Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Medelina Kusharwanti
"Peraturan perundangan yang mengatur tentang rekrutmen dan seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ternyata belum mampu menjamin penegakan sistem merit dalam pelaksanaan rekrutmen dan seleksi PNS. Akibatnya pelaksanaan rekrutmen dan seleksi sampai saat ini terus menuai kritik karena kurang mengedepankan prinsip netralitas, persamaan, keadilan, dan kompetensi. Padahal pelaksanaan rekrutmen dan seleksi berdasar sistem merit merupakan langkah mendasar untuk memperbaiki kualitas PNS. Pertanyaannya adalah, bagaimana reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi dilaksanakan agar kualitas PNS dapat ditingkatkan.
Disertasi ini berisi paparan tentang analisis kebijakan di bidang rekrutmen dan seleksi PNS. Analisis kebijakan digunakan untuk menemukan akar permasalahan dan penyebab lemahnya penegakan sistem merit. Berdasarkan pemahaman atas permasalahan dan hambatan yang ada, diusulkan reformasi kebijakan di bidang rekrutmen dan seleksi untuk lima belas tahun kedepan. Untuk merancang reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS disertasi ini menggunakan pendekatan scenario planning . Scenario planning dipakai untuk mengetahui lingkungan kebijakan yang mungkin muncul di masa depan karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan politik (driving factors). Dengan menggunakan pendekatan analisis kebijakan dan scenario planning, reformasi kebijakan yang diusulkan tidak hanya dapat menyelesaikan permasalahan rekrutmen dan seleksi PNS yang muncul pada saat ini tetapi juga relevan untuk menjawab tantangan dan kondisi lingkungan kebijakan di masa depan. viii Untuk mencapai tujuan di atas maka penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah mendeskripsikan dan melakukan analisis terhadap proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS yang ada di Indonesia. Tahap kedua adalah membangun skenario. Pada tahap ini dilakukan kelompok diskusi terfokus atau Focus Discussion Group (FGD) dengan para pakar. Tahap ketiga adalah merumuskan langkah-langkah reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS sesuai dengan skenario yang ada.
Hasil penelitian tahap pertama adalah bahwa proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS dihadapkan pada kuatnya campur tangan politik yang memunculkan persoalan rendahnya komitmen elit dalam menegakkan sistem merit, inkonsistensi kebijakan, kekaburan pembagian kewenangan antar lembaga yang terlibat, serta kurangnya sinkronisasi antara kebijakan makro dan mikro.
Hasil penelitian tahap kedua, berdasarkan diskusi para Pakar tentang faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpastian lingkungan kebijakan masa depan, dibangun empat skenario yaitu Meritokrasi, skenario Dalam Tekanan, skenario Tanpa Harapan dan skenario Berpeluang. Dari keempat skenario tersebut, skenario yang dipilih sebagai skenario 2008 ? 2023 adalah skenario Meritokrasi dan skenario Tanpa Harapan.
Pada tahap ketiga, berdasarkan dua skenario yang dipilih maka ditentukan langkah-langkah reformasi proses kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS. Pada skenario Meritokrasi yang memiliki dukungan politik kuat maka langkah reformasi yang membutuhkan keterbukaan politik seperti peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pengurangan KKN, dan pembangunan netralitas pegawai dapat dilakukan. Gagasan untuk memiliki jajaran pegawai dengan standar kualitas yang tinggi degan menggunakan integrated system juga dapat direalisasikan. Kondisi ekonomi sosial yang baik dalam skenario Meritokrasi juga memungkinkan dilakukannya langkah perbaikan yang memerlukan dukungan keuangan seperti perencanaan pengadaan pegawai untuk lima tahun kedepan dan penggunaan teknologi. Pada skenario Tanpa Harapan, keadaan yang digambarkan sangat buruk akibat dukungan politik yang lemah dan kondisi sosial ekonomi yang tidak berkembang sehingga langkah reformasi bagi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS menjadi sangat terbatas. Reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS harus dimulai dengan membangun kesepakatan elit untuk menegakkan sistem merit dalam rekrutmen dan seleksi PNS, menggalang dukungan politik (political support), di samping mempertegas kemauan politik atau political will dari para elit dan stakeholder. Kondisi ekonomi dan sosial yang terpuruk tidak memungkinkan bagi dilaksanakannya tindakan yang memerlukan biaya tinggi seperti pemanfaatan teknologi. Reformasi yang dilaksanakan hanya dapat diarahkan pada peningkatan effisiensi serta efektivitas kemampuan lembaga pelaksana. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa, reformasi kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS yang ada mecakup elemen-elemen yang sangat luas namun cukup rinci. Selanjutnya, karena rekrutmen dan seleksi PNS hanya merupakan sebuah subsistem dalam sistem kepegawaian nasional, maka reformasi ix kebijakan rekrutmen dan seleksi PNS hanya akan menjadi optimal jika disertai dengan reformasi pada subsistem yang lain. Implikasi teoritis penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan analisis kebijakan dan scenario planning secara bersama-sama menjadi pendekatan yang efektif untuk merancang reformasi kebijakan yang memiliki perspektif jangka panjang dan bersifat strategis.

Government regulations concerning the recruitment and selection of civil servants (Pegawai Negeri Sipil/PNS) have not yet guaranteed the enforcement of a merit-system in the conduct of recruitment and selection of PNS. As a consequence, the recruitment and selection processes have drawn criticism because these processes are lacked in upholding the principles of neutrality, equality, justice, and competency. The conduct of recruitment and selection based on merit-system is a fundamental step to improve the quality of PNS. The question is how the reform of policies on recruitment and selection could be conducted in order to improve the quality of PNS.
This dissertation contains policy analyses on the recruitment and selection of PNS. Policy analysis is utilized to observe the root problems and causes of weak enforcement in a merit-system. Based on the understanding of problems and obstacles, it recommends a policy reform agenda on recruitment and selection for the next fifteen years.
To devise this reform agenda, this dissertation utilizes scenario planning approach. This approach is used to identify policy environment that may arise in the future because of the social, economic, and political changes (driving factors). By using approaches of policy analysis and scenario planning, policy reform agenda proposed in this dissertation will not only solve the current problems with the recruitment and selection of PNS, but will also be relevant to answer challenges and conditions of policy environment in the future. To reach that objective, this study was conducted into three stages. The first stage was to describe and conduct analyses on policy processes of recruitment and selection in Indonesia.
The result from the first stage study revealed that the policy process of recruitment and selection of PNS was confronted with strong political intervention that have caused the emergence of the elite?s low commitment in upholding the merit-system. In addition, there were policies inconsistency, unclear division of authority among relevant institutions, and lacked of synchronization between macro and micro policies.
