Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ezy Barnita
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai pada anak. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) merupakan kerjasama intemasional yang melakukan studi prevalensi asma dan alergi pada anak di berbagai populasi, dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Tujuan: Mengetahui prevalensi asma pada pada anak kelompok usia 13-14 tahun di Jakarta Timur, derajat berat serangan asma, dan faktor risiko yang memengaruhinya. Metodologi: Penelitian analisis deskriptif pada populasi anak usia 13-14 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Jakarta Timur Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta. Waktu penelitian adalah Februari - April 2011. Pengolahan data menggunakan peranti lunak statistical package for social studies version 17.0 for windows PC (SPSS Inc). Analisis faktor risiko dilakukan dengan uji Chi-Square atau uji mutlak Fisher Hasil: Terdapat 562 subyek penelitian, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1,25. Frekuensi kejadian pemah mengi adalah 8,9%; mengi dalarn 12 bulan terakhir 5,2%; asma yang didiagnosis dokter 9,4%. Frekuensi serangan mengi 1-3 kali per-bulan sebesar 3,9%; 4-12 kali per-bulan 1,1%; >12 kali perbulan 0,2%. Serangan mengi yang menyebabkan gangguan tidur sebesar 3%, dan mengi yang menyebabkan terjadi kesulitan bicara 1 ,8%. Tidak ada hubungan jenis kelamin (p=0,821; IK 95% 0,59:0,92), terpapar asap rokok (p=0,735; IK 95% 0,55:2,34), ataupun dermatitis alergi (p=0,054; IK 95% 0,97:4,63), dengan kejadian mengi. Terdapat hubungan bermakna anak pertarna (p=0,015; IK 95% 1,14:3,69), sosio ekonomi (p=0,001; IK 95% 0,02:0,36), dan rinitis alergi (p<0,05; IK 95% 2,5:10,43), terhadap kejadian mengi. Simpulan: Prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun di Jakarta Timur sebesar 12,5%. Faktor risiko kejadian mengi adalah anak pertarna, sosio ekonomi tinggi, dan rinitis alergi. Tidak ada hubungan jenis kelarnin, paparan asap rokok, dan dermatitis alergi terhadap kejadian mengi.

Background: Asthma is the most common chronic disease in childhood. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) s a unique worldwide epidemiological research programmed to investigate asthma, rhinitis and eczema in children, using standardized questionnaire. Aim: To investigate asthma symptoms prevalence among population 13-14 yearold in East Jakarta, along with the severity and risk factors of asthma. Method: This is an analytical- cross sectional study, conducted from FebruaryApril 2011. Risk factors were analyzed using chi square or Fisher exact test. Result: Sample size is consisted of 562 children. The prevalence of wheeze ever 8.9%; 12-month wheeze 9,4%; asthma physician-diagnosed 9,4%. The prevalence of recureece wheezing as follows: 1-3 times a month 3.9%; 4-12 times a month 1.1 %; > 12 times a month 0,2%. Sleep distubance related wheeze 3%, and speech disorder related wheeze 1.8%. The prevalence of current wheezing did not show differences according to sex (p=0.821; IK. 95% 0.59:0.92), smoke exposure (p=0.735; IK 95% 0.55:234), nor allergic dermatitis (p=0.054; IK 95% 0.97:4.63). But it was significantly higher in children with no sibling (p=O.Ol5; IK 95% 1.14:3.69), high social economy (p=0.001; IK 95% 0.02:0.36), and allergic rhinitis (p<0.05; IK 95% 2.5:10.43) Conclusion: Asthma prevalence in 13-14 year-old in Jakarta Timur is 12.5%. Having no sibling, upper middle social economy level, and allergic rhinitis are wheezing ever risk factors, while sex differences, smoking exposure, and allergic dermatitis are not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayuca Zarry
"Latar belakang. Pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian anak dan menjadi penyebab anak dirawat inap di negara berkembang. Faktor risiko pneumonia berulang pada anak di negara berkembang sampai saat ini belum diidentifikasi. Penenttuan terapi pada anak dengan pneumonia berulang merupakan tantangan tersendiri sehingga membutuhkan kecermatan dalam anamnesis ke arah faktor risiko dan riwayat penyakit yang mendalam sehingga tata laksana dapat dilakukan secara cepat dan akurat.
