Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luthfiyyah Mutsnaini
"Apoteker merupakan salah satu tenaga kesehatan di rumah sakit yang sangat berperan penting dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai peran dari apoteker dalam mengelola persediaan perbekalan farmasi pada suatu rumah sakit dalam menjalankan fungsi klinis serta pengelolaan rumah sakit. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) kali ini diselenggarakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 2 April - 4 Juni 2014. Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan contoh rumah sakit yang cukup baik sebagai tempat Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA), karena telah menerapkan sistem manajemen dan administrasi dengan baik, serta sistem pengelolaan teknis kefarmasian dan non teknis kefarmasian yang telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kesempatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo, penulis melakukan tugas khusus tentang perencanaan obat sitostatik di Poli Obstetrik dan Ginekologi untuk periode Juni - Agustus 2014. Berdasarkan hasil rekapitulasi data penggunaan obat sitostatik di Poli Obstetrik dan Ginekologi pada bulan April 2014, diperoleh beberapa jenis dan sediaan obat sitostatik yang dibutuhkan untuk periode selanjutnya sehingga tidak terjadi kekosongan persediaan obat yang dapat menyebabkan penundaan kemoterapi dari pasien.

Pharmacists are one of the health workers at the hospital were very important in providing optimal health care to patients. It is necessary for understanding of the role of pharmacists in managing inventory pharmaceutical supplies at a hospital as a clinical pharmacy and management pharmacy. Apothecary Profession Internship (PKPA) is held at Dr. Cipto Mangunkusumo National Centre Hospital Jakarta in April 2nd to June 4th, 2014. Dr. Cipto Mangunkusumo National Centre Hospital is a pretty good example of hospital as a place for Apothecary Profession Internship (PKPA), for implementing the system with good management and administration, as well as technical management systems and non-technical pharmacy which has been properly implemented in accordance with the rules and regulations applicable. In Apothecary Profession Internship (PKPA) at Dr. Cipto Mangunkusumo National Centre Hospital, the author perform specific tasks on planning the cytostatic drug supply in Obstetrics and Gynecology Department for the period of June to August, 2014. Based on the data summary of cytostatic drug uses at Obstetrics and Gynecology Department in April 2014 was obtained the types of cytostatic drugs and dosage required for the next period, so there is no void supply of medication that can cause a delay chemotherapy of patients.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Herbinta
"Latar Belakang: Manajemen jalan nafas alternatif dengan menggunakan Laryngeal Mask (LM) yang dilakukan perawat sebagai penolong pertama yang melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada situasi henti jantung didalam rumah sakit sebelum tim resusitasi datang. Penelitian ini meneliti perawat dengan pengalaman minimal melakukan manajemen jalan nafas akan lebih mudah melakukan pemasangan Laryngeal Mask Supreme pada manekin dibandingkan dengan pemasangan Laryngeal Mask Unique.
Metode: Sebanyak 86 perawat dengan pengalaman manajemen jalan nafas minimal ikutserta sebagai subyek penelitian. Materi tentang anatomi jalan nafas, teknik, demonstrasi dan latihan pemasangan LM Supreme dan LM Unique pada manekin diberikan sampai subyek penelitian mampu memasang alat tersebut. Data penelitian diambil setelah pemberian materi selesai. Kemudahan pemasangan ditentukan jika memenuhi semua kriteria dari variabel keberhasilan pemasangan, jumlah upaya pemasangan < 2 kali dan lama waktu pemasangan < 30 detik.
Hasil: Pemasangan LM Supreme yang mudah didapatkan sebesar 82 (52,6%) dan LM Unique 74 (47,4%). Pemasangan LM Supreme yang tidak mudah didapatkan sebesar 4 (25,0%) dan LM Unique 12 (75,0%). Uji statistik dengan uji Chi Square didapatkan perbedaan bermakna dalam hal kemudahan pemasangan (p<0,05).
