Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ruswan Rasul
"[ABSTRAK
Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk suatu kota, menyebabkan permintaan akan pelayanan prasarana perkotaan meningkat pula, seperti pembangunan jalan raya, penyediaan kawasan permukiman dan pusat-pusat pelayanan umum, seperti tempat-tempat perdagangan, perkantoran, rumah sakit, sekolah dan lain-lain.
Hal ini akan mengubah sifat permukaan tanah yang sebelumnya dapat meresapkan air, menjadi sukar/tidak dapat meresapkan air, sehigga volume limpasan hujan akan bertambah besar. Karena sistem drainase kota yang kurang baik serta badan air penerima, seperti sungai dan waduk sudah terlewati daya tampungnya, maka limpasan hujan tadi menjadi penyebab terjadinya banjir di kawasan tersebut.
Secara konvensional konsep pengelolaan limpasan hujan pada suatu kawasan perkotaan berdasarkan pada gagasan bagaimana mengalirkan limpasan hujan secepat mungkin keluar dari kawasan tersebut langsung ke badan air penerima. Untuk mengatasi masalah limpasan hujan, dapat diterapkan konsep pengembangan lahan berwawasan lingkungan melalui pendekatan inovatif berbasis ekosistem yang dikenal sebagai konsep “Low Impact Development (LID)” yaitu pengembangan suatu sistem pengelolaan yang memperkecil laju dan volume limpasan hujan untuk menahan dan memperlambat aliran limpasan hujan masuk kebadan air, sekaligus memberi kesempatan air meresap kedalam tanah sebagai salah satu cara untuk pengisian kembali air tanah, tanpa menyebabkan timbulnya genangan/banjir pada kawasan tersebut
Dalam rangka pengelolaan limpasan hujan dan pelestarian sumberdaya air, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 115 Tahun 2001, Tentang Pembuatan Sumur Resapan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Namun sejak Perda tersebut diundangkan, pelaksanaan peraturan belum berjalan dengan baik.
Untuk menanggapi masalah ini, dilakukan penelitian dengan tujuan: (a)
untuk mengetahui tingkat peranserta masyarakat dan pihak-pihak yang terkait lainnya (stakeholders) dalam kegiatan pengelolaan limpasan hujan, (b) memberikan masukan kepada Pemeritah/Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan limpasan hujan yang ideal dengan pendekatan yang berbasis peran serta masyarakat
Penelitian dilakukan dengan pendekatan metode “Stakeholders Analysis” (World Bank 1998), untuk mengetahui partisipasi ideal stakeholder dalam kegiatan pembuatan sumur resapan tersebut, sehingga akan diperoleh pemetaan strategi partisipasi dari setiap kelompok stakeholder. Hasil pemetaan ini akan dibandingkan dengan pelaksanaan aktual di lapangan, dengan studi kasus di kelurahan Duren Sawit dan Pondok Kopi, kecamatan Duren Sawit, Kotamadya Jakarta Timur.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dengan sifat penelitian deskriptif analitik. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner dan wawancara, observasi dan studi literatur. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif untuk kelompok-kelompok stakeholder.
Dari perbandingan tingkat partisipasi ideal dan partisipasi aktual (hasil penelitian) dari setiap kelompok stakehoder, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Usaha-usaha Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam mensosialisasikan Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Nomor 115, Tahun 2001 belum maksimal, sehingga sebagian besar masyarakat tidak mengetahui tentang adanya Perda tersebut.
2. Tingkat kesadaran dan peranserta/partisipasi masyarakat sangat kurang dalam mewujudkan usaha-usaha Pemerintah DKI Jakarta dalam pengelolaan limpasan hujan dalam rangka penanggulangan banjir dan pelestarian sumberdaya air, karena Pemerintah (DKI Jakarta) tidak optimal menjelaskan maksud dan tujuan PLH kepada masyarakat, dan tidak optimal pula dalam pengawasan terhadap pelaksanaan pembuatan sumur resapan, sehingga terjadi ketidak patuhan masyarakat terhadap peraturan tersebut, walaupun mereka sebagian besar dari golongan menengah keatas, berpendidikan cukup tinggi, dan dengan status tempat tinggal milik sendiri.
Kesimpulan diatas memperlihatkan bahwa implementasi dari Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 115 Tahun 2001, Tentang Pembuatan Sumur Resapan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sampai saat ini belum berjalan dengan baik.

