Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindya Putra Julianno
"Latar belakang: Saat ini prevalensi penyakit tidak menular, salah satunya obesitas, mengalami tren peningkatan. Obesitas dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan dapat menjadi penyakit penyulit sehingga menjadi tantangan dalam menata laksana berbagai penyakit. Perubahan fisiologis yang dibawa oleh obesitas dapat menjadi faktor risiko perkembangan kanker endometrium. Obesitas dapat memicu paparan estrogen berlebih dari konversi androgen pada jaringan adiposa perifer. Selain itu, dengan perubahan hormonal akibat menopause, terjadi gangguan keseimbangan hormon yang dapat mencetuskan kanker endometrium. Saat ini masih sedikit sekali penelitian yang meneliti hubungan antara obesitas dan awitan kanker endometrium terutama yang merefleksikan populasi Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendalami topik tersebut berserta hubungannya dengan menopause pada pasien kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2019-2021. 
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode potong lintang menggunakan rekam medis pasien yang terdiagnosis kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Terdapat 54 subjek penelitian dari sampel tersedia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 
Hasil: Terdapat 122 kasus kanker endometrium yang ditemukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Sebanyak 48,2% dari seluruh subjek tergolong mengalami obesitas berdasarkan kriteria APAC. Sebanyak 40,7% subjek yang mengalami awitan kanker endometrium sebelum menopause dan terdapat 59,3% dari seluruh subjek yang mengalami awitan kanker endometrium setelah menopause. 
Kesimpulan: Walaupun tidak terdapat hubungan statistik bermakna antara obesitas dan awitan kanker endometrium terhadap menopause, namun perbandingan proporsi menunjukkan bahwa 50% subjek kelompok obesitas mengalami awitan sebelum menopause dibandingkan 32,1% subjek pada kelompok IMT normal.

Introduction: Currently, prevalence of non-communicable diseases, including obesity, is increasing. Obesity can present numerous complications and may be comorbidity that can bring challenges in treatments. Physiological changes provoked by obesity can be a risk factor for precipitating endometrial cancer. Obesity can cause excessive estrogen exposure from androgen conversion conveyed in peripheral adipose tissue. In addition, with hormonal changes attributed to menopause, hormonal imbalance may occur and precipitate endometrial cancer. At present, the availability of study discussing obesity and onset of endometrial cancer is still limited. This study is conducted to delve this topic with respect to menopause in patients with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. 
Method: This study is based on cross-sectional design study using health record of patients diagnosed with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. There are 54 subjects from available sample and complying with inclusion and exclusion criteria. 
Result: This study found 122 cases of endometrial cancer diagnosed at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. As many as 48,2% of all subjects classified as having obesity in reference to APAC criteria. Proportion of patients with onset before menopause is 40,7% of all subjects while patients with onset after menopause is 59,3% from all subjects. 
Conclusion: While this study suggests that there are no significant statistic association between obesity and onset of endometrial cancer compared with menopause, comparison of proportion of endometrial cancer onset shows that 50% of subjects with obesity experience onset before menopause compared to 32,1% subjects with normal BMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Liona Agusdin
"Kanker serviks merupakan salah satu kanker tersering yang dialami, wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 440.000 kasus baru setiap tahunnya dan sekitar 80% terjadi di negara berkembang. Negara - negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, sub-Sahara Afrika, dan Amerika Latin, tercatat sebagai negara dengan prevalensi kanker serviks yang tinggi. Contohnya di India, kasus baru kanker serviks setiap tahunnya adalah 90.000, sementara di Zimbabwe antara tahun 1990-1992 insiders kanker serviks mencapai 47.6 per 100.000. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 39,5% penderita kanker adalah kanker serviks. Di negara industri maju kanker serviks relatif lebih jarang, dibandingkan dengan kejadian kanker -payudara, paru-paru, kolon, rektum, dan prostat.
Perbedaan yang sangat jelas antara negara berkembang dengan negara maju ini adalah karena adanya skrining kanker serviks yang telah dilaksanakan secara luas di negara maju tersebut. Sekitar 50% wanita di negara maju telah menjalani tes pap paling sedikit 1 kali dalam periode 5 tahun, namun di negara berkembang hanya 5% wanita. Di beberapa negara seperti Amerika, Kanada, dan hampir seluruh negara di Eropa, 85% wanitanya telah menjalani Tes pap paling sedikit satu kali. Shining kanker serviks telah menurunkan insidens kanker serviks yang invasif. Penurunan insidens ini sangat berkaitan dengan jumlah populasi yang menjalani skrining dan jangka waktu antara dua skrining (skrining interval). Pada populasi dengan cakupan skrining yang luas, insidens kanker serviks turutl sampai 70-90%, sementara pada populasi yang tidak menjalani skrining, insidens kanker serviks terus berada pada kondisi awal seperti saat skrining belum diberlakukan di negara maju. Indonesia yang merupakan negara berkembang, telah diterapkan tes pap sebagai shining kanker serviks namun seperti yang juga dialami oleh negara berkembang lainnya penerapan tes pap sebagai skrining kanker serviks masih mendapat berbagai kendala, antara lain luasnya wilayah, dan juga masih kurangnya tenaga ahli sitologi.