Kesimpulan: Pemasangan LM Supreme yang dilakukan oleh perawat pada manekin lebih mudah dibandingkan dengan pemasangan LM Unique.

Background: Alternative airway management using the Laryngeal Mask by nurses who performed the first cardiac pulmonary resuscitation (CPR) on the situation in hospital cardiac arrest before resuscitation teams arrived. This study examined nurses with minimal experience doing airway management will be easier to perform the insertion of the Laryngeal Mask Supreme on manikins compared with Laryngeal Mask Unique insertion.
Methods: Eighty six nurses with minimum experience of airway management were participate in the study. The material on airway anatomy, technique of insertion, demonstration and practice insertion of Supreme Laryngeal Mask and Unique Laryngeal Mask on the manikins is given until subjects were able to insert the tool. The data were taken after the administration of the material is complete. Ease of installation is determined if it meets all the criteria of the variable success of the insertion, the number of attempts <2 times and installation time <30 sec.
Results: Insertion of the Supreme Laryngeal Mask easily obtained for 82 (52.6%) and Unique Laryngeal Mask 74 (47.4%). Insertion Supreme Laryngeal Mask that is not easy to come by 4 (25.0%) and LM Unique 12 (75.0%). Statistical test Chi Square test found a significant difference in terms of ease of insertion (p <0.05).
Conclusion: Insertion of the Laryngeal Mask Supreme performed by nurses on a manikins easier than the insertion of the Laryngeal Mask Unique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Hari Wahyu
"Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan darurat medis yang harus segera ditangani dengan tepat untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. Glasgow Coma Scale (GCS) yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien penurunan kesadaran akan memberikan gambaran keparahan dari kerusakan otak dan memprediksi outcome.
Tujuan: Mengetahui ketepatan GCS dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif. 116 pasien usia ≥ 18 tahun dengan Glasgow Coma Scale dibawah 15 saat tiba di IGD RSCM Jakarta. Glasgow Coma Scale sampel dinilai sebanyak 1 kali ketika pasien pertama kali diterima di IGD RSCM. Peneliti mengevaluasi outcome pasien dua minggu setelah masuk IGD RSCM berdasarkan kriteria Glasgow Outcome Scale. Hasil Rerata usia pasien 51,4 ± 16,4 tahun, median GCS 9 (3- 14).
Hasil: Glasgow Outcome Scale diklasifikasi menjadi bad outcome (meninggal dan disabilitas berat) 66 pasien (56,9%) dan good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) 50 pasien (43,1%). Skor GCS pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Skor GCS-E, GCS-M dan GCS-V masing-masing pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Hasil regresi logistik, komponen GCS yang memiliki nilai prediksi terhadap outcome adalah komponen verbal dan membuka mata. Hasil uji kalibrasi skor GCS total dan skor GCS E+V memiliki kualitas yang baik. Hasil uji diskriminasi menunjukkan skor GCS total mempunyai nilai AUC 0,788 (IK95% 0,705-0,870). Skor GCS E+V mempunyai AUC 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Titik potong GCS adalah ≤ 9. Uji Kappa antara dokter dan perawat terhadap skor GCS menunjukkan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901 (p < 0,001).
Kesimpulan: Skor Glasgow Coma Scale mampu memprediksi outcome dengan tepat pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM, karena memiliki kalibarasi dan diskriminasi yang baik.

Altered level of consciousness is a medical emergency that must be manage immediatly to reduce further damage. Glasgow Coma Scale (GCS) is used to assess the level of consciousness in citically ill patients. GCS indicates the severity of brain damage and predictor of patient outcomes.
Objective: To assess accuracy of GCS in predicting outcome for patients with altered level of consciousness in Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This study is a observational prospective cohort study. Samples were 116 patients aged ≥ 18 years with a Glasgow Coma Scale below 15 at the time of admisssion in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital. Glasgow Coma Scale was assessed when patients first arrived in the Emergency Department. To assess outcome, researchers used The Glasgow Outcome Scale. Glasgow Outcome Scale was reviewed 2 weeks after admission for every sample.
