tjokronegoro et al. (1993) menyatakan bahwa kolonisasi U urealyticum di dalam semen pria pasangan infertil tidak mempengaruhi motilitas dan kuantitas spermatozoa namun pengaruhnya terhadap kemampuan sperma membuahi sel telur belum dapat disingkirkan. Pemyataan ini dapat dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa U. urealyticum dapat menyebabkan bocornya membran plasma sperma (Harmiatun, "submitted").
Bocornya membran plasma memungkinkan hilangnya enzim penetrasi sperma terhadap sel telur (hialuronidase, akrosin) sehingga dengan demikian sperma tidak mungkin lagi dapat membuahi sel telur. Kemungkinan bocornya membran plasma disebabkan oleh aktivitas suatu enzim. Kilian et al. (1996) menyatakan, protease IgA1 tipe-serin merupakan suatu golongan protein yang digunakan oleh berbagai kelompok bakteri Gram-negatif untuk kolonisasi dan invasi bakteri patogen pada sel target. U. urealyticum telah berhasil diisolasi dari kultur darah wanita yang menderita demam postpartum. Kultur darah 10% wanita dengan demam postpartum mengandung U urealyticwn (Quinn et al., 1983; Naessens et al., 1989; Gauthier et al., 1991)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
D15
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Yulianti W.
"Pendahuluan: Aktivitas proliferasi, sintesis kolagen, dan hidrasi kulit akan menurun seiring proses penuaan kulit, sehingga kulit menua menjadi kusam, kendur, dan kering. Aquaporin-3 (AQP3) adalah protein kunci yang berperan pada proliferasi dan hidrasi keratinosit, sekarang menjadi target inovasi pengembangan kosmetika pelembab anti penuaan kulit. Penelitian ini bertujuan menganalisis kombinasi dua bahan alam yaitu ekstrak etanol Centella asiatica dan nanopartikel kitosan (EECA+NPK) terhadap proliferasi sel fibroblast dan keratinosit, sintesis kolagen I dan III serta ekspresi protein aquaporin-3 (AQP3) secara in vitro.
Metode: Dilakukan uji proliferasi sel fibroblas dan keratinosit yang dianalisis dengan uji Microculture Tetrazolium (MTT), analisis sintesis kolagen I dan III menggunakan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) kit (COL1A1 dan COL3A1) setelah dipajankan dengan ekstrak etanol Centella asiaticadalam nanopartikel kitosan (EECA + NPK) pada beberapa konsentrasi selama 24, 48, dan 72 jam dibandingkan dengan asam retinoat, selanjutnya ekspresi aquaporin-3 (AQP3) dianalisis dengan teknik Imunositokimia menggunakan antibodi anti-aquaporin3 ab125219, kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan ImageJ software.
Hasil: EECA + NPK dapat meningkatkan proliferasi fibroblas 1.6 kali lipat dibandingkan kontrol. Optimal pada konsentrasi 6.25 mg/mL dan proliferasi sel keratinosit optimal pada konsentrasi 3.125 mg/mL, secara statistic tidak berbeda bermakna dengan AR. (EECA + NPK) dapat meningkatkan sintesis kolagen I setelah pajanan 72 jam dan kolagen III setelah pajanan 48 jam, secara statistic tidak berbeda bermakna dengan AR. Uji imunositokimia dengan antibodianti-aquaporin3 ab125219 (EECA + NPK) dapat meningkatkan ekspresi aquaporin 3 (AQP 3) pada sel fibroblas optimal pada konsentrasi 12.5 mg/mL dan sel keratinosit pada konsentrasi3.125 mg/mL setelah pajanan selama 24 jam, secara statistik berbeda dengan AR.
Kesimpulan: Ekstrak etanol Centella asiatica dalam nanopartikel kitosan (EECA + NPK) dapat meningkatkan proliferasi fibroblas dan keratinosit, meningkatkan sintesis kolagen I dan III, serta ekspresi protein AQP3 pada sel fibroblas dan sel keratinosit.

Introduction: Proliferation activity, collagen synthesis, and hydration of the skin will decrease with the process of aging, therefore, skin looks dull, sagging, and dry. Aquaporin-3 (AQP3) is a key protein that plays a role in keratinocyte proliferation and hydration, recently becomes the target of innovation development of anti-aging cosmetic moisturizer. This research aims to analyze a combination of two natural ingredients, Centella asiaticaethanolic extractand chitosan nanoparticles (EECA + NPK) to increased proliferation fibroblast cell and keratinocyte, synthesis type I and III collagen, and the expression of AQP3 in vitro.