Alternatif yang lebih sederhana serta mampu laksana dengan cakupan yang luas sehingga diharapkan temuan Iasi prakanker serviks lebih banyak adalah dengan tes IVA (WA). Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang sensitif, namun spesifisitasnya rendah. Spesifisitas yang rendah berarti bahwa positif palsu tes WA masih tinggi. Sebuah penelitian mendapati bahwa 40% pasien yang dirujuk untuk kolposkopi karena hasil WA positif, temyata hasil kolposkopinya normal. Ini berarti masih banyak pasien dengan hasil WA positif yang kemudian harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut dimana sebenarnya pasien tersebut tidak perlu menjalani pemeriksaan tersebut atau tidak perlu mengeluarkan biaya lebih apabila spesifisitas tes WA ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan spesifisitas WA dalam skrining Iasi prakanker adalah dengan melakukan penapisan dua tahap. Penapisan tahap kedua setelah didapatkan hasil WA yang positif, dapat menggunakan berbagai Cara, seperti dengan tes pap, dengan Servikografi, maupun dengan tes DNA HPV Dengan penapisan dua tahap ini, diharapkan spesifisitas WA dapat lebih baik.
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa Tes pap dapat dijadikan pemeriksaan tahap kedua dalam upaya meningkatkan-spesifisitas tes WA dalam skrining Iasi prakanker serviks. Saat ini telah dikembangkan metode tes pap yang baru yang dikenal dengan Thin prep pap test. Latar belakang dikembangkannya metode ini adalah karena tes pap konvensional memiliki negatif palsu berkisar antara 6-55% dan meningkat jika pembuatan slide atau sediaan tidak baik. Dengan menggunakan Thin Prep kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk jika dibandingkan dengan preparat tes pap konvensional. Prep meningkatkan kualitas spesimen dengan cam mengurangi darah, mukus, inflamasi, dan artifak lainnya yang dapat menggangu pembacaan sediaan. Karena kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk, maka Thin Prep lebih efektf juga dalam mendeteksi lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah dan juga lesi-lesi yang lebih beat pada berbagai populasi pasien dibandingkan dengan Tes pap konvensional. Thin prep pap test meningkatkan deteksi Iasi prakanker 65% pada populasi skrining dan 6% pada populasi risiko tinggi jika dibandingkan dengan Tes pap konvensional.
Tes WA dengan kelebihannya yang mudah untuk dilakukan , murah, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi, namun memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes pap dimana sensitivitas dan spesifisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker serviks di Indonesia.
Rumusan Masalah: Apakah tes pap digabungkan dengan tes WA positif dapat meningkatkan spesifisitas dan menurunkan positif palsu tes WA ?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Herbert
"Latar Belakang : Upaya untuk menurunkan kejadian kanker serviks dengan menemukan lesi pra-kanker serviks di negara-begara berkembang masih belum menunjukkan basil yang memuaskan. Kendala yang dihadapi antara lain adalah belum adanya program nasional yang berkesinambungan serta sumber daya yang terbatas, termasuk peralatan untuk melakukan pemeriksaan papsmear. Di banyak daerah ketidaktersediaan alkohol 95% sebagai larutan fiksasi menjadi salah satu alasan tidak dilakukannya pemeriksaan papsmear. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan pada daerah dengan sumber daya terbatas adalah dengan menghilangkan keharusan tersedianya alkohol 95% sebagai larutan fiksasi dan menggantinya dengan melakukan rehidrasi menggunakan NaCl 0,9% pada sediaan papsmear yang telah dikeringkan di udara terbuka.
Tujuan : Menguji mutu sediaan papsmear yang dibuat dengan metode "sediaan kering".
Bahan dan Cara Kerja : Penelitian dilakukan di laboratorium sitologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUT-RSCM Jakarta. Dibuat dua buah slide papsmear dari setiap pasien yang datang untuk melakukan pemeriksaan papsmear. Pada kelompok pertama sediaan diproses secara konvensional menggunakan alkohol 95% sebagai larutan fiksasi, sedangkan kelompok kedua sediaan papsmear dikeringkan di udara terbuka kemudian dilakukan rehidrasi menggunakan NaCl 0,9% sebelum dilakukan pewarnaan. Dilakukan perbandingan mutu sediaan ditinjau dad segi densitas seluler, adanya artefak akibat pengeringan di udara terbuka, serta ada tidaknya gangguan akibat latar belakang eritrosit dan latar belakang sel radang.
