Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alifa Ayu Desti Saputra
"Posisi strategis Indonesia menjadikannya sebagai salah satu negara transit bagi pengungsi di Kawasan ASEAN. Namun, keterbatasan kuota resettlement yang disediakan oleh negara ketiga membuat Indonesia menjadi rumah yang tidak disengaja bagi para pengungsi. Sebagian pengungsi terpaksa untuk menetap di Indonesia dalam waktu lama yang kemudian menimbulkan interaksi sosial antara pengungsi dengan masyarakat Indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Akibatnya, fenomena perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan pengungsi di Indonesia menjadi suatu hal yang sering dijumpai di kalangan masyarakat. Keadaan pengungsi sebagai kelompok rentan tidak dapat membatasi hak asasi manusia dari pengungsi untuk menikah dan berkeluarga. Namun, sebagai negara bukan pihak Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, Indonesia belum memiliki payung hukum yang mengatur secara komprehensif mengenai pengungsi sebagai subjek hukum dalam melakukan suatu perkawinan campuran. Keadaan ini kemudian menimbulkan berbagai persoalan hukum terkait legalitas perkawinan dan implikasinya. Banyaknya pengungsi dengan latar belakang orang tidak berdokumen yang sulit untuk membuktikan kewarganegaraannya membuat beberapa pengungsi di Indonesia kesulitan dalam memenuhi persyaratan formil dan materiil perkawinan yang kemudian berdampak kepada tidak dapatdicatatkannya perkawinan tersebut. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini akan membahas mengenai legalitas perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan pengungsi di Indonesia ditinjau dari hukum perdata internasional Indonesia dan hukum perkawinan Indonesia. Tulisan ini akan meninjau lebih jauh mengenai kemungkinan penerapan prinsip habitual residence untuk menentukan hukum yang berlaku bagi pengungsi dalam melakukan perkawinan dengan warga negara Indonesia di tengah kekosongan hukum yang mengatur mengenai orang dengan keadaan kewarganegaraan tertentu di Indonesia. Penerapan itsbat nikah pada perkawinan campuran antara warga negara Indoonesia dengan pengungsi di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mencatatkan perkawinan akan turut dibahas pada penelitian ini. Sebagai perkawinan campuran yang sulit untuk dicatatkan, perlindungan hukum bagi para pihak dari perkawinan tersebut perlu diutamakan dengan mempertimbangkan itikad baik dari para pihak. 


Indonesia's strategic position makes it one of the transit countries for refugees in the ASEAN region. However, limited resettlement quotas provided by third countries have made Indonesia an accidental home for refugees. Some refugees are forced to stay in Indonesia for a long time, which then creates social interactions between refugees and Indonesian people in their daily activities. As a result, the phenomenon of mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia is something that is often found in society. The situation of refugees as a vulnerable group cannot limit their human rights to marry and have a family. However, as a country that is not a party to the 1951 Convention on the Status of Refugees, Indonesia does not yet have a legal protection that regulates refugees as legal subjects in a mixed marriage comprehensively. This situation then gave rise to various legal issues related to the legality of marriage and its implications. The large number of refugees with undocumented backgrounds who find it difficult to prove their citizenship makes it difficult for some refugees in Indonesia to fulfil the formal and material requirements of marriage, which then has an impact on not being able to register the marriage. By using a juridical-normative method, this research will discuss the legality of mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia from the perspective of Indonesian private international law and Indonesian marriage law. This paper will examine further the possibility of applying the principle of habitual residence to determine the law that applies to refugees who marry Indonesian citizens in the absence of laws governing people with certain citizenship conditions in Indonesia. The application of itsbat nikah in mixed marriages between Indonesian citizens and refugees in Indonesia as a solution to register marriages will also be discussed in this study. As mixed marriages that is difficult to register, legal protection for the parties to the marriage needs to be prioritized by considering the good faith of the parties.

