Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Ernandini
"Pendahuluan Kehilangan pendengaran adalah problem yang sering diderita pekerja yang terpajan bising, diantaranya adalah masinis kereta api. Pajanan bising dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif yang menyebabkan kematian pada sel rambut melalui proses nekrosis atau apoptosis. Untuk mengatasi hal tersebut, tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan endogen dengan membentuk enzim antioksidan, salah satunya glutathione peroxidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk korelasi antara aktivitas glutathione peroxidase dengan hasil pemeriksaan audiometri dan mengetahui akurasi aktivitas glutathione peroxidase sebagai prediktor hasil pemeriksaan audiometri yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kehilangan pendengaran akibat bising. Metode Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional pada masinis kereta api. Variabel prediktor mencakup aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia. Variabel respon adalah nilai rerata ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, dan 6000 Hz. Hasil Subyek penelitian terdiri dari 46 orang masinis yang memiliki rerata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, 6000 Hz < 25dB. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase berhubungan dengan nilai ambang pendengaran (p = 0,03) dengan kekuatan korelasi negatif yang lemah (r = -0,312). Dari analisis regresi linier didapatkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia melalui sebuah persamaan regresi (p = 0,018) dapat digunakan untuk memprediksi nilai ambang pendengaran = 15,104 – 0,019 (glutathione peroxidase) - 0,002 (indeks brinkman) – 0,474 (indeks massa tubuh) + 0,237 (usia) dengan nilai adjusted R2 = 0,175. Kesimpulan Aktivitas glutathione peroxidase bersama indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia dapat memprediksi nilai ambang pendengaran sesuai dengan persamaan regresi yang didapatkan dalam penelitian ini. Namun, masih terdapat beberapa variabel lain yang mungkin dapat memengaruhi nilai ambang pendengaran yang harus diperhitungkan.

INTRODUCTION Hearing loss is a common problem among workers, including train drivers exposed to loud noise. Noise exposure results in oxidative stress that damages hair cells permanently. One of the antioxidant enzymes produced by the human body’s endogenous defense mechanism is glutathione peroxidase. This study aims to determine the correlation between glutathione peroxidase activity and hearing threshold level, as well as the accuracy of glutathione peroxidase activity as a predictor of the hearing threshold for the early detection of noise-induced hearing loss.
MATERIALS AND METHODS This population study of train drivers used a cross-sectional design. Predictor variables include age, glutathione peroxidase activity, the Brinkman index, and the body mass index. The response variable is the mean hearing threshold at 3000, 4000, and 6000 Hz.
RESULTS 46 train drivers with a mean hearing threshold below 25 dB at 3000, 4000, and 6000 Hz were included as subjects. The correlation test showed that glutathione peroxidase activity was associated with a hearing threshold value (p = 0.03) with a relatively weak negative correlation (r = -0.312). According to linear regression analysis, age, glutathione peroxidase activity, Brinkman index, and body mass index can be used to predict the hearing threshold value = 15.104 + 0.237 (age) - 0.019 (glutathione peroxidase) - 0.002 (Brinkman index) - 0.474 (body mass index) with adjusted r squared = 0.175.
CONCLUSION This study reveals that age, glutathione peroxidase activity, Brinkman index, and body mass index can predict hearing threshold values. However, there are additional variables that must be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwik Selviana
"Latar belakang: Dokter umum harus memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional, dimana dokter memiliki kewajiban memberikan konseling, anamnesis, pemeriksaan, pengobatan, dan menentukan tindakan medis terhadap pasiennya, hal ini berbeda dengan tenaga perawat atau nakes lainnya sehingga dokter secara tidak langsung memiliki beban kerja dengan tekanan yang lebih tinggi karena dokter memiliki wewenang dan hak untuk melakukan pelayanan kesehatan, selain itu dokter secara rutin dan berkelanjutan melakukan shif kerja lama lebih dari 12 jam tiap shiftnya beresiko tinggi mengalami kelelahan dan berhubungan dalam meningkatkan resiko kecelakaan kerja yang dampaknya bisa merugikan lingkungan kerja, dokter umum sendiri, dan keselamatan pasien jika dibandingkan dengan lama shift kerja sebanyak 8 jam perhari.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara shift kerja dan faktor-faktor risiko lain terhadap derajat kelelahan pada dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit di Kota bekasi tahun 2022.