Methods: Microculture Tetrazolium Test was conducted to analyze the proliferation of fibroblast and keratinocyte. The synthesis of type I and III collagen in fibroblast were analyzed using Ezyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) kit (COL1A1 and COL3A1) after the exposure of CAEE + CNP in several concentrations for 24, 48, 72 hours and compared to Retinoic acid (RA). The expression of AQP 3 on fibroblast and keratinocyte was analyzed using antibody anti-aquaporin 3 ab125219 immunocytochemistry technique, then quantitively analyzed using Image-J software.
Results: CAEE+ CNP increased the proliferation of fibroblas optimal result at 6.25mg/mL concentration and the proliferation of keratinocyte increased 1.5 time than control, optimal result at 3.125 mg/mL concentration, statistically were not significant different with RA.CAEE + CNP increased the synthesis collagen type I optimal after incubated for 72hours and the synthesis collagen type III optimal 48 hours, statistically were not significant different with RA.Using antibody anti-aquaporin 3 ab125219 immunocytochemistry examination indicated CAEE+ CNP increased the expression of AQP 3 on fibroblast and keratinocyte, optimal results at 12.5 mg/mL and 3.125 mg/mL respectively after 24 hours exposure.
Conclusion: CAEE + CNP increased the proliferation of fibroblast and keratinocyte, synthesis of type I and III collagen, and the expression of AQP3 in fibroblast and keratinocyte;Introduction: Proliferation activity, collagen synthesis, and hydration of the skin will decrease with the process of aging, therefore, skin looks dull, sagging, and dry. Aquaporin-3 (AQP3) is a key protein that plays a role in keratinocyte proliferation and hydration, recently becomes the target of innovation development of anti-aging cosmetic moisturizer. This research aims to analyze a combination of two natural ingredients, Centella asiaticaethanolic extractand chitosan nanoparticles (EECA + NPK) to increased proliferation fibroblast cell and keratinocyte, synthesis type I and III collagen, and the expression of AQP3 in vitro."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wahyuningsih
"ABSTRAK
Kandidosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Spesies
terbanyak yang dapat menyebabkan penyaldt adalah Candida albicans. Jamur
tersebut dapat ditemukan sebagai komcnsal dalam tubuh manusia, yaim dalam
saluran cema atau salman napas bagian atas. Pada keadaan tertcntu yaitu adanya
falctor predisposisi, jamur tersebut dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan
pcnyakif. Berdasarkan iokalisasi, Candida dapat menyebabkan infeksi superlisial
pada kuku, kulit, dan mukosa, tetapi juga dapal menyebabkan infeksi sistemik pada
organ dalam. Dalam proses teljadinya kandidosis sistemik turut berperan faktor
predisposisi antara lain pemberian antibiotik jangka panjang, pemberian obat
imunosupresan seperti kortikosternid dan sitostatik yang dapat mengakibatkankan
keadaan netropeni, keganasau termama hemarogenik., usia lanjut dan penyakit
metabolik seperti diabetes melitus (Emmons et al., 1977; Rippon, 1988; Odds, 1988;
Reiss er al., 1998).
Dalam beberapa dekadc telakhir, iiekuensi kandidosis sistemik meningkat
sepuluh kali tetapi diagnosis masih temp merupakan masalah (Maksymiuk et al.,
1984; Komshian et az., 1989, Rex 8I af., 1995; Edwards, 1997). scnmsnya diagnosis
pasti kandidosis sistcmik dapat ditegakkan dengan menemukan jamur dalam sediaan
histopatologi jaringan yang terkena, tempi cara terrsebut invasif dan mengandung
risiko terhadap penderita. Sclain itu pengambiian bahan untnk biopsi tidak mudah
dilakukan karena kondisi penderita yang biasanya sudah bm'uk dan sulit menetapkan
lokalisasi biopsi yang tepat karena sifat lesinya sendiri yang dapat berupa abses
multipel kecil-kccil (Emmons er al.,19'77; Rippon, 1988). Pada saat ini gold standard
untuk diagnosis kandisosis sistemik adalah biakan darah berulang, tetapi cara itu
sering memberikan hasil negatif dan perlu waktu lama apalagi bila diperlukan
identifikasi spesies. (Halley & Callaway, 1978; Walsh et ai., 1991; Bumie El al.,
1997).
