Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 34 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrinof
"Setelah terjadi penurunan harga minyak di pasaran dunia awal tahun 1980-an Indonesia mulai memperluas sektor-sektor ekonomi yang diserahkan kepada mekanisme pasar. Pada batas tertentu, perubahan sikap terhadap mekanisme pasar itu telah membuat daya saing dan produktifitas sektor ekonomi nonmigas Indonesia meningkat mulai menjelang pertengahan tahun 1980-an. Namun, secara keseluruhan peningkatan daya saing tadi belum optimal karena pemerintah masih memiliki sikap mendua dalam menerima sistem ekonomi pasar. Sikap mendua tersebut terlihat dari kebijakan-kebijakan protektif yang diberikan terhadap subsektor atau komoditas tertentu, dan terhadap kelompok usaha tertentu.
Kebijakan-kebijakan protektif tadi tidak terlepas dari kekosongan institusi-institusi yang diperlukan bagi pemberlakuan sistem ekonomi pasar yang baik dan kekosongan institusi-institusi politik yang demokratis. Hingga berakhirnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, baik institusi ekonomi pasar maupun institusi-institusi politik yang demokratis di Indonesia masih jauh dari memadai. Kecuali dengan kemajuan pada institusi pasar modal, institusi-institusi pada pasar uang maupun pasar barang dan jasa masih banyak kelemahan dan kekurangan. Institusi yang mencegah persaingan usaha tidak sehat hampir tidak ada. Bank Indoensia sebagai Bank Sentral, juga berada pada posisi subordinat dari pemerintah (eksekutif). Sementara, institusi-institusi yang mengatur eksternalitas dan memerangi praktek-praktek korupsi juga sangat tidak memadai.
Goncangan harga minyak kedua yang terjadi pada tahun 1986, di satu sisi makin mendorong pemerintah Indonesia meningkatkan jumlah sektor-sektor ekonomi yang diliberalisasi dan dideregulasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Upaya tersebut memang berhasil membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat tinggi melebihi rata-rata pertumbuhan tahunan sebelumnya. Namun memasuki fase ini, pemerintah Indonesia bukan saja tidak memperlihatkan upaya serius untuk membangun institusi-institusi ekonomi pasar, tetapi juga membiarkan perekonomian Indoensia tumbuh tinggi di atas kondisi bubble economy. Akibatnya, kondisi perekonomian Indonesia sejak akhir tahun 1980-an hingga sebelum krisis juga berhadapan dengan ancaman persoalan sosial yang berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi yang sudah tinggi tadi.
Ancaman persoalan sosial tadi memang tidak semuanya disumbangkan oleh persoalan ekonomi, melainkan juga konsekuensi dari sistem politik dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial yang dibuat pemerintah. Tetapi, kajian ini melihat, kesemuanya itu secara bersama-sama merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Besarnya angka kemerosotan ekonomi Indonesia setelah dilanda krisis tahun 1997 dan sulitnya memulihkan krisis tersebut jika dibanding dengan kemampuan negara-negara lain yang sama-sama dilanda krisis, menunjukkan bahwa keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga ditentukan oleh dukungan institusi politik, dan struktur serta perilaku sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan tergantung juga kepada sejauhmana negara mengeluarkan panduan kebijakan yang tepat, dan sejauhmana kesungguhan pemerintah bersama lembaga legislatif membuat kebijakan-kebijakan untuk mewujudkan institusi-institusi yang diperlukan oleh sistem ekonomi pasar yang baik, lebih menyempurnakan lagi institusi-institusi politik, dan membuat kebijakan-kebijakan pembangunan sosial guna mewujudkan iklim sosial yang nyaman sebagai salah satu syarat dari iklim investasi yang baik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Hasan Pura Anggawijaya
"Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh distribusi pendapatan yang tidak merata, yang terjadi di Indonesia, terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan keahlian, dimana keahlian itu sendiri akan berpengaruh terhadap produktivitas dan semakin tinggi produktivitas pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi investasi dalam pendidikan itu sendiri akan sangat bergantung pada berapa besar tingkat pengembalian atau return yang dapat dihasilkam. Sekalipun pada negara sedang berkembang tingkat pendidikan menentukan juga besarnya pendapatan.