ABSTRACT
The economic development and the population growth of a city lead to the increasing demand for public services such as new roads, settlement areas, trade centers, office buildings, hospitals and schools. However, this, in the long run will affect the ground surface condition and change from pervious to impervious surface, the condition which will cause increasing volume of surface run-off and higher flood potential. The condition of over capacity of the rivers and reservoirs and poor drainage system of the city contributes to flood occurrence.
The concept of conventional stormwater management is based on the idea of draining the water from the affected area in the quickest manner to the recipient water body.
To overcome the run-off problem, an innovative, sustainable ecosystem- based approach for land development and run-off management, known as “Low Impact Development (LID)” concept is to be adopted. The basic idea of the concept is to detain and slow down the flow of run-off entering the water body, giving time for the water to infiltrate into the ground and recharge the ground water without flooding the area.
Within the framework of run-off management and water resources reservation, the Provincial Government of DKI Jakarta has issued the Decree of Governor of DKI Jakarta, Number 115 Year 2001, on the Making of Infiltration-Well in the Province of DKI Jakarta. This, however, has not been successfully implemented.
The purpose of the present research is therefore (a) to know the level of participation of stakeholders in run-off management activity, (b) to advise the government on the ideal community-based participation run-off management.
The present research is carried out by applying the “Stakeholders Analysis” (World Bank, 1998) approach to obtain the stakeholders level of participation and the strategic mapping of participation in the making of infiltration-well. Analysis is made by making comparison between the mapping and the actual activity in case study areas in Kelurahan Duren Sawit and Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, East Jakarta.
A field survey is conducted and a further descriptive analysis is utilized. Data collection is carried out through interviews and questionnaires, observations and literature studies. Data is then analysed quantitatively and qualitatively for individual groups of stakeholders.
Based on the comparisons made between the ideal level of participation and the actual participation of each stakeholder group, conclusions can be drawn
as follow:
1 The Provincial Government of DKI Jakarta has not made maximum efforts in promoting the Decision of the Governor of DKI Jakarta
Number 115 Year 2001 which has resulted in the limited number of community members who recognize the regulations.
2. The community level of awareness and participation in the implementation of the DKI Jakarta Provincial Government efforts in the run-off management and water resources reservations is low. This is due to the failure of the government to inform the community the purposes and aims of the PLH, as well as the inadequate and weak monitoring of the making of infiltration wells by the community members. The above conclusions indicate that the Decision of The Local Government of DKI Jakarta Number 115 Year 2001 on The making of Infiltration Well in the province of Jakarta has not been well implemented and executed.
;The economic development and the population growth of a city lead to the increasing demand for public services such as new roads, settlement areas, trade centers, office buildings, hospitals and schools. However, this, in the long run will affect the ground surface condition and change from pervious to impervious surface, the condition which will cause increasing volume of surface run-off and higher flood potential. The condition of over capacity of the rivers and reservoirs and poor drainage system of the city contributes to flood occurrence.
The concept of conventional stormwater management is based on the idea of draining the water from the affected area in the quickest manner to the recipient water body.
To overcome the run-off problem, an innovative, sustainable ecosystem- based approach for land development and run-off management, known as “Low Impact Development (LID)” concept is to be adopted. The basic idea of the concept is to detain and slow down the flow of run-off entering the water body, giving time for the water to infiltrate into the ground and recharge the ground water without flooding the area.
Within the framework of run-off management and water resources reservation, the Provincial Government of DKI Jakarta has issued the Decree of Governor of DKI Jakarta, Number 115 Year 2001, on the Making of Infiltration-Well in the Province of DKI Jakarta. This, however, has not been successfully implemented.
The purpose of the present research is therefore (a) to know the level of participation of stakeholders in run-off management activity, (b) to advise the government on the ideal community-based participation run-off management.
The present research is carried out by applying the “Stakeholders Analysis” (World Bank, 1998) approach to obtain the stakeholders level of participation and the strategic mapping of participation in the making of infiltration-well. Analysis is made by making comparison between the mapping and the actual activity in case study areas in Kelurahan Duren Sawit and Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, East Jakarta.
A field survey is conducted and a further descriptive analysis is utilized. Data collection is carried out through interviews and questionnaires, observations and literature studies. Data is then analysed quantitatively and qualitatively for individual groups of stakeholders.