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Chen
"Perkawinan campuran antara WNI dan WNA bukan merupakan suatu hal baru yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2015, terdapat 1.200 perkawinan campuran yang diyakini dapat meningkat seiring waktu dengan kemudahan komunikasi serta mobilitas sosial. Perkawinan campuran pada dasarnya tunduk pada dua atau lebih hukum karena adanya perbedaan kewarganegaraan diantara pasangan. Keberlakuan hukum ini tidak hanya meliputi perkawinan tetapi juga harta benda perkawinan. Bila suatu perkawinan dinyatakan putus karena perceraian maka timbul persoalan berapa besaran harta yang diperoleh masing-masing pihak dan atas dasar apa pembagian tersebut dilangsungkan. Keberlakuan dari dua atau lebih hukum membuat Majelis Hakim di Indonesia memiliki kebijaksanaan tersendiri guna memilah dan menentukan besaran harta yang diperoleh oleh setiap pihak. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menentukan bagaimana Majelis Hakim di Indonesia menentukan hukum yang berlaku terhadap pembagian harta benda perkawinan dari perceraian perkawinan campuran. Penulisan ini membandingkan keberlakuan hukum Indonesia maupun negara lain dalam pengaturan terhadap perkawinan hingga pembagian harta benda perkawinan itu sendiri. Lebih lanjut, penulisan ini juga bermaksud untuk menganalisa penerapan dari kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional pada tiga studi kasus pembagian harta benda perkawinan dalam perceraian perkawinan campuran di Indonesia. Penulisan ini dikemas menggunakan penelitian yang bermetode yuridis normatif terhadap beberapa peraturan perundang-undangan baik di Indonesia maupun negara lain.

Mixed marriage between Indonesian citizens and foreigners is not a new thing that has happened in Indonesia. In 2015, there were 1,200 mixed marriages which are believed to increase over time with ease of communication and social mobility. Mixed marriages are subject to two or more laws due to differences in nationality between the partners. The enactment of this law does not only cover marriage but also marital property. If a marriage is declared to have been broken up due to divorce, the question arises of how much property each party has acquired and on what basis the division takes place. The enforceability of two or more laws makes the Panel of Judges in Indonesia have its own discretion to sort and determine the amount of assets acquired by each party. The purpose of this paper is to determine how the Panel of Judges in Indonesia determines the law that applies to the distribution of marital assets from mixed marriage divorces. This writing compares the application of Indonesian law and other countries in regulating marriage to the division of the marital property itself. Furthermore, this paper also intends to analyze the application of the principles of Private International Law in three case studies of the division of marital property in the divorce of mixed marriages in Indonesia. This writing is packaged using normative juridical research on several laws and regulations both in Indonesia and other countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmine Dwihanjani
"Arbitrase adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak diminati oleh masyarakat. Pelaksanaan arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase yang memberikan kewenangan mengadili kepada arbiter/majelis arbitrase. Namun, ketika perjanjian pokok yang mengandung perjanjian arbitrase berakhir atau batal, timbul pertanyaan mengenai keabsahan perjanjian arbitrase di dalamnya dan kewenangan mengadili arbiter/majelis arbitrase. Hal tersebut berkaitan erat dengan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz. UU Arbitrase mengatur prinsip separabilitas, namun tidak terdapat ketentuan yang jelas mengenai Kompetenz-Kompetenz atau forum mana yang sebenarnya berwenang untuk mengadili sengketa mengenai keabsahan perjanjian arbitrase dan kewenangan arbiter/majelis arbitrase. Dalam praktiknya, putusan pengadilan Indonesia juga masih menunjukkan inkonsistensi dalam pelaksanaan prinsip separabilitas dan penentuan pihak yang berwenang untuk memeriksa keabsahan perjanjian arbitrase dan wewenang arbiter/majelis arbitrase. Penelitian ini akan menggali alasan negara Indonesia tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas, akibat hukum batal atau berakhirnya perjanjian pokok terhadap perjanjian arbitrase di dalamnya ditinjau dari prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, dan kecukupan ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase untuk mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka serta menggunakan metode deskriptif evaluatif dan pendekatan perbandingan hukumdengan negara Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam sebagai negara pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UU Arbitrase tidak mengatur prinsip Kompetenz-Kompetenz bersamaan dengan separabilitas secara tegas karena politik demikian yang dipilih oleh pembuat undang-undang. Adapun berdasarkan prinsip separabilitas dan Kompetenz-Kompetenz, batal atau berakhirnya perjanjian pokok tidak membatalkan perjanjian arbitrase dan menghilangkan wewenang mengadili arbiter/majelis arbitrase. Dapat disimpulkan pula bahwa ketentuan kompetensi pengadilan dalam UU Arbitrase perlu diperjelas agar dapat mengakomodasi pelaksanaan arbitrase di Indonesia dengan lebih baik.
