Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heriyandi Roni
"Perubahan politik nasional di Indonesia pada tahun 1998 adalah runtuhnya rejim Orde Baru. Perubahan tersebut membawa implikasi kepada Golkar. Implikasi positif adalah terjadinya perubahan dalam pengambilan keputusan partai. Pengambilan keputusan dalam penentuan calon presiden dan ketua umum partai tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan seseorang sebagaimana terjadi selama Orde Baru tetapi menggunakan mekanisme bottom up, melalui pemilihan dan kewenangan suara untuk menentukan pilihan melibatkan unit-unit organisasi di Partai Golkar. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan caIon presiden dan ketua umum partai, khususnya di Munaslub 1993, Munas VII 2004 dan di Konvensi Partai Golkar.
Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Paradigma yang digunakan adalah paradigma kontruktivisme, dengan pengumpulan data digunakan melalui wawancara dan didasarkan kepada sumber-sumber lain. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualititatif.
Dalam menjelaskan proses demokratisasi yang berlangsung digunakan beberapa teori antara lain teori Demokrasi dan Demokratisasi, teori Partai Politik, dan Teori Elit. Temuan - temuan dalam studi ini dikemukakan sebagai berikut :
Pertama, penentuan ketua umum dalam masa transisi di Munaslub 1998, Munas VII 2004 dan penentuan calon presiden melalui model konvensi menggambarkan adanya proses demokratisasi internal di Pattai Golkar. Kedua, kasus pemilihan tersebut memberikan gambaran yang cukup kompleks tentang power strugle antar faksi di tingkat elit partai golkar. Peta faksi-faksi tersebut di setiap kasus berubah-ubah. Dalam studi ini, di kasus pemilihan ketua umum terlihat kelompok kepentingan pragmatis kekuasaan yang memenangkan power strugle tersebut. Ketiga, Dalam kasus Konvensi Partai Golkar, implementasi demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan dengan cara pemilihan, dipercepat adanya kasus hukum Akbar Tanjung. Untuk menghindari perpecahan internal maka konvensi disepakati sebagai model untuk menentukan calon presiden dari Partai Golkar. Keempat, studi ini juga menemukan bahwa proses pelaksanaan konvensi partai meningkatkan citra (image building) Partai Golkar. Pada pemilihan umum legislatif 2004 di tengah kemorosotan perolehan suara partai-panai lain dilihat dari hasil pemilihan umum 1999, Partai Golkar berhasil mempertahankan perolehan suara.
Secara teoritis, studi ini menunjukan relevansi terhadap beberapa teori yang digunakan yaitu teori Larry Diamond, Juan Linz, Seymour M Lipset dan Jose Abueva tentang nilai-nilai demokrasi prosedural, teori Maswadi Rauf dan Anders Uhlin tentang adopsi nilai-nilai demokrasi sebagai proses dernokratisasi. Alan Ware tentang model keputusan organisasl, dan Gaetano Mosca tentang sirkulasi clit. Tetapi tcori Robert Michel tentang Oligarki dalam tingkat organisasi seeara luas bersifat terbatas dan perlu direvisi. Dalam sistem pengambilan keputusan yang semakin otonom di unit-unit organisasi, DPD I, DPD II dan Ormas-Ormas semakin berdaya menentukan pilihan sesuai dengan kepentingannya. Dengan demikian mekanisme demokrasi dalam proses pengambilan kepurusan dapat membatasi pengaruh dan intervensi pimpinan pusat partai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D810
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Alimin
"ABSTRAK
Disertasi ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana pola rekrutmen politik, yang dilakukan oleh partai politik pada pemilihan umum tahun 1999. Pada dasarnya rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik mencakup beberapa bentuk, seperti pengisian struktur partai, baik di tingkat nasional maupun lokal, pengisian lembaga eksekutif, dan legislatif. Studi ini hanya memfokuskan kajian pada rekrutmen yang dilakukan oleh tiga partai politik (Golkar, PDIP, dan PPP) untuk mengisi jabatan legislatif di DPRD Riau.
Studi ini dilakukan atas kenyataan, dimana meskipun pergantian rezim politik telah terjadi di Indonesia pada tahun 1998, tetapi secara prosedural dan substantif relatif tidak membawa perubahan yang mendasar terhadap sistem kepartaian di Indonesia. terutama berkaitan dengan cara-cara partai melakukan rekrutmen terhadap kandidat untuk menduduki kursi legislatif sebagaimana ditemukan dalam kasus Golkar, PDIP dan PPP di Riau pada pemilihan umum tahun 1999. Keputusan untuk merekrut atau tidak merekrut seorang kader merupakan suatu pilihan strategis yang berhubungan dengan berbagai faktor seperti kemampuan finansial (uang), faktor politik berupa kedekatan dengan elit tertentu di partai, serta ikatan-ikatan primordial berupa pertalian suku, agama, dan daerah asal.
Analisis terhadap rekrutmen dilakukan dengan menggunakan teori rekrutmen yang berisi kajian terhadap sistem perundang-undangan, sistem kepartaian dan sistem pemilihan umum, Studi ini juga memakai analisis kekuasaan yang berlangsung dalam lingkungan para penjaga pintu (gate keepers), serta sistern dan struktur kepartaian. Proses penelitian dilakukan melalui berbagai tahapan. Penulis memulainya dengan deskripsi konsep partai politik dan pola-pola rekrutmen yang dilakukan oleh partai. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, seperti wawancara mendalam 'dengan para informan kunci dan melakukan review terhadap dokumen baik yang bersumber dari buku, jurnal, dokumen partai (AD/ART). Strategi penelitian bersifat studi kasus. Analisis dilakukan dengan multi level analisis, yakni: Panama dengan menganalisa aktor-aktor baik yang terpilih menjadi anggota legislatif (DPRD Riau) maupun yang tidak terpilih. Kemudian terhadap lembaga yang terlibat dalam proses rekrutmen baik pada tingkat lokal maupun di pusat.
Berdasarkan studi yang dilakukan, ditemukan bahwa rekrutmen untuk menduduki jabatan legislatif di tingkat provinsi secara formal memang dimulai dari struktur bawah partai (DPC), tetapi dalam kenyataannya, pemegang otoritas tertinggi berada di dalam struktur atas partai terutama para pengurus DPDIW (Dewan Pimpinan Daerah/Wilayah) di provinsi, serta panitia seleksi yang dibentuk menjelang dilangsungkannya pemilihan umum. Panitia seleksi berwewenang dalam menentukan jumlah dan nomor unit kandidat. Sementara DPP (Dewan Pimpinan Pusat Partai) memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan dan/atau campur tangan terhadap kebijakan yang diambil oleh partai di tingkat bawah (lokal).
