Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lusi Tania Rahmartani
"Daerah Bantargebang merupakan daerah tempat pembuangan sampah terpadu TPST kumuh serta memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi sehingga berisiko tinggi terjadinya askariasis Askariasis sering dialami oleh anak usia SD yaitu usia 7 12 tahun Untuk mencegah askariasis perlu dilakukan penyuluhan kepada murid SD Penelitian bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan mengenai A lumbricoides dengan karakteristik demografi murid SD Agar tercapai tujuan penyuluhan optimal dibutuhkan penyesuaian dengan karakteristik demografinya Penelitian menggunakan desain cross sectional pada 58 murid SD X Bantargebang dengan metode total populasi Pengambilan data dilakukan pada tanggal 17 Desember 2011 dengan cara mengisi kuesioner yang berisi 5 pertanyaan tentang A lumbricoides Data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov dengan hasil perbandingan tingkat pengetahuan A lumbricoides dengan usia p 0 965 tingkat pendidikan p 0 610 sumber informasi p 1 000 dan info terdahulu p 1 000 Dari total 58 murid didapatkan murid yang memiliki pengetahuan kurang berjumlah 46 orang 79 3 cukup 10 orang 17 2 dan baik 2 orang 3 4 Dari analisis statistik didapatkan tidak ada perbedaan bermakna p 0 05 antara tingkat pengetahuan mengenai A lumbricoides dengan usia tingkat pendidikan info terdahulu dan sumber informasi Disimpulkan bahwa pengetahuan murid SD X mengenai A lumbricoides tergolong buruk dan tidak memiliki hubungan bermakna dengan karakterstik demografinya.

Ascariasis often experienced by children of primary school age group aged 7 12 years Bantargebang is an area that has a landfield area slump and has a high population so that Bantargebang have a high risk of ascariasis This can be prevented either by providing counseling as a health promotion In order to achieve the optimal goal counseling needs to be adjusted according to the characteristic This study aims to determine the relationship of student rsquo s knowledge about A lumbricoides with their demographic characteristics Studies using cross sectional design applied on 58 students X elemetary school Bantargebang with total population method Data collection was done on December 17th 2011 by filling questionnaires which contains 5 question about A lumbricoides Data processing was performed using SPSS version 20 0 analyzed by Kolmogorov Smirnov test with the result shows relationship between student rsquo s knowledge about A lumbricoides with their age p 0 965 level of education p 0 610 source of knowledge p 1 000 and prior knowledge p 1 000 The result shows students who have poor knowledge was 46 students 79 3 fair 10 students 17 2 and good 2 students 3 4 Based on Kolmogorov Smirnov test there is no significant difference p 0 05 between the level of knowledge about A lumbricoides with age level of education prior knowledge and source of knowledge It was concluded that students have poor knowlege about A lumbricoides and has no significant relationship with their demographic charateristics"
Depok: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Lucky Indah Baskara Putri
"Penyakit kulit sering kali muncul pada komunitas padat penghuni dan prevalensi penyakit kulit masih tergolong tinggi di negara berkembang terutama di Indonesia. Di sebuah Pesantren yang terletak di Jakarta Timur, prevalensi penyakit kulit dilaporkan tinggi. Perilaku higienis diduga menjadi salah satu faktor tingginya prevalensi penyakit kulit di Pesantren tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penyakit kulit di Pesantren yang terletak di Jakarta Timur serta hubungannya dengan perilaku higienis murid Pesantren atau Santri. Studi cross sectional ini dilakukan terhadap 184 santri sebagai subjek dari penelitian. Kuesioner yang berkaitan dengan perilaku higienis diisi oleh Santri, selanjutnya Santri akan diperiksa status kesehatan kulitnya oleh dokter spesialis kulit.
Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter spesialis kulit menunjukkan, 144 Santri 78,3 memiliki berbagai jenis penyakit kulit dengan 69 Santri di antaranya 37,5 memiliki penyakit kulit infeksius sementara 75 Santri lainnya 40,8 memiliki penyakit kulit non-infeksius. Jumlah Santri yang memiliki penyakit kulit dengan perilaku higienis yang tergolong baik adalah 107 Santri 81,7 , sementara jumlah Santri yang memiliki penyakit kulit dengan perilaku higienis yang tergolong kurang baik adalah 37 Santri 69,8 . Tes Chi-Square menunjukkan perbedaan yang signifikan antara prevalensi penyakit kulit infeksius dengan perilaku higienis p = 0.008 . Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara prevalensi penyakit kulit dengan perilaku higienis Santri.

