Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sean Alexander Lee Tzien Yi
"

Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) adalah suatu penyakit metabolik yang terjadi akibat gangguan fungsi insulin. Hiperglikemia dapat memicu produksi reactive oxygen species yang berlebih sehingga terjadi ketidakseimbangan sistem redoks tubuh. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus, tubuh dapat mengalami stres oksidatif yang ditandai dengan menurunnya kadar antioksidan enzimatik dan meningkatnya peroksidasi lipid. Salah satu organ yang paling rentan terkena dampak dari stres oksidatif adalah ginjal. Metformin adalah obat lini pertama pada DMT2 yang juga memiliki efek renoprotektif, tetapi metformin dapat menyebabkan sejumlah efek samping yang kurang nyaman bagi pasien. Î±-mangostin merupakan senyawa yang dipercaya memiliki efek antioksidan sehingga diharapkan dapat menjadi kandidat potensial dalam memperbaiki stres oksidatif pada kondisi tersebut.

Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui efek antioksidan Î±-mangostin pada biomarker stres oksidatif pada DMT2, terutama pada kadar MDA dan SOD ginjal.
Metode: Penelitian berlangsung selama sebelas minggu menggunakan tikus Wistar berusia 10-12 minggu yang terbagi ke dalam enam kelompok: kontrol, kontrol+AM 200 mg/kg, DMT2, DMT2+metformin 200 mg/kg, DMT2+AM 100 mg/kg, DMT2+AM 200 mg/kg. Induksi DMT2 dilakukan dengan diet tinggi lemak-karbohidrat dan injeksi streptozotocin (STZ). Kadar MDA dan SOD diperoleh dengan menggunakan assay kit pada organ ginjal tersimpan.
Hasil: Studi ini menunjukan adanya penurunan kadar MDA yang signifikan pada tiga kelompok perlakuan: DMT2+metformin 200 mg/kg (p=0,001), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001), dan DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi. Selain itu, peningkatan kadar SOD yang signifikan secara statistik hanya ditemukan pada kelompok tikus DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,030) dibandingkan dengan kelompok DMT2 tanpa suplementasi.
Simpulan: Hasil ini menyimpulkan bahwa Î±-mangostin dapat memberikan efek antioksidatif pada ginjal tikus dengan DMT2, ditandai dengan penurunan kadar MDA dan peningkatan kadar SOD. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian lanjutan agar didapatkan hasil yang lebih optimal serta dapat diaplikasikan pada manusia.

 


Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder caused by impaired insulin function. Hyperglycemia would induce an excessive production of reactive oxygen species which causes imbalance to the body’s redox system. This condition will eventually lead to oxidative stress, showed by decreasing enzymatic antioxidant levels and increasing lipid peroxidation. Kidneys are one of the susceptible organs to be the target of oxidative stress. Metformin has been the first-line therapy for type 2 diabetes mellitus. While it also has a renoprotective effect, there are some reports about its serious adverse effects on the patients. Î±-mangostin, a substance that is believed to have an antioxidant effect, is expected to be a potential candidate on ameliorating oxidative stress in such condition