Hasil : Didapatkan 210 pasang sediaan yang dapat dievaluasi. Teknik kering mempunyai adekuasi sediaan yang sama baiknya dengan teknik konvensional. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada kedua kelompok ditinjau dad segi densitas seluler, adanya artefak akibat pengeringan di udara terbuka, serta ada tidaknya gangguan akibat latar belakang eritrosit dan latar belakang sel radang.
Kesimpulan : Papsmear sediaan kering dapat dipakai sebagai alternatif pembuatan sediaan sitologi serviks saat larutan alkohol 95% tidak tersedia sebagai larutan fiksasi.

Background : In many developing countries there are still many obstacles in establishing optimal result on performing early detection of cervical cancer. Among those are lack of continous national programs and also limited resources. In many area, availability of alcohol 95% as a fixating agent is often less and emerge as one reason why people did not perform papsmear examination routinely. Rehydration of air-dried ("dry-prepared") papsmear could replace alcohol 95% as a simple method in preparing cervical cytologic examination.
Objective : To evaluate the quality of dry-prepared papsmear
Material and Methods : The study was held in Cytology laboratory , Department of Obstetry and Gynecology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. We took one pair papsmear slides from every patient who was going to perform papsmear examination. One slide was processed with dry-prepared method, i.e. the slide was air-dried and then rehydrated with saline before staining, and another slide was processed conventionally (fixated with alcohol 95%) as a control. We compared the quality of both slides in terms of its celuler density, occurrence of air-dried artifacts, and the presence of obscuring blood and inflamatory cells.
Result : Two hundred and ten slides were available for evaluation. The dry-prepared papsmear had a similar adequacy compared with the conventional one. There were no differences found in terms of celluler density, occurrence of air-dried artifact, and the presence of obscuring blood and inflamatory cells.
Conlusion : Dry-prepared papsmear can be one alternative method in processing cervical cytologic examination when alcohol 95% was not available.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fitri
"Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh kadar hemoglobin, kadar hematokrit dan transfusi selama radiasi terhadap respon tumor dan kesintasan pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal (FIGO IIB-IIIB) yang menjalani terapi radiasi.
Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien kanker serviks stadium IIB-IIIB yang memenuhi kriteria inklusi-eksklusi, yang berobat di Departemen Radioterapi RSCM periode Januari 2007 - Desember 2011, dianalisa dan dibandingkan respon tumor dan kesintasan antara kadar hemoglobin <11g/dL dengan ≥11g/dL, kadar hematokrit ≤35% dengan >35%, pasien yang ditransfusi dan tidak ditransfusi selama radiasi.
Hasil : Respon tumor komplit pada kadar Hb sebelum radiasi <11g/dL dibandingkan dengan ≥11g/dL adalah 77,1% vs 70,2% p=0,34 ; kesintasan 3 tahun 84% vs 75% p=0,42. Respon tumor komplit pada kadar Hb selama radiasi <11g/dL dibandingkan dengan ≥11g/dL adalah 81,3% vs 67,9% p= 0,049 ; kesintasan 3 tahun 82% vs 79% p=0,05. Respon tumor komplit pada kadar Ht sebelum radiasi ≤35% dibandingkan dengan >35% adalah 71,7% vs 75,8% p=0,65 ; kesintasan 3 tahun 86% vs 78% p>0,05. Respon tumor komplit pada kadar Ht selama radiasi ≤35% dibandingkan dengan >35% adalah 72,7% vs 72,7% p=1,00 ; kesintasan 3 tahun 78% vs 87% p=>0,05. Kesintasan 3 tahun pada pasien yang ditransfusi dibandingkan dengan yang tidak ditransfusi 80% vs 84% p=0,95.
Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bemakna pada pengaruh kadar hemoglobin rerata selama radiasi terhadap respon tumor dan kesintasan, pengaruh kadar hematokrit sebelum dan rerata selama radiasi terhadap respon tumor dan kesintasan.

Aim : To determine the effect of hemoglobin level, hematocrit level and transfusion during radiation on tumor response and survival rate in patients with locally advanced cervical cancer (FIGO IIB-IIIB) who underwent radiation therapy.
Methods : A retrospective cohort study has done on cervical cancer patients stage IIB-IIIB who met the inclusion-exclusion criteria, which is treated in the Department of Radiotherapy RSCM period January 2007 - December 2011, were analyzed and compared to tumor response and survival rate between hemoglobin level <11g / dL with ≥11g / dL, hematocrit level ≤35% to> 35%, patients with blood transfused or not during radiation.