Skin diseases often arise among crowded community and the prevalence of skin diseases is still high in developing country particularly in Indonesia. In a Pesantren that is situated in East Jakarta, a high prevalence of skin diseases is reported. Hygienic behavior of the individuals evidently plays a role in the prevalence of skin diseases. The objective of this research is to know the prevalence of skin diseases in a Pesantren in East Jakarta and its relation with hygienic behavior of the Pesantren students or called Santris. This cross sectional study was conducted among 184 Santris as the subjects of this research. The questionnaires regarding hygienic behavior are completed by the Santris and thereafter the Santris are examined by dermatologists.
The examination result by dermatologists reveals approximately 144 Santris 78.3 experience various kinds of skin disease 69 Santris 37.5 with infectious skin disease while the other 75 Santris 40.8 experience non infectious skin disease. The number of Santris with infectious skin disease in poor hygiene is 107 Santris 81.7 and the number of Santris with skin disease in good hygieneis 37 Santris 69.8 . Chi Square test indicates significant difference between the prevalence of skin diseases and hygienic behavior p 0.008 . Therefore, there is a relation between the prevalence of skin diseases and the Santris rsquo hygienic behavior."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfi Rabbani
"Latar belakang: Kanker merupakan penyakit tidak menular dengan 18.1 juta kasus baru dan 9.6 juta kematian setiap tahunnya. Kanker payudara adalah jenis kanker kedua terbanyak setelah kanker paru-paru. Tata laksana kanker diperlukan biaya yang tinggi dan memiliki efek samping yang beragam. Komponen fitokimia aktif dari tumbuhan ataupun fungi yang memiliki kemampuan antioksidan dan sitotoksik terhadap sel kanker, dapat dikembangkan sebagai obat kanker. Salah satu jenis fungi yang berpotensi sebagai antikanker adalah genus Auricularia sp. atau Jamur Hitam-Putih. Studi ini bertujuan untuk mengetahui komponen fitokimia, aktivitas antioksidan dan efek sitotoksik dari ekstrak Auricularia sp. terhadap sel kanker payudara MCF-7.
Metode: Auricularia sp. yang telah dikeringkan dihaluskan menjadi bubuk. Selanjutnya dimaserasi secara bertingkat menggunakan n-heksana, etil asetat dan etanol. Pada ketiga ekstrak dilakukan uji fitokimia dan kromatografi lapis tipis (KLT) dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antioksidan, dan aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker payudara MCF-7.
Hasil: Auricularia sp. mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, alkaloid, dan triterpenoid, serta memiliki 17 komponen senyawa lain. Ekstrak etil asetat Auricularia sp. menunjukkan aktivitas antioksidan lemah terhadap radikal bebas DPPH, dengan nilai IC50 sebesar 215.51 μg/mL, dan memiliki aktivitas sitotoksik sangat kuat terhadap sel MCF-7 dengan nilai IC50 sebesar 0.209 μg/mL. Sedangkan ekstrak etanol dan ekstrak n-heksana menunjukkan aktivitas sitotoksik yang tergolong aktif, dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 28.284 μg/mL dan 50.394 μg/mL.
Kesimpulan: Auricularia sp. memiliki komponen fitokimia aktif yang menunjukkan aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH dan menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker MCF-7.

Background: Cancer is a non-communicable disease with over 18.1 million new cases and 9.6 million deaths annually according to WHO. Breast cancer is the number two highest count type of cancer trailing behind lung cancer. Treating cancer is expensive and have various side effects. Active components found in plants or fungi that have antioxidant and cytotoxic activity towards cancer cells, could be an alternative for anticancer. One of the fungi that is potentially developed as an anticancer, are the genus of Auricularia sp. also known as Black-White fungus. This study aims to determine the phytochemicals components, antioxidant activity and cytotoxic effect of the Auricularia sp. towards MCF-7 breast cancer cells.
Method: Dried Auricularia sp. grinded into a fine powder. Then, multilevel maceration is done with the n-hexane, ethyl acetate, ethanol. The extracts undergo phytochemical screening and thin layer chromatography (TLC), followed by measuring antioxidant and evaluating the cytotoxic activity towards MCF-7 breast cancer cells.