Based on the comparisons made between the ideal level of participation and the actual participation of each stakeholder group, conclusions can be drawn
as follow:
1 The Provincial Government of DKI Jakarta has not made maximum efforts in promoting the Decision of the Governor of DKI Jakarta
Number 115 Year 2001 which has resulted in the limited number of community members who recognize the regulations.
2. The community level of awareness and participation in the implementation of the DKI Jakarta Provincial Government efforts in the run-off management and water resources reservations is low. This is due to the failure of the government to inform the community the purposes and aims of the PLH, as well as the inadequate and weak monitoring of the making of infiltration wells by the community members. The above conclusions indicate that the Decision of The Local Government of DKI Jakarta Number 115 Year 2001 on The making of Infiltration Well in the province of Jakarta has not been well implemented and executed.
;The economic development and the population growth of a city lead to the increasing demand for public services such as new roads, settlement areas, trade centers, office buildings, hospitals and schools. However, this, in the long run will affect the ground surface condition and change from pervious to impervious surface, the condition which will cause increasing volume of surface run-off and higher flood potential. The condition of over capacity of the rivers and reservoirs and poor drainage system of the city contributes to flood occurrence.
The concept of conventional stormwater management is based on the idea of draining the water from the affected area in the quickest manner to the recipient water body.
To overcome the run-off problem, an innovative, sustainable ecosystem- based approach for land development and run-off management, known as “Low Impact Development (LID)” concept is to be adopted. The basic idea of the concept is to detain and slow down the flow of run-off entering the water body, giving time for the water to infiltrate into the ground and recharge the ground water without flooding the area.
Within the framework of run-off management and water resources reservation, the Provincial Government of DKI Jakarta has issued the Decree of Governor of DKI Jakarta, Number 115 Year 2001, on the Making of Infiltration-Well in the Province of DKI Jakarta. This, however, has not been successfully implemented.
The purpose of the present research is therefore (a) to know the level of participation of stakeholders in run-off management activity, (b) to advise the government on the ideal community-based participation run-off management.
The present research is carried out by applying the “Stakeholders Analysis” (World Bank, 1998) approach to obtain the stakeholders level of participation and the strategic mapping of participation in the making of infiltration-well. Analysis is made by making comparison between the mapping and the actual activity in case study areas in Kelurahan Duren Sawit and Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, East Jakarta.
A field survey is conducted and a further descriptive analysis is utilized. Data collection is carried out through interviews and questionnaires, observations and literature studies. Data is then analysed quantitatively and qualitatively for individual groups of stakeholders.
Based on the comparisons made between the ideal level of participation and the actual participation of each stakeholder group, conclusions can be drawn
as follow:
1. The Provincial Government of DKI Jakarta has not made maximum efforts in promoting the Decision of the Governor of DKI Jakarta
Number 115 Year 2001 which has resulted in the limited number of community members who recognize the regulations.
2. The community level of awareness and participation in the implementation of the DKI Jakarta Provincial Government efforts in the run-off management and water resources reservations is low. This is due to the failure of the government to inform the community the purposes and aims of the PLH, as well as the inadequate and weak monitoring of the making of infiltration wells by the community members. The above conclusions indicate that the Decision of The Local Government of DKI Jakarta Number 115 Year 2001 on The making of Infiltration Well in the province of Jakarta has not been well implemented and executed., The economic development and the population growth of a city lead to the increasing demand for public services such as new roads, settlement areas, trade centers, office buildings, hospitals and schools. However, this, in the long run will affect the ground surface condition and change from pervious to impervious surface, the condition which will cause increasing volume of surface run-off and higher flood potential. The condition of over capacity of the rivers and reservoirs and poor drainage system of the city contributes to flood occurrence.
The concept of conventional stormwater management is based on the idea of draining the water from the affected area in the quickest manner to the recipient water body.
To overcome the run-off problem, an innovative, sustainable ecosystem- based approach for land development and run-off management, known as “Low Impact Development (LID)” concept is to be adopted. The basic idea of the concept is to detain and slow down the flow of run-off entering the water body, giving time for the water to infiltrate into the ground and recharge the ground water without flooding the area.
Within the framework of run-off management and water resources reservation, the Provincial Government of DKI Jakarta has issued the Decree of Governor of DKI Jakarta, Number 115 Year 2001, on the Making of Infiltration-Well in the Province of DKI Jakarta. This, however, has not been successfully implemented.
The purpose of the present research is therefore (a) to know the level of participation of stakeholders in run-off management activity, (b) to advise the government on the ideal community-based participation run-off management.