Metode: Metode penelitian cross-sectional dengan sifat penelitian observational berupa pengisian kuesioner yang disebarkan secara online dengan menggunakan google form  kepada dokter umum yang bekerja secara shift dan non-shift di rumah sakit dengan menggunakan kuesioner IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia, dengan teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan quota sampling. Kemudian data di analisa dengan menggunakan  IBM SPSS versi 20, dimana data dikumpulkan dari bulan maret sampai mei 2022.
Hasil: Analisis multivariat membuktikan bahwa Pekerja yang mendapatkan jaga shift, cenderung lebih beresiko 38 kali (OR: 38,1; IK 95% :3,897-373,285, p <0,0500.
Kesimpulan: Penelitian ini membuktikan bahwa shift kerja memiliki hubungan paling signifikan terhadap risiko kelelahan pada dokter umum dibandingkan dengan faktor risiko lain.

Background: General Practitioners must provide quality and professional services, which includes the obligation to provide counseling, history taking, examination, providing treatment, and determining medical actions for their patients, This is different from other health workers, in which doctors directly have a workload with high pressure. Besides that doctors regularly and continuously perform long work shifts for more than 12 hours. Each shift has high risk to induce fatigue and this is also associated with an increasing the risk of work accidents whose impacts can be detrimental to the work environment, doctors themselves, and especially to the patient safety when compared to the 8 hour work shift per day.
Method: This study was an observational study with a cross-sectional design by using of Industrial Fatigue Research Committee (IFRC) 30-Item fatigue symptoms. Participants were general practitioners who work at hospital, both shift work and non-shift. They were selected by quota sampling technique. Data were collected from March to May 2022, data were analyzed by IBM SPSS Statistic ver.20.
Results: We collected data primarily through online questionnaire using Google Form Platform, multivariate analysis showed that doctors who work with shift had a risk of 38 times more to experience moderate to severe fatigue compared to doctors who worked with non-shifts. (OR:38,1 CI 95%: 3,897-373,285, p <0,05).
Conclusion: This study proves that shift workers have the most significant correlation to induce fatigue among general practitioner compared to other risk factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triandana Budi Wisesa
"Latar Belakang: Operator crane merupakan pekerjaan yang memiliki resiko tinggi mengalami gangguan muskuloskeletal. Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kuswaha et al menunjukkan bahwa dari 90% operator crane, 63% mengalami nyeri leher.1 Operator crane melakukan sebagian besar aktivitas kerja mereka dengan postur tubuh yang janggal pada leher, bahu dan punggung. Prevalensi nyeri leher yang tinggi dikaitkan dengan derajat fleksi leher yang tinggi serta postur statis dan janggal saat duduk. Postur membungkuk yang terus menerus dapat menyebabkan ketegangan dan tekanan pada jaringan lunak di sekitar tulang belakang. 2 Bekerja mengoperasikan crane dalam posisi duduk statis dan membungkuk ke bawah dan dalam waktu yang lama merupakan bagian dari tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diubah secara teknis, sehingga perlu dilakukan kontrol, salah satunya dengan program peregangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah peregangan yang dilakukan dalam waktu dua minggu (lebih singkat dari studi referensi) mampu menurunkan nilai VAS nyeri leher pada operator crane, serta untuk mengetahui berapa nilai penurunan VAS tersebut. pengukuran sebelum peregangan dan setelah peregangan.