The result of the second stage study, revealed that based from the discussion with experts, it identified factors that have caused uncertainties on the policy environment in the future, it developed four scenarios: Meritocracy scenario (Meritokrasi), Under Pressure scenario (Dalam Tekanan), Without Hope scenario (Tanpa Harapan), and Possible Success scenario (Berpeluang). From these scenarios, the scenarios that were selected for 2008-2023 are Meritocracy scenario and Without Hope scenario.
On the third stage, based from the two selected scenarios, the steps towards reforming the PNS?s recruitment and selection policy were determined. In the Meritocracy scenario that gains strong political support, some reform agendas that require political openness like improving transparency and accountability, combating KKN (corruption, collusion, and nepotism), and developing civil servants? neutrality can be conducted. The idea to have a rankand-file of the bureaucracy with high quality standard through the implementation of integrated system can be also materialized. Good socio-economic condition in the Meritocracy scenario also make it possible to conduct the improvement of the civil servants? quality that requires financial support, for example through a better planning for the hiring of new civil servants for the next five years and the using of technology. On the Without Hope scenario, a bad condition is depicted as a result from the weak political support and the stagnant socio-economic condition so that the reform agendas on the recruitment and selection policy of PNS were quite limited. Policy reform of the PNS? recruitment and selection policy should start with the development of agreement among elites to uphold the merit-system, the mobilization of political support, and also strengthening the political will of elites and other stakeholders. Declining socio-economic condition will not make it possible for the implementation of the action plans that require high financial cost, like the use of technology. Reforms conducted can only aimed at improving the efficiency and effectiveness of the capacity of the implementing agency. The conclusion from this study is that policy reforms of the recruitment and selection of PNS include a wide range and detailed elements. Furthermore, because the recruitment and selection of PNS is only a subsystem within the national employment system, policy reforms of the recruitment and selection of PNS can only be optimal if they are accompanied with the reforms on other subsystems. Theoretical implication from this study shows that the use of both approaches of policy analysis and scenario planning becomes an effective approach to plan policy reform that has long term and strategic perspectives."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D887
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ning Rahayu
"Globalisasi ekonomi telah membawa dampak meningkatnya investasi asing antar negara khususnya Foreign Direct Investment (FDI). Kemampuan negara-negara maju untuk memasok modal, terutama dalam bentuk FDI merupakan salah satu kunci keberhasilan negara-negara tersebut. Aliran FDI menuju negara-negara berkembang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2010 diperkirakan 48% aliran FDI akan menuju negara berkembang. Ada beberapa alasan mengapa investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang, antara lain memperbesar keuntungan, untuk mengkombinasikan modal yang dimilikinya dengan tenaga kerja yang murah dalam upaya untuk mengurangi biaya produksi, penggunaan bahan baku dekat dengan sumbernya dan sebagainya. Sementara itu bagi negara tempat investasi, kehadiran investor asing dalam bentuk FDI memberikan berbagai keuntungan berupa transfer teknologi, tenaga kerja terlatih, kemampuan organisasi dan manajerial, penerimaan pajak dari keuntungan yang diperoleh oleh investor FDI. Mengingat banyaknya dampak positif yang diharapkan dapat diperoleh negara tempat investasi (host country), negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) berusaha secara aktif mempromosikan negaranya agar menjadi lokasi investasi dengan memberikan berbagai insentif, baik insentif pajak maupun non pajak. Upaya-upaya untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia telah membuahkan hasil berupa masuknya investor asing FDI dalam jumlah yang cukup signifikan yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak. Dalam kaitannya dengan hal di atas, di Indonesia terjadi fenomena yang bersifat kontroversial. Di satu sisi pemerintah sangat gencar melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan realisasi investasi asing FDI khususnya perusahaan Penanaman Modal Asing (PT.PMA) dengan menawarkan berbagai fasilitas, di sisi lain ternyata cukup banyak (70%) PT.PMA yang tidak membayar pajak dalam jangka waktu yang cukup lama (berturut-turut selama 5 tahun atau lebih) karena selalu melaporkan rugi dalam SPT PPh Badannya. Dari hasil analisis DJP diketahui bahwa dari 70% PT.PMA yang tidak membayar pajak sebagian besar dikarenakan melakukan praktik penghindaran pajak, antara lain transfer pricing melalui transaksi inter company.
Penelitian Disertasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik-praktik penghindaran pajak yang pada umumnya dilakukan dilakukan oleh FDI yang berbentuk subsidiary company (PT.PMA) di Indonesia, menganalisis kebijakan Anti Tax Avoidance dalam menangkal praktik-praktik penghindaran pajak yang dilakukan dan mengetahui dan menganalisis upaya-upaya yang dilakukan DJP untuk menangani praktik-praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh FDI yang berbentuk subsidiary company (PT.PMA) tersebut. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma positivist dengan pendekatan mixed approach. Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang tidak sepenuhnya dapat dijawab dengan pendekatan kualitatif ataupun kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui observasi terlibat serta wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan yang kompeten yang mewakili berbagai kelompok yang terkait dengan tema penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh FDI yang berbentuk subsidiary company (PT.PMA) di Indonesia dilakukan melalui skema transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, Controlled Foreign Corporation (CFC), dan pemanfaatan negara tax haven. Adapun skema penghindaran pajak yang paling banyak digunakan adalah skema transfer pricing dan thin capitalization. Praktik penghindaran pajak tersebut dilakukan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku dan diperkuat dengan karakteristik hubungan antara anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia dengan induk perusahaan (parent company) di luar negeri sebagai entitas yang terpisah, sehingga antara keduanya dapat melakukan transaksi. Selanjutnya hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan Anti Tax Avoidance di Indonesia relatif belum memenuhi sifat kebijakan sebagaimana dikemukakan oleh James Anderson yaitu sifat rasional, inkremental dan emergence, karena pada kebijakan yang ada masih banyak peluang (loopholes) yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak, khususnya perusahaan PMA untuk melakukan penghindaran pajak, sehingga potensi pajak yang ada belum dapat digali secara optimal. Dilihat dari faktor-faktor pendukung, yaitu policy content kebijakan yang bersifat rasional dan logis, kerjasama dengan pihak-pihak terkait dan sumber daya yang trampil untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat belum sepenuhnya terpenuhi untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan kebijakan Anti Tax Avoidance tersebut. Terakhir, upaya-upaya yang dilakukan oleh DJP dalam menangani praktik-praktik penghindaran pajak oleh FDI yang berbentuk PT.PMA relatif masih kurang memadai dan kurang menyentuh masalah yang bersifat esensial, sehingga kasuskasus penghindaran pajak tersebut kurang tertangani dengan baik.