Results : Complete tumor response in Hb levels before radiation <11g / dL compared with ≥11g / dL was 77.1% vs. 70.2% p = 0.34; 3-year survival rate 84% vs. 75% p = 0.42. Complete tumor response in hemoglobin levels during radiation <11g / dL compared with ≥11g / dL was 81.3% vs. 67.9% p = 0.049; 3-year survival rate 82% vs. 79% p = 0.05. Complete tumor response in hematocrit levels before radiation ≤35% compared to> 35% was 71.7% vs. 75.8% p = 0.65; 3-year survival rate 86% vs. 78% p> 0.05. Complete tumor response in hematocrit levels during radiation ≤35% compared to> 35% was 72.7% vs. 72.7% p = 1.00; 3-year survival rate 78% vs. 87% p => 0.05. 3-year survival rate in patients who were not transfused transfused compared with 80% vs. 84% p = 0.95.
Conclusions : This study shows that differences in the influence of mean hemoglobin levels during radiation on tumor response and survival rate, the influence of mean hematocrit levels before and during radiation on tumor response and survival rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teti Ernawati
"Cara kerja : Selama bulan Juni hingga September 2006, 97 perempuan dengan HIV positif baik yang telah mendapat terapi ARV atau belum, mengikuti penelitian di Poliklinik POKDISUS AIDS RSCM. Data didapatkan dari status dan wawancara serta pengambilan tes Pap. Dari status diketahui kadar CD4 yang telah diperiksa terakhir. Karena masalah dana hanya diambil sepuluh sampel untuk mengetahui jenis DNA HPV serviks peserta penelitian. Dilihat jugs bagaimana karakteristik penularan HIV pada perempuan yang diteliti. Pelaporan hasil tes Pap dengan sistem Bethesda.
Hasil : Temuan tes Pap abnormal adalah 23,7%, terbanyak adalah LIS derajat rendah yakni 11,3%, diikuti ASCUS 10,3% dan LIS derajat tinggi 2,1%. Pada perempuan HIV positif yang diteliti kadar CD4 kurang dari 200 sel/mm3 adalah 40,2% ; antara 200-500 adalah 47,4% dan lebih dari 500 adalah 12,4%. Dari sepuluh peserta yang diperiksa DNA HPV diketahui enam orang didapatkan jenis high risk. Penularan infeksi HIV pada perempuan yang diteliti adalah melalui kontak seksual dengan suami pengguna putau 44,3%, suami yang multipartner 18,6%, perilaku seksual multipartner peserta penelitian sebanyak 26,8% dan peserta penelitian yang mengkonsumsi narkoba putau 10,3%.
Kesimpulan Temuan tes Pap abnormal terbanyak adalah LIS derajat rendah yakni 11,3%. Kadar CD 4 sebagian besar perempuan dalam penelitian ini adalah kurang dari 500 sel per mm3 (87,6%). Enam dari sepuluh peserta penelitian yang diperiksa DNA HPV didapatkan jenis high risk (risiko tinggi). Karakteristik penularan infeksi HIV terbanyak pada perempuan yang diteliti adalah penularan melalui kontak seksual dengan suami yang telah terinfeksi HIV Iebih dulu 62,9%.

Objective: to investigate Pap smear test result of the HIV positive women at POKDISUS AIDS RSCM.
Method: Between June and September 2006, 97 HIV-positive women from POKDISUS AIDS RSCM policlinic were enrolled. Some of the women have received the ARV treatment, while some others have not. Data were obtained from the medical records, interview and Pap test of the participant. From the medical records, the last CD4 level was obtained. Causes of financial problem only ten experiment samples were collected to investigate the type of cervical HPV DNA. It was also inspected how the HIV transmission characteristic of the women involved. The Pap's test report was using the Bethesda system.