The present research is carried out by applying the “Stakeholders Analysis” (World Bank, 1998) approach to obtain the stakeholders level of participation and the strategic mapping of participation in the making of infiltration-well. Analysis is made by making comparison between the mapping and the actual activity in case study areas in Kelurahan Duren Sawit and Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, East Jakarta.
A field survey is conducted and a further descriptive analysis is utilized. Data collection is carried out through interviews and questionnaires, observations and literature studies. Data is then analysed quantitatively and qualitatively for individual groups of stakeholders.
Based on the comparisons made between the ideal level of participation and the actual participation of each stakeholder group, conclusions can be drawn
as follow:
1 The Provincial Government of DKI Jakarta has not made maximum efforts in promoting the Decision of the Governor of DKI Jakarta
Number 115 Year 2001 which has resulted in the limited number of community members who recognize the regulations.
2. The community level of awareness and participation in the implementation of the DKI Jakarta Provincial Government efforts in the run-off management and water resources reservations is low. This is due to the failure of the government to inform the community the purposes and aims of the PLH, as well as the inadequate and weak monitoring of the making of infiltration wells by the community members. The above conclusions indicate that the Decision of The Local Government of DKI Jakarta Number 115 Year 2001 on The making of Infiltration Well in the province of Jakarta has not been well implemented and executed.
]"
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
T44109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikhail Gorbachev Dom
"Rumah susun (pemukiman vertikal) adalah solusi untuk meningkatkan kualitas lingkungan bagi penghuni pemukiman kumuh, namun penelitian terdahulu mengindikasikan melemahnya interaksi sosial penghuni rumah susun. Penclitian lni dilaksanakan di rumah susun Cinta Kasih yang dikelola Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan metode survei pada bulan November-Desember 2010. terdapat 79 responden dan 16 informan. Dldapat hubungan semaldn tinggi lantai semakin sedikit jumlah kegiatan sosial yang diikuti oleh penghuni, terutama pada penghuni perempuan. Angka koefisien korelasi adalah 0,267 (seluruh penghuni) dan 0,335 (penghuni perempuan). Disimpulkan bahwa fisik bangunan rumah susun Cinta Kasih dengan 5 tingkat lantai tidak menghambat penghuni dalam membangun interaksi sosial.

Flats or can be called with vertical settlement is a solution to increase the environment quality for slum dwellers, however previous research shows that flats has caused the decrease of social interaction between occupants. This research was conducted at flat of Cinta Kasih that managed by Buddha Tzu Chi Indonesia foundation, in November until December 2010. In getting data, researcher was used survey methode, there were 79 repondents and 16 informants who are involved in it. Relations obtained that the higher floors the less amount of social activity which is followed by occupants, especially in female occupants. Correlation coefficient were 0.267 (for all occupants) and 0.335 (for female occupants). Concluded that the physical building of Cinta Kasih' flats with 5 levels of floor, does not hamper social interaction between occupants."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T31664
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Warlan Yusuf
"ABSTRAK
Ruang pada dasarnya tidak bertambah, namun kebutuhan masyarakat akan ruang dalam jangka dekat maupun jangka panjang akan semakin tinggi. Dengan demikian apabila tidak dikendalikan oleh dan melalui hukum sudah dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Namun produk hukum yang mengatur kegiatan penataan ruang itu masih ?cerai berai" dan sangat kuat menonjolkan kepentingan masing-masing sektor, sehingga tidak mempertunjukkan adanya kesatuan sistem pengelolaan yang terpadu. Untuk membangun satu kesatuan sistem perundang-undangan di bidang penataan ruang sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka yang utama harus dilakukan adalah mengamandemen Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya menerbitkan ketetapan MPR yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan harmonisasi dan menterpadukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam (seperi kehutanan, pertambangan, pertanahan), pengelolaan lingkungan hidup, penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan penataan ruang.