.....Arbitration is an alternative dispute resolution that is much in demand by the public. The implementation of arbitration is based on an arbitration agreement which bestows the authority to adjudicate to an arbitrator/arbitral tribunal. However, when the main agreement containing the arbitration agreement is cancelled or expires, questions regarding the validity of the arbitration agreement contained therein and the arbitrator/arbitral tribunal’s authority to adjudicate arise. This is closely related to the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz. Indonesia Arbitration Law regulates the principle of separability, yet there are no clear provisions regarding Kompetenz-Kompetenz or which forum is authorized to adjudicate disputes regarding the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. In practice, a form of inconsistency can still be found within Indonesian court decisions which dealt with the implementation of the separability principle and the determination of a competent forum to assess the validity of the arbitration agreement and the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. This research will explore the reasons as to why Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenz together with separability, the legal consequences of canceling or terminating the main agreement on the arbitration agreement contained within it in terms of the separability and Kompetenz-Kompetenz principle, and the adequacy of provisions regarding competence of courts in Indonesia Arbitration Law to accommodate the execution of arbitration in Indonesia. The data collection in this research was carried out through literature study by implementing a descriptive evaluative method and a comparative legal approach with Singapore, Malaysia, the Philippines and Vietnam as the countries used for comparison. The results of the study show that Indonesia Arbitration Law does not clearly regulate the principle of Kompetenz-Kompetenztogether with separability because such politics was chosen by the legislators. Moreover, based on the principle of separability and Kompetenz-Kompetenz, canceling or terminating the main agreement neither cancels the arbitration agreement within it nor eliminates the authority of the arbitrator/arbitral tribunal. It can also be concluded that the provisions on the competence of courts within the Arbitration Law need to be clarified in order to better accommodate the implementation of arbitration in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firman
"Letter of Rogatory menjadi metode dalam memperoleh alat dan atau barang bukti di luar negeri. Dalam pelaksanaan penanganan letter of rogatory terdapat sebuah konvensi internasional bernama Taking Evidence Abroad 1970 yang menjadi bentuk formal kerja sama internasional untuk mendapatkan bantuan timbal balik hukum dalam masalah perdata. Indonesia belum meratifikasi Taking Evidence Abroad 1970, namun membuat PKS Indonesia-Thailand 1978 meskipun tidak terdapat informasi dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, Indonesia yang belum mempunyai sumber hukum positif hukum acara perdata internasional memerlukan kerja sama internasional, dan jika belum terdapat kerja sama tersebut, maka untuk mengisi kekosongan hukum untuk dibuat Nota Kesepahaman 2018. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis. Lalu, dengan didukung dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dianalisis secara kualitatif untuk penanganan letter of rogatory yang komprehensif. Dengan ini, permasalahan yang diangkat adalah untuk mengkaji penerapan letter of rogatory pada Taking Evidence Abroad 1970, Perjanjian Kerja Sama Indonesia-Thailand 1978, dan Nota Kesepahaman 2018, dan untuk melihat efektivitas pelaksanaannya dari faktor penegak hukum dan faktor sarana dan fasilitas untuk melihat penanganan yang efektif. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa dalam sejumlah ketentuan yang berbeda, penanganan letter of rogatory pada Nota Kesepahaman 2018 lebih bersifat domestik, sehingga memiliki ketentuan yang lebih bersifat teknis dalam mengatur penanganan letter of rogatory di Indonesia menurut ketentuan tersebut dibandingkan dengan ketentuan lainnya meskipun terdapat persamaan ataupun perbedaan dalam sistem dan alur penanganan letter of rogatory, dan dalam mengkaji efektivitas hukum dari faktor penegak hukum dan sarana serta fasilitas penanganan letter of rogatory pada Pengadilan Negeri Tangerang sudah berjalan dengan baik, namun terdapat yang perlu ditingkatkan, ditambahkan, dan perlu diperbaiki.