Secara teoritis, studi ini dapat memperlihatkan bahwa teori-teori rekrutmen yang dikembangkan dalam tradisi masyarakat demokratis yang melibatkan aspek-aspek legal formal, sistern kepartaian, sistem pemilihan umum, dukungan kandidat dan tuntutan penjaga pintu (gate keepers) relevan dalam memahami pola rekrutmen yang dilakukan di negara-negara yang berada dalam transisi demokrasi seperti Indonesia. Akan tetapi, selain dari itu studi ini juga menunjukkan bahwa analisis pola rekrutmen oleh partai politik menghendaki pemahaman budaya kepartaian secara lebih mendalain. Di samping itu, pada tataran kebijakan, rekrutmen kandidat legislatif yang berlangsung dengan pola ascritive style telah melahirkan implikasi berupa rendahnya perhatian partai terhadap persoalan masyarakat di tingkat lokal, kesetiaan seorang kandidat yang direkrut lebih condong kepada elit partai, PERDA yang lebih menguntungkan pihak legislatif, kemiskinan, dan munculnya radikalisme yang bersifat vertikal dan horizontal.
Sehubungan dengan hal tersebut, studi ini merekomendasikan pentingnya untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pola-pola yang dilakukan oleh partai politik untuk melakukan rekrutmen guna menduduki struktur partai yang dibentuk, baik pada tingkat nasional maupun lokal, kemudian jabatan di pemerintahan seperti gubernur, bupati/wali kota, serta implikasi rekrutmen terhadap karier seseorang dalam jabatan politik. Selain itu, adalah juga penting untuk mengetahui dampak rekrutmen terhadap perluasan partisipasi politik masyarakat sebagai bagian yang penting dalam membangun pemerintah dan masyarakat yang demokratis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
D508
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Muhammad Umar Syadat
"ABSTRAK
Disertasi ini menjelaskan studi tentang gerakan politik mahasiswa. Disertasi ini menggunakan studi kasus untuk menganalisa dua tipe polarisasi gerakan mahasiswa. Pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa pada pemerintahan Abdurahman Wahid. Lebih jauh lagi, studi ini menjelaskan gerakan politik mahasiswa yang menggunakan pernyataan politik moral force sebagai kekuatan politik. Penelitian dari disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan analisa deskriptif. Data dari studi ini diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan sumber data sekunder. Beberapa teori digunakan sebagai kerangka analisa.
Pertama, teori demokrasi dari Maswadi Rauf dan Larry Diamond. Kedua, teori konflik dari Maswadi Rauf. Ketiga, teori gerakan massa dari Eric Hoffer. Keempat, teori elit dari Suzane Keller. Disertasi ini juga menggunakan tipologi gerakan politik mahasiswa dari Philip G. Altbach dan Burhan D. Magenda untuk memperkaya kajian gerakan mahasiswa di Indonesia. Kerangka teori ini sangat berguna untuk menganalisa gerakan politik mahasiswa dalam disertasi ini.
Beberapa penemuan dari disertasi ini adalah pertama, polarisasi gerakan mahasiswa pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah antara HMI, KAMMI kontra FORKOT, FKSMJ. Gerakan mahasiswa ini dapat dikategorikan sebagai gerakan politik mahasiswa ekstra universiter. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid polarisasi gerakan mahasiswa adalah antara BEMI kontra BEMSI yang dapat disebut sebagai gerakan politik mahasiswa intra universiter. HMI, KAMMI dan FORKOT, FKSMJ pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid berada dalam payung organisasi BEMI dan BEMSI. Dengan demikian polarisasi pada masa pemerintahan B.J. Habibie adalah organisasi ekstra vs ekstra universiter sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah organisasi intra universiter vs intra universiter. Kedua, polarisasi gerakan mahasiswa tersebut disebabkan oleh perbedaan persepsi terhadap figur kepemimpinan B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Di satu sisi, HMI, KAMMI percaya bahwa B.J. Habibie adalah tokoh muslim dan telah memenuhi tuntutan reformasi. Sementara itu FORKOT, FKSMJ berpendapat bahwa B.J. Habibie merupakan kroni Soeharto. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, BEMI pendukung Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Abdurrahman Wahid bukan hanya sukses menyelesaikan agenda reformasi, tetapi adalah tokoh reformis dan pemimpin pluralis. Sementara BEMSI penentang Abdurrahman Wahid, selain menganggap Abdurrahman Wahid terlibat dalam Buloggate dan Brunaigate, juga menganggap tidak serius menyelesaikan agenda reformasi yaitu memberantas KKN dan menganggap Abdurrahman Wahid sebagai anti demokrasi dan anti Islam. Ketiga, disertasi ini menemukan bahwa gerakan mahasiswa HMI, KAMMI, FORKOT, FKSMJ, BEMI dan BEMSI merupakan gerakan politik. Gerakan mahasiswa ini mendapat dukungan politik, ekonomi dan psikologi dari elit politik. Dengan demikian gerakan mahasiswa memiliki kesamaan kepentingan dengan elit politik baik secara politik dan ideologis.
Studi ini mengajukan perspektif teoritis baru dalam konteks gerakan politik mahasiswa, yaitu: (1) polarisasi gerakan mahasiswa tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan kepentingan politik dan ideologi di antara aktivis mahasiswa. (2) Gerakan mahasiswa di Indonesia selalu menggunakan pernyataan politik moral force, sehingga moral force ini dijadikan dasar legitimasi politik mahasiswa untuk memperluas dukungan politiknya. (3) Relasi kekuasaan elit politik dengan gerakan mahasiswa karena keduanya memiliki kepentingan ideologi dan politik yang sama. (4) Polarisasi gerakan mahasiswa diakibatkan oleh dasar legitimasi moral dan dukungan elit politik.
Studi ini menegaskan bahwa untuk mempertahankan gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral harus dibebaskan dari ketergantungan finansial dari elit politik walaupun secara ideologi dan psikologi antara aktivis mahasiswa dan elit tidak dapat dipisahkan.

ABSTRACT
This disertation examines the study of the students political movements. This disertation uses case study to analysis two types of polarization of the students movements. First, polarization of student movements during B.J. Habibie government. Second, the polarization of student movements during Abdurahman Wahid government.
Furthermore, this study explains the trends of the students movements from political statement of moral force into a real political force.
The research of this disertation uses qualitative approach and discriptive analysis. The data for this study collected by indepth interview and secondary resources. Some theories are used as analytical framework. First, theory of democracy from Maswadi Rauf, Larry Diamond, Juan J. Linz and Alfred Stepan. Second, Theory of conflict from Maswadi Rauf. Third, social movement theory from Eric Hoffer. Fourth, elite theory of Gaetano Mosca and Suzane Keller, Harold D. Laswell, Gabriel A Almond and Roberth Dahl. This thesis is also used the study of students movement from Philip G. Altbach, Arbi Sanit, Suwondo and Muridan to enrich the analysis on student movements in Indonesia. This theoretical framework are valuable for analysing the student movements in this disertation. Several findings of this disertation are firstly, the polarization of student movement in B.J. Habibie era was between HMI, KAMMI vs FORKOT, FKSMJ. This students organization is categorise as the extra-universiter organization. While in Abdurrahman Wahid government, polarization of student movements was between BEMI and BEMSI which called the intra universiter student governments. HMI, KAMMI and FORKOT, FKSMJ in Abdurrahman Wahid government were under the the umbrella of BEMI and BEMSI category. In other words, the polarization of student movements in Abdurrahman Wahid government was using the intra-universiter organisation such as BEMI. Therefore, the polarization of student movements during the B.J. Habibie government was extra organization and during Abdurrahman Wahid government was intra organization. Secondly, the polarizations of students movements are caused by the perception towards the leadership figure of B.J. Habibie and Abdurahman wahid. In one hand, HMI, KAMMI believe that B.J. Habibie as Muslim leader and already tackle the reformation demands. However, on the other hand, FORKOT, FKSMJ considered B.J. Habibie as a cronie of President Soeharto. While in Abdurrahman Wahid Era, BEMI as supporter of Abdurrahman Wahid believe that his government has been succeded to comply with most of the reformation agenda. He was also consider as a reformist and pluralist leader. However, BEMSI found that Abdurrahman Wahid was involved in the Bullogate and Brunaigate. He was also not seriously tackling the KKN, consider as anti democracy and anti Islam. Thirdly, the study is also suggested that students movements moved from moral force into the political movement. the students movements supported by political elites through the logistic support, financial and psychological support. Therefore, the political elites have the similar interests politically and ideologically.