Result: the Pap test outcome shown: abnormal 23.7%, consisting: LGSIL 11.3%, followed by ASCUS 10.3% and HGSIL 2.1%. At the HIV positive women, the CD4 level less than 200 cells/mm3 is 40.2%; ranges between 200 - 500 cells/mm3 is 47.4% and more than 500 is 12.4%. From the 10 (ten) participants investigated, it is known that 6 (six) of them got the high-risk type. The transmission of HIV infection of the participants: through the sexual activity of the drug/putaw abuse spouses is 44.3%, through the sexual activity of the multipartners spouses is 18.6%, and by the multipartners sexual activity is 26.8% and by the drug/putaw abuse is 10.3%
Conclusion: the Pap test outcome shown the most occurrences is L;GSIL 11.3%, the CD4 level of the HIV positive women is mostly less than 500 cells/mm3 (86,7%). Further, 6 (six) out of 10 (ten) participants investigated got the high-risk type. Most of the transmission of HIV infection of the participants is through the sexual activity of the drug/putaw abuse spouses, who have been infected already.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caesar Nurfiansyah
"Metode : Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan menggunakan metode potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Penelitian dilakukan di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta pada 31 Januari 2015 hingga 31 Januari 2020. Sebanyak 183 pasien wanita dengan kecurigaan neoplasma ovarium padat diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan penyakit sistemik lainnya atau mengalami kehamilan dieksklusi dari penetlitian. Dilakukan uji kesesuaian dengan menggunakan uji Kappa. Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas dari masing-masing penanda tumor
Hasil : AFP memiliki sensitivitas 1,92% dan spesifisitas 77,1% sebagai penanda disgerminoma. LDH memiliki sensitivitas 55,67% dan spesifisitas 65,65% sebagai penanda disgerminoma.. AFP memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 85% sebagai penanda teratoma. LDH memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 58,13% sebagai penanda teratoma . AFP memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 88,89% sebagai penanda Yolk sac tumor. LDH memiliki sensitivitas 41,67% dan spesifisitas 59,65% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi AFP dan LDH memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 50,29% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi tumor marker AFP dan LDH memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi namun tidak memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan menggunakan AFP atau LDH saja.
Kesimpulan : AFP dan LDH merupakan penanda tumor yang dapat digunakan untuk deteksi dini maupun skrining pada kasus neoplasma padat ovarium.

Background: Ovarian neoplasms are the most common malignancy experienced by women in Indonesia. Solid ovarian neoplasm is a form of ovarian neopalsma that has a low survival rate due to late diagnosis. Early detection using tumor markers is one of the focuses of researches on ovarian neoplasms, one of which includes AFP and LDH.
Objective : To determine the sensitivity and specificity of AFP, LDH, and the combination of the two tumor markers.
Method : This research is a diagnostic test using cross sectional method. Sampling is done consecutively. The study was conducted at the Obstetrics and Gynecology Clinic of RSCM Jakarta from 31 January 2015 to 31 January 2020. A total of 182 female patients with suspicion of solid ovarian neoplasms were included in the study. Patients with other systemic diseases or pregnant were excluded from research. Conformity test was performed using the Kappa test. Sensitivity and specificity of each tumor marker was obtained
Result : AFP has a sensitivity of 1.92% and specificity of 77.1% as a marker of dysgerminoma. LDH has a sensitivity of 55.67% and a specificity of 65.65% as a marker of dysgerminoma. AFP has a sensitivity of 30.43% and a specificity of 85% as a marker of teratoma. LDH has a sensitivity of 30.43% and specificity 58.13% as a marker of teratomas. AFP has 100% sensitivity and 88.89% specificity as a marker of Yolk sac tumor. LDH has a sensitivity of 41.67% and specificity 59.65% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH has a sensitivity of 100% and a specificity of 50.29% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH marker tumors has a higher sensitivity value but does not have better accuracy than examinations using AFP or LDH alone
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liva Wijaya
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik skor prabedah dan prosedur potong beku pada pasien keganasan ovarium usia muda. Selain itu, penelitian ini ingin mengetahui apakah potong beku menambah nilai prediksi skor prabedah. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data RSCM dari tahun 2006-2010. Kami mendapatkan 437 pasien dengan diagnosis neoplasma ovarium kistik. Seratus lima puluh tujuh pasien berusia dibawah 40 tahun. Nilai diagnostik skor GP pada keganasan usia muda berturut turut sensitivitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi sebesar 77%, 49%, 61%, 68%, dan 63% sedangkan RMI memberikan nilai diagnostik berturut-turut 69%, 49%, 58%, 45%, dan 59%, hasil yang tidak jauh berbeda dengan skor GP. Nilai diagnostik prosedur potong beku pada keganasan usia muda dengan skor GP >4 berturut turut sensitivitas, spesifitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi sebesar 81.7%, 87.2% , 90.7%, 75.6%, dan 83%, sedangkan untuk RMI >200 nilai diagnostik berturut-turut adalah 81%, 87%, 89%, 77%, dan 83%. Potong beku menambah 6% dari prediksi prabedah skor GP dan 12% dari prediksi prabedah RMI.