Tujuan. Mengetahui faktor- faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia berulang pada anak.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan pada 237 pasien dengan diagnosis pneumonia berusia 6 bulan-18 tahun yang dirawat di RSCM pada tahun 2022. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang terbukti menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi (PR 1,594; IK 95% 1,214-2,092; p=0,001), pajanan asap rokok (PR 1,549; IK 95% 1,158-2,073; p=0,003), dan tidak ASI eksklusif PR 1,390 (IK 95% 1,006- 1,921 p=0,045). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumonia berulang adalah prematuritas, penyakit jantung bawaan, riwayat penyakit alergi, tinggal di kawasan padat pemukiman penduduk, konsumsi obat anti epilepsi, imunodefisiensi, obesitas, dan status imunisasi.
Kesimpulan. Proporsi pasien anak dengan pneumonia berulang yang dirawat di RSCM adalah 46,4%. Faktor yang menjadi risiko pneumonia berulang adalah sindrom aspirasi, pajanan asap rokok, dan tidak ASI eksklusif.

Background. Pneumonia is the leading cause of childhood mortality and the most common reason for hospitalization among children living in developing countries. The risk factors for recurrent pneumonia in children in developing countries remain poorly understood. The treatment of children with recurrent pneumonia remains challenging, and therefore accuracy in history taking in the evaluation of risk factors and disease history is warranted to ensure quick and accurate treatment.
Objectives. This study aims to determine the risk factors of recurrent pneumonia in children.
Methods. This cross-sectional study included 237 children between ages 6 months and 18 years old treated in RSCM for pneumonia during the year 2022. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. Risk factors that were found to be associated with recurrent pneumonia were aspiration syndrome (PR 1.594; IK 95% 1.214-2.092; p=0.001), smoke exposure (PR 1.594; 95% CI 1.158-2.073; p=0.003), and absence of exclusive breastfeeding PR 1.390 (IK 95% 1.006-1.921 p=0.045). Meanwhile prematurity, congenital heart disease, history of allergic diseases, overcrowding, anti-epileptic drug consumption, immunodeficiency, obesity, and incomplete immunization were not found to be associated with recurrent pneumonia.
Results. This study showed that 46.4% of children in RSCM with pneumonia had a recurrency. The most detected risk factors for recurrent pneumonia were aspiration syndrome, smoke exposure, and not given exclusive breastfeeding.
"
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Laila Fitriati Ahwanah
"Latar belakang: Perdarahan intraventrikular (PIV) menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas bayi prematur. Sekitar 27% bayi dengan BB <1.500 gram mengalami PIV pada berbagai derajat (1–4). Faktor risiko PIV dapat berasal dari maternal, seperti preeklamsia, tanpa steroid antenatal, dan persalinan per vaginam serta berasal dari neonatal, seperti usia gestasi lebih muda, berat badan lahir lebih rendah, jenis kelamin lelaki, nilai Apgar rendah, asfiksia, pemberian inotropik, trombositopenia, ventilasi mekanik invasif, sepsis, sindrom distres pernapasan, dan duktus arteriosus persisten. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan PIV penting agar penatalaksanaan yang tepat dapat dilakukan dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana PIV yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan subjek bayi usia gestasi <35 minggu di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan Agustus 2022 hingga jumlah sampel terpenuhi. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan PIV) dan kontrol (tanpa PIV) berdasarkan hasil USG kepala selama perawatan. Masing-masing kelompok diidentifikasi faktor risiko yang ada dari rekam medis, baik faktor maternal maupun neonatal. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 220 subjek diteliti terdiri atas kelompok kasus 110 subjek dan kontrol 110 subjek. Dari 110 kasus didapatkan PIV derajat 1 (69,1%), derajat 2 (12,7%), derajat 3 (10%), dan derajat 4 (8,2%). Analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara PIV dengan usia gestasi <28 minggu (OR 5,44; IK 95% 2,23-13,27; p<0,001), berat badan lahir <1.000 gram (OR 6,23; IK 95% 2,87-13,52; p<0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 3,04; IK 95% 1,62-5,71; p=0,001), nilai Apgar menit ke-1 (p=0,004), nilai Apgar menit ke-5 (p=0,03), pemberian inotropik (OR 2,47; IK 95% 1,35-4,53; p=0,005), jumlah trombosit <50.000/μL (OR 2,52; IK 95% 1,17-5,42; p=0,018), jumlah trombosit 50.000-99.000/μL (OR 3,42; IK 95% 1,51-7,74; p=0,003), ventilasi mekanik invasif (OR 3,71; IK 95% 2,11-6,53; p<0,001), sepsis (OR 2,84; IK 95% 1,64-4,90; p<0,001), dan DAP (OR 2,01; IK 95% 1,07-3,79; p=0,042). Analisis multivariat menunjukkan hanya berat badan lahir <1.000 gram (OR 3,93; IK 95% 1,71-9,06; p=0,001), berat badan lahir 1.000-1.499 gram (OR 2,57; IK 95% 1,34-4,92; p=0,004), dan penggunaan ventilasi mekanik invasif (OR 2,49; IK 95% 1,34-4,63; p=0,004) yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan PIV pada bayi usia gestasi <35 minggu adalah berat badan lahir <1.500 gram dan penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Intraventricular hemorrhage (IVH) is a cause of morbidity and mortality in preterm infants. Approximately 27% of infants weighing <1,500 gram have PIV in various degrees (1-4). Risk factors for IVH can be maternal origin, such as preeclamsia, absence of steroid antenatal, and vaginal delivery; and also from neonatal origin, such as younger gestational age, lower birth weight, male gender, lower Apgar score, asphyxia, inotropic administration, thrombocytopenia, invasive mechanical ventilation, sepsis, respiratory distress syndrome and patent ductus arteriosus (PDA). Identification of risk factors associated with IVH is important so that appropriate management can be carried out and as an evaluation of IVH’s prevention and treatment that are currently being implemented.
Method: This case-control study involved subjects with gestational age <35 weeks at Cipto Mangunkusumo Hospital who were taken retrospectively by consecutive sampling starting from admission in August 2022 until the number of samples were fulfilled. Subjects were divided into case (with IVH) and control (without IVH) groups based on the results of head ultrasound during hospitalization. Each group was identified existing risk factors from medical record, both maternal and neonatal factor. The data were then analyzed using the SPSS program.
Result: A total 220 subjects were studied, consisting 110 subjects in case group and 110 subjects in control group. Of the 110 cases, IVH grade 1 (69.1%), grade 2 (12.7%), grade 3 (10%), and grade 4 (8.2%). Bivariate analysis showed that PIV was significantly associated with gestational age <28 weeks (OR 5.44; 95% CI 2.23-13.27; p<0.001), birth weight <1,000 grams (OR 6.23; 95% CI 2.87-13.52; p<0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 3.04; 95% CI 1.62-5.71; p=0.001), 1st minute Apgar score (p=0.004), 5th minute Apgar score (p=0.03), inotropic administration (OR 2.47; 95% CI 1.35-4.53; p=0.005), platelet count <50,000/μL (OR 2.52; 95% CI 1.17-5.42; p=0.018), platelet count 50,000-99,000/μL (OR 3.42; 95% CI 1.51-7.74; p=0.003), invasive mechanical ventilation (OR 3.71; 95% CI 2.11-6.53; p<0.001), sepsis (OR 2.84; 95% CI 1.64-4.90; p<0.001), and PDA (OR 2.01; 95% CI 1.07-3.78; p=0.042). Multivariate analysis showed only birth weight <1,000 grams (OR 3.93; 95% CI 1.71-9.06; p=0.001), birth weight 1,000-1,499 grams (OR 2.57; 95% CI 1.34-4.92; p=0.004), and the use of invasive mechanical ventilation (OR 2.49; 95% CI 1.34-4.63; p=0.004) were significantly associated with IVH.