Results: The mean patient age was 51.4 ± 16.4 years, median GCS 9 (3-14). The Glasgow Outcome Scale classified into bad outcome (death and severe disability) 66 patients (56.9%) and good outcome (moderate disability and good recovery) 50 patients (43.1%). The difference in GCS score between both outcome group were statistically significant (p < 0,001). Each of patient's GCS-E, GCS and GCS-M-V in bad outcome groups differ significantly with good outcome group (p < 0,001). The results of logistic regression, GCS components that have predictive value to the outcome are verbal and eye opening component. Calibration test showed that total GCS score and GCS E+V score has good quality. The results of discrimination test showed total GCS score has a AUC of 0.788 (IK95% from 0.705 to 0.870). GCS score E+V has AUC of 0.777 (IK95% from 0.690 to 0.864). GCS's cut off point was ≤ 9. Kappa Test between doctors and nurses to the GCS score showed very strong results of Kappa 0.901 (p < 0,001).
Conclusion: Glasgow Coma Scale can predict outcome in patients with altered level of consciousness in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, because of its good calibration and discrimination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Anggraeni M. Saleh
"ABSTRAK

Kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT. Bayer Indonesia Cimanggis Plant bertujuan agar calon apoteker mengerti peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker di Industri Farmasi, memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Industri Farmasi, memahami penerapan GMP (CPOB) di Industri Farmasi, dan memiliki gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di Industri Farmasi.


ABSTRACT
Pharmacist Professional Work Practice Activities (PKPA) at PT. Bayer Indonesia Cimanggis Plant aims to make prospective pharmacists understand the role, duties and responsibilities of pharmacists in the Pharmaceutical Industry, have insight, knowledge, skills, and practical experience to do pharmaceutical work in the Pharmaceutical Industry, understand the application of GMP in the Pharmaceutical Industry, and have a real picture of the problem of pharmaceutical work in the Pharmaceutical Industry.

"
2019
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Aji Subakti
"Latar belakang : Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah berhasil menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien Infark Miokard Akut Dengan Elevasi Segmen ST (IMA EST), namun masih tingginya kejadian gagal jantung pada pasien yang berhasil bertahan hidup menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pencegahan remodeling melalui jalur inhibisi metalloproteinase (MMPs) merupakan target terapi dari doksisiklin. Biomarker fibrosis miokard pada proses remodeling adalah Soluble suppression of tumorigenicity-2 (sST2). Efek doksisiklin terhadap kadar ST2 pada pasien IMA EST yang dilakukan IKPP belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar ST2 sebagai biomarker pasca IKPP.
Metode: Pada pasien IMA-EST sesuai dengan kriteria inklusi yang menjalani IKPP dimasukkan kedalam populasi penelitian dengan metode acak ganda tersamar. Dilakukan pemeriksaan laboratorium ST2 sebelum tindakan IKPP dan 24 jam paska tindakan IKPP.Subyek penelitian akan mengkonsumsi kapsul penelitian A atau B, sebanyak dua kali sehari selama 7 hari. Parameter ekokardiografi diukur pada 24 jam pertama setelah tindakan IKPP dan pada hari kelima atau sebelum pulang dari rumah sakit dan dilakukan pencatatan kejadian kematian, lama rawat, dan gagal jantung selama perawatan.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang dianalisa pada studi ini. Pemberian doksisiklin dibanding placebo tidak terbukti bermakna dalam menurunkan ST2 pada jam ke 24. Terdapat perbedaan bermakna yang baik pada insiden gagal jantung kelompok kontrol dengan ST2 > 35 ng/ml dan ST2 < 35 ng/ml dengan nilai p = 0,007. Terdapat peningkatan nilai ejeksi fraksi bermakna dibandingkan kelompok kontrol (4,5±10,4 vs 0,3±10,3 %, p = 0,05) dengan rerata peningkatan sebesar 4,2 (95% IK 0,04-8,46) %.