Masalah diagnostik kandidosis sistemik disebabkan: (i) Penyakit tersebut tidak
mempunyai gejala klinik yang patognomonik; gejalanya tergantung pada organ yang
terkena sehingga diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinik
saja. (ii) Pemeriksaan bahan klinik saja tidak memberikan hasil yang pasti karena sifat
Candida yang oportunis; ditemukannya jamur dari bahan klinik sulit untuk
menjelaskan perannya sebagai etiologi penyakit tersebut .(iii) Kultur darah lebih
sering negalif dan apabila positif satu kali saja sulit dibedakan dengan keadaan
sementara (transient candidemia) seperti yang dapat terjadi pada pemberian infus
(Bodey, 1984).
Selain biakan telah dikembangkan berbagai cara diagnosis, antara lain sara
serologi dan polymerase chain reaction (PCR). PCR, suatu metode berdasarkan teori
biologi molekuler, merupakan cara paling baru dan dianggap sebagai cara paling
sensitif untuk diagnosis kandidosis sistemik akan tetapi penerapan sehari-hari di
laboratorimn tidak mudah dilakukan (Miyakawa EI a1.,1993; Holmes er al., 1994).
Uji serologi yang ada saat ini mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang
rendah (Ruechel, 1989; Jones, 1990; Buckley er al., 1992). Hal itu dapat dijelaskan,
karena C. albicans merupakan jamur saprofit yang dapat hidup sebagai komensal
dalam tubuh manusia. Baik dalam keadaan saprofit maupun dalam keadaan patogen
jamur tersebut melepaskan antigen misalnya mannan yang berasal dari dinding sel.
Dengan demikian mannan akan merangsang pembentukan antibodi antimannan pada
kedua keadaan tersebut, sehingga deteksi antibodi antimannan tidak dapat digunakan
untuk membedakan keadaan saproiit dari kandidosis sistemik (de Repenugny,
Quindos er ai., l990a; Buckley et af., 1992; Ponton ex al, 1993).
Dua bentuk penting C. albicans adalah bentuk blastokonidia atau khamir dan
bentuk hifa semu yang dapat didahului pembentukan germ tube oleh blastokonidia.
Germ tube merupakan bentuk yang dianggap penting sebagai penentu virulensi karena
berperan dalam perlekatan dan invasi ke dalam jaringan (Sobel et al., 1984; De
Benardis el al., 1993; Calderone er al., 1994). Masing-masing bentuk balk khamir
maupun germ tube mempmmyai antigen spesiiik yang cliekspresikan pada dinding se]
(Penton & Jones, 1986). Bebempa peneliti telah melaporkan antigen spesitik germ
tube, antara lain antigen dengan berat molekul 19 kDa dan 230 kDa sampai 235 kDa
(Ponton & Jones, 1986), 47 dan 43 kDa (Casanova et al., 1989; 1991). Peneliti lain
menemukan bahwa antibodi terhadap germ tube tidak ditemukan pada orang yang
rnengandung C. albicans sebagai saproiit (Quindos et al., 1987; 1990a). Penemuan
tersebut memberikan dasar pemikiran untuk pengembangan uji diagnestik bam dalam
usaha mendaparkan cara diagnosis kandidosis sistemik yang lebih akurat."
1999
D432
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juniarti
"Pendahuluan: Proses penyembuhan luka merupakan proses biologi yang kompleks dan dinamis yang melibatkan peran seluler, molekuler dan humoral yang terdiri atas fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. Proses penyembuhan luka yang lambat akan menyebabkan luka kronis sehingga berbagai penelitian dikembangkan untuk mempercepat proses penyembuhan. Tingginya biaya ekonomi dan sosial bagi pemerintah dan pasien terkait dengan perawatan luka adalah motivasi penting untuk pencarian alternatif terapi baru baik sebagai obat alternatif maupun sebagai komplementer. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan percepatan proses penyembuhan luka berbahan dasar alami, yaitu ekstrak daun Jatropha multifida L. yang dinilai dengan pemeriksaan secara histologi dan imunohistokimia.
