Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Syaltut
"Latar belakang: Regurgitasi trikuspid (RT) derajat sedang atau berat yang tidak dioperasi berasosiasi dengan prognosis buruk atau tingkat kematian yang lebih tinggi, bahkan pada kasus tanpa disertai disfungsi ventrikel kiri atau hipertensi pulmonal (HP). Terdapat beberapa teknik perbaikan katup trikuspid, yaitu teknik penjahitan yang salah satunya dinamakan teknik De Vega, serta pemasangan annuloplasty ring atau band. Penelitian-penelitian sebelumnya membandingkan antara metode penjahitan dan ring annuloplasty dalam mengurangi lesi RT dan peningkatan kapasitas fungsional pasien pascaoperasi, namun tidak terfokus pada masalah katup trikuspid yang muncul bersamaan dengan komorbid yang signifikan, yaitu HP. Tujuan: Menguji efektivitas jangka pendek pemasangan annuloplasty band dalam menurunkan derajat RT pada pasien dengan RT sedang-berat dengan hipertensi pulmonal sedang-berat dibandingkan dengan teknik De Vega. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dari bank data bagian Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita periode Januari 2018-Desember 2019. Didapatkan total keseluruhan 72 pasien RT sedang-berat yang menjalani operasi perbaikan katup trikuspid dengan teknik pemasangan annuloplasty band atau teknik De Vega bersamaan dengan operasi perbaikan atau penggantian katup mitral dan/atau aorta. Penilaian fungsi ventrikel kiri, tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tricuspid valve gradient (TVG), dan maximal tricuspid regurgitation velocity (TR Vmax) dilakukan menggunakan ekokardigrafi, kemudian dievaluasi dan dibandingkan sebelum dan setelah tindakan dilakukan pada masing-masing kelompok. Hasil:Dari 49 subjek kelompok band annuloplasty, didapatkan perbedaan klasifikasi RT yang bermakna antara sebelum dan sesudah tindakan (p = 0,000). Temuan serupa juga didapatkan pada kelompok teknik penjahitan De Vega (p = 0,000). Hampir seluruh subjek dengan RT sedang-berat mengalami penurunan derajat RT pascaoperasi, kecuali satu subjek pada kelompok teknik De Vega yang tetap berada pada klasifikasi yang sama sebelum tindakan dilakukan. Berdasarkan evaluasi ekokardiografi pascaoperasi, tidak ditemukan penurunan fungsi ventrikel kiri yang bermakna dinilai dari variabel EF pada kedua kelompok band annuloplasty (p = 0,123) dan teknik De Vega (p = 0,176). Namun, terdapat penurunan yang signifikan pada variabel TAPSE pascaoperasi dengan selisih 7,02 (IK 95% 5,51 – 8,52; p = 0,000) pada kelompokband annuloplasty dan 6,96 (IK 95% 5,09 – 8,82; p = 0,000) pada kelompok teknik De Vega. Penurunan bermakna juga ditemukan pada variabel TVG dan TR Vmax pada kedua kelompok (p <0,05). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa teknik pemasangan annuloplasty band tidak lebih efektif dibandingkan dengan teknik De Vega pada operasi konkomitan perbaikan katup trikuspid.

Background: Non-operated moderate or severe tricuspid regurgitation (TR) is associated with poor prognosis or higher mortality, even in cases without left ventricular dysfunction or pulmonary hypertension (PH). There are several techniques for tricuspid valve repair, namely suture techniques, one of which is De Vega technique, and the implantation of ring or band annuloplasty. Previous studies compared suture and ring annuloplasty methods to reduce TR lesions and increase functional capacity of postoperative patients, but did not focus on tricuspid valve problems that concurrent with a significant comorbid, particularly pulmonary hypertension. Objective: To assess the short-term effectiveness of band annuloplasty implantation in reducing TR degree in patients with moderate-severe TR concurrent with moderate-severe PH compared to the De Vega technique. Methods: This study used a retrospective cohort study design from a database of the Adult Cardiac Surgery department of the National Cardiovascular Center Harapan Kita for the period of January 2018 to December 2019. A total of 72 moderate-severe TR patients who underwent tricuspid valve repair using band annuloplasty or De Vega technique concomitantly with mitral and/or aortic valve repair or replacement. Assessment of left ventricular function, tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tricuspid valve gradient (TVG), dan maximal tricuspid regurgitation velocity (TR Vmax) was performed using echocardigraphy, subsequently evaluated and compared before and after the procedure was performed in each group. Results: From 49 subjects in the band annuloplasty group, there was a significant difference in TR