Conclusion: Risk factors that significantly associated with IVH in baby with gestational age <35 weeks are birth weight <1,500 grams and the use of invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Andini Putri
"Latar belakang: PPAB (Pedoman Penggunaan Antibiotik) merupakan panduan pemberian antibiotik empiris yang dibuat sesuai pola kuman dan resistensi antibiotik setempat. Pemberian antibiotik yang rasional untuk infeksi saluran kemih (ISK) mendukung proses kesembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah resistensi antibiotik.
Tujuan: Mengetahui apakah terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan kesembuhan yang tinggi, mengevaluasi penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens, dan mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kesembuhan ISK.
Metode: Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang yang dilakukan secara retrospektif pada pasien anak dengan ISK yang dirawat di RSCM.
Hasil: Sebanyak 196 subyek memiliki karakteristik sebagian besar berusia balita (32%), berstatus gizi malnutrisi (53%), memiliki komorbiditas (77%), menderita ISK simpleks (80%), berupa ISK simtomatik (88%), dan memiliki proporsi yang seimbang antara jenis kelamin lelaki dan perempuan. Antibiotik yang paling sering diberikan adalah sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson. Alur Gyssens menunjukkan antibiotik diberikan rasional pada 53% pasien. Etiologi bakteri tersering adalah Escherichia coli, Enterococcus faecalis, dan Klebsiella pneumonia. Kesembuhan ISK berhubungan dengan pemberian antibiotik sesuai rekomendasi PPAB dibandingkan dengan pasien yang diberikan antibiotik lain (88% vs 74%, p = 0,05). Faktor risiko yang terbukti memengaruhi kesembuhan ISK adalah jenis kelamin laki-laki (p=0,04, adjusted OR 2,1 (IK 95% 1,03-4,30)) dan kondisi pasien tanpa komorbiditas (p<0,01, adjusted OR 5,7 (IK 95% 1,64-20,05)).
Kesimpulan: Terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi dibanding terapi antibiotik lain, evaluasi Gyssens menunjukkan pemberian antibiotik rasional hanya diberikan pada 53% pasien, dan faktor yang meningkatkan peluang kesembuhan ISK yaitu jenis kelamin lelaki dan kondisi tanpa komorbiditas

Background: Standard treatment guideline used to guide empirical antibiotic use based on local microorganism patterns and antibiotic susceptibility. Rational use of antibiotic for urinary tract infection (UTI) promotes disease recovery, prevents complications, and prevent antibiotic resistance.
Objectives: To know whether patients treated with standard treatment guidelines gives better recovery rates, to evaluate rational use of antibiotic using Gyssens flowchart, and to know factors related to disease recovery.
Method: Descriptive study with cross-sectional design that conducted retrospectively on UTI pediatric patients hospitalized in RSCM.
Results: This study included 196 children, mostly toddlers (32%), malnourished (53%), having comorbidities (77%), uncomplicated UTI (80%), symptomatic UTI (88%), and has a balanced proportion between sexes. The antibiotics mostly prescribed were cefotaxime, ceftazidime, and ceftriaxone. Gyssens plot showed antibiotics were administered rationally in 53% of patients. The most common bacterial etiology is Escherichia coli, Enterococcus faecalis, and Klebsiella pneumonia. UTI recovery was significantly associated with antibiotics according to guideline recommendations compared with other antibiotics (88% vs 74%, p = 0.05). Risk factors associated with UTI recovery were male gender (p=0.04, adjusted OR 2.1 (95% CI 1.03-4.30)) and condition without comorbidities (p<0.01, adjusted OR 5.7 (95% CI 1.64-20.05)).