Results: Auricularia sp. contained secondary metabolites of flavonoids, alkaloids, and triterpenoids and a total of 17 other phytochemical components. Ethyl acetate extract of Auricularia sp. showed a weak antioxidant activity towards DPPH free radical with IC50 of 215.51 μg/mL and a very active cytotoxic evaluation with IC50 of 0.209 μg/mL. On the other hand, Ethanol and n-hexane is categorized with an active cytotoxic evaluation with 29.284 μg/mL and 50.394 μg/mL, respectively.
Conclusion: Auricularia sp. contained phytochemical components that had biological activity of antioxidant toward DPPH free radical and cytotoxic towards MCF-7 breast cancer cell.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Anindya Prathitasari
"Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit otoimun kronik terutama menyerang
sendi. AR dapat menyebabkan deformitas sendi yang menurunkan kualitas hidup
penderitanya. Penatalaksanaan AR dilakukan dengan terapi metotreksat (MTX)
dosis rendah yang berfungsi menghambat progresi penyakit. MTX memiliki efek
samping gangguan fungsi hati, yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai SGOT dan atau SGPT hingga melebihi batas atas normal. Faktor yang diduga dapat
memengaruhi gangguan fungsi hati adalah jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX. Prevalensi gangguan fungsi hati akibat pemberian MTX pada pasien AR di Indonesia masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mencari proporsi gangguan fungsi hati akibat terapi MTX pada pasien AR di RSCM tahun 2013-2015 serta hubungannya dengan faktor yang berpengaruh. Data mengenai jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX, nilai SGOT, dan nilai SGPT diperoleh dari 115 rekam medis pasien AR. Proporsi gangguan fungsi hati akibat terapi MTX pada pasien AR di RSCM adalah sebesar 42.60%. Jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX tidak berpengaruh terhadap gangguan fungsi hati (p>0.05). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kejadian gangguan fungsi hati dan faktor jenis kelamin, usia, dosis kumulatif dan durasi terapi MTX pada pasien AR yang diterapi MTX di RSCM tahun 2013-2015."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Utami Al Hadi
"ABSTRACT
Artritis Reumatoid AR merupakan penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta kerusakan dari membran sinovial pada persendian. Dalam memonitor penyakit ini, digunakan Disease Activity Score-28 DAS28 yang dapat menunjukkan aktivitas penyakit AR dari waktu ke waktu. DAS28 bermanfaat untuk mengevaluasi pengobatan serta menentukan keputusan klinis lainnya. DAS28 dapat dihitung menggunakan beberapa komponen seperti jumlah sendi yang nyeri, bengkak, nilai Visual Analogue Scale VAS , serta penanda inflamasi berupa nilai Laju Endap Darah LED atau C-Reactive Protein CRP . DAS28-LED dan DAS28-CRP digunakan secara luas dan keduanya ekuivalen. Namun, nilai LED dapat dipengaruhi berbagai faktor lain, seperti kejadian infeksi, yang angkanya cukup tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara nilai DAS28-CRP dengan DAS28-LED di Indonesia. Data ini belum diketahui sebelumnya. Data mengenai jenis kelamin, usia, jumlah sendi nyeri dan bengkak, nilai VAS, LED, dan CRP diperoleh dari 40 rekam medis pasien AR yang berobat di RSCM pada tahun 2015. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna rerata antara nilai DAS28-CRP dan DAS28-LED sebesar 1,0107.

ABSTRACT
Rheumatoid Arthritis RA is a systemic chronic inflammation disease marked by swollen and tender joint, also destruction of joint rsquo s synovial membrane. To monitoring this disease, Disease Activity Score 28 DAS28 used to show disease activity of RA in times to times. DAS28 is useful to evaluate disease rsquo s treatment and guide clinician to take a decision for the treatment itself. There are some component needed to count DAS28 score, they are number of tender and swollen joint, Visual Analogue Scale, and inflammatory marker such as Erythrocyte Sedimentation Rate ESR or C Reactive Protein CRP . Either DAS28 ESR or DAS28 CRP are used widely and are said to be equivalent to each other. Otherwise, ESR influenced by many other factors, one of them is infection disease, whose the incident number in Indonesia is relatively high. Therefore, the objective of this stuy is to know the comparison between DAS28 ESR and DAS28 CRP in Indonesia, which is still unknown. Data about gnder, age, number of tender and swollen joint, VAS, ESR, and CRP are obtained from 40 RSCM RA patients rsquo medical record in 2015. From this research known that there are significant mean difference between DAS28 CRP and DAS28 ESR which is 1,0107."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasser Jayawinata
"Penggunaan senyawa antioksidan akhir-akhir ini semakin berkembang dengan bertambahnya paparan terhadap radikal bebas. Bahan alami yang banyak ditemukan di Indonesia dan diduga memiliki manfaat antioksidan adalah jengkol (Archidendron pauciflorum). Jengkol mengandung asam jengkolat (djenkolic acid, C7H14N2O4S2) yang memiliki struktur hampir serupa dengan asam amino sistin yang dapat berperan sebagai antioksidan. Kandungan lain yang dapat berperan sebagai antioksidan adalah vitamin C dan flavonoid. Namun, sampai saat ini masih belum ada penelitian yang membuktikan efektivitas biji jengkol sebagai antioksidan.