Economic globalization has brought an impact in an increase of international foreign investment, particularly in the form of Foreign Direct Investment (FDI). The ability of the Developed countries to supply capital in the form of FDI is one of their success. The flow of FDI to the Developing countries is increasing every year. In the year 2010 it is predicted that 48% of the FDI will go to the Developing countries. The main reasons of the foreign investors from Developed countries to invest in the developing countries is to increase their profit, to combine their capital with the cheap labors in order to reduce production expense, the use of raw materials near the source etc. Whereas for the host countries, the foreign investment in the form of FDI have some advantages, i.e.: transfer of technology, trained labor, ability of organization and managerial skill and tax revenues from the profit of the FDI investment. As there are many positive advantages received by the host country, most of developing countries (including Indonesia) is promoting their country to become an investment destination through some incentives, both tax and non tax incentives. The efforts to attract the foreign investor into Indonesia resulted in the increase of foreign investment in the significant amount, which is expected to increase the tax revenues. Due to the above development, in Indonesia there is a controversial phenomenon. The efforts from the Government to increase FDI realization, especially Foreign Investment Company (PT.PMA) by giving some incentives, but the negative aspects of this policy is that many PT.PMA (70%) did not pay Corporate Income Tax and file Income Tax Return which show a tax loss for a long time (5 years or more ). Based on a study of the Directorate General of Taxes (DGT) 70% of the PT.PMA companies did not pay taxes mostly because of the practice of tax avoidance, especially in transfer pricing through inter company transaction.
The objectives of the research of this dissertation are to identify the practices of the tax avoidance which are commonly used by FDI in the form of subsidiary company (PT.PMA) in Indonesia, to analyze the Anti Tax Avoidance policy in combating the practices of tax avoidance and to know and analyze the efforts performed by the DGT to counter practices of the tax avoidance by the FDI in the form of subsidiary company (PT.PMA). The paradigm of the research is a positivist paradigm with mixed approach. The combination of qualitative approach and quantitative approach used to answer the research questions which can not fully be answered either by qualitative or quantitative approach. The kind of the research is descriptive research with the technique of collecting data through library and field research through participant observation and in depth interview with some key informants that represent various group relevant to the topic of this research.
The result of the research shows that the practices of the tax avoidance which commonly performed by FDI in the form of subsidiary company (PT.PMA) in Indonesia are done through a scheme of transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, Controlled Foreign Corporation (CFC), and the use of tax haven countries. In the most cases the tax avoidance scheme is transfer pricing and thin capitalization schemes. The tax avoidance practices to be done by making use of the loopholes of the tax regulations and supported through the relation between subsidiary company in Indonesia and parent company abroad as a separate entity, therefore they can make inter company transactions. Furthermore the analysis shows that the Indonesia Anti Tax Avoidance policy relatively has not fulfilled the characteristic of the policy mentioned by James Anderson, i.e.: rational, incremental and emergence, because the Indonesia Anti Tax Avoidance policy has many loopholes which can be used by the tax payer, particularly PT.PMA to practice tax avoidance, and consequently the tax potential to the DGT can not be achieved satisfactorily. In addition to that the supporting factors i.e.: policy content of the policy which should rational and logic, cooperation with the related parties and competent man power to perform the policy is not adequate to support the implementation of the Anti Tax Avoidance policy Finally, the efforts done by the Directorate General of Taxes to handle the practices of the tax avoidance by FDI in the form of PT.PMA relatively is not optimal, consequently the cases of the tax avoidance has not been handled properly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D939
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rozan Anwar
"Disertasi menjelaskan asumsi peran manusia yang able dan proses yang agile selaku penyusun dynamic capabilities, yang menghasilkan adaptive policy sehingga dapat dibangun dynamic governance. Penelitian juga untuk memahami proses pembangunan dynamic capabilities dan pengembangan model tentang pengaruh able people dan agile process terhadap dynamic capabilities dalam proses kebijakan pelayanan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Desain penelitian menggunakan mixed methods: 1) pendekatan kuantitatif dengan model statistik persamaan struktural SEM, 2) pendekatan deskripsi kualitatif dengan wawancara mendalam, dan 3) penggunaan Soft System Methodology (SSM) untuk membangun model pengembangan proses kebijakan publik. Temuan uji persamaan struktural SEM menghasilkan hubungan pengaruh: i) able people terhadap thinking again, ii) agile process terhadap thinking ahead, iii) agile process terhadap thinking across, iv) thinking again terhadap thinking across, dan v) thinking again terhadap thinking ahead. Analisis kualitatif deskriptif menunjukkan sejumlah perilaku kepemerintahan Kabupaten Jembrana mencerminkan kemampuan pembangunan dynamic capabilities baik thinking ahead, thinking again, maupun thinking across. Simpulan pengembangan model konseptual dengan metode kualitatif SSM, mendukung temuan uji persamaan struktural SEM, dimana dynamic capabilities yang dihasilkan adalah dari aspek thinking again, sementara thinking ahead dan thinking across terpusat pada inisiatif Bupati Jembrana. Kemampuan Pemkab Jembrana menghasilkan dynamic capabilities yang diwujudkan dalam kebijakan adaptif pelayanan pendidikan kemudian mendorong sebuah dynamic governance. Kondisi ini selanjutnya menumbuhkan nilai demokrasi dan diimplementasikannya prinsip-prinsip good governance (accountability, transparansi, dan partisipasi masyarakat) dalam kebijakan pelayanan pendidikan di Jembrana.

This dissertation describes the roles of able people and agile process in developing dynamic capabilities to create adaptive policy to achieve dynamic governance. The study also aims to understand the roles of able people and agile process in developing dynamic capabilities of Public Education Services Policy in Jembrana Regency. The research design utilizes a mixed-methods of: 1) quantitative approach with structural equation statistic model SEM, 2) qualitative description approach through in-depth interviews, and 3) application of Soft System Methodology (SSM) to construct the development model of public policy process. The findings of SEM structural equation test show the impact of: i) able people on thinking again, ii) agile process on thinking ahead, iii) agile process on thinking across, iv) thinking again on thinking across, and v) thinking again on thinking ahead. The descriptive qualitative analysis shows that a number of Jembrana regency government?s behaviors have incorporated dynamic capabilities including thinking ahead, thinking again, and thinking across. The conclusion of conceptual model development using SSM qualitative method is aligned with the findings based on SEM structural equation test, that the dynamic capabilities are created from the thinking again aspect while the thinking ahead and the thinking across aspects are best demonstrated by Jembrana Bupati (Regent)?s innitiatives. The dynamic capabilities of the Jembrana Regency Government in creating adaptive educational services policy in turn establish a dynamic governance of which stems out democratic values and the application of good governance principles (accountability, transparency, and community involvement) in the educational services policy."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
D00964
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Janry Haposan U.P.
"Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) menganalisis keadilan sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini (internal dan eksternal); (2) menganalisis kelayakan sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini bagi PNS dan keluarganya; (3) menganalisis dampak sistem kompensasi PNS yang berlaku hingga saat ini terhadap produktivitas PNS; dan (4) memfor- mulasikan strategi kompensasi PNS yang mendukung optimalisasi perwujudan reformasi kepegawaian ke depan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma post-positivisme dan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kompensasi PNS di Indonesia yang berlaku hingga saat ini masih belum memenuhi prinsip keadilan dan kelayakan bagi PNS dan keluarganya serta belum mampu memacu PNS dalam berproduktivitas. Penelitian menghasilkan tiga pilihan strategi, yaitu Strategi Pesimistis (Minimal), Strategi Moderat, dan Strategi Optimistis (Maksimal). Strategi Moderat diusulkan untuk diimplementasikan dengan melakukan perubahan secara incremental yang merujuk pada rasio harga pasar di beberapa negara. Pada strategi ini, dalam Jangka Pendek dilakukan evaluasi dan penyempurnaan sistem dan kebijakan tentang kompensasi PNS, penghentian kebijakan "remunerasi", pelaksanaan evaluasi jabatan PNS dengan Metode FES, dan penetapan rasio gaji pokok dan tunjangan 70% : 30%. Kemudian, dalam Jangka Menengah, mengimplemen- tasikan hasil evaluasi jabatan, penetapan indikator kinerja PNS, menjadikan tingkat pendidikan, kompetensi, masa kerja, dan tingkat jabatan sebagai input penyusunan kompensasi, benchmarking dengan swasta dan negara lain, mengaitkan kompensasi dengan kinerja PNS, menetapkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) PNS, rasionalisasi anggaran belanja pegawai, penegakan hukum di kalangan PNS, dan kenaikan kompensasi berkala. Sementara dalam Jangka Panjang adalah melakukan revitalisasi reformasi sistem kepegawaian dan pembiayaan pensiun dengan Metode Sharing APBN. Implementasi atas Strategi Moderat ini jika dapat dijalankan dengan baik akan menjadi landasan yang baik pula menuju penerapan Strategi Optimistis (Maksimal).

The main objective of this study were: (1) to analyze the equity (internal and external) of the implementation of the civil service compensation system; (2) to analyze the feasibility of living of the civil service compensation system for civil servant and his/her family; (3) to analyze the impact of the civil service compensation system on his/her productivity; and (4) to formulate a compensation strategy that supports the optimization of of civil service reform realization forward. This study used a qualitative approach with post-positivism paradigm and type of descriptive research. This research results showed that the current compensation system of civil service in Indonesia still don't meet the principles of fairness and feasibility for civil servants and their families and have not been able to drive civil servants productivity. The study produced three options strategies, namely Pessimistic Strategy (Minimal), Moderate Strategy, and Optimistic Strategy (Maximum). Moderate strategy is proposed to be implemented by making incremental changes that refers to the ratio of market prices in some countries. On this strategy, the Short-Term focus include evaluation and improvement of civil service compensation system and policy, the termination of "remuneration" policy, the implementation of job evaluation method of civil with FES, and the determination of the ratio of basic salary and allowances of 70%: 30%. Then, in the Medium Term include, implementation of the job evaluation results, the determination of civil service performance indicators, making the level of education, competence, length or duration of service, and position as inputs for arranging compensation system, benchmarking with the private sector and other countries, merit pay (performance based), set a feasibility of living needs, the expenditure budgets rationalization, law enforcement among the civil servants, and an increase in regular compensation. While in the Long Term is to revitalize the civil service system reform and financing retirement Cost Sharing Method with the state budget. The successfulness of this Moderate Compensation Strategy would be a good foundation towards the implementation of Optimistic (Maximum) Compensation Strategy."
Depok: 2012
D1259
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Makhdum Priyatno
"Perubahan besar hasil reformasi belum diimbangi dengan perubahan dalam birokrasi. Birokrasi masih berpola seperti sebelum reformasi.Perkembangan cepat di luar birokrasi mencemaskan birokrasi, karena akan terjadi kooptasi birokrasi oleh politik untuk kepentingan jangka pendeknya, sementara birokrasi hanya dapat menunggu dan tidak dapat berbuat apa-apa, dan sebaliknya.
Topik ini menjadi penting untuk dijadikan fokus penelitian disertasi karena meritokrasi sebagai alternatif pemecahan masalah, setelah rekonseptualisasinya dalam penempatan pejabat di NKRI, dapat befugsi sebagai katalisator bagi interaksi demokrasi dan birokrasi.
Masalah penelitian level makro adalah bagaimana menghasilkan rekonsptualisasi regulasi meritokrasi dalam penempatan pejabat; level meso-1 mengenai tata kelola hubungan kerja antar Paguyuban PAN dan antara Paguyuban PAN dengan Kemendagri dan kementerian teknis lainnya; level meso-2 tentang rekonsptualisasi sistem diklat berbasis kompetenensi; dan level mikro mengenai rekonsptualisasi peran lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan pencarian, penemuan dan penempatan pejabat yang kompeten dalam penyelengaraan pemerintahan.
Disertasi ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM)-Based Action Research untuk memperbaiki permasalahan di atas, menyempurnakan dan meningkatkannya sehingga rekonseptualisasi meritokrasi dalam penempatan pejabat untuk birokrasi yang lebih baik dapat dilakukan dengan efektif, efisien, dan sistemik. Tujuh tahap SSM adalah sebuah keniscayaan. SSM dipilih karena memenuhi kriteria yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam dunia nyata birokrasi.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, meritokrasi bertumpu pada keberadaan undang-undang mengenai kepegawaian. Pada level meso-1, kordinasi belum diperankan secara stratejik dan pada level meso-2 sistem pendidikan dan pelatihan aparatur berbasis kompetensi belum dapat diwujudkan. Pada level mikro, proses pencarian, penemuan dan penempatan pejabat dalam dilakukan Baperjakat. Namun peran kepala daerah lebih menentukan. Rekomendasi level makro adalah pengesahan segera RUU ASN, meso-1 kordinasi intensif, meso-2 perubahan orientasi diklat berbasis kompetensi, level mikro adalah bahwa pencarian, penemuan, dan penempatan pejabat di daerah tidak dilakukan oleh Baperjakat melainkan oleh lembaga independen dan profesional.

Great change took place in several walk of lives as consequences of reforms in 1998 unfortunately were not followed by the bureaucracy. Changes that created new environment in politics, government, policy making, institutions, service delivery and others, in contrast, within bureaucracy are still absent. It still operates in an oldfashioned version as it used to be. The rapid development of its environment made it needs to reforms itself to anticipate the consequences of the growing democracy in the country.
This background revealed the research question in the field of regulation in macro level, coordination in meso level as well as competency-based training, and in the micro level is the possibility of utilising independent body in placing officers, the activity used to be done by Baperjakat.
This dissertation uses SSM-Based Action Research in order to improve, fix, and perfect the situation considered problematic in the real world. For that purpose, 7 standard steps of SSM used and followed. The research category chosen is following McKay and Marshal, that is research interest as well as problem solving interest.