The aim of this paper is to know the diagnostic value of scoring system that taken before surgery and frozen section in the young age patient suspected malignancy. Using that result, we can also know whether the frozen section give additional value to clinical scoring system or not. This research was undergone by using RSCM’s medical record from 2006-2010. From 437 patients suspected ovarian malignancy, we took only 157 patients due to their age. Diagnostic value of GP score are 77%, 49%, 61%, 68%, 63%, while RMI are 69%, 49%, 58%, 45%, 59%, (sensitivity, spesifity, positive prediction value, negative predictive value, and accuracy respectively). Diagnostic value of frozen section in patient suspected malignancy using GP score >4 are 81.7%, 87.2%, 90.7%, 75.6%, 83%, while in patient with RMI > 200 are 81%, 87%, 89%, 77%, 83% (sensitivity, spesifity, positive prediction value, negative predictive value, and accuracy respectively). Frozen section only gave 6% additional value for GP score and 12% for RMI score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Christina
"LATAR BELAKANG: Keganasan meningkatkan risiko trombosis vena sekitar 2-7 kali. Insideni trombosis vena pada tumor ganas ovarium dilaporkan berkisar antara 5-29 . Berbagai faktor yang terkait dengan kondisi pasien usia, indeks massa tubuh, komorbid , karakteristik tumor ukuran, stadium, histologi, ascites dan terapi kemoterapi, lama pembedahan, jumlah perdarahan di laporkan dapat menjadi prediktor trombosis vena dalam TVD namun penelitian mengenai model prediksi TVD khususnya untuk populasi Indoensia masih terbatas.
TUJUAN: Mengetahui faktor ndash; faktor prediktor trombosis vena dalam pada tumor ganas ovarium.
DESAIN DAN METODE: Penelitian cohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan merekrut 116 pasien dengan dugaan tumor ganas ovarium yang akan menjalani operasi. Berbagai variable lain yang diduga sebagai prediktor TVD seperti kadar pra-terapi trombosit, D-Dimer, fibrinogen, usia, indeks massa tubuh IMT , komorbid, stadium, diameter, histologi, bilateralitas tumor, adanya ascites, metastasis jauh diukur dan dicatat. Pasien diikuti untuk gejala dan tanda TVD. Pasien yang memiliki gejala dan tanda klinis TVD dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi Duplex vascular.
HASIL: Seratus tiga pasien tumor ganas ovarium diikutkan dalam analisis. Insideni TVD adalah 16.5 dan 88.2 kejadian TVD terjadi sebelum pembedahan. Tidak ditemukan kejadian TVD selama perawatan pasca operasi dengan rata rata lama perawatan 8.8 hari. Kombinasi beberapa variable menghasilkan model prediksi kejadian TVD pada tumor ganas ovarium yang mencakup metastasis jauh OR 28,99; IK 95 3,83-219,52, IMT ge; 22,7 kg/m2 OR 15,52, IK 95 2,24-107,37 , kadar D-Dimer ge; 1700 mg/ml OR 13,30, IK 95 2.40-73,84 , stadium lanjut OR 6,66; IK 95 1,05-42,27 , histologi epithelial OR 6,5; IK 95 0,34-125,75 , diameter tumor ge; 18,25 cm OR 2,36, IK 95 0,48-11,54 , adanya komorbid OR 2,49, IK 95 0,53-11,66. Skor prediksi kejadian TVD adalah skor 3 untuk metastasis jauh, IMT ge; 22,76 kg/m2, D dimer ge; 1700 mg/dl, skor 2 untuk stadium lanjut, skor 1 untuk komorbid, diameter tumor ge; 18,25 cm, histologi epitelial dan skor 0 jika tidak ditemukan factor risiko atau nilai variable dibawah titik potong. Skor ge; 8 dari 14 adalah skor minimum dengan nilai prediksi TVD yang baik dengan AUC 0,92 IK 95 0,86-0,98, probabilitas 86,46, sensitivitas 64.7, spesifisitas 90.7.
KESIMPULAN: Model prediksi kejadian TVD dapat membantu memprediksi pasien tumor ganas ovarium yang berisiko tinggi untuk mengalami TVD sehingga dapat dipertimbangkan pencegahan TVD selektif.

BACKGROUND: Malignancy increase the risk of venous thromboembolism around 2 7 fold. Its incidence in ovarian malignancy ranged within 5 29 . Various characteristics related to patients age, body mass index, comorbid , tumor stage, tumor diameter, histology, ascites, distant metastasis or treatment length of surgery, bleeding, transfusion were found as predictor of venous thromboembolism. Predictor model of DVT occurrence in ovarian malignant tumor especially in Indonesian population is still limited.
OBJECTIVE: To evaluate the prediction model of deep vein thrombosis DVT in ovarian malignant tumor.
METHOD: This prospective cohort study enrolled 116 patients with suspected ovarian malignant tumor. Suspected risk factors of venous thromboembolism such as age, body mass index BMI , comorbid, pretreatment D dimer, fibrinogen, thrombocyte level, tumor diameter, staging, presence of distant metastasis, ascites, tumor histopathology, length of surgery, intraoperative blood loss and blood transfusion were measured and recorded. Patient who had symptoms and signs of DVT was confirmed with Doppler ultrasonography.