classification between pre- and post-surgery (p = 0,000). A similar finding was also found in the De Vega suture technique group (p = 0.000). Almost all subjects with moderate-severe TR had a postoperative decrease in TR degree, except for one subject in the De Vega technique group who remained in the same category before the procedure was done. Based on postoperative echocardiography evaluation, there was no significant decrease in left ventricular function assessed by the ejection fraction variable in both band annuloplasty (p = 0.123) and De Vega technique (p = 0.176) groups. However, there was a significant decrease in the postoperative TAPSE with a mean difference of 7.02 (95% CI 5.51 - 8.52; p = 0.000) in the band annuloplasty group and 6.96 (95% CI 5.09 - 8.82); p = 0.000) in the De Vega technique group. Significant decreases were also found in the TVG and TR Vmax variables in both groups (p <0.05). Conclusion: This study shows that the annuloplasty band implantation technique is no more effective than the De Vega technique in concomitant tricuspid valve repair. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Rahman
"ABSTRAK
Stroke iskemik merupakan salah satu komplikasi penting dan berdampak negatif pada operasi jantung yang menggunakan MPJP. Faktor intraoperatif dianggap berpengaruh terhadap kejadian stroke iskemik diantaranya mean arterial pressure (MAP), kecepatan rewarm, kadar glukosa darah, durasi bypass, durasi klem silang aorta, hemoglobin dan hematokrit. Penelitian ini merupakan studi analitik retrospektif dengan disain kasus-kontrol. Subjek dengan komplikasi stroke pascaoperasi jantung dengan MPJP selama periode januari 2016 sampai desember 2018 sebagai kelompok kasus dan pasien tanpa stroke iskemik pada periode yang sama sebagai kontrol. Jenis kelamin, usia, diabetes melitus dan hipertensi tidak memiliki perbedaan yang bermakna antara kelompok kasus dan kontrol (p >0,05). Hematokrit (p = 0,015, OR 0,939 [0,885-0,996]) dan durasi bypass (p = 0,027, OR 1,011 [1,001-1,021]) merupakan faktor intraoperatif yang berpengaruh terhadap kejadian stroke pascaoperasi. Prosedur operasi katup (p = 0,024, OR 3,127 [1,161-8,427]) dan aorta (p = 0,038, OR 3,398 [1,070-10,786]) memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stroke pascaoperasi. Disimpulkan bahwa faktor intraoperatif yang memengaruhi kejadian stroke iskemik pascaoperasi jantung dewasa yang menggunakan MPJP di RSJPDHK adalah durasi bypass dan nilai hematokrit. Prosedur operasi aorta dan katup memiliki risiko lebih tinggi terhadap kejadian stroke dibandingkan prosedur operasi jantung lain.

ABSTRACT
Ischemic stroke is one of the important complications and has a negative impact on cardiac surgery with cardiopulmonary bypass. Intraoperative factors were considered to have an effect on ischemic stroke events including mean arterial pressure (MAP), rewarm speed, blood glucose levels, bypass duration, aortic cross clamp duration, hemoglobin and hematocrit. The study was a retrospective analytic study with case-control design. Subjects with stroke complications following cardiac surgery with cardiopulmonary bypass during January 2016 to December 2018 as a case group and patients without stroke in the same period as controls. Gender, age, diabetes mellitus and hypertension did not have a significant difference between the case and control groups (p> 0.05). Hematocrit (p = 0.015, OR 0.939 [0.885-0.996]) and bypass duration (p = 0.027, OR 1.011 [1,001-1,021]) were an intraoperative factors that influences the incidence of postoperative stroke. Valve surgery (p = 0.024, OR 3.127 [1,161-8,427]) and aorta (p = 0.038, OR 3.398 [1,070-10,786]) had a significant association with postoperative stroke. It was concluded that intraoperative factors affecting the incidence of postoperative cardiac ischemic stroke using cardiopulmonary bypass in RSJPDHK were duration of bypass and hematocrit. Aortic and valve surgery procedures have a higher risk of stroke than other cardiac surgery procedures."
[, , ]: 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaini Azwan
"ABSTRAK
Tujuan : Koreksi transatrial-transpulmonary tanpa transannular patch (TA-TP tanpa
TAP) memiliki keuntungan berupa preservasi annulus katup pulmonal dan fungsi
ventrikel kanan, Namun sering terjadi gradien RV-PA dan pRV/LV ratio yang masih
tinggi sehingga terjadi low cardiac output syndrome (LCOS). Penelitian ini bertujuan
untuk mencari batasan gradien RV-PA dan pRV/LV ratio yang merupakan nilai prediktif
terbaik terhadap kejadian LCOS pascakoreksi tetralogi Fallot TA-TP tanpa TAP.
