Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pandu Utama Manggala
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan assessment terhadap Politik Luar Negeri Indonesia di ASEAN, khususnya setelah ASEAN berupaya mengembangkan diri menjadi organisasi regional yang lebih terintegrasi dengan visinya ASEAN Community 2015. Sejak saat itu, negara-negara anggota ASEAN berupaya melakukan berbagai cara untuk menjadikan ASEAN lebih solid secara entitas regional dan juga berupaya mengubah orientasi ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. ASEAN yang lebih solid dinilai akan dapat membuat negara-negara anggotanya menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di kawasan, serta juga memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya di tengah dunia internasional yang semakin kompleks. Berdasarkan pandangan tersebut, Indonesia selalu menempatkan ASEAN ke dalam lingkaran politik luar negerinya. Sebagai implementasinya, Pemerintahan Indonesia di bawah SBY berupaya memainkan peran yang lebih aktif dan besar ASEAN, yang diharapkan akan memberikan banyak manfaat buat masyarakatnya. Selain itu, visi ASEAN Community 2015 dilihat dapat memberikan momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan peran kepemimpinannya di ASEAN yang sempat memudar akibat terhempas krisis pada periode akhir 1990-an. Terlepas dari itu semua, ada beberapa pertanyaan yang sering mengemuka mengenai peran Indonesia di ASEAN ini, yakni apakah Politik Luar Negeri Indonesia yang dijalankan telah efektif dalam mendorong ASEAN untuk menjadi entitas regional yang lebih solid dan lebih berorientasi kepada masyarakat; apakah Indonesia telah menunjukkan peran kepemimpinan yang kuat di ASEAN; dan apakah Indonesia telah secara berhasil menjadikan ASEAN lebih dekat kepada masyarakatnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian berupaya dijawab dengan menggunakan kerangka berpikir New Regionalism dari Bjorn Hettne. Kerangka New Regionalism Bjorn Hettne sendiri adalah sebuah pendekatan baru regionalisme yang mengeksplorasi integrasi dan kerja sama cross border berdasarkan pemahaman komparatif, historis, dan perspektif multi-level. Dengan menggunakan kerangka New Regionalism Bjorn Hettne, dapat dianalisa jalan menuju pembangunan regionalisme yang lebih komprehensif. Oleh sebab itu, pendekatan teoretis New Regionalism Bjorn Hettne ini akan digunakan sebagai alat analisa dalam melihat efektivitas peran yang dijalankan Indonesia dalam mendorong terciptanya regionalisme ASEAN, pada masa Pemerintahan SBY.

This research tries to assess Indonesia?s foreign policy towards ASEAN, especially after ASEAN tries to rejuvenate itself with its vision of ASEAN Community 2015. Since then, ASEAN member countries have attempted on bringing ASEAN into a more solid of regional entity and a more people centered organization. A stronger ASEAN is perceived by its member will make them can solve every problem that occurs in the region. Moreover, by having a more solid regional entity, ASEAN member countries will get benefits as the world becoming more dynamic and challenging. By that viewpoint, Indonesia still consider ASEAN as the first concentric circle of its foreign policy. The onsequence of that outlook is in the current Indonesia government, the SBY administration, Indonesia tries to play a more active and bigger role in ASEAN, that will eventually give benefits to its own citizen. Furthermore, ASEAN vision to become a more solid regional entity is perceived will bring momentum for Indonesia to rise its leadership role after being shattered by the crisis in the late 1990s. However, questions remain arouse are whether Indonesian Foreign Policy towards ASEAN is effective to push ASEAN into a more solid regional entity and a more people centered organization or not; whether Indonesia has put its leadership role in ASEAN that will eventually bring prosperity for Indonesia citizen or not; and wheter Indonesia has been successful in bringing ASEAN into the heart of the society or not. By using Bjorn Hettne theoretical approach of regionalism, the New Regionalism approach, this research tries to explore and answer those questions. Bjorn Hettne New Regionalism is an approach that explores cross border integration and cooperation based on comparative, historic, and multilevel perspective. By using Bjorn Hettne New Regionalism, we can analyze in what ways a more comprehensive regionalism can be built. Therefore, this theoretical approach then will be used as an analytical tool to measure the Indonesian Foreign Policy toward ASEAN, in the current SBY dministration."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marthinus, Pierre
"Skripsi ini membahas aktivisme dan problematika yang muncul dalam dinamika pengungsi sebagai respon dan resistensi terhadap upaya eksklusi terhadap mereka. Dalam operasionalisasi, penelitian ini memfokuskan diri pada aktivisme yang dilakukan oleh para pengungsi Irak di Amerika Serikat melalui pendekatan Abject Cosmopolitanism. Penelitian memfokuskan diri pada kekuatankekuatan, praktik-praktik dan pembagian-pembagian yang menempatkan para pengungsi Irak pada posisi yang lebih lemah (zone of shame, disgrace and debasement). Pendekatan penelitian yang digunakan melihat kelas "abject", yakni para pengungsi, pencari suaka serta migran ilegal senantiasa turut menyuarakan aspirasi mereka melalui berbagai aktivisme, terlepas dari kenyataan bahwa mereka sudah/belum memiliki status sebagai warga negara (citizenship).