Adapun materi yang harus diharmonisasikan dan diterpadukan dalam satu kesatuan sistem pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penatan ruang itu antara lain menyangkut pertama arah kebijakan, yang meliputi a) asas tanggung jawab negara, dengan menempatkan posisi pemerintah sebagai regulator dan sekaligus pengayom, yang memberikan jaminan keadilan, kepastian dan perlindungan hukum; b) memegang teguh asas keberlanjutan (sutainability); c) mengatur secara adil dan merata terhadap penggunaan asas manfaat ekonomi dan sosial yang dilandasi oleh kepentingan ekotogi; dan d) digunakannya asas subsidiaritas yang menitik beratkan pada desentralisasi yang demokratis. Kedua, substansi yang menterpadukan secara serasi kegiatan perencanan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dan lingkungan kedalam satu sistem pengelolaan Sumer daya alam. Ketiga penguatan kelembagaan dan prosedur, yang menekankan pada koordinasi dan kerja sama antarinstansi dan antardaerah. Keempat menyangkut aspek keterpaduan dalam penegakan hukum dan pengembangan- budaya hukum.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka masalah wewenang pemerintahan dalam penataan ruang ini menjadi sorotan utama yang harus segera ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Isu tentang wewenang pemerintahan ini pada dasarnya berkenaan dengan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara Pusat dan Daerah dalam bidang penataan ruang. Secara sederhana, ibarat membangun rumah, maka tugas Pemerintah Pusat adalah membangun fundasi yang mampu mengikat dan mempersatukan ruang wilayah nasional dengan memperhatikan keanekaragaman potensi dan kepentingan daerah. Selanjutnya daerah harus membangun ruang di atas fundasi tersebut sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan daya dukung yang ada pada daerah masing-masing.

ABSTRACT
Even if society's demand for space in the short and long run is ever increasing, it is an indisputable fact that space in itself cannot be expanded. Society's development in fact is limited by available space. Consequently, a viable spatial planning law is a conditio sine qua non to guarantee sustainable use of natural resources. Notwithstanding that, the existing spatial plan or utilization legal system is still in disarray, not showing cohesiveness, as it reflects myriad, most often than not conflicting, interest of different state departments. In short, taken into consideration the existing law on spatial planning (Act No. 2411992), the result is sectoral and non-integrative spatial plan inhibiting sustainable development. The obvious solution would be amending Art. 33 par. 3 of the Indonesian Constitution of 1945 which grants absolute power on the State in managing natural resources. The next step would be for the General Consultative Assembly, the highest State organ, to decree that the parliament and government should do their best effort in harmonizing the existing law and policy concerning natural resource management (forestry, mining, agriculture), the environment, regional autonomy and spatial planning.
Such harmonization effort should be performed and actuated with the primary purpose of creating an integrated system of natural resource management, (protection and preservation of the) living environment and spatial planning. At first it should concern basic principles of policy, inter alia, comprising of: a. state responsibility principle, placing the government both as regulator and protector rendering justice, legal protection and certainty; b. sustainability principle; c. balancing of economic and social value principle with ecological concerns; and d. the implementation of subsidiarity principle focussing on democratic decentralization. Secondly, it should focus on creating an integrated natural resource management program combining spatial planning with environmental (ecological) concerns. Thirdly, institutional capacity building with primary focus on establishing a viable coordination and cooperation system between regional governments and between different government institutions. Fourthly and lastly it should concern creating an integrated approach to law enforcement and legal culture development.
Given the trend to grant regional governments greater autonomy, the law on spatial planning must address all problems related to governmental authority in the field of spatial planning and utilization. This issue relates basically to distribution of authority, task and responsibilities between the central government and regional autonomous government. Put simplistically, it is analogous to building a foundation on which national spatial planning could be develop taking into consideration the diversity of each regional government's capacity and interest. Based on this solid foundation, each region must develop and actuate its own spatial planning and programs according to its own capabilities and last but not least the region environment carrying capacity.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D518
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kadir