Desain penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental dengan sampel berjumlah 32 tikus Sprague Dawley yang dibagi menjadi 4 perlakuan, yaitu tikus kontrol, tikus yang diberikan ekstrak biji jengkol, tikus yang diberikan CCl4, dan tikus yang diberikan ekstrak biji jengkol dan CCl4. Parameter yang digunakan untuk melihat keadaan stres oksidatif adalah MDA plasma.
Uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok percobaan (p=0,902). Namun, terjadi penurunan kadar MDA plasma pada tikus yang diberikan jengkol dan CCl4 (1,0328 nm/mL) terhadap tikus yang hanya diberikan CCl4 saja (1,1722 nm/mL). Oleh sebab itu, belum dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji jengkol memiliki sifat antioksidan.

Antioxidants have mainly used nowadays due to the increase exposure of free radicals. One of Indonesian traditional food that estimated has antioxidants effect is jengkol (Archidendron pauciflorum). Jengkol consists of djenkolic acid (C7H14N2O4S2), which has the similarity structure with cystine, that can act as antioxidants. The other compounds that can act as antioxidants are vitamin C and flavonoid. However, there is still no researches that prove effectivity of jengkol as antioxidants.
The design of this research was experimental with 32 samples of Sprague Dawley rats. There were 4 treatment groups, the control group, jengkol group, CCl4 group and jengkol along with CCl4 group. The parameter measured to see the oxidative stress condition in this research was MDA level of plasma.
The statistical test showed that there was no significantly difference between groups (p=0,902). However, the plasma level of MDA decreased in rats given jengkol and CCL4 (1,0328 nm/mL) than the rats only given CCl4 (1,1722 nm/mL). Therefore, we still cannot conclude that the extract of jengkol bean can act as antioxidants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dwinovyatmojo
"Banyak keadaan patologis pada tubuh yang dapat terjadi akibat radikal bebas baik yang bersifat endogen maupun eksogen. Pada keadaan stres oksidatif, antioksidan endogen biasanya tidak cukup untuk melindungi tubuh dari radikal bebas, sehingga diperlukan antioksidan eksogen yang dapat diperoleh terutama dari bahan makanan. Salah satu bahan makanan tersebut adalah Jengkol (Archidendron pauciflorum). Jengkol mengandung asam jengkolat yang mengandung dua molekul sistein yang dijembatani oleh metilen. Metabolisme asam jengkolat menghasilkan sistein dan metionin.
Penelitian eksperimental ini dilakukan untuk menguji kemampuan jengkol sebagai antioksidan dengan mengukur kadar GSH serum. Penelitian ini dilakukan pada 32 tikus Sprague Dawley jantan berumur delapan minggu dengan memberikan ekstrak jengkol dan juga pemberian CCl4. Dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan. Kelompok satu adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, kelompok kedua tikus yang diberi ekstrak jengkol peroral, kelompok ketiga tikus yang memperoleh CCl4 (0,55 mg/g BB dosis tunggal, dua hari sebelum pembedahan) peroral, dan kelompok keempat memperoleh ekstrak jengkol+CCl4.
Efek antioksidan dilihat dari konsentrasi GSH dalam serum yang diukur secara spektrofotometer pada λ maks 412 nm. Hasil menunjukkan penurunan konsentrasi GSH pada kelompok CCl4 (p=0,022) dan pemberian ekstrak jengkol menyebabkan kenaikan kembali konsentrasi GSH walaupun tidak kembali seperti semula (p=0,000). Dapat dikatakan bahwa ekstrak jengkol dapat mengurangi penurunan konsentrasi kadar GSH serum dan memiliki kemampuan antioksidan.