Metode : Pada bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013, sebanyak 30 pasien TF menjalani
koreksi TF TA-TP tanpa TAP (mean usia 8,37±7,90 tahun). Dilakukan pengukuran
gradien RV-PA dan pRV/LV ratio intraoperatif dan postoperatif di ICU. Evaluasi kejadian
LCOS dilakukan selama perawatan di ICU. Sebelum pasien pulang, dilakukan
pemeriksaan ekokardiografi untuk menilai gradien RV-PA, fungsi ventrikel kanan, defek
septum ventrikel residual, derajat regurgitasi katup pulmonal dan katup trikuspid.
Hasil : Sebanyak 30 (100%) subjek penelitian memiliki z-value ≥ -1, menjalani koreksi
TF TA-TP tanpa TAP. Mean gradien RV-PA intraoperatif adalah 21,13±10,60 mm Hg
dan mean pRV/LV ratio intraoperatif adalah 0,53±0,14. Mean gradien RV-PA di ICU
adalah 20,83±7,10 mmHg dan mean pRV/LV ratio di ICU adalah 0,49±0,10. Tidak terjadi
LCOS pada 30 (100%) subjek penelitian sehingga tidak dapat dilakukan analisis untuk
mencari batasan nilai gradien RV-PA dan pRV/LV ratio sebagai nilai prediktif terbaik
terhadap kejadian LCOS pascakoreksi TF TA-TP tanpa TAP. Mean gradien RV-PA
sebelum subjek penelitian rawat jalan adalah 23,47±6,95 mmHg. Regurgitasi katup
pulmonal ringan pada 15 (50%) subjek penelitian dan regurgitasi katup trikuspid trivialmild
pada 16 (53%) subjek penelitian. Disfungsi ventrikel kanan ringan 3 (10%), sedang
20 (67%) dan berat pada 7 (23%) subjek penelitian. Mean TAPSE postoperatif adalah
1,03±0,19. DSV residual tidak dijumpai, aritmia tidak dijumpai, reoperasi dan mortalitas
tidak ada.
Simpulan : Koreksi TF TA-TP tanpa TAP memberikan hasil operasi dini yang baik pada
pasien TF dengan z-value katup pulmonal ≥ -1, pRV/LV ratio < 0,5 dan gradien RV-PA <
25 mmHg pascakoreksi.

ABSTRACT
Objective : The benefits of the transatrial-transpulmonary (TA-TP) without transannular
patch (TAP) correction of tetralogy of Fallot (TOF) are preservation of pulmonary valve
annulus and right ventricular function. However, TA-TP without TAP correction of TOF
had a higher incidence of low cardiac output syndrome (LCOS) because of the high right
ventricle and pulmonary artery (RV-PA) pressure gradient and right ventricle and left
ventricle pressure (pRV/LV) ratio. The purpose of this study were to analyze the cut off
value of RV-PA pressure gradient dan pRV/LV ratio as the best predictor value for
postoperative LCOS in TA-TP without TAP correction of TOF.
Methods : Between Oktober 2012 and Maret 2013, 30 patients with TOF underwent TATP
without TAP correction (mean age 8,37±7,90 years, range 1-27 years). At the end of
correction, all patients underwent intraoperative direct measurement of RV-PA pressure
gradient and pRV/LV ratio. The patients were evaluated for postoperative LCOS at the
Intensive Care Unit (ICU). All the patients underwent echocardiographic examination
before hospital discharge. This included investigation of the presence RV-PA pressure
gradien, RV function, residual VSD, pulmonary and tricuspid valve insufficiency.
Results : Thirty patients with pulmonary valve annulus z-value ≥ -1, underwent TA-TP
without TAP correction of TOF. Mean intraoperative RV-PA pressure gradient was
21,13±10,60 mmHg and mean intraoperative pRV/LV ratio was 0,53±0,14. Mean RV-PA
pressure gradient measured 24 hours after correction at the ICU was 20,83±7,10 mmHg
and mean pRV/LV ratio measured at 24 hours after correction at the ICU was 0,49±0,10.
No patient had LCOS, we could not analyze the cut off value of RV-PA pressure gradient
and pRV/LV ratio as the best predictor value for postoperative LCOS in this study. No
patient had residual VSD. Mean RV-PA pressure gradient before hospital discharge was
23,47±6,95 mmHg. Fifteen (50%) patients had mild pulmonary valve insufficiency and
16 (53%) patients had trivial-mild tricuspid valve insufficiency. Three (10%) patients had
mild RV dysfunction. Postoperative mean TAPSE was 1,03±0,19. No patient had
arrhythmia, reoperation and mortality in this study.