Dibalik itu semua, distribusi pendapatan yang terjadi berpengaruh terhadap distribusi pendidikan itu sendiri. Semakin merata distribusi pendapatan semakin merata pula pendidikan dan dengan sendirinya semakin merata pula keahlian, yang pada gilirannya semakin merata produktivitas.
Dengan demikian akan tercapai suatu Economic Equilibrium yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan rata-rata, tingkat pengembalian investasi dan oleh kebijaksanaan pemerintah, yang dirumuskan menjadi : g* = G(w, r, θ). Distribusi pendapatcrn itu sendiri sangat bergantung pada kebijaksanaan Pemerintah atau rejim yang berkuasa. Oleh karena itu keberadaan partisipasi politik akan sangat berperan didalam perumusan kebijaksanaan pemerintah terutama yang menyangkut distribusi pendapatan. Partisipasi politik itu sendiri akan bergantung pada rejim yang berkuasa pada saat itu, demokrasi atau nondemokrasi. Sekalipun cukup banyak bukti, banyak negara nondemokrasi mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebijaksanaan pemerintah (Political equilibrium) yang optimal - yang dikehendaki oleh mereka yang berpendapatan median - karenanya dapat dirumuskan menjadi : θ* = θ (w, r, em), dimana kebijaksanaan pemerintah yang optimal bergantung pada tingkat pendidikan rata-rata, tingkat pengembalian dan distribusi pendapatan.
Karena kebijaksanan Pemerintah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan sangat sulit diukur maka dalam penelitian ini hanyalah keahlian yang didekati oleh tingkat pendidikan pekerja, distribusi pendapatan yang didekati oleh Rasio Gini, dan tingkat pengembalian investasi yang didekati oleh tingkat bunga ril, yang dipergunakan sebagai independen variabel. Karenanya Politicoeconornico equilibrium dapat dirumuskan menjadi : g* = G(w, r, θ* (w, r, em ').
Apakah tingkat pendidikan pekerja, distribusi pendapatan, dan tingkat pengembalian di 26 propinsi Indonesia yang bervariasi tersebut akan berpengaruh terhadap Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto per-kapita di masing-masing propinsi. Estimasi dilakukan dengan Ordinary Least Square. Hasil estimasi menunjukkan hanya di Indonesia secara keseluruhan dan Indonesia Bagian Barat model ini dapat diterima, sekalipun keduanya tidak mempunyai Goodnes of fit yang baik Sedangkan di Indonesia Bagian Timur model ini tidak diterima.
Di Indonesia secara keseluruhan distribusi pendapatan yang memburuk jutru meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekalipun pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Lain halnya di Indonesia Bagian Barat, distribusi pendapatan yang memburuk meningkatkarn pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Di Indonesia secara keseluruhan, tingkat keahlian rata-rata berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sedangkan sebaliknya di Indonesia Bagian Barat, dimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Di Indonesia secara keseluruhan maupun di Indonesia Bagian Barat mempunyai tanda yang bertolak belakang dengan hipotesa dan tidak signifikan sehingga variabel ini dapat diabaikan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Martha Hendrati
"Penelitian tentang "Pengaruh Kebijakan Perdagangan Dalam Ekspor CPO Indonesia 1972 - 1995" dirasakan perlu, mengingat Indonesia sebagai negara sedang berkembang (NSB) yang ekspornya didominasi oleh komoditi primer seperti Crude Palm Oil (CPO). Saat ini Indonesia sebagai negara kedua terbesar pengekspor CPO dunia setelah Malaysia, yang diharapkan pada tahun 2005 menduduki peringkat pertama.
Kebijakan perdagangan yang tepat sebagai faktor non market atau faktor non ekonomi dalam konsep "Under Development" juga berperan dalam mempercepat proses pembangunan (Griffin,1969). Konsep tersebut belum diaplikasikan pada analisis penelitian-penelitian terdahulu.