Kesimpulan : Doksisiklin sebagai agen anti remodeling tidak terbukti menurunkan kadar ST2 secara bermakna pada pasien IMA EST yang dilakukan IKPP

Background : Primary percutaneous coronary intervention (PPCI) has succeeded in reducing mortality and morbidity in patients with Acute Myocardial Infarction With the new ST Segment Elevation (STEMI), but the high incidence of heart failure in patients who have survived causes increased morbidity and mortality. Prevention of remodeling through the metalloproteinase inhibition pathway (MMPs) is the therapeutic target of doxycycline. Biomarker of myocardial fibrosis in the remodeling process are soluble suppression of tumorigenicity-2 (sST2). The effect of doxycycline on ST2 levels in STEMI patients performed by PPCI is unknown.
Objective : To determine the effect of doxycycline on decreasing ST2 levels as a biomarker after PPCI.
Methods: STEMI patients according to the inclusion criteria who underwent PPCI were included by double randomized control trial method. ST2 laboratory is carried out before PPCI and 24 hours after PPCI. The subject will consume capsules A or B,twice a day for 7 days. Echocardiographic parameters were measured in the first 24 hours after PPCI and on the fifth day or before discharge from the hospital. The incidence of death, length of stay, and heart failure during hospitalization were recorded.
Results: There were 94 subjects analyzed in this study. The Doxycycline compared to the placebo was not proven in decreasing ST2 at 24 hours. There was higher incidence of heart failure related to ST2 > 35 ng / ml than ST2 <35 ng / ml with p = 0.007. There wasimprovementejection fraction among control group (4.5 ± 10.4 vs 0.3 ± 10.3%, p = 0.05) with an increase in the mean of 4.2 (95% CI 0.04-8 , 46)%.
Conclusion : Doxycycline as an anti-remodeling agent was not proven to reduce ST2 levels in STEMI patients after PPCI
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59204
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jade Nugrahaningtyas Liswono
"Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa apoteker di rumah sakit dalam peran manajemen perbekalan farmasi dan pelayanan farmasi klinik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tugas khusus dengan judul "Pembuatan Leaflet Menggunakan Insulin dengan Benar" bertujuan sebagai layanan informasi obat dan sosialisasi cara menggunakan insulin dengan benar agar tercapai penggunaan obat yang rasional.

Apothecary Profession Internship in Dr. Cipto Mangunkusumo National Centre Hospital Jakarta was aimed to give comprehension to apothecary students about pharmaceutical supplies management and clinical pharmacy care in hospital. Beside that general assignment, there was specific assignment given to apothecary student which titled "The Composing of Leaflet about How to Use Insulin Pen Properly". This specific assignment was aimed to provide drug information and to socialize the proper use of insulin pen in order to achieve the rational use of drug."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Aquinas Syukur Rejo Tonda
"ABSTRAK
Latar Belakang Kegagalan mengenali pasien yang memiliki risiko mortalitas tinggi dapat menyebabkan luaran yang buruk Karena itu penilaian yang cepat dan tepat terhadap perubahan tanda vital sangat penting untuk menghindari keterlambatan penanganan yang dapat memengaruhi luaran pasien Beberapa modul triase telah dirancang sebagai sistem pendukung dalam pengambilan keputusan untuk memandu perawat dokter triase agar dapat mengambil keputusan yang tepat Penelitian ini akan menjelaskan seberapa besar modul triase di IGD RSCM dapat memprediksi mortalitas untuk luaran 24 jam dan 7 hari Metode Penelitian ini merupakan penelitian prognostik dengan desain penelitiannya adalah studi kohort retrospektif pada 529 data pasien dengan usia lebih dari 18 tahun yang menjalani prosedur triase di Instalasi Gawat Darurat RSCM Luaran mortalitas pasien dibagi menjadi mortalitas 24 jam dan mortalitas 7 hari Hasil Dari hasil analisis kurva ROC didapatkan area under the curve modul triase untuk luaran 24 jam adalah 0 787 IK 95 0 690 0 885 lebih besar daripada area under the curve modul triase untuk luaran 7 