Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nanda Kurnia
"Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Pemberdayaan Perempuan Orang Tua Tunggal Melalui Ekonomi Kreatif Sebagai Upaya Ketahanan Ekonomi Keluarga yang dimana adanya ketidakberdayaan dan kerentanan kemiskinan pada perempuan orang tua tunggal. Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana ekonomi kreatif dapat meningkatkan ekonomi atau ketahanan ekonomi keluarga di kalangan perempuan orang tua tunggal. Penelitian ini dilakukan dengan metode non-reaktif (unobtrusive), dengan studi literatur atau tinjauan pustaka. Peraturan Menteri Sosial RI No 08 Tahun 2012, terdapat 26 penyandang masalah kesejahteraan sosial salah satunya perempuan orang tua tunggal. Masalah pada perempuan orang tua tunggal ada pada aspek ekonomi, psikologi, dan sosial. Perempuan orang tua tunggal juga memiliki kerentanan kemiskinan dikarenakan adanya stigma, diskriminasi, dan budaya patriarki. Dengan itu diperlukan adanya pemberdayaan pada perempuan orang tua tunggal salah satunya dengan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan penciptaan suatu barang bernilai jual dengan mengandalkan ide, kreativitas, dan gagasan. Stakeholder dapat menjadi pihak dalam mendukung pemberdayaan ekonomi kreatif ini dikarenakan adanya power pada akses sumber daya. Hasil penelitian pada lima kasus aktual memberikan gambaran bahwa dengan ekonomi kreatif dapat meningkatkan ekonomi dengan adanya peran stakeholder didalamnya. Dengan demikian, pemberdayaan melalui ekonomi kreatif dapat menciptakan ketahanan ekonomi keluarga.

This study aims to describe the Empowerment of Single Parent Women Through the Creative Economy as an Effort for Family Economic Resilience where there is helplessness and poverty vulnerability in single parent women. The focus of this research is on how the creative economy can improve the economy or family economic resilience among single-parent women. This research was conducted using a non-reactive method (unobtrusive), with literature studies or literature reviews. Regulation of the Minister of Social Affairs of the Republic of Indonesia No. 08 of 2012, there are 26 people with social welfare problems, one of which is single parent women. The problems of single-parent women are in economic, psychological, and social aspects. Single-parent women also have a vulnerability to poverty due to stigma, discrimination, and patriarchal culture. With that, it is necessary to empower single parent women, one of which is with the creative economy. The creative economy is the creation of a saleable goods by relying on ideas, creativity, and ideas. Stakeholders can be parties in supporting the empowerment of the creative economy because of the power in accessing resources. The results of the research on five actual cases provide an overview that the creative economy can improve the economy with the role of stakeholders in it. Thus, empowerment through the creative economy can create family economic resilience."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Alia
"ABSTRAK
Latar belakang: Subjek dengan ketergantungan mariyuana cenderung untuk mengalami gangguan fungsi kognitif. Pemeriksaan gelombang P300 auditorik mempuyai peran dalam mendeteksi gangguan fungsi kognitif pada jalur auditorik hingga ke korteks. Gangguan fungsi kognitif dapat dinilai dengan melihat pemanjangan masa laten gelombang P300 dan penurunan amplitudo gelombang P300.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rutan Cipinang dan Pondok Bambu pada bulan Juni-Agustus 2012, melibatkan 68 subjek yang mengalami ketergantungan mariyuana. Gangguan fungsi kognitif ditentukan dengan melakukan pemeriksaan RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test) dengan menggunakan kuesioner. Kemudian semua subjek dilakukan pemeriksaan P300 auditorik.
Hasil: Sebanyak 40 subjek (58,8%) mengalami gangguan fungsi kognitif. Sebanyak 8 subjek (11,8%) ditemukan masa laten P300 abnormal sedangkan 60 subjek (88,2%) ditemukan amplitudo yang menurun. Terdapat hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p<0.001) tetapi tidak ditemukan hubungan bermakna antara masa laten P300 dengan gangguan fungsi kognitif (p=0.565).
Kesimpulan : Mariyuana dapat mengganggu fungsi kognitif terutama gangguan perhatian dan memori yang terlihat pada penurunan amplitudo gelombang P300. Namun masa laten gelombang P300 yang ditemukan tidak menggambarkan gangguan fungsi kognitif. Kelemahan tersebut dapat diakibatkan karena rentang masa laten P300 yang digunakan mengacu pada subjek Amerika. Hasil penelitian ini menunjang ditemukannya fungsi kognitif yang dinilai dari amplitudo gelombang P300 yang menurun. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari rentang masa laten gelombang P300 yang menggunakan subjek anak-anak dan dewasa populasi Indonesia.