Metode: Penelitian dilakukan pada 54 ekor tikus putih jantan galur Spraque dawley yang dibuat luka sayat pada enam kelompok masing-masing 3 ekor per periode dekapitasi. Tikus diperlakukan dengan ekstrak metanol 1%, ekstrak etil asetat 1% dan ekstrak n-heksan 1% daun J. multifida L. dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (senyawa steroid), pelarut (alkohol 70%) dan negatif (tanpa perlakuan). Pemeriksaan histologi dilakukan untuk mempelajari parameter penyembuhan luka yaitu jumlah leukosit PMN, fibroblas, pembuluh darah baru, re-epitelialisasi dan kerapatan serabut kolagen. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF) dinilai dengan analisis imunohistokimia. Uji sensitifitas dilakukan untuk menilai keamanan pemakaian ekstrak daun J. multifida L. terhadap kulit hewan coba.
Hasil: Semua parameter yang diukur menunjukkan bahwa ekstrak metanol 1% daun J. multifida L. dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan hasil yang lebih baik dan lebih cepat dibanding semua kelompok kontrol. Terdapat korelasi yang sangat kuat dan bermakna antara angiogenesis dan fibroblas dengan ekspresi VEGF, fibroblas dengan ekspresi FGF dan re-epitelialisasi dengan ekspresi EGF. Uji sensitifitas menunjukkan bahwa ekstrak daun J. multifida L. tidak menimbulkan edema dan eritema.
Kesimpulan: Ekstrak metanol daun J. multifida L., dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan mempersingkat fase inflamasi dan fibroproliferasi dengan adanya senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya sehingga dapat menstimulasi ekspresi VEGF, FGF dan EGF dserta tidak bersifat iritatif.

Introduction: Wound healing is a complex biological process involving the dynamic role of cellular, molecular and humoral pathways in the phases of inflammation, proliferation and maturation. Various studies have been conducted to accelerate the wound healing process, because slow healing can lead to complications. The high economic and social costs for governments and patients related to wound care is an important motivation for the search of new therapeutic intervention including complementary and alternative medicine. This study aims to accelerate the process of wound healing with natural compounds, namely Jatropha multifida L. leaf extracts assessed by histological and immunohistochemical examination.
Methods: The study was conducted with 54 male white rats, Spraque Dawley strain injured by equally sized skin cuts and divided into six groups of 3 animals each. Rats were treated with methanol, ethyl acetate or n-hexane extracts of J. multifida L. leaves (3 treatment groups) and compared with steroid-treated positive controls, organic solvent (methanol 70%) and negative (no treatment) control groups. Histology examined wound healing parameters, e.g., polymorphonuclear leukocyte and fibroblast numbers, re-vascularisation, re- epithelialisation and density of collagen fibers. Expression of vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF) and epidermal growth factor (EGF) was determined by immunohistochemistry. Sensitivity tests were conducted to assess the safety of the application of J. multifida L. leaf extracts towards the animal skin.
Results: All measured parameters showed that the methanol extract of J. multifida L. leaves accelerates the wound healing process with better results compared to all other groups. There were strong correlations of VEGF expression with angiogenesis and fibroblast numbers, between FGF expression and fibroblast numbers and between EGF expression and re-epithelialisation.
Conclusion: The methanol extract of J. multifida L. leaves can accelerate the wound healing process by shortening the inflammatory phase and reducing fibroblast proliferation through stimulation of VEGF, FGF and EGF expression."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himmi Marsiati
"Pendahuluan: Penelitian dilakukan untuk mengetahui peran senyawa flavonoid mangiferin dalam meningkatkan ekspresi mRNA HIF-1α dan sebagai pencekal besi dalam menstabilkan HIF-1α pada lini sel HepG2 dan menganalisis interaksi mangiferin dengan prolil hidroksilase (PHD2) secara simulasi docking.
Metode: Sel HepG2 dikultur hingga >80% konfluen dan selanjutnya diberikan mangiferin konsentrasi 25-200μM. Kuersetin digunakan sebagai pembanding flavonoid mangiferin yang bekerja di dalam inti sel, sedangkan DFO dan CuCl2 digunakan sebagai pembanding daya ikat terhadap besi. Ekspresi mRNA HIF-1α ditentukan dengan real time RT- PCR/q-PCR, dan stabilisasi protein HIF-1α ditentukan mengunakan teknik ELISA. Simulasi docking dilakukan terhadap protein PHD2 dengan mangiferin, CuCl2, deferoksamin (DFO), dan campuran mangiferin+ kuersetin.