Conceptualisation of meritocracy in each institutional level shows that potentiality of its application is relatively high, opposite with basic regulation in place, the law on personnel management. Such development accommodated already in the draft new law on State Civil Apparatus.
The conclusion of the research shows that at the macro level, the application of the meritocracy in the placement of the officers relay heavily on the availability of the regulations on personnel. In the meso-1 level, coordination is not yet played in a strategic manner among the Menpan office and its affiliation institution, with ministry oh Home Affairs as well as technical ministries. In the meso-2 level, competency-based training is not in place yet. At the micro level, the process of recruitment, finding, and placement indeed done by Baperjakat. However, the head of the region plays more important decision than the functional body. This dissertation recommends at the macro level that the enaction of the law on State Civil Apparatus is a must and need to be perpetuated, at the meso-1 level intensive coordination is the key to develop meritocracy principles, meso-2 level the changing in the training orientation fo the competency-based is a must, and at the micro level the role Baperjakat should be replaced by the independent and professional body. Another important recommendation is that affirmative meritocracy as a derivation from affirmative actions relay heavily on the availability of affirmative policy in the form of law on State Civil Apparatus."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1506
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Pengelolaan air irigasi berhubungan erat dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di suatu negara. Di Belanda dikenal melalui waterschappen yang pengernbangannya didasari oleh mekanisme desentralisasi fungsional. Di negara berkembang, menurut pakar-pakar pemerintahan daerah hampir dirancukan oleh konsep delegasi seperii diakui oleh Cheema, Rondinelli dan Nellis.
Di negara-negara maju seperti Belanda, Jepang, USA, dan Jerman pengembangan praktek lembaga semaoam ini ditandai oleh sifat-sifat otonom yang sejajar dengan pemerintah daerah dalam konstelasi sistem administrasi negaranya Lembaga ini bersifat khusus dan otonom di tingkat lokal mengerjakan fungsi yang spesifik. Baik di negara Kesatuan maupun negara Federal terdapat lembaga tersebut. Lembaga ini pertanda sebagai kompleksnya sistem administrasi negara dimana persoalan sosial-ekonomi masyarakat tidak melulu diselesaikan oleh tingkatan pemerintahan yang selama ini dikenal, melainkan dapat dikernbangkan Iembaga khusus yang otonom tersebut.
Penelitian ini membandingkan antara praktek pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, serta di Hulu Langat Malaysia. Alasan mengangkat ketiganya adalah sama-sama menangani persoalan air irigasi. Malaysia telah lama mengembangkan dewan sumberdaya air di tingkat Nasional dan Negara Bagian. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antar obyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya seoara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupatenf Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia.
Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Disamping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktek bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengaran ke dalam praktek desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenunnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing Praktek desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktekkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Sementara itu, pengaturan kawasan khusus pada level makro pun tidak terkait dengan fungsi irigasi. Hal ini disebabkan oleh adanya daya dukung ekonomi politik yang rendah dari sektor irigasi pada umumnya dan irigasi tersier pada khususnya.
Implikasi akademik dan praktis dari penelitian ini adalah bahwa konsep desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam wacana akademik Indonesia khususnya memerlukan pengembangan konsep desentralisasi fungsional secara komprehensif terkait konstruksi adminisrasi negara. Kuatnya wacana desentralisasi teritorial menjadi penyebab konstruksi distribusi urusan irigasi hanya berpaku pada model distnbusi pada lingkup desentralisasi teritorial.
Selanjutnya perlu dilakukan penelilian mengenai daya jangkau organisasi ingasi Subak dan dharma tirta, disamping penelitian-penelitian terhadap perlunya mengotonomikan organisasi tersebut pada jenjang yang cukup radikal yang menempatkan petani sebagai bagian dalam proses pengisian struktur politik terlepas dari pemerintahan daerah yang selama ini ada. Penelitian mengenai dampak (ekstmalitas) organisasi pengelola irigasi perlu dilakukan bersamaan dengan uji kepentingan atau nilai strategis kelembagan tersebut bagi masyarakat. Kajian terhadap sektor Iain pun memungkinkan untuk dilakukan.
Terhadap aras empirik, Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian serta pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar Iebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda diperlukan dalam kerangka kepentingan kemajuan sektor pertanian sebagai sektor yang sangat tergantung kepada urusan irigasi di Indonesia.

Irrigation management closely relates to the distribution of functions among levels of government. It also has a hierarchical system from primary to tertiary level of cannal. The jurisdiction of the irrigation management creates a territory which does not always be symmetric with the administrative governmental area. This nature of irrigation implies an ambiguity of some existing institutions for tertiary water irrigation management at the grassroot level in term of decentralization and local govemment in Indonesia.
In the Netherlands, there are waterschappens instititution which have been established based on functional decentralization for managing irrigation. In the developing countries, functional decentralization has been mis-interpreted by delegation concept according to Cheema, Rondinelli and Nellis_ Functional decentralization in developed countries such as Netherland, Japan, USA, and Germany, are indicated by the existence of autonomous body in the local level. This institution is specific in the nature according to the function should be carried out.
Within both the Unitary state and the Federal state, the aformentioned institution can be established to retiect the complexity of the state. It shows that social and economic problems can be managed not only by local government based on territorial decentralization as ordinary local public body, but also by local institution based on functional decentraiization mechanism as special local public body.
This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in govemmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments.
Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools.
This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deooncentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia.
At the micro level, it is showed that there are some failures in tertiary irrigation management. These failures were results from macro level condition on distribution of functions among levels of govemment that were being developed just based on territorial decentralization concept. This condition created a weak tertiary irrigation institution. Meanwhile, special territory which developed according the law number 32 of 2004 on Local Governance does not relate to irrigation function- lt happened because of low political economic capabilities of irrigation sector, especially in tertiary irrigation level.
There are some academic and practical implications of this research. First, the discourse on decentralization and local government in Indonesia should be developed towards the concept of functional decentralization. Strong discourse on territorial decentralization an sich caused the distribution of functions among levels of government limited to this model distribution of functions in Indonesian local govemment.
Second, advanced research for analyzing tapering of Subak or Dharma Tirta should be conducted, rather than research that analyze the urgency of this organization's autonomy to radical stage which place the farmer as a part of political structure. Future research on irrigation management should be conducted with regards to its positive as well as negative externalities.
Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D805
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Unifah Rosyidi
"Kecamatan merupakan struktur tertua dalam struktur pemerintahan subnasional. Sebelum lahir Undang-Undang (UU) Desentralisasi Tahun 1903, Belanda hanya membangun struktur pemerintahan subnasional menurut asas dekonsentrasi dengan kecamatan (onderdistrict) selaku struktur terbawah yang terus dipertahankan hingga jaman kemerdekaan. UU No. 5/1974 menentukan kecamatan tetap sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi yang dipimpin oleh camat sebagau Kepala Wilayah. Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mengubah secara drastik struktur dan status kecamatan sebagai wilayah kerja Camat selaku perangkat daerah otonom kabupaten/kota. Perubahan drastik tersebut dipandang sebagai reformasi administrasi subnasional sehingga berbagai perubahan yang terjadi, konflik yang diakibatkan oleh reformasi tersebut, dan solusi pemerintah subnasional menarik dikaji.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatiif, unit analisis adalah kecamatan di kota Bogor. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, studi dokumentasi, wawancara mendalam, pengamatan dan diskusu terfokus. Key informan bersifat snow ball. Analisis dilakukan pada pemerintah Kota Boogor dan kecamatan. Data dianalisis melalui tahapan pengumpulan data mentah, transkip, koding, penyimpulan sementara, trianggulasi, dan kesimpulan akhir.
Temuan pada pemerintahan subnasional adalah: Pertama, struktur orga nisasi perangkat daera )OPD) cukup ramping, tetapi dengan dibentuknya 26 UPTD menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Pembentukan UPTD sarat konflik kepentingan elit lokal, dan dalam hal tertentu menjadi sumber konflik antar lembaga. Kedua, Pelimpahan wewenang dari walikota kepada camat merupakan aspek positif tetapi belum didukung oleh pelimpahan personil, peralatan dan pem biayaan (3P), yang memadai. Ketiga, Kewenangan yang diterima dipandang aparat kecamatan sebagai kewenangan setengah hari, dan kurang memberikan nilai ekonomis pada kecamatan.
Temuan pada tingkat kecamatan: Pertama, struktur kecamatan lebih ramping, lebih fleksibel dengan sistem, prosedur dan tata kerja pelayanan mengalami perbaikan, tidak berbelit-belit, dan lebih transparan tetapi disiplin dan kecepatan kerja masih rendah. Kecamatan memiliki anggaran berbasis kinerja tetapi sangat terbatas apalagi dengan dilikuidasinya cabang dinas membuat urusan kecamatan semakin banyak dengan kewenangan terbatas. Kepemimpinan Camat sangat strategis, ke atas menyampaikan aspirasi masyarakat ke bawah melaksanakan misi pembangunan. Camat harus dapat berperan ga da sebagai pemimpin masyarakat dan manager kantor kecamatan. Kedua, Perubahan struktur belum diikuti dengan perubahan kinerja individu secara signifikan. Kualifikasi pendidikan aparat masih rendah, tidak memiliki ketrampilan teknis memadai, dan training hampir tidak ada. Budaya kerja meningkat ke arah positif tetapi masih bersifat paternalistik. Cara pandang aparat mengalami perubahan, lebih melayani, lebih ramah, dan lebih bertanggung jawab tetapi penggunaan waktu belum efektif, kurang responsif dna kaku (rule driven).
Konflik yang teramati terjadi pada level individu, lembaga dan dengan masyarakat. Konflik individu sering terjadi pada Camat yang kekuasaannya berkurang signifikan, sehingga secara alamiah kurang responsif terhadap perubahan. Konflik antar lembaga terjadi karena adanya konlik kepentingan, ketidak jelasan dan tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, sikap curiga, dan koordinasi yang tidak berjalan baik. Konlik dengan masarkat disebabkan karena menguatnya posisi tawar masyarakat sebagai dampak dari berkembangnya demokrasi dan kesadaran terhadao HAM. Masarakat cenderung menjadi kelompok penekan (pressure groups).
Pemerintah subnasional dan kecamatan menyelesaikan konflik dengan musyawarah dialog, kesepakatan dan koinsesnsus untuk menciptakan situasi sama-sama menang atau sama-sama tidak dirugikan. Selanjutnya, sedang dikaji kewenangan lai yang akan didelegasikan pada kecamatan dengan melibatkan berbagai pihak. Selain itu, keberadaan UPTD juga akan dikaji karena cenderung memperpanjang birokrasi dan tidak efisien. Walikota memberikan diskresi kepada camat untuk menyelesaikan permaslahan secara otonom. Lebih jauh konflik diselesaika berdasarkan kasus per kasus. Belum ditemukan grand design dalam penyelesaian konflik dengan menggali akar permasalahan yang sesungguhnya.
Berdasarkan analisis hasil penelitian, keberadaan kecamatan masih sangat dibutuhkan sebagai pusat pelayanan yang paling dekat dengan masyarakt. Kecamatan perlu lebih diberikan kewenangan riil, diskresi dan dukungan personil, fasilitas dan dana yang memadai. Di atas semuanya adalah political will, komitmen dan konsistensi pemerintah subnasional dalam menjadikan kecamatan sebagai lini terdepan pelayanan. Implikasi teoritik penelitian ini adalah pengembangan model=model pelayanan kecamatan apakah sebagi single atau multi ouroose agency yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Sub-distnct (kecamatan) is the oldest structure in sub-national/local govemment structure. Before Law of Decentralization in 1903 issued, Dutch only developed the structure in line with deconcentration principle in which sub-district (onderailstricb remained the lowest structure till the independence. Law No. 5/1974 determined that sub-district was still as an administrative region in the context of deconcentration, led by Camat as head of the sub-district. The introduction of Law No. 22/1999 and Law No. 32/2004 as the bases of transforming centralistic system to decentralistic one with the implication of shifting sub-district structure from administrative region to the working area of Camat; and the status of Camat as central apparatus to be the local apparatus. The drastic change is considered as a sub-national administrative reform so that any changes occurred, conflicts as the result of the reform, and the solution of sub-national govemment are interesting to study.
This study used qualitative method with sub-districts in Bogor municipality as the analysis unit. Data was collected by observation technique, document studv, intensive interview, observation, and focused discussion. Key informants were snow ball. The analysis was conducted at the government of Bogor Municipality and sub-districts. Data was analyzed through collecting raw data, transcribing, coding, interim concluding, triangulating, and final concluding.
Findings at sub-national government are: Firstly, local instrument body (LIB) is slim enough, however, the establishment of 26 UPTDs (local technical service unit) makes LIB ineffective and inefficient. The establishment of 26 UPTDs is full conflict of interest of local elites, and, in any cases, becomes the source of conflict among bodies and agencies. Secondly, the delegation of authority from the Mayor to Camat is a positive aspect, but has not been supported yet by the appropriate delegation ofpersonnel, facilities, and budge. Thirdly, the accepted authority is considered by the sub-district apparatus as the half hearted, and gives less economic value for the sub-district.