Metode: Studi analitik dengan desain within group experiment with repeated measurement. Dilakukan terhadap 25 orang responden yang dipilih secara consecutive sampling dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Penelitian dilakukan dengan pemberian edukasi gerakan peregangan yang dilakukan dalam durasi sekitar lima menit, dilakukan dua kali dalam sehari yaitu sebelum dan setelah bekerja, dilakukan lima hari dalam satu minggu, selama dua minggu. Kemudian dilakukan pengukuran nilai Visual Analog Scale (VAS) sebelum dilakukan peregangan dengan sesudah dilakukan 5 hari peregangan dan 10 hari peregangan.
Hasil: Didapatkanya nilai prevalensi nyeri tengkuk sebanyak 39,6% serta terdapat penurunan signifikan dari nilai nyeri sebelum dilakukan peregangan (VAS = 5 (3-7)) dengan nilai nyeri setelah dilakukan peregangan (VAS = 3 (1-5)) dengan nilai p<0,01 dari uji wilcoxon. Tidak didapatkannya perubahan yang bermakna terhadap faktor individu yang dinilai, baik berdasarkan variabel umur, status gizi, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan merokok.
Kesimpulan: Peregangan otot dapat menurunkan nilai nyeri tengkuk leher pada subjek penelitian operator crane, yang diukur berdasarkan Visual Analogue Scale (VAS) dengan intervensi peregangan dilakukan  selama 2 minggu.      

Background: Working to operate a crane in a sitting position for a long time with the back and neck bent is considered to be associated with an increased risk of neck and back pain disorders in crane operators, and is part of the job demands that cannot be changed technically. It is necessary to control the incidence of neck pain in crane operators, one of which is by stretching. The purpose of this study was to prove whether stretching that was carried out within two weeks (shorter than the reference study) was able to reduce the VAS value in neck pain in crane operators.
Methods: This study used an analytical study in the form of within group experiment with repeated measurement design. This research was conducted at the X container terminal located in North Sumatra, carried out when there were still social restrictions on the Covid-19 pandemic in October 2020. This study involved 25 respondents, who were obtained through consecutive sampling. Interventions were carried out by providing education for the McKenzie stretching movements which were about five minutes duration, twice a day, before and after work, for five days a week, in two weeks. Then the Visual Analog Scale (VAS) value was measured before stretching, 5 days of stretching and 10 days of stretching. The stretching and VAS measurement activities were monitored by the company doctor as well as the research team whose perceptions were matched.
Results: The prevalence value of neck pain was 39,6% and there was a statistically significant decrease in VAS levels from VAS = 5 (3-7) before stretching to VAS = 3 (1-5) after stretching for 2 weeks with p values 0.000. There were no significant changes in individual factors that could potentially be confounding factors, such as age, nutritional status, exercise habits, and smoking habits during the experiment.
Conclusion: Muscle stretching can reduce the value of neck pain in crane operator research subjects, which was measured based on the Visual Analog Scale (VAS) with stretching interventions carried out for 2 weeks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Kresna
"Pendahuluan: Kerja gilir terutama pada malam hari dapat mengubah ritme sirkadian, tingkat kewaspadaan, meningkatkan kelelahan, kesalahan, dan kecelakaan kerja. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi ritme sirkadian adalah tingkat kewaspadaan dan melatonin plasma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara melatonin plasma dengan tingkat kewaspadaan.
Metode: Studi potong lintang yang dilakukan pada 40 perawat wanita kerja gilir malam hari. Data karakteristik individu seperti usia, pengalaman kerja, istirahat malam selama bekerja, dan status perkawinan diperoleh dengan kuesioner dan wawancara. Konsentrasi melatonin plasma diukur dua kali pada malam hari (pukul 11 malam-00 pagi) dan pada pagi hari (pukul 07.00 8 pagi) dengan metode Liquid Chromatography-Mass Spectrometry, sedangkan tingkat kewaspadaan diukur dengan Psychomotor Vigilance Test (PVT) pada pukul 11 malam-00 pagi dan 7 pagi 8 pagi keesokan harinya. Analisis statistik digunakan untuk mencari korelasi menggunakan uji Spearman atau Pearson.