hari yakni sebesar 0 662 IK 95 0 597 0 726 Hal ini berarti performa modul triase IGD RSCM lebih baik dalam memprediksi mortalitas 24 jam daripada untuk memprediksi mortalitas 7 hari Berdasarkan perhitungan nilai prediktif modul triase untuk luaran 24 jam didapatkan rasio kemungkinan positif PLR untuk kategori resusitasi sebesar 11 36 sedangkan untuk kategori lain didapatkan 1 11 untuk kategori emergency 1 69 untuk kategori urgent 0 4 untuk kategori non urgent dan 0 23 untuk kategori false emergent Kesimpulan Modul triase IGD RSCM dapat memprediksi angka mortalitas pasien non bedah Kemampuan prediksi berdasarkan performa diskriminasi berada pada level Fair Test Performa modul triase IGD RSCM lebih baik dalam memprediksi mortalitas 24 jam daripada untuk memprediksi mortalitas 7 hari.
ABSTRACT
Background Failure to identify high risk patients can lead to poor outcomes Therefore quick and precise assessment of the changes in vital signs is very important to avoid delays in treatment which may affect patient outcomes Some triage module has been designed as a support system in decision making to guide the nurse physician triage in order to take the right decision This study will explain how the triage modules in the ED of RSCM can predict the outcomes of mortality for 24 hours and 7 days Methods This is a prognostic study with the design of the study was a retrospective cohort study on 529 patient data with more than 18 years of age who underwent the procedure triage in the ED of RSCM Mortality outcomes of patients were divided into 24 hour mortality and 7 days mortality Based on the calculation of predictive value for the triage module outcome in 24 hours obtained positive likelihood ratio PLR for category resuscitation is 11 36 while for other is 1 11 for emergency category 1 69 for urgent category 0 4 for non emergency categories and 0 23 for false emergent category Results The results of ROC curve analysis obtained an area under the curve for the 24 hours outcome was 0 787 95 CI 0 690 to 0 885 greater than the area under the curve for 7 days outcomes 0 662 CI 95 0 597 to 0 726 This means that the performance of the ER triage module of RSCM better in predicting of 24 hours mortality rather than for predicting 7 days mortality Conclusions ED triage module of RSCM can predict mortality of non surgical patients The predictive ability based on the performance of discrimination is Fair Test ER triage module performance is better in predicting of 24 hours mortality rather than for predicting 7 days mortality Keywords triage module ED of RSCM predict outcome."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Maulida Dewi
"Pendidikan profesi apoteker menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya memenuhi kebutuhan apoteker yang professional. Apoteker sebagai salah satu pelaku pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal, serta integritas etika/moral untuk mendukung terwujudnya pelayanan kefarmasian yang bermutu. Dalam rangka peningkatan profesionalisme apoteker, baik calon apoteker maupun apoteker yang telah praktik, diperlukan pelatihan terstruktur yang dapat membangun pengetahuan, keterampilan serta sikap professional sebagai seorang apoteker yang berkualitas. Pelatihan terstruktur yang dimaksud dalam dokumen ini dapat dalam bentuk praktik kerja apoteker (PKPA) bagi calon apoteker. Pada kali ini, Praktik Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan di PT Kalbio Global Medika periode Januari – Februari 2022 dan Apotek Roxy Sawangan periode Mei 2022. Melalui proses PKPA di bidang industri farmasi dan pelayanan apotek, calon apoteker diharapkan mampu memperoleh wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang sesuai untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