Conclusions : The TA-TP without TAP correction of TOF was applied successfully in 30
patients with pulmonary valve annulus z-value ≥ -1, post-correction RV-PA pressure
gradient < 25 mmHg and pRV/LV ratio < 0,5."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Latifa Hernisa
"ABSTRAK
Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting dalam proteksi miokard operasi jantung. Meskipun telah banyak penelitian yang mencoba membuktikan keunggulan kardioplegia darah dibanding kardioplegia kristaloid, namun kesepakatan kardioplegia terbaik untuk operasi jantung bawaan asianotik belum tercapai. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 54 populasi pasien VSD, AVSD dan gangguan katup mitral yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 24 pasien kelompok crystalloid cardioplegia CC sebagai kontrol, dan 30 pasien kelompok blood cardioplegia BC . Dilakukan pemeriksaan selisih kadar laktat darah arteri dan sinus koronarius, serta ekstraksi oksigen koroner segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan observasi terhadap durasi ventilasi mekanik, penggunaan inotropik, aritmia jantung, lama rawat icu dan lama rawat rumah sakit. Hasil: Selisih kadar laktat darah dan ekstraksi oksigen koroner tidak berbeda bermakna p>0,05 . Pada pasien tutup VSD, penggunaan intoropik lebih sedikit pada kelompok BC. Pasien tanpa inotropik kelompok BC dan CC yaitu 9/25 dan 2/22, 1 jenis inotropik 12/25 dan 13/22, dan lebih dari satu jenis inotropik 4/25 dan 7/22

ABSTRACT
Backgrounds Cardioplegia is an important myocardial protection in cardiac surgery. Many studies conducted to prove blood cardioplegia rsquo s superiority to crystalloid cardioplegia, but no agreement established for which cardioplegia is the best for acyanotic cardiac surgery. Methods Experimental study with simple randomization in 54 VSD, AVSD, and mitral valve disease patients, 24 crystalloid cardioplegia CC , and 30 blood cardioplegia BC . Lactate levels in arterial blood and coronary sinus, also coronary oxygen extractions were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB deactivated. Postoperative mechanical ventilation durations, inotropic administrations, arrhytmias, ICU and hospital length of stay were observed. Results No significant difference in the difference of lactate levels and coronary oxygen extractions immediate, 15 and 30 minutes after CPB P 0.05 . Less inotropics needed in VSD closure patients in BC group. No inotropic needed in 9 25 BC group to 2 22 in CC group, 1 inotropic needed in 12 25 BC group to 13 22 in CC group, and more than 1 intropic needed in 4 25 BC group to 7 22 in CC group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harvey Romolo
"Latar belakang: Kardioplegia merupakan komponen penting proteksi miokard. Pada pasien dewasa, kardioplegia darah dinyatakan unggul dibanding kardioplegia kristaloid. Pada bedah jantung anak belum ada penelitian yang membuktikan hal ini, khususnya pada operasi jantung bawaan sianotik. Metode: Penelitian eksperimental dengan simple randomization pada 70 populasi pasien TOF yang dibagi menjadi dua kelompok; 35 pasien kelompok kardioplegia kristaloid CC sebagai kontrol dan 35 pasien kelompok kardioplegia darah BC . Dilakukan pemeriksaan metabolik jantung: selisih kadar laktat dan ekstraksi oksigen darah arteri dan sinus koronarius ; segera, menit ke-15 dan menit ke-30 setelah CPB dihentikan. Dilakukan juga observasi klinis terhadap; mortalitas, penggunaan inotropik, durasi ventilasi mekanik, aritmia, fungsi jantung kanan, lama rawat ICU, lama rawat rumah sakit dan major adverse cardiac events. Hasil: Selisih kadar laktat tidak berbeda bermakna p>0,05 . Selisih ekstraksi oksigen koroner ditemukan berbeda bermakna pada menit ke-0 dan menit ke-15 p=0,038 dan p=0,015 . Tidak ada perbedaan pada luaran klinis. Kesimpulan: Tidak ditemukan perbedaan klinis maupun cedera miokard yang bermakna antara kedua kardioplegia. Kardioplegia darah ditemukan unggul secara metabolik pascabedah dan dapat dipakai sebagai alternatif untuk operasi jantung pasien sianosis.