Hasil: Usia rata-rata adalah 28,4 (±4,9) tahun dengan pengalaman kerja bervariasi dari 1-16 tahun. Konsentrasi melatonin plasma pada perawat wanita didapatkan malam hari lebih tinggi daripada pada hari. Rentang nilai melatonin plasma adalah 10-240 pg/ml dan tingkat kewaspadaan memiliki pola yang serupa, dengan rata-rata pada malam hari adalah 301,2 ± 51,6 ms dan 293,2± 49,7 ms pada pagi hari. Terdapat korelasi yang lemah antara konsentrasi melatonin plasma dan perbedaan tingkat kewaspadaan malam dan pagi hari (r = 0,37; p = 0,016).
Kesimpulan: Konsentrasi melatonin plasma pada perawat wanita kerja gilir lebih tinggi pada malam hari dibandingkan dengan pagi hari. Begitu juga dengan tingkat kewaspadaan, malam hari lebih tinggi daripada pagi hari dan tidak ada hubungan antara melatonin plasma dengan tingkat kewaspadaan pada malam dan pagi hari.

Background: Working in shift especially night shift could alter circadian rhythm, alertness level, increase fatigue, error, and working accident. One of the factors that affect the circadian rhythm were melatonin. Melatonin was a hormone that regulate the wake and sleep cycle that have an impact on alertness levels. This study was aimed to find correlation between plasma melatonin and alertness level.
Methods: A cross-sectional study was conducted on 40 female night shift nurses. Individual characteristics like age, working experience, rest during work duration, and marital status were obtained by self-administered questionnaire. Plasma melatonin concentrations was measured twice at night time (11 pm-00 am) and at morning (7 am-8 am) by Liquid Chromatography-Mass Spectrometry, while alertness level was recorded with Psychomotor Vigilance Test (PVT) at 11 pm-00 am and 7 am-8 am the next day. Spearman or Pearson test was used to find correlation between melatonin concentrations and PVT.
Results: Mean age was 28.4 (±4.9) years with working experience varied from 1-16 years. Plasma melatonin concentrations among female night shift nurses were higher before working hours than after duty. Range of plasma melatonin value was 10-240 pg/ml and Alertness was in the same manner with average alertness level at night was 301.2 ± 51.6 ms and 293.2± 49.7 ms at morning. There was a weak correlation between plasma melatonin concentration and alertness level difference before and after duty (r = 0.37; p = 0.016).
Conclusion: There was no correlation between plasma melatonin and alertness level in night shift workers before and after duty. To Maintain alertness level reduction and melatonin secretion, night shift workers should rest at least 30 minutes during their working hours, always keep the lights on while on duty and should not work more than one shift on the same day, and providing healthy foods.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Zahara
"Pendahuluan : Manufaktur telah menjadi suatu industri penting dalam mendukung kemajuan perekonomian Indonesia. Indonesia telah berhasil mencapai peringkat keempat dunia di bidang industri manufaktur dan akan terus meningkatkan prestasinya. Produktivitas merupakan hal yang perlu ditingkatkan untuk memenangkan persaingan dunia. Salah satu faktor manusia dalam mencapai produktivitas adalah kebugaran. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian bersama yang dilakukan oleh Direktorat Bina K3 dengan Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi FKUI di enam wilayah Indonesia dengan enam bidang industri manufaktur. Tujuan : Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kebugaran kardiorespirasi pada pekerja manufaktur di Indonesia dan faktor-faktor yang berpengaruh. Metode : Desain potong lintang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui profil kebugaran pekerja manufaktur di enam wilayah Indonesia dan faktor-faktor yang berpengaruh menggunakan uji jalan enam menit. Hasil : Kebugaran kardiorespirasi pada 53,34% pekerja adalah rata-rata dan diatas rata-rata. Faktor individu yang berhubungan dengan kebugaran adalah lama tidur . Lama tidur yang kurang dari delapan jam sehari berhubungan dengan kebugaran. Kesimpulan : Kebugaran pekerja manufaktur adalah rata-rata dan diatas rata-rata. Lama tidur kurang dari delapan jam sehari merupakan faktor individu yang berhubungan dengan kebugaran. Tidak didapatkan faktor pekerjaan yang berhubungan dengan kebugaran.