This study is also propose a new theoretical perspective in the student political movement, that are: (1) polarization of student movement can not ovoid it because of the differences of the political and ideological interest among students activist.(2) Student movements in Indonesia always use political moral force, so that moral force is used as legimaticy basis of the students to enlarge their political support. (3) the power relation between political elite and student movement because of both of them have a similar ideological and political interests.(4) the polarization of students movement are caused by moral legitimacy basis and the support from political elites.
This study suggested that to maintain the moral force of the students movements have to liberated from the financial dependency from the political elites. Even though ideologically and psychologically between the students activist and the elites cannot be separated.
"
Depok: 2010
D00918
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitaresmi S. Soekanto
"Disertasi ini meneliti tentang pemenangan Pemilu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia dan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki. PKS sebagai the survival party berhasil meningkatkan perolehan suara dari Pemilu ke Pemilu (1999-2009) sedangkan AKP di Turki merupakan the rulling party yang menang berturut-turut di dua Pemilu (2002 dan 2007). Penelitian ini mencari sebab-sebab keberhasilan kedua partai politik di dua negara yang berbeda tersebut.
Dengan merujuk pada konsep Sigmund Neumann dan Duverger mengenai unit-unit analisis yang diperbandingkan, penulis meneliti bagaimana faktor ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen, kepemimpinan dan strategi PKS mempengaruhi keberhasilannya menjadi the survival party di tiga Pemilu (1999-2009). Disertasi ini juga meneliti bagaimana AKP yang lahir di 2001 mampu secara terus menerus menjadi partai pemenang Pemilu sejak 2002 hingga 2007. Demikian pula bagaimana aspek-aspek eksternal berupa situasi sosial, politik dan budaya kedua negara ikut mempengaruhi pemenangan Pemilu kedua partai tersebut. Lebih lanjut dalam disertasi ini diteliti pula apa yang menyebabkan adanya kesenjangan keberhasilan antara PKS dengan AKP.
Pisau analisis yang digunakan untuk meneliti adalah teori komparasi partai politik menurut Neumann dan Duverger yakni faktor ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen anggota, kepemimpinan dan strategi. Teori Olivier Roy, Asef Bayat dan Greg Fealy digunakan untuk menganalisis ideologi. Selanjutnya teori organisasi Duverger, teori basis massa Martin Lipset, Vali Nasr dan Mehmet Altan, teori sistem rekrutmen Alan Ware dan Duverger, teori kepemimpinan Max Weber, Pareto dan Mosca serta teori strategi vernacular politics Jenny B. White juga digunakan. Metodologi yang digunakan adalah memadukan metode komparatif dengan metode kualitatif.
Dari hasil observasi dan wawancara mendalam baik dengan pendiri dan pengurus PKS di Indonesia yang kemudian dianalisis dengan teori yang digunakan maka ditemukan adanya inkompatibilitas antara transisi ideologi PKS ke Pos-Islamis dengan organisasi cell, basis massa middle class, sistem rekrutmen cell, kepemimpinan kolektif dan strategi vernacular politic PKS. Inkompatibilitas tersebut menyebabkan hambatan optimalisasi keenam aspek sehingga kurang berpengaruh bagi pemenangan Pemilu PKS (1999-2009) ditambah pula aspek-aspek sosial, politik dan budaya di Indonesia yang kurang mendukung.
Sebaliknya dengan metode yang sama penulis mendapatkan kesimpulan bahwa formula kemenangan AKP adalah kompatibilitas pilihan model organisasi branch, jenis basis massa middle class plus, sistem rekrutmen hybrid, tipe kepemimpinan kharismatis dan strategi vernacular politic plus dengan ideologi Pos-Islamis AKP sejak awal berdirinya. Ditambah pula dengan aspek-aspek sosial,politik dan budaya di Turki yang kondusif karena memang dibutuhkan kondisi eksternal tertentu agar partai politik pos-Islamis berkembang dan menang.
Lebih lanjut dari penelitian ini didapatkan bahwa kesenjangan PKS dengan AKP di Turki disebabkan rendahnya tingkat pengaruh aspek-aspek ideologi, organisasi, basis massa, sistem rekrutmen anggota, kepemimpinan dan strategi PKS pada pemenangan Pemilu PKS. Demikian pula perbedaan aspek-aspek eksernal berupa lingkungan sosial,politik, ekonomi dan budaya Indonesia dan Turki turut menyebabkan adanya kesenjangan tersebut. Oleh karena itu penulis pun merekomendasikan bahwa karakteristik Pos-Islamis harus tercermin dalam semua sisi wajah PKS karena ideologi Pos-Islamis harus kompatibel dengan model organisasi, keragaman jenis basis massa, sistem rekrutmen, model kepemimpinan dan strategi yang digunakan agar berpengaruh signifikan bagi pemenangan Pemilu PKS.
Sumbangan disertasi ini bagi ilmu politik adalah membuktikan bahwa politik aliran masih tetap relevan karena keberhasilan kelompok Islamis yang direpresentasikan oleh PKS di Indonesia dan AKP di Turki bertahan dalam sistem demokrasi. Lebih jauh lagi keberhasilan kedua partai politik Islam terutama AKP di Turki telah mematahkan tesis Olivier Roy di akhir 1990-an yang dipertegasnya lagi di 2006 bahwa Islam politik atau Islamis telah gagal dan mundur ke Neo-fundamentalis yang parsial dan apolitis. Sebab kedua partai politik tersebut alihalih mundur menjadi Neo-fundamentalis malah bertransformasi menjadi Pos-Islamis. Ideologi Pos-Islamis bahkan telah menyebabkan AKP menjadi the rulling party dan PKS sebagai the survival party dan keberhasilan kedua partai politik tersebut juga sekaligus membuktikan kompatibilitas Islam dengan Demokrasi.

This dissertation is to examines the winning in the general elections of the Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia and Adalet ve Kalkinma Partitioning (AKP) or Justice and Development Party in Turkey. PKS successfully managed to improve the survival of votes from election to election (1999-2009) while the AKP in Turkey is now the rulling party that win in two consecutive elections (2002 and 2007). This research observes the causes of the success of both political parties in two different countries.