Findings at sub-district level: Hrslin the sub-district structure is simpler, more flexible where the system and procedure of services have changed. The services are not complicated and more transparent, whereas the discipline and the working velocity are still low. Sub-district has very limited performance-based budget. Moreover, by the liquidation of sub-agency (cabang dinas), it makes sub-district get more and more duties with the restricted authority. The role of Camat is very strategic-delivering the community?s aspiration to the local govemment and conducting the development mission to the community- thus require Camat to function as a community leader and a sub-district manager. Secandig the structure change has not been followed significantly by the change of individual perfonnance. The education qualification of apparatus is still low. They dont have enough technical skills, and hardly take part of in trainings. Working culture improves positively, although it is soil paternalistrc. The apparatus? point of view changes as well. They are more helpful, friendlier and more responsible, but they still spend the times ineffectively, less responsive and rule driven.
The observed conflicts occurred in the individual, institutional and community levels. The individual conflict happened frequently to Camat whose authority decreases significantly so that he/she becomes, naturally, less responsive toward any changes. Conflicts between institutions occurred due to the conflict of interest, me ambiguous and overlapping duties and responsibilities, the skeptical atdtude, and the bad running cardination. Conliict with the community is caused by the better bargaining sition of the community- as the consequences of the development of democracy and gf time awaren s of human rights. The community tends to be the pressure groups.
Sub-national govemment and sub-district make conliict resolution through discussion, dialog, agreement, and consensus rn order to create the win-win solution. Concerning me auighgfiry, the local government is going to review the other authorities given to me sob district with any parties. Besides, the existence of UPTDS is also going to be Fewiewed doe to the fact that UPTDS tend to lengthen bureaucracy and be inefficient. The Mayor gives Camat discretion to solve the problems autonomously. Above all, the local government has not yet developed grand design to resolve the conflict and to make the sub district become a service center.
Based on the result of the study, the existence of sub-district as the closest service centre to the community is still needed in the future. Sub-district also needs more real authority, discretion and the support of personnel, facility and budget. The most important thing is that the local government has good political will, commitment, and consistency to develop sub-district. The theoretical implication of this study is the development of sub-district service models whether it is as a single or as a multi purpose agency. Those models are interested to study further."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D728
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salomo, Roy Valiant
"Reformasi administrasi pemerintah subnasional merupakan hal yang tak dapat ditunda-tunda. Persoalannya adalah bagaimana melakukannya. Bagaimana strateginya. Dengan latar belakang lingkungan lokal, nasional, regional, serta internasional yang tidak menentu. Disertasi ini memakai pendekatan scenario planning dalam membangun strategi reformasi administrasi pemerintah subnasional. Untuk itu dibutuhkan tiga tahapan penelitian yang sekaligus dicerminkan oleh tiga pokok permasalahan. Masing-masing adalah: pertama, bagaimanakah potret administrasi publik pemerintah subnasional di Indonesia saat ini? Kedua, bagaimanakah deskripsi skenario lingkungan administrasi publik (aspek sosial-politik dan ekonomi) pemerintah subnasional pada tahun 2025? Ketiga, bagaimanakah grand strategy reformasi administrasi publik pemerintah subnasional sampai tahun 2025?

Administrative Reform at the subnational level is very urgent business to be done. The questions are how to implement it and what is the strategy to implement it. With the local, national, regional and international uncertainty this dissertation, using scenario planning, try to develop strategy for administrative reform at the subnational level in indonesia. This has been done through three stages of research which is reflected by three main research problems. First, what are the pictures of the subnational public administration in indonesia now? Second, what are the scenarios of the environment (social aspect, political aspect and economic aspect) of public administration at the subnational level at the year 2025? Third, what is the administrative reform grand strategy of the public administration at the subnational level in Indonesia until the year 2025?"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D723
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Supriyono
"Local Govemment Institution Development has continuously been performed in line with the changes of decentralization policy. A basic question interesting to study is ?Can institution development which has continuously been performed created tl1e ability of local government institution to carry out government autonomy regions? This question is relevant to propose knowing that there have still been complex problems for an institution ability to cany out local government.
Realizing that the complex problems, his research is aimed to describe and analyze the ability of local govemment institution in carrying out the provision of urban infrastructures based on three dimensions of institutional development. Firstly, the effectiveness of local government institution in carrying out the functions of planning and performing. Secondly, the direction changes of local government institution in response to decentralization policy. Thirdly, institutionalizations process in local government institution. The other aim of this research is constructing models of the systems of local government institution to solve the three problems mentioned above.
Based on the above aims, approaches of qualitative and system thinking are used to carry out this research. The usage of qualitative approach was needed to examine the capability of local government institution in implementing the function of providing urban infrastructures through understanding of understanding process, while the system approach was used to analyze the relationship among the phenomenon systemically and as an effort to solve the institution development problems which was also faced systemically. The system approach used is Sof? System Methodology (SSM). The working principles of this methodology are examining phenomenon in the real world based on understanding of understanding to the phenomenon and then building a system model of solving problems through learning process based on the Same of system thinking.
Referring to the analysis results and their relevance to the research aims, some conclusions could be drawn. Firstly, the development of the structure and function of local government institution in Malang Regency in implementing the function of providing urban infrastructures shows that there are local institutions having double Emotion and post. It is indicated by the existance of conflict configuration in implementing those two functions. Secondly, based on some standardization indicators of either planning process or working implementation, local govemment institution in implementing the limction of providing urban infrastructures proves ineffective.
Thirdly, in giving response to decentralization policy local government tends to choose dynamic conservatism strategy and the model of local government performed by Malang Regency is traditional bureaucratic authority model. Fourthly, institutionalization within local government institution either in the institutional level or in the perspectives of inter-actor relationship in implementing the function of providing urban infrastructures is not yet optimal. Fiithly, based on using soft system analyses, it can be constructed four models of development systems of local government institution oriented on solving problems. The four models are: the effectivity system models of local government institution in performing the function of planning and of implementing, the direction system model of local government changes, and the institutionalization system model within local govemment institution.
This research gives tive recommendations. Firstly, the development of local government institution to increase the quality of urban infrastructure provision should be based on definite standardization conforming to the authority and function implemented by local institutions. The usage of the standardization should be directed to the efforts of overcoming the conflict happens in the unit of local government institution in carrying out its function. Secondly, local government institution should, in implementing the function of urban structure provision, involve private and commtmity participation. The institution involvement refers to the implementation of local government using either community enabling authority or marker enabling authority model, its implementation should be conformed with the social structure of local community. Thirdly, government institution needs to increase its institutionalization process in carrying out the function of urban infrastructure provision by building shared value in terms of bringing the balance between high and low formalization, independence and interdependence, and also the transformation balance between top-down and bottom-up actor behavior. Fourthly, local government institution needs to construct local government institution model system to implement the function of urban infrastructure provision along with monitor and control subsystem whose function is to control the function. The monitor and control subsystem should be formulated by stakeholders using clear performance measurement and its implementation is performed by an institution having an authority in its field."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D804
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Patar
"Efektivltas merupakan tema sentral dalam semua pekerjaan pakar dan peneliti yang melakukan kajian tentang organisasi. Signifikansi dan relevansi efektivitas dijadikan sebagai variabel pengukuran kinerja organisasi didasarkan pada pendapat pakar dan hasil penelitian bahwa efektivitas reIevan dijadikan sebagai ukuran kinerja. Efektivitas organisasi saling berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor organisasional. Ada dua permasalahan yang mengacaukan pemahaman tentang efektifitas organisasi, yakni sifat konstruk efektivitas organisasi yang tidak pernah dibicarakan secara tuntas dan adanya perbedaan penggunaan istilah efektivitas oleh praktisi dan teoritisi. Pada Sekretariat Negara RI, gejala inefektivitas dipicu oleh perubahan Struktur organisasi dan pergantian kepemimpinan yang menerapkan budaya kerja tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan efektivitas organisasi dengan menggunakan model nilai yang bersaing dilihat dan pengaruh struktur organisasi, kepemimpinan, dan budaya organisasi.