RESULT: Incidence of symptomatic DVT was 16.5 and 88.2 cases occurred before surgery. No case of symptomatic DVT was observed during post operative hospitalization with mean length of stay 8.85 days. Predictor factor of DVT were distant metastasis OR 28,99 95 CI 3,83 219,52, BMI ge 22,7 kg m2 OR 15,52, 95 CI 2,24 107,37 , D Dimer ge 1700 mg ml OR 13,30, 95 CI 2.40 73,84, advanced stage OR 6,66 95 CI 1,05 42,27 , epithelial tumor OR 6,5 95 CI 0,34 125,75, tumor diameter ge 18,25 cm OR 2,36, 95 CI 0,48 11,54, comorbid OR 2,49, 95 CI 0,53 11,66. Prediction score of DVT were score 3 for distant metastasis, BMI ge 22,7 kg m2, D Dimer ge 1700 mg ml, score 2 for advanced stage, score 1 for tumor diameter ge 18,25 cm, comorbid, epithelial tumor and score 0 for the absence of variables or value of variable was less than the cut off. Total score ge 8 of 14 is the least score which has a good predictive value for DVT ocurence with AUC 0.92, 95 CI 0.86 0.92, probability 86,46, sensitivity 64.7, specificity 90.7.
CONCLUSION: Prediction model of DVT may help to predict the patient with malignan ovarian tumor who had high risk of DVT therefore can consider selective DVT prevention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahimi Rahim
"Latar belakang: Kanker serviks menduduki peringkat kedua sebagai kanker tersering di seluruh dunia. Karsinoma sel skuamosa KSS adalah jenis histopatologi kanker serviks tersering. Prognosis terapi dan kesintasan KSS serviks menjadi informasi yang penting untuk pasien dan klinisi.
Tujuan: 1.Memperbaiki prognosis dan respon terapi radiasi pasien KSS serviks; 2.Mengetahui respon pasca terapi radiasi pada pasien KSS serviks stadium IIIB; 3.Mengetahui prevalensi dan deskripsi sosiodemografi pasien KSS serviks stadium IIIB; 4.Mengetahui perbedaan klinikopatologik pasien KSS serviks stadium IIIB ditinjau dari: diameter massa serviks, derajat diferensiasi sel kanker, dan jenis histopatologi sel kanker; Mengetahui kesintasan 1 tahun setelah menjalani terapi radiasi.
Metode: Dilakukan telaah historical kohort pada 76 pasien KSS serviks stadium IIIB di RSCM dari tahun 2016-2017. Pasien dikelompokkan menjadi KSS serviks stadium IIIB dengan pembesaran KGB dan tanpa pembesaran KGB. Dilakukan analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Kesintasan 1 tahun dianalisis dengan menggunakan Kaplan-Meier.
Hasil: Prevalensi terbagi menjadi 36 pasien 47,4 dengan pembesaran KGB, dan 40 pasien 52,6 tanpa pembesaran KGB. Respon terapi radiasi pada KSS serviks IIIB dengan pembesaran KGB lebih rendah, RR 4,26 1,96 -9,27, IK 95 . Skor prediktor 2.1 sebagai titik potong untuk menentukan diagnosis respons negatif pada terapi radiasi LR 2,31, sensitivitas 96,3 , spesifisitas 58,3 , dan akurasi 77,3 . Deskripsi sosiodemografi dan klinikopatologi sebanding antara kedua kelompok. Kesintasan 1 tahun KSS serviks stadium IIIB tanpa pembesaran KGB lebih baik HR 9,57.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna terhadap respon terapi radiasi antara kelompok KSS serviks stadium IIIB dengan pembesaran KGB dan tanpa pembesaran KGB.

Background: Cervical cancer is second rank as the most common cancer worldwide. Squamous cell carcinoma SCC is the most common histopathology type for cervical cancers. The radiotherapy prognostic and survival rate of cervical SCC becomes important information for patients and clinicians.
Objectives: 1 To improve prognostic and radiotherapy respond from SCC; 2 knowing the radiotherapy response in patients stage IIIB cervical SCC with lymph node enlargement LNE compared to without LNE; 3 knowing the prevalence and description of sociodemographic; 4 knowing clinicopathologic differences in stage IIIB cervical SCC patients in terms of: cervical mass diameter, differentiated grade of cancer cells, and histopathologic type of cancer cells. 5 Knowing 1 year survival rate after radiotherapy.
Method: A historical cohort study was undertaken in 76 patients with stage IIIB cervical SCC in RSCM from 2016-2017. Patients are grouped into stage IIIB cervical SCC with LNE and without LNE. Univariate, bivariate, and multivariate analyzes were performed. The 1-year survival was analyzed using Kaplan-Meier.