With reference to the concept of Sigmund Neumann and Duverger on the units of analysis that are compared, the authors examined how ideological factors, organizational structure, voters basis, the system of recruitment, leadership and success strategies of the PKS that affect the survival of the party in three consecutive general elections (1999-2009). This dissertation also examines how the AKP which was born in 2001 were able to triumph the the general elections from 2002 to 2007. To the same end we learned on how the external aspects of the social, political and cultural of the countries has influenced their winning in the general elections. Further, this dissertation observe also the different winning milestones between the PKS and the AKP.
Moreover, this dissertation also looks into rationales behind distinct success and achievements from both PKS in Indonesia and AKP in Turkey. It argues that the electoral underperformance of PKS is a direct result of its lower attainment in influencing areas such as ideology, organization, mass based support, member recruitment, leadership and strategies. The present study discusses these 6 influencing internal factors from PKS and then compared with those of AKP.
The analytical methodology used for the present study is the Neumann and Duverger?s theoretical comparison of political party, which takes into account factors covering of ideology, organization, mass based support, member recruitment, leadership and strategy. In the ideological comparison, the studies performed by Oliver Roy Asef Bayat and Greg Fealy are presented. Furthermore, the organization theory by Michels and Duverger, the mass support theory of Martin Lipset, Vali Nasr and Mehmet Altan, the analysis of recruitment system by Alan Ware and Duverger, the leadership theory of Max Weber, Pareto and Mosca, as well as the political strategy of vernacular politics by Jenny B. White are presently adopted.
From the observations and direct conversations with the founders and members of the central governing boards from both the PKS in Indonesia and the AKP in Turkey and using the aforementioned analytical theories it is found that the central underlying problem lies in the incompatibilities between the evolutionary process of interpretation of ideology within the organization, mass based support, recruitment system, leadership and strategy implemented by both parties. The incoherence shown by the PKS in those influencing and determine factors reveals itself in distant reality from their counterpart AKP in Turkey.
Moreover, Neuman and Duverger argues that the AKP?s winning formula lies in its compatible choice of organization model, mass based support, recruitment system, leadership model and strategy following its transformation of ideology from Islamic to Post-Islamic movement. Therefore, the author recommends that PKS should adjust their characters in their Post-Islamic movement era and adopts a more compatible organization model, more variety of mass based support, more compatible recruitment system, leadership model and strategy if they want to increase their influences and triumph more significantly in the coming General Elections, and therefore become the anti-thesis of Oliver Roy.
This dissertation contributions for political study/science is proving/demonstrate that political currents remained of relevant following the success of Islamist groups in Indonesia as represented by the PKS and the AKP in Turkey that survive in a democratic system. Furthermore the success of both political parties, especially the Islamic AKP in Turkey has challenged and broken Olivier Roy thesis in the late 1990s as reaffirmed again in 2006 that the failure of Islamic political movements or Islamists has led it to the Neo-fundamentalists which are becoming apolitical movements. By fact both of the political parties rather than converted into neofundamentalists actually has transformed into the Post-Islamist. Post-Islamist ideology has even led the AKP became the rulling party and the PKS to survive in the democratic system and the successes of both political parties are also prove the compatibility of Islam with democracy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1300
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Osbin
"ABSTRAK
Disertasi ini meneliti keterwakilan politik Kristen dalam Pileg 2004 dan 2009 melalui studi PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Keterwakilan politik Kristen di DPR RI selama tiga kali Pemilu Era Reformasi (1999, 2004, dan 2009) ternyata justru bukan karena dukungan dari para pemilih Kristen. Para politisi Kristen terpilih menjadi anggota legislatif karena dukungan pemilih beragama Islam dan terutama justru dari basis Islam yang kuat. Maka pertanyaannya, bagaimana dan apa alasan PDI Perjuangan dan Partai Golkar menempatkan caleg Kristen di basis Islam, apa strategi caleg Kristen untuk keterpilihannya, dan bagaimana alasan pemilih beragama Islam sehingga menggalang dukungan untuk memenangkan caleg Kristen. Hasilnya, persentase keterpilihan orang-orang Kristen di DPR RI Pileg 1999 (16,48%), Pileg 2004 (14,90%), dan Pileg 2009 (12,86%) melampaui persentase penduduk Kristen di Indonesia (8,71%).
Penelitian ini menggunakan dua teori utama, yakni teori Alan Ware tentang keterpilihan seorang caleg dimana sosok personal/figur kandidat menjadi yang terpenting, program partai di level kedua, dan ideologi partai di level terendah; dan teori primordialisme politik dari Clifford Geertz yang mendapatkan catatan kritis dari Maswadi Rauf bahwa dua ikatan primordialisme terpenting konteks Indonesia adalah suku dan agama. Empat teori lain mendukung dua teori utama ini, yakni: teori Anne Philips tentang politik kehadiran secara konkrit di lembaga Negara, pandangan Affan Gaffar tentang aspek aliran dalam agama dan ketaatan terhadap pemimpin di Pulau Jawa, pandangan George McTurner Kahin tentang nasionalisme sebagai perekat kesatuan yang kuat yang mendapat peneguhan dari Burhan Djabir Magenda tentang peranan partai dalam penguatan nasionalisme, dan teori patron klien dari James Scott. Metode penelitian menggunakan literatur langsung dari kedua partai dimaksud dan melakukan wawancara mendalam terhadap 5 (lima) orang caleg terpilih, 4 (empat) pengurus pusat partai, dan 3 (tiga) orang pemilih beragama Muslim.
Penelitian ini secara khusus menyimpulkan bahwa ternyata aspek agama dan suku bukan variabel utama sebagai ukuran keterpilihan seorang caleg namun masih ada variabel lain yaitu tingkat penerimaan pemilih terhadap calon. Temuan penting penelitian ini bahwa figur atau sosok caleg sangat berpengaruh untuk keterpilihan seorang caleg Kristen, dan praktek tradisi agama dan budaya lokal tetap berpengaruh dalam pemilu. Implikasi teoritis penelitian ini memperlihatkan bahwa teori Alan Ware terkait peran ketokohan/figur caleg sangat menentukan untuk keterpilihan seorang caleg, dan teori primordialisme politik Clifford Geertz menunjukkan bahwa aspek tradisi agama dan budaya local yang dipraktekkan oleh caleg-caleg Kristen sangat berpengaruh untuk keterpilihan mereka di daerah berbasis Islam yang kuat.

ABSTRACT
This dissertation studies about political representation of Christian through the study of the PDI-P and Golkar Party. Political Representation of Christian for three times of General Election in Reformation Era (1999, 2004, and 2009) actually had been not from the Christian voters as supposed. The Christian representatives were elected because of Islamic voters support and uniquely the voters are from the strong Islamic based. Then, the question is how and what the reason of the PDI-P and Golkar Party placed the Christian representative as legislative candidates in Islamic based electoral district, and what is the reason of Islamic voters to support Christian legislative candidates. The result is the percentage of the Christian representative in DPR-RI in legislative election 1999 (16,48%), Legislative Election 2004 (14,90%) and Legislative Election 2009 (12,86%) beyond the percentage population of Christian citizen in Indonesia (8,71%).