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rusaknya bangunan-bangunan cagar budaya dan adanya permasalahan-permasalahan yang ada di kotatua, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) mengindentifikasi konsep pengembangan wisata heritage Kotatua saat ini; (2) Menganalisis kekuatan dan kelemahan dari konsep pengelolaan Kotatua saat ini; (3) Membangun model wisata berbasis heritage berkelanjutan yang dapat menyelaraskan kepentingan keberlanjutan budaya, peningkatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan Kotatua, peningkatan pengunjung dan kemudahan akses. Pendekatan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Sedangkan analisis data yang digunakan terdiri dari analisis deskriptif dan verifikatif dengan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan (1) Konsep rencana strategis pembangunan kawasan kotatua Jakarta mengandung prinsip-prinsip dasar pembangunan wisata rakyat dan pelestarian budaya serta bagaimana semua pihak berkerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam konsep MICE (Meeting, Incentive, Conference and Events) yang mengacu pada jenis wisata tertentu dimana kelompok besar menyusun rencana umum masa depan guna mencapai tujuan bersama; (2) Implikasi penerapan konsep pembangunan yang berorientasi ekowisata pada kawasan wisata sejarah kotatua di tinjau dengan analisis SWOT. Untuk merespon secara efektif perubahan dalam lingkungannya, pengelola kawasan wisata harus mencermati lingkungan eksternal dan internalnya. Berdasarkan posisi kawasan wisata sejarah Kotatua Jakarta dalam Matriks SPACE maka strategi yang cocok untuk kawasan wisata ini adalah strategi kompetitif; (3) Model yang dapat memberdayakan masyarakat menjadi sejahtera, peningkatan PAD dan menjaga kelestarian budaya serta sejarah dikembangkan dengan cara: (a) Pengoptimalan input yang dimiliki masyarakat sekitar kawasan wisata kotatua Jakarta; (b) Proses revitalisasi yang dilakukan merupakan bentuk perubahan untuk meningkatkan keberlangsungan kawasan wisata kotatua Jakarta agar dapat diminati wisatawan sebagai sebuah wisata sejarah yang menarik untuk menjadi tujuan wisata; (c) Output tercapai apabila sasaran revitalisasi sampai pada tahapan perkembangan ekonomi, pemberdayaan masyarakat da pengembangan kawasan wisata kota tua; (d) Outcame dari model ini adalah masyarakat sejahtera, PAD meningkat dan kelestarian budaya serta sejarah tetap terjaga dengan baik, dari beberapa model yang ada, maka penulis dalam riset ini membangun model revitalisasi yaitu; Model KML (kelembagaan, Masyarakat dan Lingkungan).

This research is motivated by the destruction of cultural heritage buildings and the problems that exist in Kotatua, then this study aims to (1) identify the concept of heritage tourism development is now Old Town, (2) Analyze the strengths and weaknesses of current Kotatua management concepts, (3) Building a heritage-based sustainable ecotourism models that can align the interests of cultural sustainability, economic improvement Kotatua around the area, an increase in visitors and ease of access. The approach in this study is a quantitative with methode quantitative and qualitative research methods. While the data analysis consisted of descriptive analysis and verification with analytical tools Structural Equation Modelling (SEM). Based on the analysis that had been done, it can be concluded (1) The concept of the development of a strategic plan Jakarta Old Town area containing the basic principles of tourism development and preservation of folk culture and how all parties work together to achieve common goals in the concept of MICE (Meeting, Incentive, Conference and Events) which refers to a particular type of tourism in which large groups of the general plan the future in order to achieve common goals, (2) implications of the application of the concept of eco-tourism oriented development in the tourist area of ??the old city at the review history with SWOT analysis. To respond effectively to changes in its environment, managers must examine the tourist area of ??the external and internal environment. Based on the position of the tourist area of ??the history of the old city in the SPACE matrix is ??a suitable strategy for this tourist area is a competitive strategy, (3) models that can empower people to be prosperous , increase revenue and preserve the culture and history developed by: (a) Optimization input of the communities around the area of ??the old city of Jakarta tourist; (b) revitalization process undertaken is a form of changes to improve the sustainability of the tourist area of ??the old city of Jakarta to be attracted tourists as an interesting historical sights to become a tourist destination; (c) Output reached if revitalization goals through the development stages of an early slow start, empowerment da pengembengan old town tourist area; (d) of this model is Outcame prosperous society, increased revenue as well as historical and cultural preservation is maintained properly, from some of the existing models, the authors in this research builds a model of revitalization, that is KML model (Institutional, Communities and the Environment)."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Rudy Parluhutan
"Dari berbagai laporan tentang perkembangan Jakarta, diketahui bahwa perkembangan fisik Kota Jakarta berlangsung sengat cepat selama periode 1965-1985. perkembangan ini sangat mempengaruhi dinamika perkembangan Jakarta, termasuk pola tata air sebagai aspek penting dalam kehidupan.