ABSTRACT
Background: Subject with marijuana addiction tend to have cognitive function impairment. Auditoric P300 wave as one of objective tools in examining cognitive fuction has potential role since it could assess cognitive function in auditoric pathway to cortex.The cognitive function impairment could be assessed in prolong latency and decreasing amplitude.
Method: The cross sectional study held in Cipinang and Pondok Bambu Jail between June to August 2012 involing totally 68 subjects determined by its marijuana addiction. Cognitive function assesment using RAVLT (Rey Auditory Verbal Learning Test). Then subjects are assessed by auditoric P300 wave examination using both latency and amplitude.
Result Fourty (58,8%) subjects have cognitive function impairment. In 8 (11,8%) subjects have abnormal P300 latency while in 60 (88,2%) subjects have decreasing amplitudes. There is significant correlation between P300 amplitudes and cognitive function (p<0.001) but there is no significant correlation between P300 latency and cognitive function (p=0.565).
Conclusion: Marijuana could impair cognitive function especially attention and memory deficit which revealed by decreasing P300 amplitude. Somehow, P300 latency does not describe its abnormality that could conclude cognitive function impairment. This caveat could be arised due to improper range application which refer to American subjects. This study result confirm that cognitive function impairment due to marijuana addiction could be revealed by objective decreasing P300 amplitudes. Further research have to conducted to confirm proper range application based on both adult and pediatric Indonesian population."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risdawati
"Tuli mendadak merupakan kedaruratan dibidang audiologi yang perlu penatalaksanaan segera. Konsensus terapi tuli mendadak tahun 2010 di Madrid-Spanyol dan systematic review yang dilakukan Cochrane tahun 2009 menetapkan steroid sebagai terapi utama. Pasien yang mengalami kesembuhan memperlihatkan peningkatan nilai emisi otoakustik selama terapi. Perbaikan emisi terjadi lebih awal dibandingkan perbaikan ambang dengar.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hasil terapi metil prednisolon dosis terbaru pada tuli mendadak dengan pemeriksaan DPOAE dan audiometri nada murni dengan desain pre-eksperimental bersifat analitik pre-post terapi. Pemeriksaan audiometri nada murni dan DPOAE dilakukan sebelum dan sesudah terapi hari ke-15 pada 22 subjek penelitian.
Pada penelitian ini didapatkan perubahan bermakna nilai audiometri di semua frekuensi yang diteliti, perubahan bermakna nilai DPOAE di frekuensi 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz dan hubungan bermakna perubahan SNR pada DPOAE dengan tingkat perubahan ambang dengar pada frekuensi 8000 Hz dan 10000 Hz. Penelitian ini mendapatkan perubahan yang bermakna nilai audiometri nada murni sebelum dan sesudah terapi pada semua frekuensi yang diteliti dengan menggunakan dosis terbaru metil prednisolon. Oleh karena itu dosis ini dapat diaplikasikan untuk terapi tuli mendadak.

Sudden deafness is an emergency case in audiology that need immediate treatment. Consensus 2010 in Madrid-Spain and Cochrane systematic review in 2009, stated steroid as drugs of choice in sudden deafness therapy. Patient that has been recovered from sudden deafness has increasing otoacoustic emission during treatment. The emission improvement begins earlier than the improvement of the hearing level.
The aim of research is to evaluate new dose of methylprednisolon therapy in sudden deafness by using DPOAE and pure tone audiometry with pre-experimental analytical design pre-post treatment. Pure tone audiometry and DPOAE evaluation before therapy and day 15th after therapy on 22 subjects.