A Letter of Rogatory is a method of obtaining tools and/or evidence abroad. In the implementation of handling letters of rogatory, there is an international convention called Taking Evidence Abroad 1970 which became a formal form of international cooperation to obtain mutual legal assistance in civil matters. Indonesia has not ratified Taking Evidence Abroad 1970, so Indonesia made the 1978 Indonesia-Thailand Cooperation Agreement although there is no information on its implementation. Therefore, Indonesia, which does not yet have a positive legal source of international civil procedure law, needs international cooperation, and if there is no such cooperation, then to fill the legal vacuum for the 2018 Memorandum of Understanding. This research is studied using normative-juridical research methods. Furthermore, it is supported by secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials which are analyzed qualitatively for comprehensive handling of letters of rogatory. With this, the problem raised is to examine the application of letters of rogatory in Taking Evidence Abroad 1970, the 1978 Indonesia-Thailand Cooperation Agreement, and the 2018 Memorandum of Understanding, and to see the effectiveness of its implementation from law enforcement factors and facilities factors to see effective implementation. From this research, it is concluded that in several different provisions, the handling of letters of rogatory in the 2018 Memorandum of Understanding is more domestic in scope, therefore it has more technical requirements in regulating the handling of letters of rogatory in Indonesia according to these provisions compared to other conditions even though there are similarities or differences in the system and flow of handling letters of rogatory, and in assessing the legal effectiveness of law enforcement factors and facilities and facilities for handling letters of rogatory at the Tangerang District Court has been running well, but there are things that need to be improved, added and need to be improved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edmund Khovey
"Konflik bersenjata yang terjadi di berbagai belahan dunia telah mengancam kegiatan umat manusia, tanpa terkecuali investasi asing. Demi menyiasati hal tersebut, negara asal pemilik modal dan negara tuan rumah menyepakati klausul Full Protection and Security (FPS), yang pada intinya mengatur investasi asing yang dilaksanakan di wilayah negara tuan rumah akan senantiasa mendapatkan pelindungan (protection) dan keamanan (security) yang maksimal (full). Ketika konflik bersenjata merusak investasi asing, biasanya investor asing akan menggugat negara tuan rumah ke forum arbitrase karena dianggap melanggar klausul FPS. Namun, sebelum memutus adanya tidaknya pelanggaran atas klausul FPS, arbiter akan menentukan terlebih dahulu Standar FPS, yakni pelaksanaan konkret dari klausul FPS, melalui sistem hukum yang dipilih para pihak. Oleh karena itu, menentukan Standar FPS adalah isu Hukum Perdata Internasional (HPI), karena negara-negara yang membentuk klausul FPS menandakan unsur asing, dan hukum yang dipilih oleh para pihak akan menentukan isi dari Standar FPS. Skripsi ini akan menganalisis bagaimana arbiter menentukan isi Standar FPS terhadap kasus-kasus investasi asing yang menderita kerugian akibat konflik bersenjata, yakni kasus AAPL v. Sri Lanka, Pantechniki v. Albania, Ampal v. Mesir, Cengiz v. Libya, dan Strabag v. Libya. Pengkajian terhadap kelima kasus tersebut menunjukkan, para pihak yang bersengketa hanya meminta arbiter untuk memutus ada tidaknya pelanggaran atas klausul FPS berdasarkan fakta-fakta yang disajikan, dan tidak pernah memberikan kewenangan kepada arbiter untuk menentukan Standar FPS. Selanjutnya, skripsi ini akan membahas isi dari Standar FPS yang ditentukan arbiter dan bagaimana penerapannya pada fakta-fakta yang ada di masing-masing kasus. Terakhir, skripsi ini akan menjelaskan perbedaan antara Standar FPS dengan risiko perang dan kerusuhan sosial yang ditanggung oleh lembaga asuransi MIGA.