Adapun manfaat dari penelitian itu adalah untuk mendapatkan gambaran tentang menurunnya kualitas lingkungan hidup DAS yang mengalir melalui kota Jakarta. Kemudian mengetahui reorientasi kebijakan tata ruang melalui pengintegrasian konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai berbasis masyarakat. Juga sebagai masukan bagi pihak pemda DKI dalam rangka pembangunan kawasan baru dan peremajaan kawasan lama."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
D740
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madrim Djody Gondokusumo
"ABSTRAK
Penelitian ini memilih topik kemiskinan dan lingkungan permukiman buruk di dalam kota, karena keprihatinan terhadap keberadaan masyarakat miskin yang signifkan dan kerusakan lingkungan yang parah di Jakarta. Melalui penelitian dengan perspektif ilmu lingkungan ini, penulis menawarkan konsep pemikiran baru untuk perencanaan tata ruang kota , yang dapat memberi arah jelas kepada pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah proses mencapai masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan. Masyarakat sejahtera berarti seluruh anggota masyarakat dapat berproses meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara material maupun non-material atau spiritual, dan tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok. Lingkungan hidup berkelanjutan berarti fungsi-fungsi lingkungan yang saling berinteraksi membentuk sistem kehidupan di Planet Bumi ini selalu terjaga.
Beberapa studi (antara lain Brundtland, G.H., 1987:235 dan World Bank 2000:25) mengungkapkan bahwa penduduk kota di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1950an, dan sejalan dengan itu terjadi pula peningkatan jumlah penduduk miskin, terutama di negara-negara sedang berkembang atau miskin. Permasalahan pokok kota-kota besar di negara-negara sedang berkembang, termasuk Jakarta, antara lain adalah kemiskinan dan kesenjangan, kriminalitas dan pengangguran, kelangkaan air bersih dan sanitasi, banjir dan genangan, pencemaran air dan udara, sampah, lingkungan pemukiman kumuh yang luas, serta kemacetan lalu lintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa di kota0kota itu tidak berlangsung proses pembangunan berkelanjutan.
Kota adalah suatu ekosistem yang terbentuk oleh proses-proses sosial. Permasalahan kota yang saling berinteraksi, hanya dapat difahami dengan paradigma holistik. Paradigma holistik melihat alam sebagai suatu entilas, suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Bagian-bagian atau komponen-komponen itu tidak dapat dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan harus difahami bahwa setiap komponen adalah bagian dari suatu keseluruhan.
Masalah
Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, pemerintah kota mengakui bahwa masalah kritis yang dihadapinya adalah (a) kemiskinan dan kesenjangan, dan (b) kerusakan lingkungan. Kedua masalah itu harus diatasi, agar tercapai proses pembangunan berkelanjutan, yaitu masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan.
Pedoman utama pembagungan kota Jakarta sejak 1965 adalah kebijakan rencana (tata ruang) kota, baik berbentuk Master Plan, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) maupun RTRW yang berlaku sekarang hingga 2010. Akan tetapi kebijakan rencara kota Jakarta itu gagal menciptakan proses pembangunan berkelanjutan, karena (1) berfokus kepada pendekatan fisik dengan tujuan pertumbuhan ekonomi semata, (2) kondisi masyarakat, yang terdiri dari strata sosial berbeda, kemiskinan yang masih signifikan dan kesenjangan yang lebar antar strata masyarakat, luput dari perhatian para penentu kebijakan, yaiu para elit (penguasa, pemodal, para ahli)...."
2005
D1887
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madrim Djody Gondokusumo
"ABSTRAK
Penelitian ini memilih topik kemiskinan dan lingkungan permukiman buruk di dalam kota, karena keprihatinan terhadap keberadaan masyarakat miskin yang signifkan dan kerusakan lingkungan yang parah di Jakarta. Melalui penelitian dengan perspektif ilmu lingkungan ini, penulis menawarkan konsep pemikiran baru untuk perencanaan tata ruang kota , yang dapat memberi arah jelas kepada pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah proses mencapai masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan. Masyarakat sejahtera berarti seluruh anggota masyarakat dapat berproses meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara material maupun non-material atau spiritual, dan tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok. Lingkungan hidup berkelanjutan berarti fungsi-fungsi lingkungan yang saling berinteraksi membentuk sistem kehidupan di Planet Bumi ini selalu terjaga.
Beberapa studi (antara lain Brundtland, G.H., 1987:235 dan World Bank 2000:25) mengungkapkan bahwa penduduk kota di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan sejak tahun 1950an, dan sejalan dengan itu terjadi pula peningkatan jumlah penduduk miskin, terutama di negara-negara sedang berkembang atau miskin. Permasalahan pokok kota-kota besar di negara-negara sedang berkembang, termasuk Jakarta, antara lain adalah kemiskinan dan kesenjangan, kriminalitas dan pengangguran, kelangkaan air bersih dan sanitasi, banjir dan genangan, pencemaran air dan udara, sampah, lingkungan pemukiman kumuh yang luas, serta kemacetan lalu lintas. Hal tersebut menunjukkan bahwa di kota0kota itu tidak berlangsung proses pembangunan berkelanjutan.