Objective: This study aims to investigate the antioxidant effect of Î±-mangostin on oxidative stress biomarkers on T2DM, specifically on the kidney’s MDA and SOD levels.
Methods: This study was conducted for eleven weeks using 10-12 weeks old Wistar rats, which were divided into six groups: control, control+AM 200 mg/kg, T2DM, T2DM+metformin 200 mg/kg, T2DM+AM 100 mg/kg, T2DM+AM 200 mg/kg. T2DM groups were induced using a high-fat/high-glucose diet followed by streptozotocin (STZ) injection. MDA and SOD levels were measured by assay kit on refrigerated kidney samples.
Results: This study showed a significant decrease in MDA levels on three groups: DMT2+metformin (p=0,001 vs. DMT2), DMT2+AM 100 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2), and DMT2+AM 200 mg/kg (p=0,001 vs. DMT2). On the other hand, a significant increase in SOD levels is found only within the DMT2+AM 200 mg/kg group (p=0,030 vs. DMT2).
Conclusion: These findings demonstrated that Î±-mangostin did establish antioxidative effects on T2DM-induced rat’s kidney, showed by a decrease in the MDA level and an increase in the SOD level. Therefore, further studies are essential to obtain better results.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Muhammad Azhar
"Obesitas merupakan masalah yang umum terjadi di dunia. Sebanyak 12,8 persen penduduk berusia 18 tahun ke atas di Indoensia menyandang berat badan berlebih. Dari angka tersebut, 20,7 persen penyandang obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti penyakit hipertensi, kardiovaskular, dan penyakit tidak menular lainnya. Untuk mengatasi obesitas, dilakukan penurunan berat badan dengan berbagai cara. Namun, penurunan berat badan pada penyandang obesitas sering naik kembali dan tidak bisa dipertahankan pada hasil penurunan tersebut. Hal ini disebut sebagai weight cycling. Pada keadaan weight cycling, massa lemak lebih rendah dari massa bebas lemak yang ada di dalam tubuh. Hal ini meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2. Untuk mengatasi weight cycling, dianjurkan diet yang teratur. Diet kalori rendah protein tinggi sering dianggap dapat menurunkan berat badan dengan hasil yang memuaskan. Pada subjek obesitas, terjadi hipoksia pada jaringan lemak. Keadaan ini meningkatkan kemungkinan terjadinya stres oksidatif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas antioksidan SOD total plasma yang diukur pada subjek penyandang obesitas dengan weight cycling pada kelompok yang diberi edukasi diet kalori rendah protein tinggi dengan diet kalori rendah protein standar. Metode: Subjek adalah karyawan Pusat Pelayanan Kesehatan di Balai Kota DKI Jakarta yang berumur 20-50 tahun penyandang obesitas dengan weight cycling. Subjek dibagi menjadi kelompok kontrol yang mendapatkan edukasi diet kalori rendah protein standar dan kelompok perlakuan yang mendapatkan edukasi diet kalori rendah protein tinggi. Aktivitas SOD diukur setelah subjek mendapat perlakuan selama 8 minggu. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan aktivitas SOD total plasma yang bermakna antara kelompok subjek yang diedukasi diet kalori rendah protein tinggi dengan diet kalori rendah protein standar. Kesimpulan: pemberian edukasi diet protein tinggi dan standar tidak mempengaruhi aktivitas SOD total plasma pada subjek obesitas dengan weight cycling.

Obesity is a common problem around the globe. In Indonesia, 12.8 percent of above 18 years old population has excess body weight. From the mentioned number, 20.7 percent counts as obesity. Obesity can increase the risk of chronic diseases such as hypertension, cardiovascular, and other non-communicable diseases. To treat obesity, several ways have been done to lose body weight. However, weight loss in obesity is difficult to retain and often comes back to the starting point. This fluctuation on body weight is called weight cycling. In weight cycling, lipid mass level is lower than free lipid mass level, which can lead to increased risk of cardiovascular disease and type 2 diabetes mellitus. Well-managed diet has been prescribed to treat weight cycling, in which low calorie high protein diet is often recommended for best result. In obesity, oxidative stress occurred in the fat tissue because of hypoxia. This study aims to observe the difference in total plasma SOD activity between the subject groups with low calorie high protein diet and low calorie standard protein diet. Methods : Subjects are 20-50 years old workers at Pusat Pelayanan Kesehatan in Balai Kota DKI Jakarta and are obese with weight cycling. Subjects are divided into the control group, which receives low calorie standard protein diet education, and the treatment group, which reveives low calorie high protein diet education. Results : The result showed no significant difference in total plasma SOD activity between the low calorie high protein diet group and low calorie standard protein group. Interpretation & conclusion : high protein and standard protein diet educations do not impact total plasma SOD activity in obese subjects with weight cycling.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Alya Winarto
"Hypoxia-inducible factor-1a (HIF-1a) adalah faktor transkripsi yang bertanggung jawab pada kondisi hipoksia seperti preeklampsia. Studi ini membandingkan konsentrasi HIF-1a pada kehamilan preeklampsia di bawah 32 minggu gestasi dan kehamilan normal. Sebagai penelitian observasional potong lintang pendahuluan, 10 sampel digunakan untuk masing-masing grup. Konsentrasi HIF-1a diukur menggunakan kit enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang insignifikan (p>0.05) antara konsentrasi HIF-1a pada kehamilan preeklampsia awal dan kehamilan normal walaupun terdapat kecenderungan untuk konsentrasi yang lebih tinggi pada kehamilan preeklampsia awal. HIF-1a kemungkinan tidak terlibat pada perkembangan preeklampsia awal. Sebaliknya, konsentrasi HIF-1a pada plasenta dipengaruhi oleh kerusakan syncytiotrophoblast akibat modifikasi arteri spiralis yang inadekuat dan berujung pada kurangnya jumlah HIF-1a.