Professional pharmacist education is a very important factor in an effort to meet the needs of professional pharmacists. Pharmacists, as one of the actors in health services, especially pharmaceutical services, must have reliable knowledge and skills, as well as ethical and moral integrity to support the realization of quality pharmaceutical services. In order to increase the professionalism of pharmacists, both prospective pharmacists and pharmacists who have built a career, structured training is needed that can be used for knowledge, skills, and professional attitudes as a qualified pharmacist. The structured training referred to in this document can be in the form of pharmacist work (PKPA) for prospective pharmacists. This time, the Pharmacist Professional Work Practice was held at PT Kalbio Global Medika for the January–February 2022 period and at Roxy Sawangan Pharmacy for the May 2022 period. Through the PKPA process in the pharmaceutical industry and pharmacy services, prospective pharmacists are expected to be able to gain insight, knowledge, skills, and appropriate experience to perform pharmaceutical work."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Mahri
"Latar Belakang: Emergence delirium (ED) merupakan kondisi yang dapat terjadi saat anak pulih dari anestesi dengan cara yang tidak nyaman. ED dapat menyebabkan cedera pada anak, dan kekhawatiran pada orangtua. Berbagai intervensi dilakukan untuk menurunkan ED, namun belum ada standar khusus yang rutin dilakukan untuk mencegah ED. Deksmedetomidin dan midazolam dikatakan efektif untuk mengurangi ED. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas premedikasi deksmedetomidin intranasal dibandingkan midazolam intranasal untuk mencegah ED pada anak yang menjalani operasi mata. Metode : Penelitian ini adalah uji klinik tersamar ganda, pada pasien anak usia 1- 12 tahun dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi mata dengan anestesia umum menggunakan agen inhalasi Sevoflurane. Subjek penelitian 64 orang, didapatkan dengan consecutive sampling selama Februari-Mei 2019 yang kemudian dikelompokan menjadi kelompok deksmedetomidin dan midazolam setelah proses randomisasi. Efektivitas dinilai dari kejadian ED, waktu pulih, dan kejadian desaturasi pasca premedikasi. Analisis data menggunakan uji Chi Square dan Uji Mann-Whitney. Hasil : Kejadian ED pada kelompok deksmedetomidin sebesar 11,18% sedangkan kelompok midazolam 28,12% (p=0,109). Waktu pulih didapatkan median yang sama 6 menit, dan tidak didapatkan kejadian desaturasi di kedua kelompok. Simpulan : Pemberian premedikasi deksmedetomidin intranasal 30 menit sebelum induksi secara statistik tidak lebih efektif dibandingkan midazolam untuk mencegah kejadian ED pada anak yang menjalani operasi mata.

Background: Emergence Delirium (ED) is a condition that can occur when a child recoverds from anesthesia in a uncomfortable way. ED can cause injury to children and worries to parents. Various interventions were carried out to reduce ED, but there were no specific standards has been estabilished to prevent ED. Dexmedetomidine and midazolam are said to be effective in reducing ED. This study aims to determine the effectiveness of intranasal dexmedetomidine premedication compared to intranasal midazolam to prevent ED in children undergoing eye surgery. Method : This study is a double-blind clinical trial, in pediatric patients aged 1-12 years with physical status ASA 1 and 2 who underwent eye surgery under general anesthesia using Sevoflurane inhalation agents. There were 64 childen obtained by consecutive sampling, who underwent eye surgery in our institution during February-Mayl 2019. The subjects then grouped into dexmedetomidine group and midazolam group. Effectiveness was assessed from ED events, recovery time, and post-premedication desaturation events. Data analysis using Chi Square test and Mann-Whitney test. Result : ED incidence in the dexmedetomidin group was 11.18% while the midazolam group was 28,12% (p = 0.109). The recovery time was the same median 6 minutes, and no desaturation was found in either group. Conclusion : There are statistically no difference between the effectiveness of intranasal dexmedetomidine and midazolam premedication 30 minutes before induction to prevent ED occurrence in children undergoing eye surgery. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Sahat Tumpal
"Latar Belakang: Menentukan kemampuan memprediksi sulit visualisasi laring (DVL) dari beberapa prediktor jalan nafas preoperatif berikut, baik tunggal atau gabungan: skor Mallampati (MMT), jarak tiromental (TMD), rasio jarak hiomental (HMDR).