Background : Manufacture plays important role in Indonesian economic development. Indonesia had successfully achieved fourth rank in the world industrial manufacture and would always made improvement. Productivity must be encouraged to win the world competition. Physical fitness was one of the human factors that was needed to achieve productivity. This study is part of a joint study between Direktorat Bina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Ministry of Manpower Republic Indonesia and Occupational Medicine Specialist Program Faculty of Medicine Universitas Indonesia in six region of Indonesia with six different type of industrial manufacture. Objective : This study was aimed to explore cardiorespiratory fitness among manufacture workers in Indonesia and its related factors. Methods : A cross-sectional study design was conducted to 120 manufacture workers with heat stress hazard using six minute walking test and heat stress assessment in their workplace using heat stress monitor. Results : The result showed that that physical fitness of 53,34% workers were above average. Individual factor that related to physical fitness of manufacture workers were sleep duration and age. Sleep duration that was less than eight hours a day and age more then 35 years-old was related to physical fitness. Conclusions : The cardiorespiratory fitness of manufacture worker in Indonesia was average and above average. Sleep duration was related to physical fitness. There was no occupational factor related to physical fitness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titil Sry Kurniawati
"Latar Belakang: Tim Surveilans COVID 19 sebagai garda terdepan dalam pengendalian kasus di wilayah administrasi terendah yaitu di Pusat Kesehatan Masyarakat, rentan mengalami mengalami peningkatan stress. Peningkatan  stress bisa disebabkan oleh beban kerja dan faktor lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan beban kerja dan faktor risiko lainnya terhadap tingkat stress Tim Surveilans.
Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan pengambilan sampel total sampling sebanyak 115 anggota dalam Tim Surveilans yang terdiri dari surveillant (ASN) dan tracer (relawan) Puskesmas seKota Bogor. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur beban kerja adalah kuesioner NASA TLX dan kuesioner Perceived Stress Scale untuk mengukur tingkat stress. Faktor risiko individu pada penelitian ini, usia, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan, sedangkan faktor pekerjaan yaitu masa kerja dan jabatan dalam tim. Pengambilan data  secara daring menggunakan Goggle Form.
Hasil: Prevalensi stress 1.7 % stress ringan, stress sedang 49.6% dan stress berat 48.7%. Pada level stress ringan sampai berat didapatkan beban kerja pada Tim Surveilans pada kategori tinggi. Usia ≥25 tahun dan tim Surveilans berlatar belakang pendidikan non kesehatan memiliki kemungkinan stress lebih rendah (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 dan 0R=0.18 CI 95% 0.04-0.77 p=0.016). 
Kesimpulan: Tim surveilans COVID 19 memiliki beban kerja tinggi pada semua kategori tingkat stress. Terdapat  hubungan yang signifikan antara usia dan latar belakang pendidikan dengan tingkat stress.

Background: As front liners in controlling COVID 19 cases in the lowest administrative areas, notably in the Community Health Centers, the COVID 19 Surveillance Team is at high risk to experience stress. Workload and other factors can contribute to stress enhancement levels. This study aims to determine between workload and other factors to the stress level of the Surveillance Team.
Methods: This study applied a cross-sectional research design with a total sampling of 115 respondents from the surveillance team, consisting of surveillants (State Civil Apparatus) and tracers (volunteers) from Public Health Centers throughout Bogor City. This study employed the NASA TLX questionnaire to measure the workload and the Perceived Stress Scale questionnaire to assess stress levels. In addition, individual risk factors in this study covered age, gender, and educational background. Meanwhile, work factors involved years of service and position in the team. The data collection was performed online utilizing Google Form.
Results: Only 1.7% of the Surveillance Team experienced mild stress, while 49.6% experienced moderate stress, and 48.7% experienced severe stress. Across all the levels of stress, the workload of the team surveillance was found to be high. Age 25 years and above as well as non-health educational background were less likely to have stress (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 and 0R=0.18 CI95% 0.04-0.77 p=0.016).