Armed conflicts that occur in various parts of the world have threatened human activities, including foreign investment. To deal with this, the home state of the foreign investors and the host state agree on the Full Protection and Security (FPS) clause, which regulates that foreign investments carried out in the territory of the host state will always get full protection and security. When armed conflicts damage foreign investments, foreign investors will likely sue the host country to an arbitration forum for violating the FPS clause. However, before deciding whether there is a violation of the FPS clause, the arbitrator will determine first the FPS Standard, which is the concrete implementation of the FPS clause, through the legal system chosen by the parties. Therefore, determining the FPS Standard is an issue of Private International Law (PIL), as the countries that form the FPS clause signify foreign elements, and the law chosen by the parties will determine the content of the FPS Standard. This thesis will analyze how arbitrators determine the content of the FPS Standard in foreign investment cases that suffered losses due to armed conflict, namely AAPL v. Sri Lanka, Pantechniki v. Albania, Ampal v. Egypt, Cengiz v. Libya, and Strabag v. Libya. A review of the five cases shows that the disputants only asked the arbitrators to decide whether or not there was a violation of the FPS clause based on the facts presented, and never authorized the arbitrators to determine the FPS Standard. Next, this thesis will discuss the content of the FPS Standard determined by the arbitrators and how it applies to the facts of each case. Finally, this thesis will explain the difference between the FPS Standard and the risks of war and civil disturbances covered by the MIGA insurance agency."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasha Brilliani Trison
"Larangan untuk orang asing mempunyai hak milik atas tanah sudah diatur secara tegas pada berbagai pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun, masih banyak orang asing yang berusaha mempunyai tanah dengan hak milik. Mereka mengesampingkan larangan dalam UUPA tersebut dengan melakukan praktik nominee arrangement, yakni membuat seperangkat perjanjian antara warga negara Indonesia dengan orang asing yang memberikan orang asing kewenangan untuk melakukan segala perbuatan hukum terhadap tanah. Praktik semacam ini sebagaimana dapat dilihat dalam 5 (lima) putusan yang menjadi bahan analisis, yakni putusan antara Karpika Wati melawan Alain Maurice Pons dan Eddy Nyoman Winarta, S.H. (PN Denpasar, 2014), Dodi Usman melawan dr. Marc van Loo, Notaris H. Abdul Rahman, S.H., Elias Ola Perlolon (PN Tanjung Pinang, 2020), Louise Marie France Sumadi melawan Desak Nyoman Karmini, PT Bank Perkreditan Rakyat Padma, Alfred Victor Weiss, Notaris Ida Ayu Trisna Winarti Kusuma, S.H., Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, dan Kho Tjauw Tiam (PN Denpasar, 2020), Lambertus Hugo Johannes Maria Pruest melawan Shinta Purnamawati (PN Depok, 2019), serta putusan antara Antoni Suyanto melawan Marcus Lerijen dan Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat (PN Mataram, 2017). Praktik ini menimbulkan persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI) akibat adanya unsur asing. Prof. Maria Sumardjono dan Prof. Sudargo Gautama menyebut praktik terkait sebagai penyelundupan hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut, dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, diadakanlah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis bagaimana praktik ini dilakukan di Indonesia beserta aspek-aspek HPI yang ada di dalamnya. Selain itu, untuk mengidentifikasi bidang hukum apa yang terjadi dalam penyelundupan hukum yang dimaksud kedua ahli tersebut.