This reseach found that there are changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies, there is also changes in DPOAE for 1500 Hz, 2000 Hz, 8000 Hz frequencies and a significant difference between changes in DPOAE with changes in hearing threshold level for 8000 Hz and 10000 Hz. This research found changes in pure tone audiometry for all hearing frequencies by using new dose of methylprednisolone. There fore, this new dose could be applied for sudden deafness therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintari Nareswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam adalah keadaan infeksi yang dapat menyebabkan komplikasi serius sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Anatomi kompleks leher dan lokasi ruang yang dalam membuat diagnosis dan penatalaksanaan menjadi sulit. Pemeriksaan laboratorium, Computed Tomography (CT) scan dan kultur kuman berperan penting dalam diagnosis maupun tatalaksana abses leher dalam, sehingga penyakit penyerta dan komplikasi dapat terdeteksi secara dini. Tujuan: Mengetahui metode penegakan diagnosis abses leher dalam, gambaran penyakit penyerta dan komplikasi. Metode: Desain penelitian ini adalah studi potong lintang bersifat deskriptif analitik secara retrospektif pada 85 percontoh. Hasil: Laki-laki lebih banyak menderita abses leher dalam (72,9%), faktor etiologi terbanyak adalah odontogenik (60%), ruang peritonsil paling banyak terlibat (42,4%). Penyakit penyerta terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus, komplikasi yang terbanyak menyebabkan kematian adalah sepsis. Diabetes melitus meningkatkan risiko kematian (p=0,041). Sefalosporin dan metronidazol masih disarankan sebagai antibiotik empiris. Kesimpulan: Tatalaksana abses leher dalam khususnya penderita yang menjalani rawat inap tidak optimal karena pemeriksaan kultur dan CT scan leher belum dilakukan secara rutin. Metode diagnostik terbaik dan tatalaksana komprehensif yang mengikutsertakan departemen terkait lainnya harus selalu dilakukan pada penderita abses leher dalam dengan penyakit penyerta

ABSTRAK
Background: Deep neck abscess is an infection causing serious complications resulting in high morbidity and mortality. The complex deep neck anatomy makes diagnosis and treatment difficult. Laboratory examination, Computed Tomography (CT) scan and bacterial culture play important roles in the diagnosis and treatment of deep neck abscess, so that comorbidities and complications can be detected in early stage. Purpose: To understand the best diagnostic methods, comorbidities and complications. Methods: The study design was cross-sectional study, retrospective analytic descriptive in 85 samples. Results: Men are more likely to suffer from deep neck abscess (72,9%), odontogenic is the most common etiologic factor (60%), the most involved space is peritonsillar space (42,4%). Hypertension and diabetes mellitus are the most common comorbid diseases, sepsis is a dominant complication leading to death. Diabetes mellitus increases the risk of death (p=0,041). Cephalosporin and metronidazol are still recommended as empiric antibiotics. Conclusion: The treatment of deep neck abscess particularly hospitalized patients is not optimum because bacterial culture and CT scan examination are not performed regularly. The best diagnostic methods and comprehensive management involving other relevant departments should always be performed in patients with deep neck abscess with comorbidities"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrina Yanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Celah palatum merupakan salah satu kelainan kraniofasial kongenital yang sering terjadi. Otitis Media Efusi (OME) merupakan kelainan telinga tengah yang sering terjadi pada pasien celah palatum. Angka kejadian OME dikatakan hampir terjadi 90% pada pasien dengan celah palatum. Timpanometri telah dikenal sebagai salah satu alat yang cepat, aman, non invasif dan mudah untuk menilai keadaan telinga tengah secara kualitatif kuantitatif. Studi mengenai keadaan telinga tengah pada pasien celah palatum telah dilakukan menggunakan timpanometri, akan tetapi sampai saat ini belum pernah dilaporkan penelitian mengenai gambaran timpanogram pada pasien celah palatum berdasarkan nilai kuantitatif timpanometri Tujuan: Mengetahui gambaran timpanogram pada anak usia 6 bulan -7 tahun dengan celah palatum. Metode: Penelitian potong lintang dengan tiga puluh pasien (17 laki-laki, 13 perempuan) celah palatum menurut klasifikasi veau, rentang usia 6 bulan – 7 tahun (nilai median 26,5(7-48) bulan) dilakukan pemeriksaan timpanometri menggunakan timpanometer 