This research applied two primary theories, they were Alan Ware theory on the role of the party in recruitment where personal feature is the most important, program party at the second level, ideology party at the lowest level; and politic primordial?s from Clifford Geertz which noticed by Maswadi Rauf that there are two important binds of primordialism of Indonesian context are tribe and religion. Four other theories are Anne Philips theory on presentation politic concretely in state institution, Affan Gaffar?s point of view on the flow aspect in religion and obedient to the leaders in Java Island, George McTurner Kahin on nationalism as a strong unity glue that gets confirmation from Burhan Djabir. Burhan Djabir Magenda on important role of political party in strengthening nationalism, and the theory of James Scott on patron client relation.
Research Method applied direct literature by the relevant political party and depth interview for five (5) representative, four (4) political party officer, three (3) Islamic voters. The research specified concluded that religion and tribes are not the dominant factor in determining the electability of candidates but the candidates? acceptability in the society. The finding of this research is that the figure representative candidates are strongly influenced in Christian representative electability and the practice of religion and local cultural still an influence in election. Theoretical implication shows that Alan Ware Theory on the role of figure representative is really strong in electability of candidate; and theory of political primodialism by Clifford Geertz that religion tradition aspect and local cultural that have been practiced by Christian representatives in the strong Islamic based electoral district.
"
2013
D1374
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Kapura
"Disertasi ini, membahas tentang proses politik dalam perumusan dan distribusi anggaran Otsus-RESPEK yang diberlakukan Barnabas Suebu-Abraham Atururi sebagai gubernur di kedua provinsi paling Timur Indonesia. Pembagunan dari kampung/kelurahan ke kota merupakan inti gagasan dari kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK tersebut.Tujuan penelitian adalah untuk memberikan gambaran utuh tentang kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK sebagai respon terhadap fenomena daerah.
Dalam mengkaji dan menganalisis proses kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK teori utama yang digunakan adalah teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf serta konflik anggaran dari Irene Rubbin. Teori lain juga digunakan sebagai penunjang yaitu teori desentralisasi fiskal dari Mano Bird danVaillancourt, politik anggaran dari Aeron Wildavky dan Naomi Caiden, elit dari Zusanne Keller, Pareto dan Organski, kubus kekuasaan dari John Gaventa, pengawasan Pusat-Daerah dari Richard C.Crook dan James Manor, politik lokal dari Brian Smith, serta teori terakhir yang digunakan adalah politik etnis dari Clifford Geertz.Metode penelitian bersifat deskriptif analitis dengan perspektif kualitatif dengan wawancara mendalam (data primer) dan studi kepustakaan (data sekunder). Selain itu untuk menganalisis serta mendeskripsikan gagasan kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK secara mendalam.
Kesimpulan penelitian; Pertama, relasi kerja yang seimbang antara pemegang anggaran dan masyarakat tidak singkron; kedua, transparansi anggaran yang sesuai dengan regulasi manajemen kerja dan distribusi kekuasaan anggaran merupakan penghambat politik lokal di Papua dan Papua Barat.
Temuan penelitian; pertama, kerjasama konstruktif dan berkesinambungan antara Pusat dan Daerah (Papua dan Papua Barat) belum maksimal terbangun sehingga menyebabkan sikap saling tidak percaya; kedua, anggaran merupakan sumber power interplay dan konsensus diantara penguasa Pusat dan Daerah saat proses politik kebijakan dirumuskan; ketiga, primordialisme tidak dapat dihindarkan dalam mengembangkan pengunaan anggaran Otsus-RESPEK.
Implikasi teori dari penelitian ini mendukung teori konflik dan konsensus dari Maswadi Rauf dan Konflik dari Irene Rubbin, yang menyatakan bahwa anggaran merupakan sumber perdebatan politik sebagaimana terlihat dalam kebijakan politik anggaran Otsus-RESPEK. Perdebatan politik tentang anggaran bila tidak teratasi akan mengancam keutuhan negara. Karena anggaran bukan saja menjadi sumber perdebatan tetapi juga sebagai sumber perlindungan masyarakat, wilayah, pemerintahan dan pengakuan internasional. Hal ini, yang tidak diungkapkan oleh Rauf dan Rubbin dalam penelitian disertasi ini.

This dissertation discusses the political process in the budget formulation and distribution of RESPEK special autonomy (Otsus-RESPEK) which was enacted by Barnabas Suebu-Abraham Atururi as the governor of Papua and West Papua, two provinces in the easternmost part of Indonesia. The construction from villagesto cities was the core idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. The purpose of this study is to give a depiction of these policies as a response to the region.
In reviewing and analyzing the process of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics, several theories are used. Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of budget conflict are used as the main theory. The supporting theories are (1) Mano Bird's and Vaillancourt's theory of fiscal decentralization, (2) Aeron Wildavky's and Naomi Caiden's theory of budget politics, (3) Zusanne Keller's, Pareto's and Organski's theory of elite, (4) John Gaventa's theory of power cube, (5) Richard C. Crook's and James Manor's theory of Central-Local supervision, (5) Brian Smith's theory of local politics, (6) and Clifford Geertz's theory of ethnical politics. The method of this study is descriptive and analytical with a qualitative approach. Furthermore, this study uses in-depth interview (primary data) and literary review (secondary data) to analyze and describe thoroughly the idea of the policies of Otsus-RESPEK's budget politics.
This study has two conclusions. First, a balanced professional relationship between the budget holders and the people are not in sync. Second, budget transparency which is congruent to the regulations of work management and distribution of budget power hinders the local political growth in Papua and West Papua.
There are three principal findings in this research. First, constructive cooperation and unity between the Central and Local (Papua and West Papua) is not yet at its maximum. As a result, doubt arose between the two. Second, budget is the source of power interplay and consensus amongst Central and Local authorities when the policies are being formulated. Third, primordialism cannot be avoided in the development of Otsus-RESPEK's budget usage.