Studi ini menganut paradigma positivisme dengan struktur logika deduktif dan menggunakan pendekatan eksplanatif. Unit analisisnya ialah kegiatan pegawai dilihat dari pendekatan nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi. Populasi penelitian ini meliputi pegawai Golongan II, III, IV sebanyak 2058, dengan jumlah sampel yang ditarik secara stratified proportional random sebanyak 203 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan teknik angket. Setiap item pertanyaan dilengkapi lima opsi jawaban. Data dianalisis dengan SEM menggunakan LISREL.
Hasil penelitian dan implikasinya ialah kedelapan indikator nilai yang bersaing bagi efektivitas organisasi pada Sekretariat Negara meneguhkan pemahaman bahwa efektivitas merupakan dimensi pengukuran kinerja. Ini sesuai dengan realitas bahwa organisasi yang dinamis selalu menetapkan tujuannya melalui pengembangan SDM, fleksibilitas, pengelolaan informasi, stabilitas, akuisisi sumber daya, produktivitas, kohesi, dan perencanaan. Selanjutnya, hasil analisis faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas organisasi adalah kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi. Kepemimpinan pengembangan diwakili oleh empat fokus orientasi yaitu: kinerja pelaksanaan tugas, organisasi, pekerja, dan intrinsik. Budaya organisasi diwakili oleh hakekat hubungan antara manusia, hakekat ruang, hakekat kegiatan manusia, hakekat waktu, hakekat sifat manusia, keterkaitan Iingkungan organisasi, dan hakekat realitan dan kebenaran. Struktur organisasi diwakili oleh aspek standardisasi, formalisasi, spesialisasi, hiraki, profesionalisme, dan sentralisasi. Hasil modifikasi indeks dengan nilai signifikansi 0.99990 memberikan makna tidak ada perbedaan yang berarli antara matriks kovarian model teoritik dengan matriks kovarlan data. Kesesuaian model yang dihasilkan menguatkan pemahaman awal bahwa setiap organisasi yang hidup, berkembang, dan mengikuti dinamika perubahan Iingkungan memerlukan sesuatu yang imperatif berupa tujuan yang akan dicapai melalui berbagai cara. Ketiga faktor organisasi yang berpengaruh terhadap efektivilas organisasi menunjukkan "persaingannya" dilihat dari bobot nilai signifikansinya. Artinya, secara terintegrasi tergambar bahwa budaya organisasi lebih kuat pengaruhnya daripada kepemimpinan pengembangan dan struktur organisasi terhadap efektivitas organisasi. Efektivitas organisasi dalam koridor model nilai yang bersaing yang dlwakili oleh delapan indikator divisualkan ke dalam kurva Iaba-laba (radar) untuk menunjukkan tingkat kontribusinya.
Relevansli dan signifikansi kontribusi kedelapan indikator efektivitas organisasi menguatkan dandangan pakar mengenai model nilai bersaing sebagai salah satu dari enam model efektivitas organisasi, selain model tujuan rasional, model sistem terbuka, model proses internal, model inefektivitas, dan model hubungan manusia. Prinsip dan fokus orientasi kepemimpinan pengembangan dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap kekuatan pengaruh pimpinan dalam mengkoordinasikan dan menyamakan visi dan misi pegawai selaku keluarga besar Sekretariat Negara. Kekuatan pengaruh pimpinan ini meminimalisasi dan menetralisasi permasalahan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab antar individu dan antar unit kerja. Pemahaman dan aplikasi nilai-nilai budaya organisasi dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap minimalisasi pemasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugas pegawai, karena salah satu asumsli dasar budaya organisasi adalah pemahaman dan aplikasi hakekat hubungan antar manusia. Selain itu, menguatkan pendapat Schein bahwa budaya organisasi berfungsi melakukan integrasi internal dan adaptasi eksternal. Dengan demikian, semangat integrasi dan kolaborasi yang dibangun oleh pegawai selama berlahun-tahun selain menjadi perekat yang mengikat kebersamaannya, juga sekaligus dapat mencegah dan mengeliminasi permasalahan dalam hubungan kerja dan pelaksanaan tugasnya.
Struktur organisasi Sekretariat Negara yang lebih berciri mekanistik daripada berciri organik dengan derajat yang tinggi membawa implikasi terhadap dinamika dan efektivitas organisasi. Dinamika kegiatan pegawai yang diwadahi oleh struktur organisasi ini mengeliminasi permasalahan koordinasi, pembagian tugas, dan rentang kendali. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Mintzberg mengenai dua elemen dasar struktur organisasi yang menjadikan organisasi efektif yakni pembagian tugas dan koordinasi kegiatannya.
Berdsarkan realitas (anti tesis) dan pandangan pakar (tesis) diperoleh sintesis pemikiran (hasil uji konnrmalif) mengenai keefektifan dan kedinamisan kegiatan pegawai pada Sekretariat Negara yang diarahkan oleh kepemimpinan pengembangan berbasis nilai budaya birokrasi publik dalam struktur organisasi yang cenderung lebih berciri mekanistik daripada berciri organik. Dengan demikian, keefektifan organisasi (birokrasi) publik dapat dipotret berdasarkan kedelapan indikator dalam model nilai yang bersaing yang dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan pengembangan, budaya organisasi, dan struktur organisasi.
Saran penelitian, untuk menghindari timbulnya permasalahan organisasi yang dipicu oleh Peraluran Presiden Nomor 31 Tahun 2005, perlu diperjelas kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab Menteri Skretaris Negara berdasarkan pembagian tugas dan rentang kendali yang diemban, dengan menetapkan ?fungsi koordinasi? Menteri Sekretaris Negara menjadi ?fungsi pengaturan?, sehingga kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab, Serta pembagian tugas dan rentang kendali Menteri Sekretaris Negara semakin jelas dan kuat dalam membawahi dan mengatur Rumah Tangga Kepresidenan, Sekretariat Militer, dan Sekretariat Wakil Presiden."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D807
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>