The prohibition for foreigners having the right of land ownership has been strictly regulated in various articles in Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles (UUPA). However, there are still many foreigners who try to have land with ownership rights. They overrule the mentioned prohibition in UUPA by carrying out the practice of a nominee arrangement, namely making a set of agreements with Indonesian citizens that give foreigners the authority to take all legal actions upon the related land. This kind of practice can be seen in 5 (five) decisions which become the analysis materials, namely the decisions between Karpika Wati against Alain Maurice Pons and Eddy Nyoman Winarta, S.H. (Denpasar District Court, 2014), Dodi Usman against dr. Marc van Loo, Notary H. Abdul Rahman, S.H., Elias Ola Perlolon (Tanjung Pinang District Court, 2020), Louise Marie France Sumadi against Desak Nyoman Karmini, PT Bank Perkreditan Rakyat Padma, Alfred Victor Weiss, Notary Ida Ayu Trisna Winarti Kusuma, S.H. , Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency for Badung Regency, and Kho Tjauw Tiam (Denpasar District Court, 2020), Lambertus Hugo Johannes Maria Pruest against Shinta Purnamawati (Depok District Court, 2019), as well as the decision between Antoni Suyanto against Marcus Lerijen and the Land Office West Lombok Regency (PN Mataram, 2017). This practice gives rise to a Private International Law (PIL) issue due to the presence of foreign elements. Prof. Maria Sumardjono and Prof. Sudargo Gautama called the related practice as a legal smuggling. Based on this background, using the juridical-normative research method, this paper is conducted which aims to analyze how this practice is carried out in Indonesia and the PIL aspects contained therein. In addition to that, to identify what field of law occurs in the legal smuggling referred to by the two experts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla rifda
"Perkawinan beda agama di Indonesia masih menuai pro dan kontra yang dibuktikan dengan Putusan Pengadilan Nomor 333/Pdt.P/2018/PN.Skt dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1977K/Pdt/2017. Sehingga, sering kali pasangan yang memiliki perbedaan agama mencari ‘jalan pintas’ dengan melakukan perkawinannya di Australia karena dinilai lebih efisien atau peraturannya cenderung lebih mudah bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama jika dibandingkan dengan peraturan di Indonesia. Lalu, dalam hal pencatatan sipil, pasangan yang menikah di luar negeri selalu dapat mencatatkan perkawinannya disebabkan oleh asas universalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan Hukum perkawinan antara Indonesia dengan Australia, serta sudut pandang dari Hukum Perdata Internasional Indonesia. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu dikarenakan ketidak pastian hukum di Indonesia, masyarakat kerap melakukan penyelundupan hukum dengan melakukan perkawinan di Australia. Bentuk penelitian yang penulis gunakan dalam karya tulis ini adalah yuridis-normatif, yaitu melihat dan memahami norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.

Interfaith marriage in Indonesia still reaps pros and cons as evidenced by Court Decision Number 333/Pdt.P/2018/PN.Skt and Supreme Court Decision Number 1977K/Pdt/2017. Thus, many couples who have different religions look for 'shortcuts' by getting married in Australia because it is considered more efficient or the regulations tend to be easier for those who want to hold interfaith marriages when compared to regulations in Indonesia. Then, in the case of civil registration, couples who marry abroad can always register their marriages due to the principle of universality. This study was conducted to determine the comparison of marriage law between Indonesia and Australia, as well as the point of view of Indonesian Private International Law. The conclusion obtained from this study is that due to legal uncertainty in Indonesia, people often carry out legal smuggling by marrying in Australia. The form of research that the author uses in this paper is juridical-normative, namely seeing and understanding legal norms contained in laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Ashyla Azzahra
"Berkembangnya rasa ingin tahu manusia memunculkan inovasi di berbagai sektor yang juga melibatkan teknologi. Non-Fungible Token (NFT) lahir dari turunan teknologi blockchain, dan menjadi objek yang dapat ditransaksikan oleh masyarakat luas. NFT dan lapisan asetnya memberikan kemudahan bagi orang-orang yang tertarik dengan karya seni bentuk digital dengan memberikan keamanan dan nilai unik seolah-olah NFT tidak jauh berbeda dengan seni yang berbentuk tradisional. Namun, kemungkinan transaksi lintas negara dengan elemen asing telah menciptakan narasi di mana dalam beberapa kasus elemen hukum perdata internasional dapat mengatur transaksi NFT. Tulisan ini akan menganalisis dan menjawab bagaimana NFT dan karya di dalamnya dapat memperoleh perlindungan hukum bahkan tanpa kerangka hukum yang ada menyebut tentang NFT secara eksplisit, dan bagaimana hukum perdata internasional mengatur transaksi NFT. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji literatur, undang-undang terkait yang sudah ada sebelumnya, dan dokumen hukum lain yang ada dan terkait dengan topik tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun tanpa peraturan yang saat ini mencakup NFT, aset yang mendasarinya masih dilindungi oleh undang-undang tentang hak cipta yang ada di seluruh dunia dan berbagai negara. Selain itu, hukum perdata internasional dapat mengatur transaksi dengan menggunakan beberapa teori terkait. Kemungkinan adanya sifat asing dalam diri para pihak menjadi salah satu faktor penghubung terkuat yang menjadikan transaksi NFT dapat menjadi kasus hukum perdata internasional. Jika tidak ada pilihan hukum tentang transaksi oleh para pihak, maka hukum dipilih secara diam-diam dengan menilai pihak mana yang memiliki hubungan terbesar dengan transaksi tersebut, dalam hal ini penjual NFT memiliki karakteristik hubungan terbesar dalam transaksi tersebut.