Conclusion: The COVID 19 Surveillance Team had a high workload in all categories of stress level. There was a significant correlation of age and educational background with stress levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Asiah
"Tesis ini disusun untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien adolescence idiopathic scoliosis (AIS). Desain penelitian merupakan studi potong pada 100 pasien AIS yang berusia di atas 13 tahun dengan menggunakan kuesioner Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) sebagai alat ukur kualitas hidup. Dilakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan yang meliputi faktor penyakit (usia terdiagnosis, derajat keparahan kurva, tipe kurva) faktor terapi (exercise, brace, operasi) dan faktor sosiodemografik (kelompok usia, jenis kelamin, body mass index). Hasil penelitian didapatkan skor total yaitu 3.42  0.46. Didapatkan skor tertinggi pada domain nyeri yaitu 3.66 (2-5), serta skor terendah pada domain citra diri yaitu 3.33  0,9. Pada faktor penyakit, didapatkan skor domain kepuasan terhadap manajemen yang lebih tinggi secara bermakna pada kurva derajat ringan. Pada faktor terapi, didapatkan skor total dan skor domain fungsi yang lebih tinggi secara bermakna pada kelompok exercise, skor domain citra diri dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok brace, serta skor domain citra diri yang lebih tinggi, tetapi skor domain fungsi dan kepuasan terhadap manajemen yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok operasi. Tidak didapatkan perbedaan skor yang bermakna pada faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, body mass index).

This thesis aimed to determine the quality of life of patients with adolescent idiopathic scoliosis (AIS). The study design was a cross-sectional study of 100 AIS patients aged over 13 years using the Scoliosis Research Society 30 (SRS-30) questionnaire as a measurement tool of quality of life. Analysis of related factors including disease factors (age at diagnosis, degree of curve severity, type of curve), therapeutic factors (exercise,
brace, surgery), and sociodemographic factors (age group, sex, body mass index) was performed. The results showed a total score of 3.42  0.46. The highest score was in the
pain domain (3.66 (2-5)), and the lowest score was in the self-image domain (3.33  0.9). In the disease factors, a significantly higher score of satisfaction for management was found in mild degree curve. In the therapeutic factors, a significantly higher total score and function domain score was found in the exercise group, a significantly lower in selfimage and satisfaction with management domain score in the brace group, and a significantly higher self-image domain score but lower in function and satisfaction with management domain score was found in the operating group. There were no significant differences in sociodemographic factors (age, gender, body mass index).
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handrianto
"Pendahuluan Kehilangan pendengaran adalah problem yang sering diderita pekerja yang terpajan bising, diantaranya adalah masinis kereta api. Pajanan bising dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif yang menyebabkan kematian pada sel rambut melalui proses nekrosis atau apoptosis. Untuk mengatasi hal tersebut, tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan endogen dengan membentuk enzim antioksidan, salah satunya glutathione peroxidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk korelasi antara aktivitas glutathione peroxidase dengan hasil pemeriksaan audiometri dan mengetahui akurasi aktivitas glutathione peroxidase sebagai prediktor hasil pemeriksaan audiometri yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kehilangan pendengaran akibat bising. Metode Penelitian ini menggunakan desain cross- sectional pada masinis kereta api. Variabel prediktor mencakup aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia. Variabel respon adalah nilai rerata ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, dan 6000 Hz. Hasil Subyek penelitian terdiri dari 46 orang masinis yang memiliki rerata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, 6000 Hz < 25dB. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase berhubungan dengan nilai ambang pendengaran (p = 0,03) dengan kekuatan korelasi negatif yang lemah (r = -0,312). Dari analisis regresi linier didapatkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia melalui sebuah persamaan regresi (p = 0,018) dapat digunakan untuk memprediksi nilai ambang pendengaran = 15,104 – 0,019 (glutathione peroxidase) - 0,002 (indeks brinkman) – 0,474 (indeks massa tubuh) + 0,237 (usia) dengan nilai adjusted R2 = 0,175. Kesimpulan Aktivitas glutathione peroxidase bersama indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia dapat memprediksi nilai ambang pendengaran sesuai dengan persamaan regresi yang didapatkan dalam penelitian ini. Namun, masih terdapat beberapa variabel lain yang mungkin dapat memengaruhi nilai ambang pendengaran yang harus diperhitungkan.