This thesis discuss the activism and problematic arising in the refugee dynamics as response and resistance towards the exclusion efforts done towards them. In its operationalization, this research focuses itself on activism done by Iraqi refugee in the United States through an Abject Cosmopolitanism approach. The research focuses on powers, practices and divisions placing Iraqi refugee on a weaker position (zone of shame, disgrace and debasement). The research approach utilized views that the "abject" class, consisting of refugees, asylum seeker and illegal migrants, is constantly voicing their aspirations through various activism, regardless of the fact that they have/haven?t obtained the status of citizenship."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardika S. Sadjad
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Hotmauli Anastasia
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S8291
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahayu
"Penelitian ini mengkaji bagaimana transformasi tujuan dalam pergerakan sosial biksu di Myanmar dapat terjadi. Tujuan awal pergerakan adalah tuntutan akan demokratisasi dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, namun berubah menjadi penolakan terhadap keberadaan etnis Muslim Rohingya di Myanmar. Melalui analisis data-data indikator dari faktor eksternal dan internal yang secara langsung dapat mempengaruhi proses transformasi tersebut, penelitian ini membuktikan bahwa faktor eksternal mendominasi proses transformasi tersebut. Dalam perjalanannya, penelitian ini juga menemukan beberapa faktor, yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi proses transformasi tersebut.

This study assessed how the transformation of biksu social movement's purpose in Myanmar can happen. Initially, the purpose was about democratization and human rights, but then it changes to deny the existence of Moslem Rohingya ethnic in Myanmar. Through the analysis of external and internal indicator that directly can affect the process of transformation, this research find out that the external factor dominate the transformation. In the middle of this research, we also can find the undirect factor, wich can affect this transformation too."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35848
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edit Ernawati Wahyuningtyas
"Tesis ini membahas mengenai latar belakang terjadinya transisi demokrasi di Myanmar dengan menganalisis kejadian-kejadian yang terjadi selama tahun 2003-2010. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa transisi demokrasi di Myanmar terjadi karena inisiatif elit penguasa yang secara dominan didorong oleh faktor-faktor eksternal yang datang dari aktor internasional. Argumen ini didapatkan setelah dilakukannya analisis perbandingan antara faktor internal dan faktor eksternal yang ada di Myanmar. Faktor-faktor yang dianalisa diambil dari indikator-indikator konsep transisi demokrasi yang dikemukakan oleh para ahli.

The focus of this study is about the democratic transition in Myanmar. This research is conducted using quantitative method, focusing mainly in literature study. The purpose of this research is to identify reasons behind the democratic transition in Myanmar by analyzing the events happening during 2003-2010. The finding of this research describes that external factors and international actors is determinant in pushing the military regime to start the democratic transition in Myanmar. This argument derived from a comparative analysis between internal and external factors existed in Myanmar. These factors are taken from democratic transition concept indicators stated by the experts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niwa Rahmad Dwitama
"Kajian dalam review literatur ini membahas perdebatan ilmiah yang terjadi dalam aspek legitimasi intervensi kemanusiaan/ Responsibility to Protect (R2P). Sebagai norma internasional, R2P menghadapi berbagai dilema politik pada tataran perumusan dan implementasi kebijakan intervensi dalam sistem PBB. Salah satu dilema politik yang terjadi adalah aspek legitimasi. Legitimasi adalah suatu proses legalitas di mana intervensi harus dilakukan hanya melalui validasi wewenang Dewan Keamanan PBB (Bab VII, Piagam PBB). Di lain pihak, beberapa akademisi berpendapat bahwa legitimasi legal rentan akan kontestasi kepentingan anggota DK sehingga legitimasi moral/ etis adalah hal yang lebih penting dalam membentuk legitimasi dan lebih adil dalam menyelamatkan isu kemanusiaan. Legitimasi moral dibentuk melalui aksi multilateralisme dan pembuktian tragedi kemanusiaan. Melalui analisis komparatif perdebatan legitimasi legal dan moral dalam karya akademisi hubungan internasional, hukum internasional dan HAM, review literatur ini mengidentifikasi bahwa kontestasi antara pembentukan legitimasi tersebut merupakan pengejawantahan dari pertentangan paradigmatis realisme dan konstruktivisme, yaitu narasi: (1) faktor material lawan ideasional, (2) logika konsekuensi lawan logika kepatutan, (3) norma sebagai kegunaan lawan norma sebagai hak, dan (4) aktor top-down lawan agen bottom-up.