The theoretical implication supports Maswadi Rauf's theory of conflict and consensus, as well as Irene Rubbin's theory of conflict which states that budget is the source of political debates. This is evident in the policies of Otsus-RESPEK's budget politics. If a political debate on budget is not overcome, it could threaten the nation's unity. This is due to the fact that budget is not only a source of conflict, but also the source of protection for people, regions, government, and international acknowledgement. These facts are not revealed by Rauf and Rubbin in this dissertation's research.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D1707
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryani
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena tentang elektabilitas partai-partai politik Islam (PKS, PPP, PAN, dan PKB) yang semakin menurun dalam setiap pemilu. Hal tersebut ditandai dengan perolehan suara di pemilu yang cenderung tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dengan menggunakan teori triad koalisi dari Theodore Caplow (1956) yang membahas tentang size of party power sebagai dasar pembentukkan koalisi dan penentuan posisi daya tawar politik anggota koalisi, teori tentang arena koalisi dari Heywood dan Arendt Liphart yang membahas tentang pentingnya kesamaan ideologi dalam koalisi, teori tentang tipologi partai politik dari Almond yang dikaitkan dengan konsep tentang partai Islam dari Vali Nasr, penelitian kualitatif ini menganalisis masalah yang berkaitan dengan konstruksi bangunan koalisi yang dibentuk (KIH dan KMP) dengan melihat posisi PKS, PPP, PAN dan PKB didalamnya. Dengan mengaitkan masalah tentang adanya kesamaan dasar nilai ideologi partai dan karaktaer basis massa yang sama, penelitian ini juga menganalisis masalah tentang penyebab partai partai politik Islam tidak membangun satu koalisi bersama untuk menghadapi Pemilihan Presiden 2014 untuk mengajukan tokoh politik Islam sebagai calon Presiden dan wakil presiden. Penelitian ini menemukan bahwa orientasi policy seeking yang mengedepankan ideologi sebagai motivasi dalam membentuk koalisi, sudah tidak lagi dianggap penting. identifikasi kekuatan perolehan suara partai politik seperti yang dijelaskan oleh Caplow menjadi satu satunya strategi dalam pembentukkan koalisi. Akibatnya, pragmatisme semakin kuat dengan office seeking yang menjadi orientasi dalam berkoalisi, soliditas menjadi lemah dan partai politik bisa dengan mudah keluar masuk koalisi. Konflik internal partai, menjadi salah satu penyebab lemahnya daya tawar politik partai di dalam koalisi yang dimasuki karena dianggap mengancam elektabilitas capres dan cawapres yang diajukan. Tidak terbangunnya koalisi di antara partai politik Islam disebabkan karena orientasi ideologi yang berbeda, lebih dominannya pragmatisme politik dan tidak adanya figur elite politik Islam yang bisa menjadi pemersatu kekuatan Islam politik yang terpecah. Implikasi teoritis dari penelitian ini menunjukkan bahwa size of party power seperti yang dikemukakan oleh Caplow dalam pembentukkan koalisi hanya dijadikan sebagai strategi untuk mengumpulkan kekuatan partai dalam kontestasi. Karakter massa dan latar belakang nilai ideologi yang sama tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk melakukan bargaining dalam internal koalisi dalam penentuan keputusan penting. Secara teoritis, seperti yang dikemukakan oleh Caplow, masing-masing anggota koalisi memiliki daya tawar berdasarkan besaran kekuatan suara yang dimiliki. Namun secara faktual, posisi tawar PKS, PPP dan PAN di KMP sangat minim dan lemah, Begitu juga dengan PKB di KIH, walau menjadi partai kedua terbesar di KIH, lemahnya daya tawar politik PKB membuat calon waki presiden yang diajukan PKB tidak diputuskan mendampingi Joko Widodo sebagai calon presiden

This research is motivated by the phenomenon of the electability of Islamic political parties (PKS, PPP, PAN, and PKB) which is decreasing in every election. This is indicated by the number of votes in the general election which tends not to increase significantly. By using the triad coalition theory from Theodore Caplow (1956) which discusses the size of party power as the basis for forming coalitions and determining the political bargaining power position of coalition members, the theory about the coalition arena from Heywood and Arendt Liphart which discusses the importance of ideological similarities in coalitions, theory Regarding the typology of political parties from Almond associated with the concept of an Islamic party from Vali Nasr, this qualitative study analyzes problems related to the construction of the coalition buildings formed (KIH and KMP) by looking at the position of PKS, PPP, PAN and PKB in it. By linking the problem of the similarity of the basic ideological values ​​of the party and the same mass-based character, this study also analyzes the problem of why Islamic political parties did not build a coalition together to face the 2014 Presidential Election to nominate Islamic political figures as presidential and vice presidential candidates. This study found that the policy seeking orientation, which puts forward ideology as a motivation in forming coalitions, is no longer considered important. identification of the voting power of political parties as described by Caplow is the only strategy in forming coalitions. As a result, pragmatism is getting stronger with office seeking being the orientation in coalitions, solidity is getting weaker and political parties can easily enter and exit coalitions. Internal party conflicts are one of the causes of the weak political bargaining power of parties in the coalition entered because they are considered to threaten the electability of the proposed presidential and vice-presidential candidates. The non-establishment of coalitions among Islamic political parties is due to different ideological orientations, more dominant political pragmatism and the absence of Islamic political elite figures who can unify the forces of divided political Islam. The theoretical implication of this research shows that the size of party power as proposed by Caplow in forming a coalition is only used as a strategy to gather party power in the contestation. The character of the masses and the background of the same ideological values ​​are not used by political parties to bargain within the internal coalition in determining important decisions. Theoretically, as stated by Caplow, each member of the coalition has bargaining power based on the amount of voting power they have. But in fact, the bargaining position of PKS, PPP and PAN in KMP is minimal and weak. Likewise with PKB in KIH, despite being the second largest party in KIH, PKB's weak political bargaining power has prevented the vice presidential candidate proposed by PKB to accompany Joko Widodo as a presidential candidate."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iksan R.A. Arsad
"Disertasi ini menjelaskan tentang konflik elit lokal formal Gubernur Maluku Utara versus elit lokal tradisional Sultan Tidore dan Walikota Tidore Kepulauan pasca penetapan wilayah Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara dengan mengambil periode studi 2010-2016. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana faktor wilayah, politik/kekuasaan, ekonomi, pembangunan kota dan wilayah politik baru sebagai sumber konflik elit lokal itu dan relasi kekuasaan tradisional kesultanan dan kekuasaan formal dalam sistem desentralisasi di Indonesia.
Teori yang digunakan dalam menganalisis permasalahan ini adalah (1) teori konflik Ted Robert Gurr dan konsensus Maswadi Rauf; (2) teori desentralisasi B.C Smith dan pemerintahan lokal John Stewart; (3) teori kekuasaan Robert Dahl, Charles F. Andrain dan Max Weber; dan (4) teori negara lama dan negara baru Richard Dagger dan Walter Scheidel serta teori negara modern Christopher W. Morris. Penelitian ini menggunakan metode berupa pendekatan kualitatif dengan mengambil desain studi kasus. Data primer yang digunakan diperoleh dari wawancara mendalam (indepth interview) kepada narasumber dan informan kunci, data sekunder dari kajian pustaka dan dokumen.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konflik elit lokal pada proses desentralisasi di Sofifi didorong oleh beberapa faktor sebagai sumber konflik, yaitu ; faktor wilayah, faktor kepentingan ekonomi, faktor pembangunan, faktor wilayah politik baru, dan faktor kekuasaan tradisional Sultan dalam negara. Adapun relasi kuasa pada negara lama dan negara baru, negara baru telah memarjinalkan penguasa tradisional negara lama yang merupakan simbol budaya dan penjaga eksistensi kebudayaan lokal. Sedangkan pada implementasi desentralisasi di Sofifi, proses itu masih mendapat tantangan dari kekuasaan tradisional kesultanan
Implikasi teoritis dalam studi ini adalah ; (1) teori konflik dari Ted Robert Gurr dan konsensus dari Maswadi Rauf terbukti; (2) teori desentralisasi dari B.C. Smith dan pemerintahan lokal dari John Stewart terbukti, (3) teori negara lama (monarki) dan negara baru (republik) dari Richard Dagger dan Walter Scheidel serta teori negara modern dari Christopher W. Morris terbukti; dan (4) Konsep pemekaran daerah dari Minako Sakai dan Adi Suryanto didorong oleh faktor-faktor sejarah, ekonomi, etnik dan politik mendapat tambahan faktor elit lokal (tradisional). Adapun kontribusi studi ini terhadap ilmu politik adalah untuk memperkuat negara yang dibangun berdasarkan pluralisme diperlukan eksistensi negara lama di bidang kebudayaan.