There are many pathological body conditions caused by free radical endogenic or exogenic. In Oxidative Stress condition, endogenic antioxidant substance is not enough to protect body from free radical, therefor we need exogenic anti-oxidant that can be obtained from food. One of the food is Jengkol (Archidendron pauciflorum). Jengkol contains jengkolic acid (C7H14N2O4S2) which has the similarity structure with cysteine as an antioxidant. The metabolism of jengkolic acid are cysteine and methionine.
The aim of this experimental research was to prove that jengkol seed extract has an anti-oxidant effect measured in GSH serum. The research uses male rat (Spraguw Dawley) 8 weeks old given jengkol seed extract and CCl4. There are four treatment groups. Group 1 is a control group. Group 2 is a group which is given jengkol seed extract. Group 3 is a group which is given CCl4 (0,55 mg/g bodyweight single dose, two days before the surgery). Group 4 is a group which is given jengkol seed extract+CCl4.
The anti-oxidant effect can be seen from the concentration of GSH in serum measured by spectrophotometer using Ellman technic (λ maks 412 nm). The result from statistic test shows the decrease of GSH serum concentration in group CCl4 (p=0.022) and by giving jengkol seed extract cause in increasing concentration of GSH serum eventough it?s not back like normal again (p=0,000). So, extract of jengkol seed can be used as an antioxidant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adibah
"Penurunan fungsi memori merupakan salah satu karakteristik dari proses penuaan yang dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Hipokampus merupakan bagian otak yang paling rentan mengalami perubahan seiring dengan proses penuaan yakni dengan adanya penurunan fungsi memori ditandai dengan adanya perubahan plastisitas sinaps. Plastisitas sinaps merupakan mekanisme selular yang mendasari proses pembentukan memori. Terdapat dua protein yang penting dalam plastisitas sinaps dan sering dijadikan marker plastisitas sinaps yakni Synaptophysin SYP dan Postsynaptic density-95 PSD-95 . Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah penurunan fungsi memori, salah satunya melalui terapi herbal. Tanaman Centella asiatica memiliki kandungan triterpenoid dan flavonoid telah lama dikenal berperan dalam meningkatkan fungsi memori. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol Centella asiatica CeA terhadap ekspresi protein SYP dan PSD-95 di hipokampus tikus. Penelitian ini merupakan studi eksperimental in-vivo menggunakan 18 ekor tikus Wistar jantan usia 6 bulan yang dibagi secara acak menjadi 3 kelompok: 1 kelompok kontrol K 2 kelompok CA300 dan 3 kelompok CA600. Kelompok kontrol diberikan akuades, kelompok CA300 diberikan CeA dosis 300 mg/kg.BB dan kelompok CA600 diberikan CeA dosis 600 mg/kg.BB yang dilakukan selama 28 hari berturut-turut secara oral. Setelah 28 hari, tikus didekapitasi dan hipokampus diisolasi dari jaringan otak. Ekspresi protein SYP dan PSD-95 di jaringan hipokampus dianalisis menggunakan teknik imunohistokimia pada regio CA1 hipokampus. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian ekstrak etanol Centella asiatica dosis 600 mg/kg.BB dapat meningkatkan ekspresi protein SYP dan PSD-95 secara signifikan.