Hypoxia-inducible factor-1a (HIF-1a) is a transcription factor that is expressed by cytotrophoblast in the placenta during hypoxic condition of preeclampsia. This study compares the level of placental HIF-1a in preeclampsia pregnancies under 32 weeks old of gestation and normal pregnancies. As an observational cross-sectional preliminary study, 10 samples were used for each group. The level of placental HIF-1a was measured by using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit. Statistical analysis revealed insiginificant difference (p>0.05) of placental HIF-1a concentration between the early preeclampsia pregnancies and the normal ones although there’s a tendency of the level being higher for the former. HIF-1a might not be involved in the development of early preeclampsia. Instead, its level in the placenta is affected by the syncytiotrophoblast damage due to inadequate spiral arteries remodeling that leads to a reduced amount of HIF-1a."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shefilyn Widjaja
"Penuaan adalah salah satu faktor resiko signifikan untuk sejumlah penyakit tidak menular degeneratif dan sering bermanifestasi sebagai penyakit kardiovaskular, kognitif dan metabolik. Studi terbaru telah mengidentifikasi peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) sebagai pengatur utama fungsi mitokondria, yang sering dihubungkan dengan teori penuaan. Karena keterlibatannya dalam metabolisme energy, kegagalan energy akibat puasa mungkin dapat merangsang ekspresi PGC-1α, khususnya pada organ yang aktif secara metabolic seperti hati dan jantung. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat anti-penuaan dari puasa dengan cara menganalisis ekspresi PGC-1α dalam sel hati kelinci yang dipuasakan. Tiga kelompok kelinci yang telah (1) diberi makan secara ad libitum; (2) dipuasakan selama 16 jam (puasa intermiten); (3) dipuasakan selama 40 jam (puasa berkepanjangan). RNA diekstraksi dari jaringan hati kelinci dari masing-masing kelompok. qRT-PCR dilakukan untuk mencari ekspresi relative gen PGC-1α sebagai biomarker anti-penuaan. Terdapat peningkatan signifikan ekspresi relative PGC-1α pada hati kelinci yang dipuasakan dibanding kelinci yang diberi makan ad libitum. Penelitian lebih lanjut yang melibatkan pemantauan kelinci diperlukan untuk mengamati sifat anti-penuaan pada kelinci yang telah dipuasakan dibandingkan kontrol untuk menyimpulkan sebesar apa efek puasa terhadap penundaan penuaan.

Ageing is a significant risk factor for various of non-communicable diseases, often manifesting as cardiovascular, cognitive and metabolic degenerative diseases. Recent studies have identified peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) as a major regulator of mitochondrial function, a common feature in the many theories of ageing. Due to its involvement in energy metabolism, it is theorised that energetic failures due to fasting may be able to stimulate the expression of PGC-1α. This research aims to investigate anti-ageing benefits of fasting by analysing the expression of PGC-1α in liver cells of fasted rabbits compared to rabbits fed ad libitum. Three groups of rabbits were (1) fed ad libitum; (2) subjected to intermittent (16-hour) fast; and (3) subjected to prolonged (40-hour) fast. RNA was extracted from the liver tissues of the rabbits. The relative expression of PGC-1α mRNA as a biomarker of anti-ageing was analysed by qRT-PCR. There was a significant increase in relative expression of PGC-1α in fasted rabbits than those fed ad libitum. Further research involving the monitoring of the rabbits is needed to observe for anti-ageing traits in fasted rabbits as opposed to the control to conclude the extent of the effect of fasting on delaying ageing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessy Hardjo
"Untuk mencapai kehamilan sehat dibutuhkan interaksi dalam kandungan yang baik antara ibu hamil dengan janin. Apabila terjadi gangguan, maka masalah pada kehamilan yang bersifat fatal seperti preeklamsia dapat terjadi. Banyak studi telah menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara rusaknya proses aktivasi invasi trofoblas dan masalah pada maternal vascular endothelium. Peranan penting sebuah faktor transkripsi bernama Hif-1⍺ penting untuk regulasi oksigen khususnya dalam kondisi hipoksia, dan dipercaya juga berperan penting pada terjadinya preeklamsia di kehamilan. Pada studi ini, 20 sampel jaringan plasenta terdiri dari 10 sampel dari kehamilan preeklamsi dan 10 sampel dari kehamilan normal dianalisis menggunakan ELISA untuk melihat peranan protein HIF-1⍺ dan diinterpretasikan untuk menunjukkan hipoksia pada kehamilan preeklamsi. Hasil dalam studi ini menemukan bahwa tidak ada hasil yang signifikan ketika dianalisa secara statistic (p>0,05), namun ada kecenderungan bahwa kadar HIF-1⍺ lebih tinggi dibanding kadar HIF-1⍺ yang ditemukan dalam plasenta kehamilan normal.