Model yang dipakai mengacu pada "An Econometric Study of Primary Commodity" (Marian E. Bond, 1987) yang menganalisis ekspor dari dua sisi yakni sisi permintaan ekspor dan sisi penawaran ekspor. Hasil estimasi menunjukkan bahwa, permintaan ekspor CPO Indonesia pada negara-negara mitra dagang utama umumnya dipengaruhi secara negatif oleh harga ekspor relatif CPO Indonesia terhadap harga komoditi sejenis di negara pengimpor (a1 < 0) serta dipengaruhi secara positif oleh besarnya tingkat pendapatan di negara pengimpor (a2 > 0). Kecuali untuk permintaan ekspor negara Amerika Serikat dan Jepang, yang dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor CPO relatif Indonesia terhadap harga komoditi sejenis di negara pengimpor (a1 > 0) sebaliknya dipengaruhi secara negatif oleh besarnya tingkat pendapatan (a2 < 0).
Sedangkan hasil estimasi penawaran ekspor CPO Indonesia, dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor CPO Indonesia relatif terhadap harga domestic periode lalu (b2 > 0), kapasitas produksi (b3 > 0) dan kebijakan perdagangan yang pada era 1970-an berpengaruh negatif terhadap penawaran ekspor, sedangkan era 1990-an berpangaruh positif.
Analisis sisi penawaran ekspor lebih berpengaruh baik terhadap perkembangan ekspor CPO Indonesia maupun terjaminnya pasokan CPO untuk industri dalam negeri. Untuk itu dibutuhkan kebijakan yang dapat mendukung pendalaman dan diversifikasi produk CPO di sektor hilir, serta implikasi kebijakan yang memberikan kemudahan bagi investasi dan ekspor produk hilir CPO Indonesia.

The research about "The Influence of Trading Policy for export of CPO Indonesia in 1972-1995" is quitely needed, reminds that Indonesia as a developing countries (NSB) that its exports dominated by primary commodity such as Crude Palm Oil (CPO). In present, Indonesia is the second biggest CPO exporter after Malaysia in the world and it is predicted that Indonesia will be the first rank for this export in 2005.
The effective trading policy is the factor of non market or non economic factor in the "Concept of Under Development" which plays role to progress the development process (Griffin, 1969). This concept is not applicated yet to the previous research analysis.
The model based on "An Econometric Study of Primary Commodity" (Bond, Mariam E, 1987) that analyzes export from two aspects; export demand and export supply. The output of estimation shows that the export demand of CPO Indonesia to the countries of the main trading partnership is generally influenced negatively by the relatively export price of CPO Indonesia to the same classification of commodity price in the importer country (al < 0) and it is also influenced positively by the number of income level in the importer country (a2 ] 0). Except for the export demand in America and Japan which positively effected by export price of relative CPO in Indonesia to the same commodity price in the importer country (al > 0), while oppositely, it is negatively influenced by the number of income level (a2 < 0).
The estimation result of export supply CPO in Indonesia, positively influenced by export price of CPO indonesia to the privious domestic price (b2 > 0), production capacity (h3 > 0) and trading policy in 1970 which negatively influence export supply, while in 1990 it influence positively.
The analysis of export supply aspect is quitely. influenced to the progress of CP0 export in Indonesia or the security of CPO supply for local industry. That's why it is necessary a policy to support the itensification and diversification of CPO product in lower course sector, and policy implication which provides the subsidy from investment and export of lower course product to the CPO in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T2632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Susilo Jahja
"ABSTRAK
Pakto 1988 yang dikeluarkan oleh oleh pemerintah antara lain
untuk mempermudah market entry telah membawa dampak meningkatnya
jumlah bank dan kantor bank sehingga tingkat persaingan antar
bank semakin ketat baik dalam menanrik dana dari masyarakat maupun
menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Namun karena dampak-dampak yang dirasakan negatif, maka
pemerintah menindaklanjuti paket deregulasi tersebut dengan
kebijakan uang ketat dan regulasi berupa Pakfeb 1991. Hal tersebut berakibat pada berbagai kesulitan yang dialami oleh dunia
perbankan di Indonesia.