Metode: Sebanyak dua ratus tujuh puluh tujuh pasien yang menjalani anestesi umum dievaluasi dengan menggunakan MMT, TMD, HMDR dan titik potong untuk masing-masing prediktor jalan napas adalah skor Mallampati III dan IV; <6.5 cm, <1.2. Pada saat dilakukan laringoskopi langsung, visualisasi laring dinilai berdasarkan klasifikasi Cormack Lehane (CL). Skor CL derajat III dan IV dianggap sulit visualisasi. Kemudian ditentukan nilai area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk setiap prediktor jalan napas, baik tunggal maupun kombinasi. Analisis regresi logistik digunakan untuk menentukan prediktor independen terhadap DVL.
Hasil : Kesulitan untuk memvisualisasikan laring ditemukan pada 28 (10,1%) pasien. Area di bawah kurva (AUC), sensitivitas, spesifisitas untuk tiga prediktor jalan nafas adalah: MMT (0.614; 10.7%, 99.2), HMDR (0.743; 64.2%, 74%), TMD (0.827; 82.1%, 64.7%) . TMD dengan titik potong 6,5 cm memiliki akurasi diagnostik (daerah di bawah kurva) dan profil validitas diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas) yang lebih besar dibandingkan prediktor tunggal lainnya (P <0.05). Kombinasi prediktor terbaik dalam penelitian kami adalah gabungan MMT, HMDR dan TMD dengan nilai gabungan AUC, sensitivitas, dan spesifisitas berturut-turut 0.835, 60.7%, 88.8%. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa MMT, HMDR dan TMD adalah prediktor independen dari
DVL.
Kesimpulan: TMD dengan titik potong 6.5 cm adalah prediktor yang dapat diandalkan secara klinis untuk menentukan sulit visualisasi laring DVL pada populasi ras Melayu.

Background: To determine the ability to predict difficult visualization of the larynx (DVL) from the following preoperative airway predictors, in isolation and combination: modified Mallampati test (MMT), thyromental distance (TMD), hyomental distance ratio (HMDR).
Methods : Two hundred and seventy seven consecutive patients undergoing general anesthesia were evaluated using the MMT, TMD, HMDR and the cut-off points for the airway predictors were Mallampati III and IV; < 6.5 cm, < 1.2 respectively. During direct laryngoscopy, the laryngeal view was graded using the Cormack and Lehane (CL) classification. CL grades III and IV were considered difficult visualization. Area under curve (AUC), sensitivity, specificity for each airway predictor in isolation and in combination were determined. Logistic regression analysis was used to determine independent predictors of DVL.
Results : Difficulty to visualize the larynx was found in 28 (10.1%) patients. The area under the curve (AUC), sensitivity, specificity for the three airway predictors were: MMT (0.614; 10.7%; 99.2), HMDR (0.743; 64.2%; 74%), TMD (0.827; 82.1%; 64.7%). The TMD with the cut-off point of 6.5 cm had greater diagnostic accuracy (AUC) and showed a greater diagnostic validity profile (sensitivity and specificity) than other single predictors (P < 0.05). The combination providing the best prediction in our study involved the MMT, HMDR and TMD with AUC, sensitivity, and specificity of 0.835, 60.7%; 88.8% respectively. Logistic regression analysis showed that MMT, HMDR and TMD were independent predictors of DVL.
Conclusions : The TMD with a cut-off point of 6.5 cm is a clinically reliable predictor of DVL in a Malay race population.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>