Healthy pregnancy requires successful appropriate interaction established between mother and the fetus. When this fails to occur, problems in pregnancy such as a life- threatening disorder called preeclampsia may occur. Many studies have shown high correlation between the development of preeclampsia with faulty trophoblast invasion and spiral artery remodelling at early weeks of gestation, that consequently led to placental ischemia. Hypoxia-inducible factor-1a (HIF-1⍺), an essential transcription factor for oxygen regulation induced in hypoxic environment, is believed to be important in the course of this disease. However, the exact mechanism of the pathogenesis of preeclampsia is still elusive. In this study, 20 tissue samples composed of 10 preeclamptic placenta and 10 normal pregnancy placenta were examined using ELISA Kit, with the aim to assess the HIF-1⍺ protein level and determine whether it could be used to demonstrate presence of persistent hypoxia in preeclampsia. The results demonstrated that there is no statistically significant difference between the HIF-1⍺ level in preeclamptic and normal placenta (p>0.05), but there is an evident tendency of the level in preeclampsia placenta to be elevated."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcello Mikhael Kadharusman
"

Pendahuluan: Sebuah karakteristik penuaan adalah penurunan kepuncaan, sebuah kondisi yang disebabkan oleh proliferasi dan diferensiasi sel punca yang berlebihan. Alhasil, risiko penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes, dan penyakit neurodegenerative, meningkat dengan usia. Salah satu terapi regeneratif untuk penyakit tersebut adalah pembatasan diet, khususnya puasa, karena penelitian telah menunjukkan manfaatnya terhadap kepuncaan lokal. Namun, hubungan pembatasan diet dengan pluripotensi masih belum jelas. Studi terbaru menunjukkan bahwa octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), faktor transkripsi pluripotensi, bersama dengan hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) memiliki peran dalam regenerasi sel punca dan diferensiasi menjadi sel hati. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kapasitas regeneratif puasa dengan cara membandingkan ekspresi Oct4 dalam sel hati kelinci puasa dengan kelinci diet ad libitum.

Metode: Kelinci dirawat dengan 3 diet yang berbeda. Kelompok pertama menjalani diet ad libitum, kedua menjalani puasa intermiten (16 jam), dan ketiga menjalani puasa berkepanjangan (40 jam). Kemudian, RNA diekstraksi dari jaringan hati dari masing-masing kelinci, dan dianalisis melalui qRT-PCR. Metode Livak digunakan untuk mengukur ekspresi relatif gen Oct4.

Hasil: Dibandingkan dengan kelinci dengan diet ad libitum, terdapat peningkatan secara tidak signifikan di ekspresi relatif gen Oct4 di hati kelinci yang melalui puasa intermiten dan penurunan secara signifikan di kelinci yang melalui puasa berkepanjangan.

Kesimpulan: Berdasarkan penurunan yang signifikan, puasa berkepanjangan mungkin menyebabkan kerusakan jaringan hati dan menurunkan kepuncaan. Penelitian lebih lanjut harus menjelaskan pengaruh ekspresi protein Oct4 terhadap regenerasi sel hati.


Introduction: A characteristic of aging is stem cell exhaustion, a condition caused by excessive proliferation and differentiation of stem cells. Consequently, the risk of non-communicable diseases, e.g. cancer, diabetes, and neurodegenerative diseases, increases with age. A regenerative therapy for these pathologies is dietary restriction (DR), specifically fasting, as studies have demonstrated benefits on local stemness. However, the relationship of DR towards pluripotency remains unclear. Recent studies show that octamer-binding transcription factor 4 (Oct4), a vital pluripotent transcription factor, with hepatocyte nuclear factor 4 alpha (Hnf4a) has a role in the self-renewal of stem cell and differentiation to hepatocytes. Therefore, this research aims to investigate the regenerative ability of fasting by comparing the expression of Oct4 in liver cells of fasted rabbits with rabbits fed ad libitum.

Methods: The rabbits were conditioned into 3 different groups. The first was subjected to ad libitum diet, second to intermittent fasting (16- hours fasting), and third to prolonged fasting (40-hours fasting). Afterward, the RNA was extracted from the liver tissues of each rabbit and analyzed via real-time quantitative reverse transcriptase polymerase chain reaction (qRT-PCR). The relative expression was calculated using the Livak method.