Backgrounds Cardioplegia is an integral part of myocardial protection. Several authors reported the superiority of blood cardioplegia in adult patients. However, this is yet to be studied in cyanotic pediatric patients. Methods This study is a double blind randomized controlled trial. 70 TOF patients were devided into two groups 35 patients in crystalloid cardioplegia group CC as control, and 35 in blood cardioplegia group BC . Lactate and coronary oxygen extraction in arterial blood and coronary sinu, were measured immediate, 15 and 30 minutes after CPB caessation. Postoperative mortality, major adverse cardiac events, mechanical ventilation time, inotropic administrations, arrhytmias, right ventricular function, ICU and hospital length of stay were observed. Results There were no significant difference in clinical outcomes and difference in lactate levels p 0.05 . There is a significant difference in coronary oxygen extraction immediate and 15 minutes post CPB off p 0,038 dan p 0,015 . Conclusions Blood cardioplegia gave a better postoperative myocardial metabolism value. However, there are no statistical difference in myocardial damage or clinical outcome between the two groups."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Grace Aurora
"Latar belakang: Usia operasi Fontan terbaik masih kontroversial. Pusat jantung di negara maju menggunakan batasan usia 2-4 tahun. Kebanyakan operasi Fontan di Indonesia dikerjakan pada usia tua. Dengan kemajuan teknik operasi, bagaimana dampak usia tua saat operasi Fontan terhadap kesintasan belum ada datanya.
Tujuan: Mengetahui pengaruh usia tua saat operasi Fontan terhadap kesintasan jangka panjang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan analisis kesintasan terhadap pasien pascaoperasi Fontan (1 Januari 2008-31 Desember 2019) di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Pengumpulan data dilakukan dari rekam medis, konferensi bedah, serta follow-up melalui telepon atau surat hingga 1 April 2020. Usia dibagi menjadi usia ≤ 6 tahun dan > 6 tahun.
Hasil: Dari total 261 subjek, median usia operasi yaitu 5 tahun (2-24 tahun). Kesintasan usia operasi ≤ 6 tahun dan > 6 tahun yaitu 95,7% dan 89,3%. Hasil subanalisis kesintasan usia operasi < 4 tahun, 4-6 tahun (referensi), 6-8 tahun, 8-10 tahun, 10-18 tahun, dan > 18 tahun yaitu 90,5%, 97,9%, 93,8%, 84,8%, 91,4%, dan 66,7%. Usia 8-10 tahun (HR 6,79; p = 0,022), 10-18 tahun (HR 3,76; p = 0,147), dan >18 tahun (HR 15,30; p = 0,006) memiliki kesintasan terendah. Usia operasi > 6 tahun (HR 3,84; p = 0,020) dan kebutuhan furosemid jangka panjang (HR 3,90; p = 0,036) signifikan meningkatkan risiko kematian pada analisis multivariat.
Kesimpulan: Usia operasi Fontan > 6 tahun signifikan menurunkan kesintasan jangka panjang. Usia operasi 8-10 tahun dan > 18 tahun memiliki risiko kematian 6,7 kali dan 15,3 kali dibandingkan usia 4-6 tahun.

Background: The optimal age to perform the Fontan procedure is still unknown. Currently, the majority of centres worldwide are performing the procedure between 2 and 4 years old. Most of Fontan procedures in Indonesia are performed at older age. With the advancement in surgical techniques, there is no data regarding the impact of older age at completion of Fontan procedure on long term survival.
Objective: To evaluate the impact of older age at Fontan procedure on long term survival.
Methods: We conducted a retrospective cohort study with survival analysis, of patients underwent Fontan completion (Januari 1, 2008, to December 31, 2019), at National Cardiovascular Center Harapan Kita. The data was collected from medical records, surgical conference, and follow up by phone or mail to the end of the study (April 1, 2020). The age of operation was categorized into ≤ 6 years old and > 6 years old.
Results: Of 261 subjects, the median age was 5 years (2-24 years). The survival rate of operation age ≤ 6 years old and > 6 years old were 95.7% and 89.3%. The survival rate in subgroup analysis of operation age < 4 years, 4-6 years (reference age), 6-8 years, 8-10 years, 10-18 years, and > 18 years were 90.5%, 97.9%, 93.8%, 84.8%, 91.4%, and 66.7% respectively. The age of operation 8-10 years (HR 6.79; p = 0.022), 10-18 years (HR 3.76; p = 0.147), and > 18 years (HR 15.30; p = 0.006) had worse survival rate than the others. In multivariate analysis, age of Fontan completion > 6 years old (HR 3.84; p = 0.020) and need for furosemide use (HR 3.90; p = 0.036) significantly increased long term mortality.