INTRODUCTION Hearing loss is a problem that often affects workers, including train drivers, who are exposed to noise. Noise exposure can cause oxidative stress conditions causing permanent damage to hair cells through necrosis or apoptosis. The human body has an endogenous defense mechanism by forming antioxidant enzymes, one of which is glutathione peroxidase. This study aims to determine the correlation between glutathione peroxidase activity and audiometric examination results and the accuracy of glutathione peroxidase activity as a predictor of audiometric examination results that can be used for early detection of noise-induced hearing loss. METHODS This study of the train driver population used a cross- sectional design. Predictor variables include glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age. The response variable is the average hearing threshold at frequencies 3000, 4000, and 6000 Hz. RESULTS The research subjects consisted of 46 train drivers with an average hearing threshold of 3000, 4000, and 6000 Hz < 25dB. Correlation test results showed that glutathione peroxidase activity was associated with a hearing threshold value (p = 0.03) with a weak negative correlation strength (r = -0.312). From linear regression analysis it was found that glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age through a regression equation (p = 0.018) can be used to predict the hearing threshold value = 15.104 - 0.019 (glutathione peroxidase) - 0.002 (Brinkman index) - 0.474 (body mass index) + 0.237 (age) with adjusted R2 = 0.175. CONCLUSION Glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age can predict hearing threshold values according to the regression equation obtained in this study. However, there are still several other variables that may affect the hearing threshold value that must be taken into account."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Teguh Pribadi
"Latar belakang. COVID-19 merupakan masalah kesehatan dunia dan protokol kesehatan diperlukan untuk mencegah penyebarannya terutama di lingkungan sektor industri esensial dan kritikal. Industri minyak dan gas bumi yang merupakan salah satu sektor kritikal dan masih beroperasi secara penuh walaupun di kala Pembatasan Sosial Berskala Besar membutuhkan perhatian lebih pada usaha pencegahan penyebaran COVID-19. Namun, keberhasilan usaha tersebut bergantung pada berbagai faktor, salah satunya adalah tingkat kepatuhan individu terhadap protokol kesehatan.
Tujuan. Menerapkan teori Health Belief Model (HBM) untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan penerapan protokol kesehatan yang diterapkan karyawan selama pandemi COVID-19 di perusahaan “X”.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan dengan kuesioner daring yang diisi mandiri oleh karyawan perusahaan “X” pada Januari 2022-Februari 2022.
Hasil. Dari total 1439 peserta penelitian menunjukkan tingkat kepatuhan karyawan terhadap protokol kesehatan COVID-19 sekitar 76,9%. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, konsep HBM seperti persepsi ancaman (p<0,01) dan persepsi manfaat (p<0,01) berhubungan dengan tingkat kepatuhan menjalankan protokol kesehatan. Responden yang sudah menikah memiliki kecenderungan untuk lebih patuh dibandingkan yang tidak menikah.
Kesimpulan. Temuan kami menunjukkan bahwa teori HBM dapat diterapkan untuk memahami kepatuhan menjalankan protokol kesehatan COVID-19. Mengenali keyakinan kesehatan yang dirasakan dan faktor terkait lainnya penting untuk mengembangkan strategi intervensi kesehatan COVID-19 yang efektif

Background. COVID-19 is a global health concern and health protocols are needed to prevent its spread, especially in the environment of essential and critical industrial sectors. The oil and gas industry, which is one of the critical sectors and is still fully operational even during the Large-Scale Social Restriction, requires more efforts to prevent the spread of COVID-19. Still, the success of these efforts depends on various factors, one of which is the level of individual adherence to the health protocols.