Menghadapi kondisi-kondisi diatas ternyata bank-bank swasta
secara rata-rata lebih unggul dibanding bank pemerintah dalam
kemampuan menarik dana ataupun menyalurkannya. Sedangkan dalam
kondisi kebijakan uang ketat, kinerja bank-bank swasta secara
rata-rata juga lebih baik dibanding bank-bank pemerintah.
Hal tersebut bisa dipahami mengingat bahwa bank pemerintah
sebelum berlakunya UU Perbankan tidak bisa berlaku profit orient
ed secara mutlak karena merupakan alat ekonomi dan moneter pemer
intah, dimana peran dan fungsi mereka telah ditentukan sehingga
ruang gerak mereka terbatas dan tidak fleksibel menghadapi peru
bahan.
Keluarnya undang-undang Perbankan 1992 mengakibatkan peru
bahan bentuk badan hukum bank-bank pemerintah menjadi persero
menyebabkan mereka harus bisa beroperasi secara wajar dengan bank
swasta lainnya tanpa mendaIpat fasilitas khusus.
Dalam karya akhir ini dikaji mengenai kinerja bank-bank
pemerintah dibandingkan dengan bank umum swasta nasional, diukur dengan rasio?rasio likuiditas mapun profitabilitas, untuk menge
tahui dimana kelebihan maupun kelemahan bank-bank pemerintah.
Pembandingan dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis. Kemudian
BCG matrix digunakan untuk menganalisis posisi persaingan mas
Ing-masing bank pemerintah. Sedangkan untuk menentukan strategi
yang akan dipilih digunakan SWOT matrix.
Disimpulkan bahwa dalam persaingan dengan bank umum swasta
nasional, posisi persaingan bank pemerintah semakin lemah dan
tingkat pertumbuhannyapun lebih lambat. Hal ini merupakan indika
si dari kelemahan bank pemerintah dalam menarik dana maupun
menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Maka perlu ditempuh strategi yang bersifat defensif, dimana
bank pemerintah harus lebih memperhatikan tingkat kesehatannya
ketimbang ekspansi kredit. Penumbuhan iklim profesionalisme dalam
pengelolaan bank pemerintah harus dilakukan agar keputusan-kepu
tusan yang diambil senantiasa didasarkan atas pertimbangan yang
obyektif dan rasional kemudian disarankan pula perlunya pening
katan kualitas sumber daya manusia di bank-bank pemerintah untuk
menghadapi iklim persaingan yang makin ketat.
"
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhraf Ali
"ABSTRAK
Seperti sudah menjadi kelaziman dari setiap pendirian bank Islam, bahwa bank Islam baru di manapun, pada taliun-tahun awal berdirinya, terutama di negara muslim, selalu mengalami overlikuiditas. Dukungan yang besar dari umat Islam yang metupakan mayoritas penduduk, yang didorong oleh kesadaran atau keterikatan untuk memelihara kehidupan dari hal-hal yang haram dan meragukan berdasarkan syari'at dan juga karena hal-hal yang sifatnya emosional, memudahkan bank Islam untuk mengumpulkan dana, baik dana untuk modal maupun dana untuk kebutuhan pihak ketiga.
Kejadian tersebut juga berlangsung di Indonesia menyusul berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Kondisi overlikuiditas harus segera diatasi untuk dapat memperlihatkan kinerja yang secara bertahap diharapkan akan optimal. Dengan kondisi kinerja BMI yang optimal akan lebih menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan menggerakkan masyarakat untuk lebih berpartisipasi.
Dari hasil perhitungan dan perbandingan, nampak bahwa ROA yang dihasilkan BMI mampu untuk bersaing dengan ROA bank-bank go public Namun kinerja ini belum optimal mengingat LDR BMI baru mencapai 63%, sedangkan Bank Indonesia mensyaratkan LDR maksimum sebesar 110%.