Conclusion: The age of operation > 6 years old was significantly reduced long term survival rate. The age of 8-10 years old and > 18 years old had higher risk of death (6.7 times and 15.3 times) than age of 4-6 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Pratiwi
"TOF dengan kriteria risiko tinggi pembedahan membutuhkan tindakan paliatif sebelum menjalani operasi korektif yaitu TOF repair. Pemasangan stent Alur Keluar Ventrikel Kanan (Stenting AKVK) yang merupakan terapi paliatif transkateter invasif beberapa tahun terakhir muncul sebagai alternatif terhadap terapi paliatif pembedahan modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). Akan tetapi, studi mengenai pola pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS di Indonesia belum ada. Membandingkan kecepatan pertumbuhan arteri pulmonal pasca stenting AKVK dan mBTTS pada Fisiologi TOF. Studi merupakan uji klinis kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung bawaan dengan fisiologi TOF yang menjalani terapi paliatif di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada Desember 2019-Desember 2023. Pertumbuhan LPA dan RPA pasca terapi paliatif dinilai dengan serial ekokardiogram. Luaran primer yaitu pertumbuhan cabang arteri pulmonal harian menggunakan z-score per hari yang dianalisis dengan mixed-model. Sebanyak total 139 pasien [pasca stenting AKVK (n=35) dan pasca mBTTS(n=104)] dengan total 492 ekokardiogram serial didapatkan median z-score RPA/hari pasca stenting AKVK (2,5 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,9 x 10-3) bermakna secara statistik (p<0,001). Median z-score LPA/hari pasca stenting AKVK (1,7 x 10-3) lebih tinggi dibandingkan mBTTS (0,7 x 10-3), bermakna secara statistik (p<0,001). Stenting AKVK memiliki rasio distribusi pertumbuhan LPA terhadap RPA secara bermakna yang lebih baik (0,93 (IQR 0,87-1,01) dibandingkan mBTTS [0,91(IQR 0,83-0,98),p<0,01]. Pertumbuhan cabang arteri pulmonal kanan dan kiri secara bermakna lebih cepat pasca stenting AKVK dibandingkan dengan mBTTS serta menghasilkan distribusi pertumbuhan cabang arteri pulmonal yang lebih simetris dibandingkan mBTTS pada pasien dengan TOF Fisiologi.

Right Ventricular Outflow Tract Stenting (RVOT stenting) has emerged as an invasive transcatheter palliative therapy alternative to modified-Blalock-Thomas Taussig Shunt (mBTTS). However, pulmonary artery growth rate comparison after both option is limited. This study aimed to compare pulmonary artery growth rate after RVOT stenting and mBTTS on TOF physiology. The study was a consecutive retrospective cohort of TOF physiology who underwent palliative therapy at the Cardiovascular Center Harapan Kita between December 2019-2023. RPA and LPA growth post palliative therapy assessed by serial echocardiogram. Primary outcome was daily pulmonary artery growth represented by z-score per day and analysed using mixed-model. Total 139 patients [RVOT stenting (n=35); mBTTS (n=104)] were obtained. Results of analysis of a total 492 echocardiograms, median RPA z-score/day after RVOT stenting were higher significantly [(2.5 x 10-3 ) vs (0.9 x 10-3), p<0.001)]. Median LPA z- score/day after RVOT stenting were higher significantly [(1.7 x 10-3) vs (0.7 x 10-3), p<0.001)]. RVOT stenting had better LPA to RPA growth distribution ratio significantly [0.93 (IQR 0.87-1.01) vs 0.91(IQR 0.83-0.98),(p<0.01)]. RVOT stenting significantly promotes faster growth of pulmonary artery branches resulting in a more symmetric distribution of growth than mBTTS in TOF physiology."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hengky Khouw
"Latar belakang: Arterial Switch Operation (ASO) merupakan prosedur utama pada Transposition Intact Ventricular Septum (TGA-IVS). TGA-IVS kehadiran terlambat (usia ≥30 hari) mempengaruhi kesintasan pascaprosedur ASO dan umum ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Semakin besar usia pada populasi penyakit jantung kongenital, terutama TGA-IVS, umumnya disertai status gizi kurang. Hubungan antara status gizi terhadap kesintasan pascaprosedur ASO pada TGA-IVS kehadiran terlambat belum diketahui Metodologi: Penelitian studi potong lintang berdasarkan data sekunder dari rekam medis pada pasien TGA-IVS≥ 30 hari yang menjalani operasi ASO periode 2015-2021.Variabel utama yang dinilai adalah status gizi berdasarkan kurva status gizi WHO 2006 Variabel yang ikut dinilai antara lain usia, jenis kelamin, anomali koroner, pola anomali, jenis ASO, lama penggunaan mesin jantung paru, dan penggunaan klem silang aorta terhadap mortalitas pascaprosedur ASO. Hasil: Terdapat 89 anak dengan kehadiran terlambat; 68,53% memiliki status gizi kurang/buruk. Karakteristik pasien TGA-IVS kehadiran terlambat adalah laki-laki (67,2-67,9%), tidak memiliki anomali koroner dan memiliki pola anomali koroner normal (67,2-78,6%) dan menjalani ASO primer (67,9-68,9%). Status gizi kurang/buruk tidak memiliki hubungan terhadap risiko kemation pascaprosedur ASO (OR: 2,41, P:0,661) dibandingkan status gizi cukup. Lama mesin jantung paru merupakan prediktor mortalitas independen (p = 0,031) Kesimpulan: Status gizi rendah tidak memilki hubungan terhadap mortalitas pascaprosedur ASO pada TGA-IVS kehadiran terlambat.