The studies in this literature review discusses the scientific debate that occurred in the aspect of legitimacy of humanitarian intervention / Responsibility to Protect (R2P). As an international norm, R2P is facing numbers of political dilemmas at the level of policy formulation and implementation in UN system. One of the political dilemmas is divisive voice on legitimacy aspect in intervention. Legitimacy is a legal process in which intervention should be done only through UN Security Council authority (Chapter VII of the UN Charter). On the other hand, some scholars argue that legal legitimacy is vulnerable to contestation of interests of security council members, thus moral/ ethical legitimacy is more important in establishing legitimate and fairer intervention in saving humanity from humanitarian tragedy. Moral legitimacy is formed through multilateralism mechanism in intervention and empirical evidence of human tragedy. Through a comparative analysis of the legal and moral legitimacy debate in the work of international relations scholars, international law and human rights intellectuals, this literature review identifies that the contestation in legitimacy aspect of intervention epitomizes paradigmatic opposition between realism and constructivism. This can be explicated through following points: (1) material factors versus ideational, (2) the logic of appropriateness versus the logic of consequence, (3) the norm as benefit versus the norm as right, and (4) top-down actor versus bottom-up agent.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Hindun
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai proses regionalisasi Asia Selatan dilihat dari aspek keamanan, ekonomi dan politik internasional serta sosial budaya dalam SAARC. Pembahasan dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran regionalisasi di negara berkembang, khususnya di kawasan Asia Selatan. Dengan menggunakan teori regionalisme, maka akan dianalisis tahap regionalisasi dari tiap aspek melalui keterlibatan indikator-indikator pendukung regionalisme, seperti kebijakan, common goal dan hasil faktualnya. Setelah itu, akan dilihat tingkat regionalisme dari tiap aspek melalui proses pelaksanaan kebijakannya. Hasil dari analisa tulisan ini memperlihatkan bahwa regionalisasi di aspek keamanan masih rendah, begitu pula di aspek ekonomi dan politik internasional. Di sisi lain, dengan melihat keterlibatan indikator-indikator pendukung menunjukkan aspek sosial budaya di SAARC memasuki tahap regionalisasi sedang.

This final assignment will discuss the process of regionalization in South Asia in the facets of security, international and political economy and social culture in SAARC. The aim of this paper is to give description about regionalization in developing countries, especially in South Asia region. This paper will use regionalism as the theory and analyze the level of regionalization from every facets through supporting indicators of regionalization. The supporting indicators will be the actors, policies, common goal and also the factual impacts. This paper will also analyze regionalization from the policies? implementation in SAARC. The result showed that regionalization in security aspect is still low, this is also happen in international and political economy. However, seeing through the supporting indicators of regionalization, level of regionalization in social culture of SAARC is in the middle."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Satrio
"Fenomena konflik internal yang muncul pada masa Perang Dingin, membuka kesempatan PBB untuk berperan lebih besar dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Operasi perdamaian PBB yang berkembang dengan pesat pasca Perang Dingin merupakan salah satu bentuk respon dari tantangan-tantangan yang muncul pada saat ini. Operasi perdamaian PBB yang dilakukan pasca Perang Dingin merupakan operasi multidimensi yang meliputi aktivitas peacekeeping dan peacebuilding.
Kompleksitas konflik internal yang terjadi di Sierra Leone, yang diakibatkan oleh faktor pemerintahan yang buruk dan faktor eksploitasi berlian secara illegal, menimbulkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah yang sangat besar, dan juga menimbulkan berbagai masalah lainnya, seperti meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta meningkatnya jumlah pengungsi. Melihat ketidakberdayaan pemerintah Sierra Leone dalam mengatasi konflik tersebut, maka menarik PBB, dalam kaitannya sebagai organisasi internasional, untuk ikut campur tangan dalam memulihkan dan mencapai perdamaian di negara tersebut.
Dalam tesis ini, penulis mencoba menganalisa tentang peran yang dilakukan Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam proses penyelesaian konflik internal Sierra Leone pada periode tahun 1994-2005, melalui usaha-usahanya sebagai mediator bagi pihak-pihak yang bertikai dan juga mengirimkan pasukan operasi perdamaian di negara tersebut.