Results: In comparison to the ad libitum diet, there was a statistically insignificant increase in the relative expression of Oct4 in the liver of intermittent fasted rabbits, and a statistically significant decrease in prolonged fasted rabbits.

Conclusion: Prolonged fasting possibly leads to starvation-induced liver injury and decreased stemness, as seen from the decreased expression of Oct4. Future studies should highlight the effect of different expression of Oct4 proteins towards liver cell regeneration.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Wijaya
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan suatu kelainan metabolik dengan keadaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh defek pada kerja insulin dengan komplikasi multisistem. Salah satu organ yang sering mengalami keadaan resistensi insulin adalah organ otot skelet. Resistensi insulin akan menyebabkan gangguan ekspresi dan translokasi GLUT4 pada otot skelet sehingga berdampak pada gangguan proses ambilan dan penggunaan glukosa di jaringan, serta berkontribusi terhadap progresi penyakit DMT2. Metformin merupakan suatu obat lini pertama yang paling sering digunakan oleh pasien dengan DMT2, tetapi penggunaannya dapat menimbulkan beberapa efek samping yang kurang nyaman dan menurunkan tingkat kepatuhan berobat pasien. Alfa-mangostin (AMG), salah satu senyawa dalam perikarp buah manggis dipercaya memiliki efek antidiabetik sehingga dapat dipertimbangkan sebagai kandidat terapi dalam menghadapi keadaan resistensi insulin pada DMT2
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian AMG pada ekspresi protein transporter GLUT4 pada jaringan otot skelet tikus dengan DMT2.
Metode: Studi ini dilakukan pada tikus jantan dari galur Wistaryang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu: kontrol, kontrol+AMG 200 mg/kgBB, DMT2, DMT2+metformin 200 mg/kgBB, DMT2+AMG 100 mg/kgBB, dan DMT2+AMG 200 mg/kgBB. Model DMT2 dibuat melalui induksi tikus dengan diet tinggi lemak-karbohidrat dan injeksistreptozotocin (STZ). Ekspresiprotein GLUT4 pada jaringan otot skelet masing-masing kelompok tikus diukur dengan ELISA kit Cusabio CSB-E13908rdan spektrofotometer.
Hasil: Studi ini menunjukkan adanya peningkatan ekspresi protein GLUT4 secara signifikan pada dua kelompok percobaan, yaitu: kelompok tikus DMT2+metformin 200 mg/kgBB (p=0,038) dan kelompok tikus DMT2+AMG 200 mg/kgBB (p=0,045) jika dibandingkan kelompok tikus DMT2.
Simpulan: AMG dapat meningkatkan ekspresi protein GLUT4 pada jaringan otot skelet tikus dengan DMT2. Dengan demikian, AMG memiliki potensi untuk dijadikan sebagai kandidat terapi dalam tata laksana penyakit DMT2 di masa depan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan dapat diaplikasikan.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a metabolic disorder characterized by chronic hyperglicemic condition caused by defect in insulin action which leads to multisystem damages. One of the organ that is frequently affected by insulin resistance is skeletal muscle. Insulin resistance impairs skeletal muscle's GLUT4 expression and translocation which results in the disturbance of glucose's reuptake and utilization and contributes to the progression of T2DM. Metformin is one of the first line drugs used in treating T2DM although the usage of metformin can cause many side effects that results in inconvenience and low compliance of the T2DM patients. Alpha-mangostin (AMG), a compound found in mangosteen`s pericarp, is believed in its antidiabetic effect. It is considered as therapeutic candidate in treating insulin resistance in T2DM.
Objectives: This study aims to evaluate the administration of AMG`s effect on GLUT4 transporter`s expression in T2DM-induced rat`s skeletal muscle tissue.
Methods: This study is done on the male Wistar rats divided into 6 groups, which were control group, control+AMG 200 mg/kg group, T2DM group, T2DM+metformin 200 mg/kg group, T2DM+AMG 100 mg/kg group, and T2DM+AMG 200 mg/kg group. T2DM were induced using the high fat/high glucose diet followed by streptozotocin injection. The expression of skeletal muscle`s GLUT4 is measured by ELISA kit Cusabio CSB-E13908r and spectrofotometer.
Results: This study demonstrated that AMG significantly increased the expression of GLUT4 transporterin 2 trial groups,T2DM+metformin 200 mg/kg body weight group (p=0,038) and T2DM+AMG 200 mg/kg body weight group(p=0,045) compared to the T2DM group.
Conclusion: AMG increased GLUT4 transporter`s expression in T2DM rat`s skeletal muscle. Therefore, AMG arises as the potential therapeutic candidate in treating T2DM. Future studies are essential to get better applicable results."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Varalisa Rahmawati
"

Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan masih menjadi perhatian di Indonesia. Sampai saat ini, pengendalian vektor menjadi upaya pencegahan utama karena belum adanya vaksin DBD di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada penelitian terkait aktivitas insektisida deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histologi midgut Ae.aegypti. Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas larvisidal deltametrin dan malation terhadap morfologi dan histopatologi midgut larva Ae.aegypti. Metode: Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental. Sampel penelitian ini berupa larva instar III-IV Ae. aegypti. Aktivitas larvasidal deltametrin dan malation diketahui dengan bioassay sesuai protocol WHO selama 24 jam pada lima konsentrasi berbeda dari tiap insektisida dan lima kali ulangan. Larva yang mati akan diamati dengan mikroskop diseksi untuk mengetahui morfologinya. Selain itu, larva yang mati akan dibuat potongan sediaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin. Data mortalitas larva selanjutnya akan diolah dengan SPSS untuk menganalisis korelasi konsentrasi dengan mortalitas larva serta menentukan konsentrasi letal insektisida (LC50 dan LC99). Hasil: Larva pada kontrol tidak ada yang mati dan tidak ditemukan adanya perubahan morfologi maupun histologi. Persentase mortalitas larva Ae.aegypti setelah paparan deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan, 15,2-100% dan 4,8-100%. LC50 dan LC99 deltametrin dan malation selama 24 jam, secara berurutan adalah 0,007 ppm (95% Cl=0,006-0,009) dan 0,312 ppm (95% Cl=0,203-0,529); serta 0,053 ppm (95% Cl=0,045-0,062) dan 0,915 ppm (95% Cl=0,652-1,398). Deltametrin menyebabkan terjadinya kerusakan di toraks, abdomen, sifon, dan insang anal, serta terlepasnya setae, dan penipisan kutikula.   Sedangkan, malation menyebabkan terjadinya kerusakan di kepala, toraks, abdomen, sifon, insang anal, dan kutikula serta terlepasnya setae. Nekrosis sel epitel gastrointestinal adalah perubahan histopatologis midgut utama yang ditemukan pada larva Ae.aegypti baik setelah paparan deltametrin maupun malation. Kesimpulan: Deltametrin dan malation efektif membunuh larva Ae.aegypti dengan efektivitas deltametrin yang lebih tinggi dibandingkan malation. Aktivitas larvisidal deltametrin dan malation menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi midgut larva melalui mekanisme yang berbeda. Sasaran kerja deltametrin dan malation untuk kerusakan morfologis meliputi kutikula, setae, segmen anal, saluran pencernaan dan pernapasan. Malation juga menyebabkan kerusakan di kepala larva. Sedangkan sasaran kerusakan histopatologisnya pada struktur midgut oleh deltametrin dan malation adalah lapisan epitel gastrointestinalnya, sel epitel, dan mikrovili.

 


Introduction: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a vector-borne disease that is still a concern in Indonesia. Until now, vector control has become the main prevention effort because there is no dengue vaccine in Indonesia. However, there are no studies that discuss the insecticidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histology of Ae.aegypti midgut. Objective: This study aims to determine the larvicidal activity of deltamethrin and malathion on the morphology and histopathology of midgut larvae of Ae.aegypti. Method: The design used in this study is experimental. The sample of this research is larvae instar III-IV Ae. aegypti. The larvicidal activity of deltamethrin and malathion was determined by the bioassay technique according to WHO protocol for 24 hours at five different concentrations of each insecticide and five replications. The dead larvae was observed under a dissecting microscope to find out their morphology. Also, the dead larvae was made into pieces of anatomical pathology with hematoxylin-eosin staining. The larval mortality data was processed with SPSS to analyze the correlation between concentration and larval mortality and to determine the lethal concentration of insecticides (LC50 and LC99). Results: None of the larvae in the control died and no morphological or histological changes were found. The mortality percentage of Ae.aegypti larvae after 24 hours of deltamethrin and malathion exposure was 15.2-100% and 4.8-100%. LC50 and LC99 deltamethrin and malathion for 24 hours, respectively 0.007 ppm (95% Cl = 0.006-0.009) and 0.312 ppm (95% Cl = 0.203-0.529); and 0.053 ppm (95% Cl = 0.045-0.062) and 0.915 ppm (95% Cl = 0.652-1.398). Deltamethrin causes damage to the thorax, abdomen, siphons, and anal gills, as well as detachment of setae, and thinning of the cuticles. Meanwhile, malathion causes damage to the head, thorax, abdomen, siphons, anal gills, and cuticles as well as detachment of the setae. Gastrointestinal epithelial cell necrosis is the main midgut histopathological change found in Ae.aegypti larvae either after exposure to deltamethrin or malathion. Conclusion: Deltamethrin and malathion were effective in killing Ae.aegypti larvae with higher effectiveness of deltamethrin than malathion. The larvicidal activities of deltamethrin and malathion cause morphological and histopathological effects in the midgut larvae through different mechanisms. The targets of action of deltamethrin and malathion for morphological damage include cuticles, setae, anal segment, gastrointestinal and respiratory tract. Malathion also causes damage to the head of the larva. Meanwhile, the targets of histopathological damage to the midgut structure by deltamethrin and malathion are the gastrointestinal epithelial layer, epithelial cells, and microvilli.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safitri Maulidina
"