Merupakan hal yang mudah bagi BMI untuk melempar dananya kepada pihak ketiga jika yang menjadi tujuan adalah profit. Dalam kondisi "uang ketat"seperti sekarang ini banyak pengusaha mengalami kesulitan untuk melakukan ekspansi. Cam yang paling mudah bagi bank untuk menyalurkan kelebihan likuiditas adalah melempar dana ke perusahaan besar, karena perusahaan besar lebih bonafid dan jumlah pembiayaan besar, walaupun risiko jika terjadi kegagalan sangat besar. Namun melihat misi yang melekat dari pendirian BMI, yang sudah committed untuk berorientasi kepada pembiayaan bagi usaha menengah dan kecil, hal ini menjadi tidak mudah, banyak kesulitan dalam menyalurkan dana bagi usaha kecil seperti risiko yang tinggi, jumlahnya pengusaha banyak, pagu kredit kecil dan letaknya tersebar.
Tidak sebagaimana bank konvensional, konsep yang melekat pada pendirian bank Islam adalah menggalakkan kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan kebersamaan usaha secara adil, maka cukup jelas bahwa misi bank Islam adalah pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan.
Menghadapi tantangan diatas dengan mengacu kepada misi pendiriannya, maka BMI harus mempunyai strategi tersendiri yang memungkinkan eksistensinya dapat berkelanjutan. Untuk menekan risiko seminimal mungkin namun tetap dapat mengantisipasi seluruh kendala, maka pilihan strategi yang mungkin dalam menyalurkan dana adalah bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan kajian dan bantuan teknis bagi pengusaha kecil Agar efektifdan efisien pembiayaan diarahkan secara berkelompok dan diutamakan kepada usaha yang mempunyai keterkaitan antara pengusaha kuat dan lemah maupun industri besar dan industri kecil. Sedangkan untuk memudahkan akses kepada pengusaha/industri yang lokasinya tersebar, dilakukan kerjasama dengan BPR syari'at.
Pilihan strategi dalam menyalurkan dana tersebut merupakan the best alternati£ namun dalam mencapainya masih memerlukan waktu. Maka sambil menunggu realisasi yang optimal, SBPU al-dayn menjadi the second best alternatif.
Melengkapi pilihan strategi tersebut, disarankan untuk mengupayakan suatu pusat data dan pengkajian pengusaha/industri kecil. Pembentukan lembaga ini niscaya sangat membantu dalam seleksi calon peminjam, monitoring maupun identifikasi usaha potential.
"
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djaka Badranaya
"Sejak bergulirnya gerakan reformasi tahun 1998 lalu, wacana dan praktik demokrasi dan demokratisasi dalam konteks kehidupan sosial politik di Indonesia nampaknya menjadi paradigma mainstream. Realitas inl pada akhirnya mendorong munculnya gagasan otonomi daerah dan good governance dalam ranah tata pemerintahan. Baik otonomi daerah--sebagai bentuk faktual dari konsep desentraliasi--maupun wacana good governance, keduanya memiliki penekanan (aksentuasi) yang cukup kuat terhadap konsep partisipasi masyarakat atau publik (public participation) Dalam logika kedua wacana tersebut, partisipasi masyarakat merupakan prasyarat terbangunnya sistem pemerintahan yang demokratis dan keseimbangan relasi tiga pilar (state, market dan society). Partisipasi masyarakat tidak saja dimaknai dalam bentuk keterlibatan semu dalam proses pembangunan yang bersifat mobilisasi, namun keterlibatan daiam proses kebijakan publik secara integral, balk daiam perencanaan, implementasi maupun evaluasi kebijakan.