Hasil: Uji viabilitas sel menggunakan metode MTS dengan pemberian mangiferin, kuersetin, campuran mangiferin-kuersetin, DFO dan CuCl2 (25-200μM) memperlihatkan hasil diatas 85%. Ekspresi mRNA HIF-1α dengan mangiferin, kuersetin, mangiferin+kuersetin, dan DFO menunjukkan hasil sedikit lebih tinggi dibanding kontrol. Konsentrasi protein HIF-1α pada pemberian mangiferin, kuersetin, mangiferin-kuersetin, DFO dan CuCl2 lebih tinggi dibanding kontrol. Simulasi docking mangiferin terhadap PHD2 memperlihatkan ΔG= -16,22, dan DFO menunjukkan ΔG= -17,15. Terdapat interaksi antara mangiferin, dan DFO dengan besi dan asam amino pada situs katalitik domain PHD2, sedangkan CuCl2 tidak berinteraksi dengan residu asam amino pada domain PHD2, tetapi langsung menggantikan Fe. Efek penghambatan terhadap PHD2 oleh mangiferin dan kuersetin disebabkan oleh delokalisasi elektron melalui kompleks transfer elektron.
Kesimpulan: Mangiferin dapat meningkatkan ekspresi mRNA HIF-1α dan meningkatkan protein HIF-1α, menurun protein PHD2 dan menurunkan protein HO-HIF-1α pada lini sel HepG2 secara in vitro. Analisis docking terdapat interaksi antara mangiferin, dan DFO dengan besi dan asam amino PHD2. Mangiferin memiliki stabilitas pengkikatan dengan besi yang berdekatan dengan DFO.

Introduction: This research was conducted to determine the role of flavanoid mangiferin to increase expression HIF-1α mRNA, and as an iron chelator to stabilize protein HIF-1α in cell line HepG2 and analyzes the interaction of mangiferin with prolil hidroksilase (PHD2) by docking simulation.
Methods: HepG2 cells were cultured and treated by mangiferin with concentration between 25-200μM. Quercetin is used as a comparison mangiferin flavonoid that works in the nucleus and DFO, CuCl2 is used as a comparison to iron-binding. HIF- 1α mRNA expression was determined by real time RT-PCR/q-PCR, and the stability HIF-1α protein were measured by the increase in HIF-1α protein, decreased PHD2 protein and decreased HO-HIF-1α using ELISA. Docking simulation was conducted between PHD2 protein and mangiferin, CuCl2, desferoxamine (DFO), and quercetin.
Results: Cell viability with MTS assay showed that cell exposure with 25μM-200μM concentrations of mangiferin, quercetin, mangiferin+quercetin mixture, DFO, and CuCl2 is above 85%. HIF-1α mRNA expression was slightly higher than in controls with mangiferin, quercetin, mangiferin quercetin mixture and DFO. HIF-1α protein concentration and ratios vs untreated controls were above 1 with mangiferin, quercetin, mangiferin quercetin mixture, DFO, and CuCl2. Docking simulation mangiferin with PHD2 showed ΔG= -16,22. Docking simulation with DFO showed ΔG= -17,15, and interact mangiferin, and DFO with iron in the catalytic site of PHD2 and with amino acid residues, whereas CuCl2 does not react with amino acid residues in the PHD2 domain, but directly replaces Fe. The inhibitory effect to PHD2 by mangiferin and quercetin is considered by electron delocalisation through an electron transfer complex.