Pendahuluan: Preeklampsia diketahui sebagai sindrom spesifik kehamilan dan salah satu penyebab tersering kematian ibu. Terdapat dua jenis preeklampsia, awitan lambat dan awitan dini. Akan tetapi, penelitian menujukkan bahwa preeklampsia awitan dini jauh lebih berbahaya untuk ibu dan bayi. Meskipun patogenesis preeklampsia masih belum jelas, insufisiensi plasenta akibat meningkatnya peroksidasi lipid dan invasi trofoblas yang defektif diduga sebagai salah satu faktor pencetus preeklampsia. PPARg, yang berfungsi untuk metabolisme lipid dan diferensiasi sel di plasenta, secara teori dapat mencetuskan preeklampsia apabila aktivasinya berkurang. Dengan demikian, studi ini ditujukan untuk menganalisis secara spesifik ekspresi protein PPARg pada plasenta preeklampsia awitan dini. Selain itu, analisis terhadap ekspresi protein PPARg juga dilakukan berdasarkan kategori karakteristik subjek, yaitu usia ibu dan usia kehamilan.

Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang. Sebanyak 26 sampel jaringan plasenta dengan usia gestasi ≤ 33 minggu (preeklampsia awitan dini) digunakan dalam penelitian ini. Konsentrasi protein PPARg diukur pada homogenat jaringan plasenta dengan menggunakan metode ELISA. Selanjutnya, analisis data dilakukan secara statisik mennggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics. Varian tes yang digunakan adalah t-test dan Mann-Whitney test untuk perbandingan, serta Pearson dan Spearman untuk tes korelasi.

Hasil: Ekspresi PPARg adalah 3.19±1.13 ng/mg protein; usia ibu 29.65±5.97 tahun; usia gestasi 30.50 (24-33) minggu. Berdasarkan kategori usia ibu, usia <30 tahun mengekspresikan PPARg  sebesar 2.81 (0.60 – 5.71) ng/mg protein, sedangkan usia ≥30 tahun mengekspresikan 3.17 (1.75 – 5.40) ng/mg protein. Pada kategori usia gestasi, usia <30 minggu mengekspresikan PPARg sebanyak 2.86±1.14 ng/mg protein PPARg dan usia ≥30 minggu sebanyak 3.48±1.07 ng/mg protein. Dibandingkan dengan plasenta kehamilan normal (3.52 (1.12 – 12.43) ng/mg protein), plasenta preeklampsia mengekspresikan 2.94 (0.60 – 5.71) ng/mg protein PPARg.

Kesimpulan: Konsentrasi PPARg yang lebih tinggi ditemukan pada wanita berusia ≥30 tahun daripada wanita berusia <30 tahun. Berdasarkan usia gestasi (UG), konsentrasi PPARg pada UG ≥ 30 minggu lebih tinggi dibandingkan UG < 30 minggu. Jika dibandingkan dengan plasenta kehamilan normal, plasenta preeklampsia memiliki konsentrasi PPARg yang lebih rendah.


Introduction: Preeclampsia is regarded as a specific pregnancy disorder and one of the leading causes of maternal death. There are two types of preeclampsia, late-onset and early-onset. However, evidences have proven that early-onset preeclampsia is associated to deleterious outcomes for both mother and newborns. Though the pathogenesis is still unclear, placental insufficiency due to increased lipid peroxidation and defective trophoblast invasion is thought to be one cause of preeclampsia. PPARg, which functions for lipid metabolism and cell differentiation in placenta, is correlated to preeclampsia once the activation is lessened, theoretically. Thus, this research was intended to analyse protein expression of PPARg, specifically in placenta of early-onset preeclampsia. In addition, the analysis also conducted according to characteristics of the subjects, which are maternal age and gestational age.