Objectives. Applying the Health Belief Model (HBM) theory to explain the factors that influence employees' level of adherence to the health protocols during the COVID-19 pandemic at company "X."
Methods. This study used a cross-sectional design. Data collection was carried out using an online questionnaire that was filled out independently by company "X" employees in January 2022-February 2022.
Results. Of the 1439 study participants, the level of employee adherence to the COVID-19 health protocol was around 76.9%. After adjusting for other factors, HBM concepts such as perceived threat (p<0.01) and perceived benefit (p<0.01) were associated with the level of adherence to health protocols. Married respondents tend to be more compliant than those who are not.
Conclusion. Our findings suggest that the HBM theory can be applied to understand adherence to COVID-19 health protocols. Recognizing perceived health beliefs and other related factors is vital for developing effective COVID-19 health intervention strategies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Darmawan Diswan
"Latar Belakang. Audiometri nada murni (PTA) adalah metode yang umum digunakan untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada pekerja terpajan bising. Tetapi diketahui bahwa PTA tidak dapat mendeteksi gangguan pada sel-sel rambut luar yang biasa terjadi pada tahap awal gangguan pendengaran. Emisi otoakustik (OAE) digunakan untuk mendeteksi tahap awal gangguan pendengaran, namun efektivitasnya dalam program surveilans pendengaran masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas OAE dalam program surveilans pendengaran untuk mendeteksi gangguan pendengaran akibat bising (NIHL).
Metode. Berbagai database elektronik termasuk Pubmed, Google Scholar, Scopus, dan Proquest ditelusuri dari awal hingga April 2022. Data diekstraksi dari setiap artikel, dan kualitas penelitian dinilai menggunakan alat Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies-2 (QUADAS-2). Skrining dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak COVIDENCE. Hasil disintesiskan secara naratif.
Hasil. Pencarian mendapatkan 412 artikel, di mana 8 artikel disertakan dalam analisis. Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif positif untuk distortion product otoacoustic emissions (DPOAE) adalah 19,4%-100%, 74%-97,1%, dan 13,6%-97,2%. Sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif positif untuk transiently evoked otoacoustic emissions (TEOAE) adalah 12,5%-100%, 33,33%-90%, dan 47,37-90%.
Kesimpulan. Temuan ini mengindikasikan bahwa DPOAE dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan untuk gangguan pendengaran pada frekuensi 2kHz dan 4kHz. Namun, masih ada bukti yang terbatas tentang efektivitasnya untuk mendeteksi NIHL.

Background. Pure-tone audiometry (PTA) are commonly used as early detection of hearing loss among workers exposed to noise. Nevertheless, PTA cannot detect the damage in the outer hair cells that usually occur in the early stage. Otoacoustic emissions (OAE) is introduced to detect the early stage of hearing loss, however its effectiveness in the hearing surveillance program is still unknown. Therefore, this study aims to evaluate the effectiveness of OAE in hearing surveillance program to detect noise-induced hearing loss (NIHL).
Methods. Multiple electronic databases including Pubmed, Google Scholar, Scopus and Proquest were searched from inception until April 2022. Data were extracted from each article, and study quality was assessed using the Quality Assessment of Diagnostic Accuracy Studies-2 (QUADAS-2) tool. Screening was performed using COVIDENCE software. Narrative synthesis was used for outcomes.
Results. The search retrieved 412 records, in which 8 studies included in the analysis. The overall sensitivity, specificity, and positive predictive value for distortion product otoacoustic emissions (DPOAE) were 19.4%-100%, 74%-97.1% and 13.6%-97.2% respectively. The overall sensitivity, specificity, and positive predictive value for transiently evoked otoacoustic emissions (TEOAE) were 12.5%-100%, 33.33%-90% and 47.37-90% respectively.
Conclusions. These findings indicated DPOAE might be used as adjunctive diagnostic tool of hearing loss for 2kHz and 4kHz frequencies. However, there are still limited evidence on its effectiveness to detect NIHL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>