226 Hz dan dinilai berdasarkan klasifikasi Jerger-Liden. Hasil : Terdapat 58 dengan gambaran timpanogram tipe B sebanyak 70,7%. Nilai kuantitatif timpanometri yaitu nilai SAA (0,1-0,2) cm3 ,nilai TPP (-197,2-(-146,8)) daPa, nilai Vec (0.5 -0.6)cm3 dan nilai gradient (0,03-0.07)cm3. Uji fisher didapatkan perbedaan bermakna antara usia dengan jenis timpanogram (p=0,039) dengan risiko terjadinya timpanogram tipe B dan C pada usia kurang dari sama dengan 5 tahun (6-60 bulan) 4,8 kali. Kesimpulan: Gambaran timpanogram tipe B merupakan yang terbanyak pada pasien celah palatum usia 6 bulan – 7 tahun dengan nilai kuantitatif timpanometri lebih rendah dibandingkan nilai normal. Terdapat perbedaan bermakna antara usia dengan jenis timpanogram

ABSTRAK
Background: Cleft palate is one of the common congenital craniofacial deformities. Otitis media effusion (OME) is a frequent middle ear disease in cleft palate patient. The prevalence of OME is almost 90% in cleft palate patient. Tympanometri has been known as a fast, safe, noninvasive and easy tool in diagnosing the middle ear qualitative-quantitatively. Study about the middle ear condition in cleft palate has been detected using tympanometry, but up until now there is no research about the picture of tympanogram in cleft palate patient. Purpose: To know the picture of tympanogram in children aged 6 months to 7 years with cleft palate. Methods: This is cross sectional research. Thirty patients (17 male, 13 female) with Veau classification of cleft palate aged 6 month – 7 years ( median (26,5(7-48) month) have bent underwent tympanometry examination using tympanometer 226 Hz. Tympanogram was classified using the Jerger – Liden classification. Result: There were 58 ears that could be examined with tympanogram type B as the most frequent picture (70,7%). The quantitative value of tympanometry was SAA (0,1-0,2) cm3 ,TPP value (-197,2-(-146,8)) daPa,Vec value (0.5 -0.6)cm3 and gradient value (0,03-0.07)cm3 Using the fisher test, there was a significant relation between age and the type of tympanogram (p=0.0039) with the risk of tympanogram type B and C in infants (6-60 months) as high as 4,8 times. Conclusion: The type B tympanogram picture is the most frequent type in cleft palate patint age 6 month – 7 years with the quantitative value of tympanometry lower than the normal value. There was a significant difference between age and the type of tympanogram"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Duhita Yassi
"ABSTRAK
Tesis ini melaporkan gambaran skor nasalance pada defek celah palatum, hubungan antara skor nasalance percontoh celah palatum dan percontoh tanpa celah palatum serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance pada pasien celah palatum berdasarkan klasifikasi Veau. Desain penelitian adalah comparative cross sectional. Pengambilan percontoh dilakukan dengan purposive sampling, dilakukan di Departemen THT-KL FK UI-RSCM serta Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati. Percontoh dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok celah palatum dan tanpa celah palatum sebagai kontrol. Jumlah percontoh adalah 17 untuk masing-masing kelompok. Dilakukan pengumpulan data berupa wawancara, pengisian kuesioner, selanjutnya pemeriksaan THT, audiometri, timpanometri, nasoendoskopi dan nasometri. Didapatkan hasil gambaran rerata skor nasalance percontoh celah palatum Uji Gajah kelompok Veau 1 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88%; celah palatum sub mukosa 55,67% ± 6,2. Pada Uji Hantu didapatkan rerata skor nasalance kelompok Veau 1 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% dan celah palatum sub mukosa 49,02% ± 7,5. Pada Uji Sengau, rerata kelompok Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% dan celah palatum sub mukosa 62,75% ± 6,3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skor nasalance percontoh celah palatum dan tanpa celah palatum pada Uji Gajah dan Uji Hantu (p<0,001), sedangkan pada Uji Sengau tidak bermakna (p>0,05). Pada analisis multivariat secara keseluruhan faktor-faktor yang berhubungan dengan skor nasalance ((adenoid, Otitis Media Efusi (OME) dan gangguan pendengaran)) dan keberadaan celah palatum berpengaruh secara signifikan terhadap skor nasalance pada semua uji nasalance (p<0,05) pada pengujian terhadap kedua kelompok percontoh, dan tidak berpengaruh secara signifikan pada pengujian kelompok celah palatum saja. Bila dilihat secara parsial faktor adenoid berpengaruh secara signifikan terhadap skor semua uji nasalance baik pada analisis kedua kelompok percontoh maupun pada percontoh celah palatum saja.