Methods: The design of this research was descriptive cross-sectional study. There are 26 samples of placental tissues used with gestational age ≤ 33 weeks (early onset preeclampsia). In form of placental homogenates, protein concentration of PPARg was measured by using ELISA method. Statistical data analyses was performed in IBM SPSS Statistics software by using t-test and Mann-Whitney test for comparison, also Pearson and Spearmen for correlation test. 

Results: The expression of PPARg was 3.19±1.13 ng/mg protein; maternal age 29.65±5.97 years; gestational age 30.50 (24-33) weeks. PPARg expression according to maternal age category is 2.81 (0.60 – 5.71) ng/mg protein in <30 years and 3.17 (1.75 – 5.40) ng/mg protein in ≥30 years. Based on gestational age (GA) group, GA <30 weeks expresses 2.86±1.14 ng/mg protein PPARg, while GA ≥30 weeks shows 3.48±1.07 ng/mg protein PPARg. In comparison to normal placenta (3.52 (1.12 – 12.43) ng/mg protein), preeclamptic placenta expresses  2.94 (0.60 – 5.71) ng/mg protein PPARg.

Conclusion: Distribution of PPARg is established higher in women aged ≥30 years than women aged <30 years. In gestational age ≥30 weeks, the PPARg distribution is also higher compared to gestational age <30 weeks. However, preeclamptic placenta distributes lower amount of PPARg than normal placenta.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Zakiah Syahsah
"Latar belakang: Dikarenakan fungsinya, hati merupakan organ yang rentan mengalami hepatotoksisitas. Oleh karena itu, senyawa yang diduga memiliki efek hepatoprotektif banyak diteliti. Salah satu bahan tersebut berupa minyak bekatul, yakni ekstrak minyak dari lapisan luar beras. Kandungan bahan aktifnya banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan termasuk pada penyakit hati sehingga diduga minyak bekatul memiliki efek hepatoprotektif yang melindungi dan menyembuhkan hati dari hepatotoksisitas.
Tujuan: Membuktikan bahwa minyak bekatul memiliki sifat hepatoprotektif terhadap hepatotoksisitas.
Metode: Uji eksperimental pada 6 kelompok tikus Sprague dawley. Hepatotoksisitas diinduksi oleh CCl4 dengan dosis 0,55 g/KgBB sebanyak 1 kali secara oral. Minyak bekatul diberikan dalam 2 dosis untuk kelompok tikus yang berbeda, yakni 500 μL dan 1,5 mL. Pemberian minyak bekatul dilakukan setiap hari selama 8 minggu sebelum (preventif) atau setelah (kuratif) induksi hepatotoksisitas. Jarak antara induksi hepatotoksisitas dan pemberian minyak bekatul adalah 48 jam. Marker hepatotoksisitas yang diukur berupa serum ALT.
Hasil: Kelompok yang diberikan minyak bekatul, baik sebagai agen preventif dan agen kuratif serta baik dalam dosis 500 μL dan 1,5 mL memiliki level serum ALT yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang hanya diberikan CCl4 (p < 0,05).
Simpulan: Minyak bekatul memiliki sifat hepatoprotektif baik sebagai agen preventif maupun kuratif terhadap hepatotoksisitas diinduksi CCl4.

Background: Liver is prone to hepatotoxicity because of its function. For this reason, compounds that may have hepatoprotective attribute are searched extensively. One of those compounds is rice bran oil, an extract from the rice’s outer layer. Rice bran oil has many active components that are found to be beneficial in medical treatment, including liver disease. Therefore oil rice brain is thought to have hepatoprotective properties that may protect and cure liver from hepatotoxivity.
Aim: Evaluate rice bran oil’s hepatoprotective properties against hepatotoxicity.
Methods: This experimental study used six different groups of Sprague dawley. Hepatotoxicity in mouse is induced using 0,5g/KgBW of single-dose CCl4 orally. Rice bran oil was given in 2 separate doses, 500 μL dan 1,5 mL. Rice bran oil was administered for 8 weeks before (in preventive group) and after (in curative group) hepatotoxicity induction with 48 hours interval separating those two interventions. Serum ALT was investigated to evaluate hepatotoxicity.
Results: Group administered with rice bran oil as a preventive agent and curative agent with either 500 μL or 1,5 mL dose have low levels of serum ALT compared to CCl4 control group (p < 0,05).
Conclusion: Rice bran oil has hepatoprotective properties, both as a preventive agent and a curative agent against CCl4 induced hepatotoxicity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>