Kota adalah suatu ekosistem yang terbentuk oleh proses-proses sosial. Permasalahan kota yang saling berinteraksi, hanya dapat difahami dengan paradigma holistik. Paradigma holistik melihat alam sebagai suatu entilas, suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Bagian-bagian atau komponen-komponen itu tidak dapat dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan harus difahami bahwa setiap komponen adalah bagian dari suatu keseluruhan.
Masalah
Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010, pemerintah kota mengakui bahwa masalah kritis yang dihadapinya adalah (a) kemiskinan dan kesenjangan, dan (b) kerusakan lingkungan. Kedua masalah itu harus diatasi, agar tercapai proses pembangunan berkelanjutan, yaitu masyarakat sejahtera dalam lingkungan hidup berkelanjutan.
Pedoman utama pembagungan kota Jakarta sejak 1965 adalah kebijakan rencana (tata ruang) kota, baik berbentuk Master Plan, Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) maupun RTRW yang berlaku sekarang hingga 2010. Akan tetapi kebijakan rencara kota Jakarta itu gagal menciptakan proses pembangunan berkelanjutan, karena (1) berfokus kepada pendekatan fisik dengan tujuan pertumbuhan ekonomi semata, (2) kondisi masyarakat, yang terdiri dari strata sosial berbeda, kemiskinan yang masih signifikan dan kesenjangan yang lebar antar strata masyarakat, luput dari perhatian para penentu kebijakan, yaiu para elit (penguasa, pemodal, para ahli)...."
2005
D745
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parino Rahardjo
"Pengembangan kota baru berdampak pada meningkatnya luas permukaan lahan kedap air, temperatur udara mikro dan limpasan permukaan. Kondisi geomorfologi dan geohidrologi yang tidak dipertimbangkan pada pengembangan kota baru mengakibatkan terjadinya longsor dan menurunnya cadangan air bawah tanah. Tujuan penelitian adalah mengkaji lingkungan alami dan buatan, menentukan parameter ekosistem kota baru dan mengkaji model pengembangan kota yang mengintegrasikan faktor lingkungan, ekonomi dan sosial. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Perubahan tata guna lahan dianalisis menggunakan metode spasial temporal, sedangkan menghitung potensi limpasan menggunakan metode Soil Conservation Sevices dan untuk menghitung kenyamanan menggunakan persamaan Niuwolt. untuk mengetahui perubahan tata guna lahan dan pengaruhnya terhadap limpasan permukaan menggunakan simulasi System dynamics. Penelitian ini menghasilkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Melindungi kemiringan lahan > 25%, (2) Parameter ekosistem kota baru, yaitu (a) Badan air dengan bentuk danau, sungai, (b) Ruang terbuka hijau berupa taman/hutan kota, taman lingkungan, koridor hijau sepanjang bahu jalan, (3) Ruang terbuka hijau, danau, drainase alami memberikan jasa mengurangi limpasan permukaan dan mempertahan kan air bawah tanah. (4) Pengembangan kota baru mengintegrasikan faktor lingkungan, ekonomi dan sosial.

New town development resulted in increased impervious surface area, micro air temperature and surface runoff. Geomorphological conditions and geohydrology that were not considered in the development of the new towns resulted in landslides and declining reserves of underground water. The research objective was to study the natural and built environment, define the parameters of new urban ecosystem and assess the city development model that integrates environmental factors, economic and social. The study uses a quantitative approach. Changes in land use were analyzed using spatial temporal metode, while calculating the potential runoff with Sevices Soil Conservation method and convenience of using equations to calculate Niuwolt. Land use change and its effect on surface runoff using system dynamics simulation. This research resulted in some of the following: (1) Protect the slope> 25%, (2) Parameter ecosystem new cities, namely (a) Bodies of water with a form of lakes, rivers, (b) Green open space of the park / forest city, neighborhood parks, green corridors along the shoulder of the road, (3) green open space, lakes, natural drainage patterns provide services reduce surface runoff and retain the underground water. (4) Development of new town integrating environmental factors, economic and social."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library