Results: Prevalence was divided into 36 patients 47.4 with LNE, and 40 patients 52.6 without LNE. The radiotherapy respon for stage IIIB cervical SCC with LNE is worst than without LNE, RR 4.26 1.96-9.27, 95 IK . Predictor score ge;2.1 as the cutoff point to determine negative response on radiotherapy LR 2.31, sensitivity 96.3 , specificity 58.3 , and accuracy 77.3 . Sociodemographic and clinicopathologic descriptions were comparable between the two groups. The 1-year survival of stage IIIB cervical SCC without LNE better than with LNE, HR 9.57 3.28 ndash;27.88 95 IK.
Conclusion: There was a significant difference to radiotherapy response between the stage IIIB cervical SCC with LNE and without LNE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purnomo Hyaswicaksono
"Latar belakang : Kanker serviks merupakan penyebab ketiga kematian dan morbiditas tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Morbiditas dan mortalitas pasien dengan kanker serviks meningkat seiring dengan peningkatan usia dan stadium klinis. Metastasis menuju kelenjar getah bening (KGB) paraaorta merupakan salah satu bentuk metastasis pada kanker serviks stadium lanjut.
Tujuan : Mengetahui adakah perbedaan respon klinis pasca radioterapi dan kesintasan 1 tahun pada pasien kanker serviks stadium lanjut dengan pembesaran KGB paraaorta dibandingkan pasien tanpa pembesaran KGB paraaorta.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan metode kohort retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara conse cutive sampling. Subyek penelitian ini adalah semua wanita dengan diagnosis primer kanker serviks stadium IIB hingga IVB yang datang ke poliklinik Onkologi Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan menjalani pemeriksaan MRI sebelum dilakukan terapi pada bulan Januari 2016 hingga Mei 2017.
Hasil : Dari 76 subjek yang diteliti, didapatkan sebanyak 4 (5,1%) subyek yang mengalami pembesaran KGB paraaorta. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara status pembesaran KGB paraaorta dan usia (p = 0,829), usia hubungan seksual pertama (p = 0,333), paritas (p = 0,642), dan diameter massa (p = 0,777). Diferensiasi buruk memiliki risiko 3,89 lipat (p < 0,0001, IK95% 2,64-5,74) memiliki respon terapi negatif. Pasien dengan pembesaran KGB paraaorta memiliki risiko 2,13 kali lipat (p = 0,02, OR 2,13, IK95% 1,12-4,07) memiliki risiko respon terapi negatif. Tidak terdapat perbedaan kesintasan 1 tahun antara pembesaran KGB paraaorta dan tidak (median 201 vs. 293, p = 0,072.
Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan karakteristik sosiodemografis, dan kesintasan 1 tahun antara pasien kanker serviks stadium lanjut dengan pembesaran KGB dan tanpa pembesaran KGB. Pasien dengan diferensiasi kanker buruk dan pembesaran KGB paraaorta memiliki risiko lebih tinggi mengalami respon radioterapi negatif. (p < 0,05).

Background : Cervical cancer is the third leading cause of death and highest morbidity in women worldwide. Morbidity and mortality of patients with cervical cancer increases along with age and clinical stage. Metastasis to the paraaortic lymph node (PALN) is a form of metastasis in advanced cervical cancer.
Objective : To determine whether there are differences in clinical response after radiotherapy and 1 year survival in patients with advanced cervical cancer with enlargement of PALN compared to patients without enlargement of PALN.
Method : This study was an observational analytic study using a retrospective cohort method. Sampling was done by consecutive sampling. The subjects of this study were all women with a primary diagnosis of stages IIB to IVB cervical caner who came to the gynecological oncology clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital and underwent MRI examination before being treated in January 2016 to May 2017.
Result : From 76 subjects studied, there were 4 (5.1%) subjects who had enlarged PALN. There were no significant differences between the enlargement status of PALN and age (p = 0.829), age of first sexual intercourse (p = 0.33), parity (p = 0.642), mass diameter (p = 0.777). Badly differentiated mass has 3.89 times risk of having negative radiotherapy outcome (p < 0.0001, CI95% 2.64-5.74). Patients with PALN enlargement have 2.13 times risk of having negative radiotherapy outcome (p = 0.02, OR 2.13, CI95% 1.12 – 4.07). There was no difference in 1-year survival between patients with and without enlargement of PALN (median 201 vs. 293, p = 0.072).
Conclusion : There were no differences in sociodemographic characteristics and 1 year survival between patients with advanced cervical cancer with enlargement PALN. Patients with badly differentiated mass and PALN enlargement have increased risk of having negative radiotherapy outcome (p < 0.05).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>