Decreased memory function is one of the characteristics of the aging process that can reduce the quality of life. Hippocampus is the most vulnerable part of the brain undergoing changes along with the aging process that is with the decline in memory function characterized by the change in synaptic plasticity. Synaptic plasticity is the cellular mechanism that underlies the process of memory formation. There are two important proteins in synaptic plasticity and are often used as synaptic plasticity markers Synaptophysin SYP and Postsynaptic density 95 PSD 95 . Various efforts have been made to overcome the problem of memory function decline, one of them through herbal therapy. Centella asiatica CeA plants contain triterpenoids and flavonoids have long been known to play a role in improving memory function. The purpose of this study was to investigate the effect of Centella asiatica ethanol extract CeA on expression of SYP and PSD 95 protein in rats hippocampus. The study was an in vivo experimental study using 18 male Wistar rats aged 6 months randomly divided into 3 groups 1 control group K 2 CA300 group and 3 CA600 group. The control group was given aquadest, a group of CA300 given a 300 mg kg.BW CeA and a CA600 group administered a 600 mg kg.BW CeA administered for 28 consecutive days orally. After 28 days, rat were decapitated and the hippocampus were isolated from brain. The expression of the SYP and PSD 95 proteins in the hippocampal tissue was analyzed using immunohistochemical techniques in the hippocampal CA1 region. The results showed, giving Centella asiatica ethanol extract with dose 600mg kg.BW can increase expression of SYP protein and PSD 95 significantly. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuni
"Latar Belakang: Talasemia merupakan anemia herediter yang salah satu pengobatannya adalah dengan tranfusi darah secara teratur yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar besi dalam tubuh. Peningkatan kadar besi tersebut meningkatkan jumlah besi bebas yang dapat membangkitkan ROS yang mengakibatkan terjadinya stres oksidatif. Kelator besi standar yang digunakan secara klinis saat ini adalah desferoksamin, deferipron, dan deferasirok, namun harganya sangat mahal dan efek sampingnya dapat memperburuk kondisi pasien. Alternatif yang digunakan adalah mangiferin, senyawa hasil ekstraksi kulit batang Mangifera indica L. yang terbukti sebagai kelator besi in vitro. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida L. sebagai kelator besi dan antioksidan secara in vivo pada tikus Sprague Dawley yang telah diinduksi besi berlebih.
Metode: Tikus jantan galur Sprague Dawley terbagi 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 tikus. Semua kelompok, kecuali kelompok normal, diinduksi besi berlebih dilakukan dengan pemberian injeksi iron dextran secara intraperitoneal dengan dosis total 90 mg/tikus (15 mg/tikus setiap 3-4 hari selama 3 minggu) yang diikuti dengan pemberian deferipron 462,5 mg/kg BB/hari, mangiferin 75 mg/kg BB/hari, ekstrak air 2930 mg/kg BB/hari selama 7 hari pada masing-masing kelompok secara oral. Parameter yang diukur adalah kadar besi plasma dan urin, aktivitas SOD, dan kadar MDA. Analisis data menggunakan uji ANOVA one way.
Hasil: Mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida L. dapat menurunkan kadar besi dalam plasma dan meningkatkan ekresi besi dalam urin yang hasilnya tidak berbeda dengan efek terapi deferipron, serta mampu meningkatkan aktivitas SOD dalam darah, namun tidak mempengaruhi kadar MDA plasma.
Kesimpulan: Mangiferin dan ekstrak air daun Mangifera foetida memiliki efek kelator besi dan antioksidan, sehingga potensial dapat digunakan untuk pengobatan kelebihan besi dalam tubuh manusia.

Introduction: Thalassemia is a hereditary anemia requiring regular blood transfusions for survival. This may result in increasing of iron levels. The excess of iron deposition may lead to increased amount of free iron and the generated ROS can result in oxidative stress. At present, the standard iron, chelators used in human are desferrioxamine, deferiprone, and deferasirox, which are expensive and associated side effects. Mangiferin is an alternative compound from extract of selected species of Mangifera indica L. that has iron-chelating effect in vitro. The aim of this study is to prove that the mangiferin and aqueous extract Mangifera foetida L. leaves have iron chelating and antioxidants effect in Sprague Dawley rats in vivo.
Methods: Five groups of six Sprague Dawley rats each, were treated with iron dextran, iron dextran and deferiprone, iron dextran and mangiferin, iron dextran and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves, and untreated, respectively. All groups, except the untreated one, were brought to iron overload by giving iron dextran injection intraperitoneally with a total dose of 90 mg/mouse (15 mg/mouse every 3-4 days for 3 weeks) followed by oral administration of deferiprone 462,5 mg/kg bw/day, mangiferin 75 mg/kg bw/day, the aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves 2930 mg / kg bw / day for 7 days, respectively. Outcome measures in this study were the iron content of plasma and urine, the activity of Superoxide Dismutase (SOD), and Malondialdehida (MDA) plasma levels. Data were analized by using one way ANOVA test.
Result: Mangiferin and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves decreased iron levels in plasma and increased urinary iron excretion which were comparable to that of deferiprone and increased the activity of SOD, but did not affect on MDA plasma levels.
Conclusion: Mangiferin and aqueous extract of Mangifera foetida L. leaves have iron chelating and antioxidants effect that can be potentially useful for the treatment of iron overload.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library