The development of human’s curiosity led to innovation in various sector where technology was also involved. Non-Fungible Token (NFT) was born from the derivatives of blockchain technology, and became a transactable object. NFT and its layers of assets brings easiness for people who are interested in digital form of artworks as it gives reassurance and unique value as if it was a traditional form of arts. However, the possibilities of cross border transactions with foreign elements have create a narrative where in some cases a private international law elements could regulate an NFT transaction. This paper will analyze and answer how can NFT and the underlying assets within can gain legal protection even without existing legal framework that explicitly mentioned about NFT, and how does private international law regulate an NFT transaction. This research was conducted by examining literatures, related preexisting laws, and other existing legal documents that is in relation with the topic. The research came into a conclusion that even without any regulations that currently cover the NFT, underlying assets is still protectable with existing laws regarding copyright throughout the world. In addition, private international law could regulate the transaction by using several theories. The possibilities of the existence of foreign nature within the parties become one of the strongest connecting factors that determines an NFT transaction can be a private international law case. If there is no choice of law regarding the transaction by the parties, then the laws were chosen tacitly by judging which party has the biggest connection to the transaction, in this case, an NFT seller has the biggest characteristic connection within the transaction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggo, Grace Pratamaningtyas Putri
"This thesis is written to analyze how copyright regulations accommodate the ever-growing creations, especially in relation to dance. Dance as one of the works protected by copyright is regulated in regulations at the international and regional levels in each country, such as in the United States and Indonesia, which are also the focus of writing this thesis. Currently, coupled with technological developments, many dances are being exploited without giving credit or commensurate compensation to the creators. Therefore, this thesis will discuss how existing regulations accommodate the growing demands of dance creators. This thesis is written using the normative legal research method, where this thesis is written based on legal literatures. This thesis is written using descriptive research method to accurately describe the problem being researched. This thesis is made based on two research questions, the first question is why does dance need to be copyrighted and the second question is whether the current regulations are sufficient to meet the demands of dance creators in the modern era. To answer the research question, it has been established that dance is one of the intellectual property rights protected by copyright. However, in practice, dance as one of the works protected by copyright does not yet have the implementation of regulations that are equivalent to other copyrighted works. Therefore, dances deserve copyright protection like other copyrighted works, because dance copyright protection is also regulated in the regulations. Then to answer the second research question, it was first found that the types and forms of dance were growing along with technological developments, which also led to the development of demands for copyright protection from dance creators. However, the current regulations are not sufficient to meet the demands of dance creators in the modern era.