This dissertation describes the conflict of the formal local elite of North Maluku Governor versus the traditional local elites of Sultan Tidore and the Major of Tidore Kepulauan after the assignment of Sofifi as the capital of North Maluku Province during the period of study of 2010-2016. This study answers the questions of how territorial, political, and economic factors as well as the town development and new political domain have resulted in the conflict of traditional local and formal local elites in Indonesia’s decentralized system.
This study employs such theories as (1) Ted Robert Gurr’s conflict theory and Maswadi Rauf’s consensus; (2) B.C Smith’s decentralization theory and John Stewart’s local government; (3) Robert Dahl, Charles F. Andrain and Max Weber’s theory of power; and (4) Richard Dagger and Walter Scheidel’s theory of old state and new state and Christopher W. Morris’s modern state theory. The study uses qualitative approach with case-study design. The primary data was collected from in-depth interview to a number of resource persons and key informants while the secondary data was collected from literature and document review.
Results of the study concludes that the local elite conflict in the process of decentralization in Sofifi originated from a number of such conflict sources as territory, economic interest, development, new political domain, and traditional power of Sultan in the state. With regard to the power relation, the new state has marginalized the ruler of the old state being the cultural symbol that reserve local culture. In the implementation of decentralization in Sofifi, the process has been challenged by the Sultanate traditional power.
The study reveals a number of theoretical implications. First, Ted Robert Gurr’s theory of conflict and Maswadi Rauf’s consensus were supported. Second, B.C. Smith’s theory of decentralization and John Stewart’s local government theory were equally supported. Third, Richard Dagger and Walter Scheidel’s theory of old state (monarch) and new state (republic) as well as Christopher W. Morris’ modern state were accordingly supported. Fourth, Minako Sakai and Adi Suryanto’s concept of local split is driven by such historical, economic, ethnic, political, and traditional local elite factors. In the sphere of political science, this study contributes to the strengthening of the heterogeneous and pluralistic state through the existence of cultural existence of the old state.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
"ABSTRAK
Membangun TNI menjadi ?militer profesional? mensyaratkan perlunya depolitisasi militer, disamping anggaran militer yang cukup dan kultur militer pengabdi. Depolitisasi militer adalah upaya menjadikan TNI militer profesional dengan cara membebaskannya dari semua fungsi non-militer yang tidak termasuk ke dalam misi kemanusian (civic mission) dan misi perdamaian (peace keeping). Disertasi ini berfokus pada depolitisasi militer sebagai studi kasus utama. Sementara dua indikator ?lain, yaitu anggaran militer yang cukup dan kultur militer pengabdi? hanya digunakan untuk membantu analisis.
Reformasi militer yang ditandai kelahiran sejumlah kebijakan depolitisasi militer bertujuan mengubah wajah tentara pretorian TNI menjadi tentara profesional untuk melaksanakan fungsi pertahanan militer (military defense) yang cepat-tanggap (responsif) dan dapat diandalkan (reliable) terhadap ancaman militer negara musuh. Namun kebijakan TNI yang tetap mempertahankan fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD dinilai belum sepenuhnya berminat pada program militer profesional, sehingga menyisakan pro dan kontra. Disertasi ini membahas 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, yaitu: (1) pembinan persatuan dan kesatuan; (2) pembinaan keamanan wilayah (siskamling); (3) pembinaan tokoh masyarakat; (4) pembinaan generasi muda; (5) pembinaan Menwa. Studi kasus fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD bertujuan untuk menjelaskan sejauh mana fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI AD merupakan fungsi pertahan militer. Juga untuk menjelaskan posisi Satuan Kowil TNI AD dan fungsi pembinaan teritorialnya dalam diskursus teori militer yang ada. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif, tipe penelitian deskriptif analitis, strategi penelitian studi kasus dan analisa kualitatif. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara dan telaah pustaka/dokumen. Sedangkan teori yang digunakan dalam menganalisis implementasi fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD di Provinsi DKI Jakarta pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, yaitu: teori fungsi teritorial, teori militer (tentara pretorian, tentara profesional, tentara profesional revolusioner), teori perang total, teori supremasi sipil, serta teori demokrasi dan demokratisasi.
Hasil studi ini mengungkap bahwa depolitisasi militer pasca berlakunya UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 belum dapat membebaskan Satuan Kowil TNI AD dari fungsi non-militer. Analisis terhadap 5 jenis kasus implementasi fungsi pembinaan teritorial Satuan Kowil TNI di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa meskipun tidak lagi mengandung politik praktis, semua fungsi teritorial Satuan Kowil TNI AD masih mencakup fungsi non-militer dan semua fungsi non-militer itu bukan bagian dari fungsi pertahanan militer. Dengan demikian hasil studi ini menegaskan belum berlangsungnya depolitisasi militer di TNI secara menyeluruh. Studi ini menemukan faktor internal dan eksternal sebagai dasar alasan TNI AD melaksanakan fungsi non-militer. Faktor internal, yaitu: profesionalisme non-militernya dan kultur militernya berupa Jati Diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional profesional yang sangat mengakar dalam doktrin TNI Tri Dharma Eka Putra dan doktrin TNI AD Kartika Eka Paksi. Sedangkan faktor eksternal, yaitu: sistem pertahanan semesta, tugas pokok TNI operasi militer selain perang, tugas TNI AD memberdayakan wilayah pertahanan di darat, serta respon pemerintah daerah terhadap implementasi fungsi non-militer Satuan Kowil TNI AD yang tidak lagi mengandung politik praktis. Hasil studi mengungkap adanya pergeseran sikap politik TNI AD yang kembali menganut tipologi ?tentara profesional revolusioner? setelah menganut tipologi tentara pretorian dan tipologi tentara profesional pretorian. Pilihan politik TNI AD kembali menganut tipologi ?militer profesional revolusioner? didasarkan pada pengalaman fungsi non-militernya pada masa perang revolusi kemerdekaan dan masa pergolakan internal yang telah memberinya otonomi dan esklusifitas. Pengalaman profesional non-militernya pada masa Orde Baru juga memberinya kebanggaan profesional sebagai agen modernisasi dan pembangunan sekaligus sebagai pasukan ?pemadam kebakaran?. Berdasarkan temuan tersebut dirumuskan suatu asumsi teoritis bahwa militer yang sejak lahirnya menganut tioplogi ?militer profesional revolusioner? lalu kemudian menganut tipologi ?militer pretorian? dan tipologi ?profesional pretorian? sangat sulit melakukan depolitisasi militer dan cenderung kembali ke ?militer profesional revolusioner? ketimbang berlanjut ke tipologi ?militer profesional?. Kesulitan dan kecenderungan itu disebabkan oleh nilai-nilai revolusioner; Jati Diri TNI yang sudah menjadi bagian dari kultur militernya, sehingga ciri profesionalismenya berbeda dengan konsep profesionalisme dalam tipologi ?militer profesional?. Meskipun demikian disertasi ini tetap melihat bahwa depolitisasi militer memberi peluang kepada militer Indonesia untuk menjadi militer profesional.