Conclusion: Mangiferin can increase HIF-1α mRNA expression and HIF-1α protein levels in HepG2 cell line by in vitro. Binding interaction with iron and PHD2 amino acids occurs by mangiferin and DFO. Mangiferin has stability iron binding a similar with DFO.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Husnun Amalia
"Mata adalah organ dengan aktivitas farmakokinetik yang spesifik karena memiliki sawar yang membuat obat sulit berpenetrasi ke dalam bola mata terutama kornea. Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur terutama terjadi pada daerah tropis dan membuat kerusakan kornea yang berakhir dengan kebutaan. Hal ini masih menjadi masalah di negara berkembang. Obat antijamur yang saat ini memiliki aktivitas yang sangat baik adalah Amfoterisin B dan bentuk liposom memiliki kemampuan efektivitas yang lebih tinggi dan menurunkan toksisitas obat. Penelitian terhadap tetes mata Amfoterisin B liposom (AmB-L) ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut sehingga obat tetes ini dapat digunakan pada penderita keratomikosis. Penelitian ini menilai sejauh mana tetes mata AmBL dapat berpenetrasi di dalam bola mata, adakah efek toksik pada jaringan mata dan bagaimana efektivitasnya pada keratomikosis kelinci Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental Laboratorium dan animal study. Subyek penelitian adalah 11 ekor hewan kelinci New Zealand yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok uji kadar dan toksisitas AmB-L 0,15% dan 0,5% masing-masing 3 ekor, kelompok uji efektivitas AmB-L 0,15% dan 0,5% terhadap keratomikosis kelinci masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 ekor. Pengukuran kadar Amfoterisin B pada jaringan mata (kornea, akuos, lensa, vitreus, dan sklera) dilakukan setelah ditetes obat AmB-L 0,15% dan 0,5% setiap 1 jam selama 3 hari dengan cara menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Toksisitas tetes mata AmB-L 0,15% dan 0,5% pada jaringan mata (kornea, iris, sklera dan retina) dievaluasi dengan pemeriksaan klinid dan histopatologis (Haematoksilin Eosin). Pada uji efektivitas menilai waktu kesembuhan keratomikosis kelinci, hasil kultur kornea dan akuos pasca terapi dengan agar Sabouraud, kadar Amfoterisin B pada kornea dan akuos serta efek toksik. Hasil: Kadar Amfoterisin B pada AmB-L 0,5% terukur lebih tinggi dibandingkan AmB-L 0,15% dan kadar AmB-L pada setiap jaringan di kedua konsentrasi hasilnya lebih tinggi dari MIC. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% tidak memperlihatkan efek toksik secara klinis maupun histopatologi pada jaringan mata kelinci. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% adalah antijamur yang efektif untuk keratomikosis kelinci akibat Aspergillus sp. dan waktu kesembuhan pada kedua konsentrasi tidak berbeda bermakna (p=0,2) Kesimpulan : Liposom adalah drug carrier yang dapat membawa obat amfoterisin B mencapai bagian anterior dan posterior bola mata serta mampu berpenetrasi dengan baik, efektif, tidak toksik terhadap jaringan mata. Karena itu, penggunaan amfoterisin B liposom dapat menjadi terapi standar untuk keratomikosis

The eye has a specific pharmacokinetic because of its complex barrier to drug entry, especially the cornea. Keratomycosis is a fungal infection of the cornea in tropical areas and the cause of corneal morbidity and blindness. This remains a problem in developing countries. Amphotericin B (AmB) is still considered the treatment of choice for fungal infection. Liposomal formulation of AmB (L-AmB) has demonstrated promising results with higher efficacy and lower toxicity. The research of L-AmB eye drops still needs further studies before it can be used in humans. This study will evaluate L-AmB eye drop penetration, toxicity, and efficacy on keratomycosis of the rabbit eye. Methods: The study is using laboratory design and animal study. Eleven New Zealand rabbits were devided into five groups. Six rabbits were used for the pharmacokinetic and toxicological studies, four rabbits for studying the efficacy, and one served as normal and keratomycosis control. All treatment used two concentrations of L-AmB (0.15% and 0.5%) given as eye drops every hour for three days. The pharmacokinetic study measured AmB concentration in the tissues (cornea, aqueous, lens, vitreus, sclera) using high performance liquid chromatography (HPLC), and toxic reactions were evaluated in clinical signs and histopathological examination (cornea, iris, sclera, retina). Efficacy was evaluated by length of therapy, concentration of AmB in the tissues (cornea, aqueous), and toxic effects. Result: In all tissues, L-AmB 0.5% had higher concentrations of AmB than 0.15%, reached MIC in both concentrations and showed no toxic effects. L-AmB eye drops in both concentrations were effective for Aspergyllus sp. keratomycosis in rabbits. Length of therapy varied insignificantly between the two concentrations (p=0.2); both concentrations of AmB reached MIC and did not reveal toxic reactions. Conclusion: Liposomes are promising drug carriers for eye diseases that can penetrate to the anterior and posterior tissues of the eye. L-AMB can be successfully applie"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inge Sutanto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D1775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library