ABSTRACT
This paper reported nasalance score in cleft palate patients, the correlation between nasalance score in cleft palate and non cleft palate patients and also factors related with nasalance score in cleft palate patients in Veau criteria. The design of this study is comparative cross sectional, with purposive sampling in ENT Department of Indonesian University-Cipto Mangunkusumo Hospital and Instalation of Medical Rehabilitation Fatmawati Hospital. Sample devided in to 2 groups, cleft palate and non cleft palate group with 17 samples in each group. Data was collected with interview, questioner application, ENT examination, audiometry, tympanometry, nasoendoscopy and nasometry. The result of this study reported mean of nasalance score in cleft palate patients, Uji Gajah in Veau 1 patients is 45,40% ± 10,6; Veau 2 41,74% ± 11,6; Veau 3 52,88% and sub mucous cleft palate 55,67% ± 6,2. In Uji Hantu the nasalance score are Veau 1 patients 43,90 % ± 6,8; Veau 2 40,59% ± 13,7; Veau 3 59,8% and sub mucous cleft palate 49,02% ± 7,5. In Uji Sengau, the score are Veau 1 40,16 % ± 7,2; Veau 2 41,77% ± 13,4; Veau 3 70,51% and sub mucous cleft palate 62,75% ± 6,3. There is significant difference in nasalance score between cleft palate and non cleft palate patients in Uji Gajah and Uji Hantu (p>0,05) but no differences in Uji Sengau. In multivariate analysis, in general the factors related with nasalance score ((adenoid, Otitis Media with Effusion, hearing loss)) and also existancy of cleft palate is significantly correlated with nasalance score in all nasalance test (p<0,05) in both groups analysis but no signifficant correlation in cleft palate group analysis. Partially, adenoid is significantly correlated with nasalance score in both group analysis and cleft palate group analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert Mars
"Latar Belakang: Selain fungsi telinga berfungsi penting sebagai organ pendengaran, telinga bagian luar juga berperan penting secara estetika dalam penampilan diri seseorang.1 Salah satu dari dua kelainan tersering di telinga luar adalah mikrotia.2 Mikrotia merupakan keadaan dimana daun telinga atau bagian telinga luar tidak berkembang atau tidak sempurna. Berbagai penelitian melaporkan dampak psikososial pada pasien mikrotia sebelum dan sesudah rekonstruksi telinga. Operasi rekonstruksi mikrotia berdampak pada kualitas hidup, interaksi sosial, mood serta citra diri pasien anak maupun dewasa. Tujuan: meningkatkan kualitas hidup pasien mikrotia, penelitian ini akan memaparkan profil pasien mikrotia dan juga mencari hubungan faktor operasi rekonstruksi telinga, fungsi pendengaran, dan kepuasan pasien terhadap kualitas hidup pasien mikrotia pasca operasi rekonstruksi. Metode: Dilakukan penelitian analitik potong lintang menggunakan data retrospektif pasien mikrotia pasca rekonstruksi. Kepuasan operasi didapat dengan metode wawancara menggunakan kuesioner Cui dkk. Data kualitas hidup didapat dengan menggunakan kuesioner EQ-5D-Y. Hasil: Pasien yang memenuhi kriteria penelitian adalah 31 subjek. Aspek kualitas hidup yang mengalami rasa sakit atau tidak nyaman merupakan domain yang paling mengalami banyak gangguan (12 subjek) pasien mikrotia pasca rekonstruksi. Analisis chi square mendapatkan variabel frekuensi operasi pada pasien yang tanpa mengalami revisi berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup pada domain kemampuan berjalan (PR=1,429; interval kepercayaan 0,952-2,143; nilai p=0,027) Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi operasi tanpa revisi dengan kualitas hidup pada domain kemampuan berjalan. Tidak didapatkan hubungan antara faktor proses operasi rekonstruksi telinga, fungsi pendengaran dan kepuasan pasien dengan kualitas hidup pada domain lainnya.

Background: The ear functions as an auditory organ, but also plays an aesthetically important role in one s appearance.1 One of the two most common abnormalities in the outer ear is microtia.2 Microtia is a condition whereas outer ear or ear lobe did not develop perfectly. Various studies have reported psychosocial effects on microtia patients before and after ear reconstruction. Microtia reconstruction surgery has an impact on quality of life, social interaction, mood and self-image of children and adults. Objective: to improve the quality of life of microtia patients, this study will describe the profile of microtia patients and also look for the relationship of ear reconstruction surgery process factors, hearing function and patient surgery satisfaction to the quality of life of microtia patients after reconstructive surgery. Method: A cross-sectional analytic study was conducted using retrospective data of post-reconstruction microtia patients. Surgery satisfaction obtained by the interview method using a questionnaire by Cui et al. Quality of life data was obtained using the EQ-5D-Y questionnaire. Results: Patients who met the study criteria were 31 subjects. Aspects of quality of life that experience pain or discomfort are the domains that experience the most disruption (12 subjects) post-reconstruction microtia patients. Chi square analysis show that surgery frequency variables in patients without revision significantly related to quality of life in the domain of walking ability (PR = 1.429; confidence interval 0.952-2.143; p value = 0.027) Conclusion: There is a relationship between operating frequency without revision with quality live on the domain of walking ability. There was no relationship between the factors of ear reconstruction surgery, hearing function and patient satisfaction with quality of life in other domains."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library