Skripsi ini ditulis untuk menganalisis bagaimana peraturan hak cipta mengakomodir ciptaan yang semakin berkembang, terutama dalam kaitannya dengan tari. Tarian sebagai salah satu karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta diatur dalam peraturan mengenai hak cipta baik dalam tingkat internasional maupun regional di masing-masing negara, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia, yang juga menjadi fokus dalam penulisan skripsi ini. Saat ini, ditambah dengan adanya perkembangan teknologi, banyak tarian yang dieksploitasi tanpa memberikan kredit maupun kompensasi yang sepadan kepada para penciptanya. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana peraturan yang ada mengakomodir tuntutan yang semakin berkembang dari para pencipta tarian. Skripsi ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dimana skripsi ini ditulis berdasarkan pada literatur hukum. Skripsi ini ditulis menggunakan metode riset deskriptif untuk menggambarkan secara akurat permasalahan yang sedang diteliti. Skripsi ini dibuat dengan berdasarkan pada dua rumusan masalah, yaitu pertanyaan pertama adalah mengapa tarian perlu dikenakan perlindungan hak cipta dan pertanyaan kedua adalah apakah peraturan yang saat ini berlaku memadai untuk memenuhi tuntutan dari para pencipta tarian di era modern. Untuk menjawab rumusan masalah pertama, telah ditemukan fakta bahwa tarian adalah salah satu hak milik intelektual yang dilindungi oleh hak cipta. Namun pada praktiknya, tarian sebagai salah satu karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta belum memiliki implementasi regulasi yang setara dengan karya cipta yang lain. Oleh karena itu, tarian layak untuk mendapatkan perlindungan hak cipta sebagaimana karya cipta lainnya, karena perlindungan hak cipta tarian juga diatur di dalam peraturan. Kemudian untuk menjawab rumusan masalah kedua, terlebih dahulu ditemukan fakta bahwa jenis dan rupa tarian semakin berkembang seiring dengan adanya perkembangan teknologi, yang juga menimbulkan adanya perkembangan tuntutan perlindungan hak cipta dari para pencipta tari. Namun, peraturan yang ada saat ini belum memadai untuk memenuhi tuntutan dari para pencipta tari di era modern."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirriam Faiza Basuki
"Gim video tidak pernah kehabisan keajaiban berkat para penciptanya. Tidak heran apabila gim video memiliki nilai artistiknya sendiri yang memungkinkannya memiliki individualitas yang tunduk pada hak cipta; oleh karena itu, harus dilindungi untuk menghormati upaya dan kreativitas yang dikeluarkan oleh pengembang untuk gim tersebut. Hak yang dilindungi ini memungkinkan integritas kreatif di antara pencipta industri, menghormati karya masing-masing pencipta dan pengembang untuk tidak hanya merayakan karya mereka tetapi untuk terus berkreasi tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk basis pemain yang mereka perjuangkan. Secara khusus, tesis ini akan menganalisis klaim perusahaan Riot Games terhadap Moonton dan gim mereka "Mobile Legends: Bang Bang" (Mobile Legends) karena melanggar hak cipta gim milik Riot's Games, "League of Legends". Terlepas dari berbagai tuntutan hukum Riot Games terhadap tindakan Moonton, pengadilan telah menolak klaim Riot Games dua kali dengan mengutip doktrin forum non conveniens yang menyatakan bahwa kasus ini akan lebih baik diselesaikan di Republik Rakyat Tiongkok daripada di Amerika Serikat. Tesis ini akan membahas hubungan hukum kekayaan intelektual dan hukum perdata internasional yang dihadapi oleh penerbit video game dalam sengketa kekayaan intelektual, khususnya doktrin forum non conveniens, yang dapat melibatkan konflik antar pengadilan karena perbedaan yurisdiksi yang akan berlaku untuk kasus ini.

Video games are never short of beams of wonder thanks to the hand of their creators. No wonder video games have their own artistic value that allows them to have individuality subject to copyright; therefore, they should be protected in order to respect the effort and creativity that were spent on the game by the developers. This protected right allows creative integrity among creators of the industry, respecting each creators’ and developers’ work to not only celebrate their works but also to keep creating both for themselves and the player base that they strive to create for. In particular, this thesis will analyse the claims of Riot Games company against Moonton and their game “Mobile Legends: Bang Bang” (Mobile Legends) for infringing on the copyright of Riot Games’ game, “League of Legends”. Despite Riot Games’ multiple lawsuits towards Moonton’s actions, the court has dismissed Riot Games’ claims both times by citing the doctrine of forum non conveniens, stating that this case would be better settled in the People’s Republic of China rather than the United States. This thesis will discuss the connection of intellectual property law and private international law faced by video game publishers in intellectual property disputes, especially the doctrine of forum non conveniens, which can involve conflicts between courts due to the different jurisdictions that would apply to these cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>