Background: Arterial Switch Operation (ASO) is the main procedure for Transposition of with Intact Ventricular Septum (TGA-IVS). Late presenter TGA-IVS (age ≥30 days) has lower postoperative ASO survival and commonly found in developing country, including Indonesia. Older age in congenital heart disease, including TGA-IVS, associated with poor nutritional status. The correlation between nutritional status and mortality post ASO in late presenter TGA-IVS remains unknown. Method: a cross sectional study based on secondary data based on medical record of late presenter TGA-IVS who undergoned ASO in 2015-202. The main measured variable is nutritional status based on WHO 2006 nutritional status curves. Other measured variables are age at intervention, gender, coronary anomaly, coronary patterns, ASO types, cardiopulmonary bypass time, aortic crosss-clamp time and hospital mortality post ASO Result: 89 children identified as late presenter TGA-IVS; 68,53% with poor nutritional status. The late presenter TGA-IVS characteristics are male (67,2-67,9%), normal coronary anatomy and pattern (67,2-78,6%), and mostly underwent primary ASO (67,9-68,9%). Poor nutritional status has no correlation (OR: 2,41, P:0,661) with mortality outcome post ASO if compared with normal nutritional status. CPB time is an independent risk factor for mortality (p = 0,031). Conclusion: No correlation between poor nutritional status with mortality outcomes post ASO procedure in late presenter TGA-IVS"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Ariyanto Sani
"Latar Belakang: Terdapat perdebatan mengenai strategi operasi modified Fontan/TCPC pada PJB univentrikel yaitu pendekatan primer atau bertahap pada pasien yang memenuhi kriteria operasi untuk memperoleh luaran pascaoperasi yang paling baik.
Tujuan: Tinjauan sistematik ini disusun untuk membuktikan bahwa operasi modified Fontan secara bertahap pada pasien PJB dengan fisiologi jantung univentrikel dan memenuhi kriteria operasi memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibandingkan secara primer.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Identifikasi terhadap penelitian yang relevan terhadap tujuan studi dilakukan melalui pencarian literatur pada Cochrane Library, PubMed, dan CINAHL (EBSCO) database. Setiap penelitian dinilai sesuai dengan tingkat bukti klinis sesuai dengan kriteria National Health and Medical Research Council (NHMRC).
Hasil: Tiga puluh artikel diikutsertakan dalam tinjauan sistematik ini. Morfologi ventrikel yang dilaporkan dari kelainan jantung univentrikel menunjukkan proporsi malformasi yang lebih besar dengan ventrikel sistemik kiri di sebagian besar studi yang disertakan. Data hemodinamik yang dilaporkan sebelum operasi Fontan menunjukkan distribusi yang hampir sama pada rerata tekanan arteri pulmonal (mean pulmonary arteriolar pressure, mPAP), tekanan diastolik akhir ventrikel sistemik (systemic ventricular end-diastolic pressure, EDPSV), dan tekanan transpulmonal (transpulmonary pressure gradient, TPG). Pendekatan operasi primer telah banyak ditinggalkan. Dijumpai mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menjalani operasi primer dengan kesintasan jangka panjang yang cukup sebanding. Tromboemboli lebih sering terjadi pada strategi operasi primer dengan insiden sebanyak 5,6% vs. 4,8% dibandingkan dengan operasi secara bertahap
Simpulan: Prosedur modified Fontan secara bertahap memberikan luaran pascaoperasi yang lebih baik dibanding dengan pendekatan primer

Background: Definitive palliation for univentricular heart usually involves different modifications of Fontan surgery / total cavopulmonary connection (TCPC). However, whether it should be done as a primary or staged procedure with an initial bidirectional Glenn shunt remains an area of debate.
Objective: This systematic review has been undertaken to prove that staged TCPC in Fontan candidates delivers better post-surgical results than the primary approach.
Method: This study was carried out according to the PRISMA-P protocol. Systematic searches identified studies in the Cochrane Library, PubMed, and CINAHL (EBSCO) database. According to the National Health and Medical Research Council (NHMRC) guideline, each study was critically appraised.