Conclusion: Patients treated according to standard treatment guidelines had better recovery rates, Gyssens flowchart showed antibiotic were rationally used in 53% patients, and factors that proved to increase recovery rates were male gender and conditions without comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naela Fadhila
"Latar Belakang: Gambaran malposisi ujung pipa endotrakeal seringkali ditemukan pada pembacaan foto toraks konvensional bayi, terutama bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR). Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat hingga saat ini belum ada rumus kedalaman pipa endotrakeal yang diperuntukkan pada kelompok tersebut. Usia gestasi, berat badan, dan panjang badan bayi merupakan parameter pertumbuhan yang seringkali dipertimbangkan dalam menentukan perkiraan kedalaman pipa endotrakeal. Hingga saat ini belum ada studi yang mengevaluasi masalah malposisi pipa endotrakeal pada BBLASR di Indonesia serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal dan faktor yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal pada BBLASR.
Metode: Penelitian potong lintang pada BBLASR yang dirawat di Unit Neonatologi FKUI-RSCM pada Januari-Desember 2023, yaitu bayi yang dilakukan prosedur intubasi kemudian dilakukan pemeriksaan foto toraks konvensional untuk mengkonfirmasi ketepatan ujung pipa endotrakeal. Faktor risiko yang dinilai adalah usia gestasi, berat badan, dan panjang badan.
Hasil: Terdapat 42 subyek yang ikut serta dalam penelitian ini dengan proporsi jenis kelamin yang merata, rerata usia gestasi 28 (SD 3) minggu, median usia saat intubasi 0 hari, rerata berat badan 814 (SD = 109) gram, dan rerata panjang badan 32,7 (SD = 3,4) cm. Terdapat 31 subyek dengan ujung pipa terlalu dalam, tidak ada subyek dengan ujung pipa menggantung, dan terdapat 11 subyek dengan ujung pipa endotrakeal yang tepat. Rerata kedalaman pipa endotrakeal yang tepat pada semua subyek adalah 6,4 (SD 0,6) cm. Faktor risiko yang berpengaruh terhadap ketepatan ujung pipa endotrakeal adalah berat badan dengan perbedaan rerata kelompok ujung pipa endotrakeal tepat dibanding malposisi adalah 85 (IK 95% 11 – 159) gram, p=0,02.
Kesimpulan: Kejadian malposisi ujung pipa endotrakeal pada BBLASR di penelitian ini adalah 73,8%, dengan kondisi letak ujung pipa endotrakeal terlalu dalam pada semua subyek dengan malposisi. Hanya berat badan yang memengaruhi ketepatan ujung pipa endotrakeal secara statistik.

Background: Endotracheal tube (ETT) malposition frequently occurs in neonates with extremely low birth weight. Currently, no established formula exists for estimating the ideal depth of ETT insertion in this specific group. Commonly, gestational age, weight, and body length are utilized as growth parameters to determine the estimated depth of the endotracheal tube. Notably, there is a lack of studies addressing the issue of ETT malposition in extremely low birth weight infants in Indonesia and the associated influencing factors.
Objective: To determine the proportions and identify factors influencing the endotracheal tube tip position in extremely low birth weight neonates.
Method: Cross-sectional research was carried out at the Neonatology Unit of the Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study involved retrieving data on gestational age, body weight, body length, and appropriate endotracheal tube length from the medical records and chest X-rays of extremely low birth weight neonates born between January and December 2023.
Results: In this study, 42 subjects participated, demonstrating an equal gender distribution, a mean gestational age of 28 (SD 3) weeks, a median age at intubation of 0 days, an average weight of 814 (SD = 109) grams, and an average body length of 32,7 (SD = 3,4) cm. Among them, 31 subjects had the tube tip positioned too deep, none had too shallow ETT tip, and 11 had the right position. The mean depth of the appropriate ETT in all subjects was 6,4 (SD 0,6) cm. Body weight emerged as a significant risk factor influencing the accuracy of the endotracheal tube tip, with a mean difference of 85 grams (95% CI 11 – 159) between the correct and malposition groups, p=0.02.
Conclusion: The incidence of ETT malposition in this study was 73,8%, with the tip found to be excessively deep in all subjects with malposition. Only body weight statistically influenced the accuracy of the endotracheal tube tip.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library