Hampir dipastikan, semua pemerintah daerah secara normatif telah mengakomodasi semangat yang terkandung dalam konsep otonomi daerah dan good governance. Namun seringkali, praktik partisipasi di lapangan oieh pemerintah daerah lebih bersifat artifisial--seremonial dan cenderung mengarah pada mobilisasi dukungan. Sementara kalangan LSM berupaya untuk mendorong munculnya partisipasi publik melalui dua pendekatan, edukasi publik serta membentuk perda partisipatif dan transparansi. Pertanyaannya kemudian, jika semua kalangan telah sepakat untuk mendorong munculnya partisipasi publik, maka alternatif kebijakan apakah yang dapat dijadikan instrumen daiam mencapai tujuan tersebut.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana peran aktor-aktor kebijakan dalam mendorong munculnya partisipasi publik di Kota Bandung. Kendala apakah yang terdapat daiam domain setiap aktor daiam mewujudkan partisipasi tersebut serta alternatif kebijakan apakah yang paling relevan dan layak untuk direkomendasikan sebagai instrumen dalam implementasi peningkatan partisipasi publik di Kota Bandung?
Penelitian inl menggunakan metode AHP dalam memetakan pandangan responden serta mencari bobot prioritas daiam memilih aiternatif kebijakan. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam rangka meningkatkan partisipasi publik di Kota Bandung, menurut responden-yang terdiri unsur pemerintah, LSM, akademisi dan Anggota Dewan-prioritas kebijakan yang perlu dilakukan adalah penguatan civil society. Diikuti kemudian oieh penguatan legislatif sebagai alternatif kedua. Pembuatan perda partisipatif justru menjadi alternatif ketiga. Dalam pandangan responden, perda tidak menjamin dengan serta merta peningkatan partisipasi publik. Justru proses edukasi publik yang dilakukan oleh kalangan civil society perlu mendapat dukungan berbagal pihak termasuk pemerintah daerah. Partisipasi publik yang ideal mencerminkan kesadaran warga negara untuk secara aktif berperan dalam proses pengaturan (governance) kehidupan bermasyarakat (civic engagement). Faktor pendidikan dalam arti yang luas merupakan salah satu media untuk menumbuhkan kesadaran publik terhadap hak dan kewajibannya. Dalam konteks tersebut, peran dan posisi civil society sangat strategis dan perlu mendapat dukungan dalam mempercepat munculnya partisipasi publik di Kota Bandung. Civil society memiliki daya gerak dan daya dorong yang cukup untuk menciptakan partisipasi publik yang diharapkan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusavia Arijanto
"ABSTRAK
Industri elektronika adalah suatu industri yang sudah lama berkembang dan memiliki pasar yang besar di dunia. Persaingan di industri ini sangat ketat khususnya dari segi harga. Untuk tetap memiliki keunggulan dalam persaingan harga, beberapa perusahaan elektronika di negara maju terpaksa melakukan relokasi pabriknya ke negara-negara yang memiliki upah buruh dan sewa tanah yang rendah, dekat dengan pasar dan mudah mendapatkan bahan baku. Keunggulan tersebut dimiliki pula oleh Indonesia khususnya Batam.
Daerah industri pulau Batam di Indonesia memiliki keunggulan dibanding daerah lain di Indonesia karena letaknya yang strategis, dekat dengan Singapura, yang merupakan salah satu pusat perdagangan dunia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia bermaksud untuk menjadikan Batam sebagai pusat pengembangan industri yang berorientasi ekspor, lebih diutamakan lagi industri yang memiliki nilai tambah yang tinggi seperti industri elektronika. Untuk lebih meningkatkan daya tarik pulau Batam sebagai daerah industri, pemerintah memberikan berbagai kemudahan bagi para investor untuk melakukan usahanya di Batam.
Dengan memperhatikan kondisi yang digambarkan di atas, tulisan ini menganafisis prospek industri elektronika di Batam dengan melihat lebih mendafam kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, masalah yang ada dan peluang yang mungkin diraih oleh industri ini di Indonesia. Data yang digunakan untuk analisis didapat dari literatur, bahan seminar, laporan penelitian dan data yang didapat langsung dari penelitian lapangan.
Dalam menganalisis prospek industri elektronika di Batam ini digunakan metode analisis lingkungan usaha yang meliputi lingkungan jauh, lingkungan « industri dan lingkungan operasional sebagai kerangka dasar analisis.