Results: A total of 30 studies were included in this systematic review. In most of the included studies, the reported ventricular morphology of univentricular heart defects showed a more significant proportion of the left systemic ventricle malformations. The hemodynamic data before Fontan surgery showed almost the same distribution of mean pulmonary arteriolar pressure (mPAP), systemic ventricular end-diastolic pressure (EDPSV), and transpulmonary pressure gradient (TPG). The primary surgical approach has mostly been abandoned because of its higher mortality rate than staged surgery. Long term survival has been comparable in both strategies. Thromboembolism was more common in the primary approach than in the staged surgery, with an incidence of 5.6% vs. 4.8%, respectively.
Conclusion: Staged modified Fontan procedure results in better post-surgical outcomes than the primary approach.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chaisari Maria M. Turnip
"Latar belakang: Anomali Ebstein membutuhkan tindakan pembedahan sebagai tata laksana definitif. Pilihan tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular (1 1⁄2 ventrikel dan univentrikular). Saat ini belum didapatkan algoritma dan faktor prediktor pemilihan tindakan pembedahan yang mencakup seluruh usia.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien yang menjadi faktor prediktor dalam pemilihan tindakan pembedahan pada penderita anomali Ebstein dan keluarannya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan data yang diambil secara total sampling dari pasien anomali Ebstein yang menjalani operasi di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sejak Januari 2010–Desember 2023. Variabel bebas yang diteliti adalah usia, aritmia, fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, cardiothoracic ratio, jarak pergeseran daun katup septal trikuspid, dan skor GOSE, yang distratifikasi berdasarkan tindakan pembedahan yang dilakukan berupa perbaikan biventrikular dan nonbiventrikular terhadap variabel dependen berupa mortalitas.
Hasil: Sebanyak 83 subjek dalam penelitian ini, 43 (51,8%) subjek menjalani perbaikan biventrikular dan 40 (48,2%) subjek menjalani perbaikan nonbiventrikular. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam kejadian mortalitas di kedua kelompok perbaikan (p = 0,127). Pada kelompok yang menjalani perbaikan biventrikular, terdapat hubungan yang bermakna secara statistik pada subjek yang mengalami disfungsi ventrikel kanan (p = 0,045, RR 5,1, IK 95%: 1,29-20,45), skor GOSE tinggi (p = 0,042, RR 5,17, IK 95%: 1,08-24,61), dan rerata jarak pergeseran daun katup trikuspid lebih tinggi (p = 0,014) dengan kejadian mortalitas. Pada kelompok yang menjalani perbaikan nonbiventrikular, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik pada seluruh variabel yang diteliti terhadap kejadian mortalitas. Nilai titik potong jarak pergeseran daun katup trikuspid untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular adalah 43,5 mm/m2, dengan sensitivitas 83,3% dan spesifisitas 94,6%.
Simpulan: Jarak pergeseran daun katup septal trikuspid berhubungan dengan risiko kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular dan didapatkan nilai titik potong yang baik untuk memprediksi kejadian mortalitas pada perbaikan biventrikular.

Background: Ebstein anomaly require surgical intervention as definitive treatment. The option for surgical intervention are biventricular repair and non-biventricular repair (one and half ventricle and univentricular). Currently, there is no algorithm and predictors in choosing surgical intervention that could be applicable in all range of age.
Purpose: To identify patient characteristics that can be used as predictors in choosing surgical intervention in Ebstein anomaly and its outcome.
Methods: Retrospective cohort study with total sampling of patients with Ebstein anomaly undergoing surgical intervention at National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 2010 until Desember 2023. Independent variables studied were age, arrythmia, right ventricle function, tricuspid regurgitation, cardiothoracic ration, tricuspid septal leaflet displacement, and GOSE score, which were stratified based on the surgical intervention of biventricular or non-biventricular repair, and the dependent variable was mortality.
Result: Out of 83 subjects included in this study, 43 (51.8%) subjects underwent biventricular repair and 40 (48.2%) subject underwent non-biventricular repair. No statistically significant difference were found associated with mortality in both surgical repair group (p = 0.127). In biventricular repair group, subjects with right ventricle dysfunction (p = 0.045, RR 5.1, 95% CI: 1,29-20,45), high GOSE score (p = 0.042, RR 5.17, 95% CI: 1,08-24,61), and higher mean of tricuspid septal leaflet displacement (p = 0,014) has statistically significant association with incidence of mortality. In non- biventricular repair group, all variables have no statistically significant association with incidence of mortality. Tricuspid septal leaflet displacement cut-off point value of 43.5 mm/m2 is best to predict the occurrence of mortality in biventricular repair, with 83.3% sensitivity and 94.6% specificity.
Conclusion: Tricuspid septal leaflet displacement was associated with the occurrence of mortality in biventricular repair and good cut-off point value was obtained to predict mortality in biventricular repair.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>