The internal conflict phenomenon that emerged in Cold War time, opened the United Nations opportunity to play a bigger role in an effort to maintain international peace and security. The United Nations peace operation that developed fast post-Cold War, was one of the forms as the response from challenges that emerged at the moment. The United Nations peace operation that was carried out post-Cold War was the multidimensional operation that covered the peacekeeping and peacebuilding activity.
Because of the bad governance and illegally diamond exploitation?s factor, the internal conflict complexity in Sierra Leone caused the fall of civil casualties in the very big number, and also caused various other problems, like the increase in poverty and the unemployment as well as the increase of the number of refugees. Saw the powerlessness of the Sierra Leonean government in overcoming this conflict, then attracted the United Nations, as an international organization, to take part in the interference in restoring and achieving peace in this country.
In this thesis, I'm trying to analyzed about the role that was carried out by the United Nations Peacekeeping Operation Forces in the process of the internal Sierra Leonean conflict resolution in the period 1994-2005 , through their efforts as the mediator among dispute parties and also sent troops of the peace operation in this country."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25115
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rif'ats Fachir
"Perkembangan ilmu hubungan internasional semakin mengetengahkan isu-isu yang dianggap baru dan non-konvensional (low politics) untuk dijadikan sorotan. Tesis ini membahas mengenai diplomasi yang dilakukan Korea Utara sebagai upaya untuk mengatasi krisis pangannya; dengan fokus pembatasan waktu dari tahun 1995 yang dianggap sebagai awal terjadinya krisis, pangan, hingga tahun 2006. Pada pertengahan dekade 1990an akibat runtuhnya Uni Soviet dan sistem perdagangan sosialis, serangkaian kebijakan pemerintahan yang buruk, serta bencana alam, Korea Utara ditimpa krisis pangan dan kelaparan yang diestimasikan telah memakan korban jiwa hingga 1,5 juta dari penduduknya. Penelitian dilakukan secara kuantitatif, dengan menggunakan desain penulisan secara deskriptif-analitis. Adapun data yang diproses diperoleh melalui riset kepustakaan, maupun interaksi (melalui wawancara langsung ataupun korespondensi melalui email) dengan sejumlah narasumber.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diplomasi yang dipraktekkan secara multi-jalur merupakan suatu strategi yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis pangan dan kelaparan di Korea Utara. Adapun jalur-jalur diplomasi yang ditempuh oleh Korea Utara dalam pengatasan krisis tersebut yakni jalur-satu (pemerintahan), jalur-tiga (bisnis), dan jalur-sembilan (media massa). Masing-masing jalur memiliki keunggulannya dalam penanganan dan pengatasan krisis pangan dan kelaparan. Meskipun pengatasan secara tuntas belum tercapai hingga tahun 2006, telah terbukti bahwa diplomasi multi-jalur menjadi suatu langkah yang telah diterapkan secara de facto oleh Korea Utara untuk menangani masalah krisis pangan dan kelaparannya; hingga semakin mencapai tujuan pengatasannya pula secara tuntas.

The growth of international relations studies has surfaced such issues which has been considered new and non-conventional issues (low politics). The focus of this thesis is to discuss the diplomacy that has been carried out by North Korea as an effort to solve its food crisis, with a time flame focus from the year 1995, where the crisis supposedly began, until 2006. In the mid-1990s initiated by the fail of the Soviet Union and the socialist trade route, a series of bad government policy, and natural disasters, North Korea suffered a food crisis and famine which has resulted in the death of an estimated 1,5 million of its people. The research is carried out through a quantitative approach, with a research report designed in a descriptive-analytical marmer Data’s processed are acquired through library research, as well as interaction (through direct interview and email correspondents) with a number of sourccs.
Result of the study has shown that diplomacy canied out in a multi-track manner is a strategy that is needed to solve the food crisis and famine in North Korea. The different tracks of diplomacy carried out by North Korea, in its effort to solve its crisis, includes track-one (government), track-three (business), and track-nine (mass media). Each track has shown its ability in dealing and solving the problems of food crisis and famine. Although the goal of long term solution has yet to be reached by the end of the year of analysis of 2006, it has been proven that a multi-track diplomacy has been a de facto strategy and policy carried out by North Korea in order to handle its current food crisis and famine problem; until it reaches its final goal of long term solution to food crisis and famine.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26119
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>