Hasil dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa prospek industri elektronika di Batam cukup cerah, terutama jika ditujukan untuk pasar ekspor. Selain itu, dengan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk di Batam, dapat membantu memberi jalan keluar bagi masalah utama industri elektronika nasional saat ini yaitu kurang berkembangnya industri komponen akibat tingginya tarif bea masuk untuk bahan baku pembuatan komponen. Padahal porsi biaya yang dikeluarkan untuk komponen adalah relatif terbesar, sehingga harga produk menjadi kurang dapat bersaing di pasaran."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirdukita Ratnawati
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T6343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Aswita Damajanti
"ABSTRAK
Perkembangan industri otomotif Indonesia sangat menarik untuk diikuti. Industri ini,
sampai batas tertentu, dapat mencerminkan perkembangan industri umumnya di Indonesia.
Sebuah pabrik perakitan mobil akan memberikan nilai tambah sebanyak 30% sedangkan
sisanya 70% datang dari berbagai industri lainnya. terutama industri komponen. Dengan
demikian industri otomotif mempunyai keterkaitan yang mendalam dengan struktur industri
lainnya dalam suatu negara.
Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan mempunyai potensi
pasar yang besar, tetapi perkembangan industri otomotif pada khususnya dan perkembangan
industri pada umumnya belum mencapai tingkat optimal. Apalagi jika dilakukan perbandingan
dengan negara-negara tetangga seperti Taiwan, Korea, Singapura dan Malaysia, dimana
perkembangan industrinya begitu cepat. Perkembangan industri yang optimal membutuhkan
adanya komitmen yang kuat, dan tercermin dalam kebijakan permerintahnya yang terarah dan
terkordinasi.
Menghadapi era globalisasi pada umumnya dan perdagangan bebas pada khususnya.
memaksa para pelaku industri otomotif Indonesia termasuk pemerintah, untuk berhenti
sejenak, memikirkan kembali apa yang telah dilakukan dimasa lalu dan menyusun kembali
strategi terbaik untuk melangkah ke depan. Di masa depan yang tak terlalu lama lagi.
persaingan akan semakin ketat dan kompleksitas masalah akan semakin bertambah.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Budiono
"Industri gula Indonesia sering kali menimbulkan berbagai polemik. Dari segi konsumen, harga eceran gula pasir Indonesia sangat tinggi, sebaliknya dari segi produsen, pabrik gula sering kali masuk koran karena hidupnya bagaikan kerakap?mati talc hendak, hidup pun tak mau?meskipun sudah mendapat proteksi yang besar.
Karya Akhir ini mencoba membahas salah satu sisi dari permasalahan industri gula tersebut, yaitu dari sisi produsen. Ditinjau berbagai aspek dan permasalahan yang kerap kali menyelimuti industri gula ini. Apalagi dengan mengingat bahwa pada masa kejayaannya tahun 1930-an, Indonesia bukan hanya pernah menikmati swasembada gula, tetapi juga menjadi eksportir gula yang disegani di dunia.
Dari analisa ini, tampak bahwa permasalahan tersebut urnumnya bukan hanya berasal dan industrii gula itu sendiri, tetapi pada hulu dan hilirnya. Di hulu, industri gula membutuhicari perkebunan tebu sebagai sumber bahan baku utamanya, dan perkebunan tebu Indonesia juga sering dilanda berbagai masalah yang akhirnya mengimbas ke industri gula. Di hilir, monopoli distribusi bukan saja membuat industri gula menjadi tak efisien, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal dari seperlunya.
Bila industri gula dapat dijalankan dengan lebih efisien, sebagaimana disarankan dalam Karya Akhir ini, maka dibandingkan dengan industni agribisnis lain yang mengandalkan pada keunggulan komparatif yang dimiliki fndonesia?tanah yang subur, luas dan iklim yang cocok?industni gula sebenarnya memiliki prospek yang cukup baik dan layak dìperhitungkan sebagal pilihan investasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>