ABSTRACT
To develop TNI (Indonesian National Army) to be professional military have three indicators : the need military depolitisation, the need of enough budget and military official culture. Military depolitisation is the effort of TNI professional military by freer from all non military function which excludes the humanitarian functions such as civic mission and peace keeping. This dissertation will focus on the military depolitisation as major case study. The other two indicators will be used only to fuel the analysis. The aim of depolitisation policies are to change the image of praetorian army of TNI to be professional in order to do military defense functions, responsive and reliable towards threat from foreign enemy. However the TNI policies which are maintain the territorial functions Satuan Kowil TNI AD does not interested in professional military, that?s why they produce pro and con on that issue. This Dissertation explains the implementations of territorial functions of Satuan Kowil TNI AD by using 5 cases in DKI Province post the implementation of the UU TNI No. 34/2004. There are 1) pembinaan persatuan dan kesatuan (Cultivating the unity of the republic); 2) pembinaan keamanan wilayah (cultivating local territorial security); 3) pembinaan tokoh masyarat (cultivating the local leaders); 4) pembinaan generasi muda (cultivating young generations); 5) pembinaan Menwa (cultivating students regiment). This case study of the function of pembinaan territorial Satuan Kowil TNI AD constitute as the defense military functions. This dissertation is also explain and analysis the position of the Satuan Kowil TNI AD and the functions of the territorial in the theoretical analysis.
This method of the study is a qualitative, descriptive analysis, using case study as a focus of the data qualitative analysis. The data of this disertation derived from the interview, observation and library research. Some theories of the implementation of the territorial Satuan Kowil TNI AD in DKI Province post the implementation of the UU TNI No. 34/2004 are discussed for analyzing this dissertation. The theories are territorial function theory, military theory such as praetorian, professional and revolutionary professional military. Other theories are total war theory and civilian supremacy theory and also theory of democracy and democratisation. The result of this study shows that military depolitisation is not yet to free Satuan Kowil TNI AD from the non military functions. To answers the first question which contains 5 cases also expained that the Satuan Kowil TNI AD implement all the function of the non military which are not in the category of the defense military functions. So, this study shows very clear that there is no substantial program on the military depolitisation. This study also shows that internal and external factors as the basis of the reasons of the TNI AD to conduct non military functions. Internal factors are non military professionalism, and the existence of the military TNI as people army, fighter?s army during colonial era and professional army. The military conduct their activity based on Indonesian military doctrines Tri Dharma Eka Putra and Kartika Eka Paksi. While external factors are include total defense, military operation in a war, and also the response of the local governments towards the implementation of the non military functions Satuan Kowil TNI AD which is not considered as political practice.
This study is also found that there is shifting of the political attitude of TNI AD which followed the military typology revolutionary professional military after praetorian military and professional praetorian. The political choice of TNI AD ?revolutionary professional military? based on the experience of non military functions during revolutionary war to get independents and afterwards. Furthermore, the experienced of military during the New Order regime are perceived as the agent of modernization and development. This study ? based on this finding- conceptualize theoretical assumption that military in Indonesia since the early used revolutionary professional military typology and move into military praetorian and professional praetorian. Therefore, this study shows the difficulties to conduct military depolitisation and tends to go back into revolutionary professional military rather than professional military because of the values of revolutionary during the development of the military in Indonesia which is embedded in the military culture. The TNI AD has professionalism character which is different from the typology of the professional military according the theory discussed above. Therefore this dissertation suggested that military depolitisation give an opportunity for the military in Indonesia become military professional."
Depok: 2009
D624
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Surya Culla
"Hubungan antara Walhi-YLBHI dan negara tidaklah sesederhana di permukaan. Konstalasi politik, interaksi antar-aktor individu dan institusi telah ?menyembunyikan rahasia? di balik dinamika itu yang mungkin tidak bisa dipahami hanya dengan semata melihatnya sebagai konflik atau hubungan dikhotomis antara masyarakat sipil dan niagara. Interaksi yang berlangsung justru ternyata saling terkait, dibangun secara rasional di antara pelaku yang terlibat, tidak hanya antara aktor ornop dan pemerintah, juga sektor internasional dan masyarakat sendiri dalam hubungan kompleks itu. Konteks itulah yang mempengaruhi tumbuhnya Walhi dan YLBHI sebagai masyarakat sipil.
Berdasarkan konteks tersebut, sludi ini mengungkapkan beberapa temuan teoritis. Pertama, berkaitan dengan teori hubungan antara masyarakat sipil dengan ncgara. Menurut teori yang ada, masyarakat sipil dikonstruksi sebagai: (1) organisasi yang dibentuk oleh masyarakat di Iuar sektor negara", dan (2) ?domainnya terpisah dari atau di luar domain niagara. " Konstruksi ini temyata tidak sesuai dengan konteks kasus Walhi dan YLBHI, sehingga perlu dimodifikasi bahwa (1) ?masyarakat sipil merupakan kelompok yang dibentuk masyarakat sendiri atau masyarakat bersama negara dan (2) "domainnya terbentuk dan berkembang karena interaksinya dengan domain negara".
Dengan modifikasi tersebut, studi ini melihat bahwa ?niagara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil", sedangkan teori yang ada cenderung mengkonstruksi ?peranan negara tidak sebagai faktor positif dan menentukan dalam pembentukam masyarakat sipil."
Kedua, berkaitan dengan karakteristik masyarakat sipil, meliputi: autonomy, self supporting dan say generating Hasil studi ini mengungkapkan berdasarkan kasus spesifik Walhi dan YLBHI, karakteristik aranomy tampakrnya dapat diwujudkan, berbeda dcngan seff supporting dan self generating. Namun demikian, berkembangnya kriteria-kriteria tersebut tampaknya dipengaruhi oleh konstalasi interaksi antara; (1) unsur-unsur negara; (2) lembaga-lembaga intemasional; dan (3) masyarakat sendiri.
Dengan konstruksi tersebut, maka hasil studi ini menambahkan sesuatu yang baru pada teori masyarakat sipil yang ada, bahwa ?(1) kebijakan politik akomodatif negara, (2) keterlibatan Iembaga-Iembaga internasional, dan (3) partisipasi masyarakat sendiri dari segi sumber daya - merupakan faktor faktor yang menentukan bagi proses terwujudnya karakteristik autonomy, self supparting, dan self generating masyarakat sipil?. Temuan ini memodifikasi teori masyarakat sipil yang ada yang cenderung "mengkonstruksi perwujudan ketiga karakteristik maayarakar sipil tersebut berdasarkan pada penekanan kemampuan potensial entitas masyarakat sipil sendiri, tidak melihat urgensi dukungan peranan sektor negara, internasional, dan masyarakat sendiri". "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D816
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library